Kamar yang cukup luas seharusnya berisi ranjang dan lemari. Namun, yang ada malah sebuah meja kecil beralaskan tikar yang terbuat dari anyaman daun pandan. Di atas meja kecil itu terdapat sebuah wadah berupa mangkuk berwarna silver, berisi setumpuk arang yang hancur dan baunya masih menyengat. Di sampingnya terdapat sebuah boneka kecil yang terbuat dari tanah liat.Intan memungut boneka yang sudah berwarna cokelat kehitaman itu. Ia berkata," Mas, ini boneka buat guna-guna orang, apa tante yang jadi dalang di balik kericuhan di keluarga kita?"Dia lanjut menumpahkan mangkuk berisi arang. Tampaklah seikat gulungan rambut."Rambut siapa?""Mana saya tahu, Intan! Maaf, saya gak yakin tante kamu pelakunya."Intan lantas menginjak boneka sihir itu sampai hancur berlanjut mengacak-acak benda bekas ritual di atas meja. Juga, ditemukan lubang di atap sejajar dengan pintu masuk, ada kabel besar yang menjuntai sekitar 50 cm. "Maaf, Anda siapa? Kenapa di sini?" Tegur seorang Polisi yang tiba-ti
Angin masih berhembus di dalam rumah hingga menjatuhkan beberapa pot bunga dan keramik. Intan tersungkur dan saat ini dalam posisi duduk setengah tengkurap. Edwin terjungkal ke kursi sofa. Elsa dan ibunya terdorong ke arah kursi sofa sampai mereka duduk terdiam karena panik. "Gak logis, kenapa di dalam rumah ada angin? Dari mana datangnya?" Tanya Intan. "Nala, Amel!" Teriak Rani. Kemudian kedua ART itu muncul, terburu-buru mereka hendak menolong. Namun, ada satu keanehan yang terjadi, Nala menatap ke atas dan mulutnya menganga, matanya tak berkedip sama sekali, lambat laun keluarlah air mata. "Ap--ap--ap--apa itu!" Ucapnya tersengal-sengal. "Nala, kalau ada setan jangan dilihat terus," suruh Intan. Sayangnya, Nala seperti tidak menghiraukan, tatapan matanya tetap fokus melihat ke atap. Ia tampak ketakutan dan berjalan mundur. "Nala!" Teriak Amel. Nala hampir saja terjatuh. Jika tak ada Amel yang menahan badannya mungkin sudah tersungkur ke lantai. Seketika angin berhenti ber
Di ruang ICU yang dibentengi dinding kaca sehingga tampak Erik Kusumadinata terkapar di atas ranjang. Sebagai anak, pastinya mereka amat sedih mendapati seorang ayah yang sakit."Aku kangen Papa senyum lagi," ucap Elsa melirih. "Bangun, Papa!"Sementara itu, Intan masih merasakan tidak nyaman. Ia melirik kanan kiri, gelagatnya mirip dengan orang yang waspada dan ketakutan."Mas, ada yang ngikutin aku," ucapnya. "Sssttt! Jangan berisik dulu."Kemudian, terlihat sosok yang menyerupai bayangan di dalam ruang ICU. Sosok itu berdiri seperti mengawasi Erik Kusumadinata."Mas, siapa itu?" "Intan, jangan berisik!""Kita pulang sekarang, aku takut! Lihat dia gerak-gerak!""Apanya?"Napas Intan terengah-engah, kakinya gemetaran. Namun, tatapan matanya tertuju ke depan. "Ada apa, Kak Intan?""Elsa, kamu lihat dia, itu dia lagi mengawasi Papa. Itu bukan manusia. Aku takut, lihat dia!"Intan berjalan mundur, matanya terbelalak ketika bayangan hitam itu bergerak seperti hendak menghampiri. Spont
Siang hari yang cerah, Edwin dan Intan sengaja pulang ke rumah meskipun perasaan mereka masih tak karuan karena mendapati sang ibu yang selalu berulah. Malahan, Edwin melempar tas kerjanya ke atas kursi tamu. Sampai tas bermerek dan mahal itu menimpa Elsa. "Mas! Apa-apaan sih! Untung aja gak kena muka aku!" "Kamu sama Erwin gak kuliah, ya? Bagus! Kalian sudah belajar bolos, buang-buang uang buat biaya kuliah mahal tapi hasilnya nihil! Kakak kamu ini capek nyari duit buat makan, buat sekolah, buat operasional rumah, tapi kalian enak-enakan nganggur. Keluar kalian semua dari rumah saya!" Elsa tercekat mendapati kakaknya yang naik pitam. Sambil berurai air mata, ia berkata," Mas, kenapa sih! Aku sama Erwin lagi UTS. Kamu, baru aja pulang udah marah begini!" Edwin lantas menghindar, dia menyambangi ruang kerjanya dengan terburu-buru, bahkan membukanya pintu dengan kencang. "Hei, ada apa ini? Siapa yang teriak?" Tanya Erwin yang baru saja menuruni tangga. "Mas Edwin barusan marahin
Edwin menoleh ke belakang. Tak melihat siapapun selain pintu kamar ibunya. Sementara Intan sudah bernafas tersengal-sengal, panik dan berkeringat. "Mas, makhluk itu ada di sana, dia kayak bayangan hitam, tinggi besar, aku lihat jarinya runcing, dia kayaknya mau menerkam," ungkap Intan. Dia lantas menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Aku takut, Mas. Astagfirullah." Edwin memeluk istrinya agar lebih tenang. Namun, matanya melirik kanan kiri. Ada hembusan angin yang melintas sampai menyibak rambut Intan. Tampaklah, makhluk hitam berdiri di depannya. Edwin menyaksikan pergerakan makhluk itu, mulai dari berdiri lalu menyerupai seorang wanita, berambut panjang dan berwajah pucat. "Mas!" "Ssssttt! Gak ada apa-apa, tenang ya, ternyata pelukan di sini nyaman juga. Mereka bergegas ke balkon lantai dua. Kebetulan, Elsa dan Erwin ternyata sedang melakukan peregangan badan. "Er, Els," sapa Edwin. "Mas, ngapain jalan-jalan sambil pelukan gitu? Kenapa? Norak tahu!" Sindir Elsa. "Gak
Suara ratusan kumbang tiba-tiba saja terdengar bising, serangga itu beterbangan di langit-langit rumah sampai menggulung. "Astaghfirullah," ucap Pak haji. "Ada yang menyerang saya. Tapi gak apa-apa."Kemudian kumbang itu kembali masuk ke sarangnya lewat lubang di dapur.Sementara itu, Intan sudah agak membaik, namun kakinya lemas sampai berdiri pun harus dibantu suaminya. "Pak haji, sebenarnya saya mau bahas tentang keluarga. Ibu kami sering berbohong, dia beralibi sibuk bekerja, nyatanya sudah satu bulan teledor, perusahaan terbengkalai. Kadang saya bertanya-tanya, ke mana dia perginya," terang Edwin."Kalau nak Edwin penasaran, kenapa gak pernah intip beliau? Kan ibu sendiri, harusnya ada yang berani ikutin dia pergi," jawab Pak haji. Sejenak, dia menghela nafas dalam-dalam. "Jujur saja, kasus seperti ini, apalagi kalau berhubungan sama orang yang memuja kepada selain Tuhan, ya agak berat juga.""Pak haji percaya kakek Kusumadinata itu pemuja setan demi kekayaan? Firasat saya seba
Tiba-tiba saja Elsa memuntahkan cairan berwarna cokelat. Dia batuk-batuk sampai tidak kuat menahan rasa sakitnya. "Kita ke RS sekarang, sambil nengok Papa," ajak Intan. Malam yang gelap, terpaksa mereka bertandang ke RS. Semula, Elsa tampak parah dan pucat pasi, namun ketika di perjalanan dia seperti bukan orang sakit.Setelah diobservasi dan cek laboratorium, hasilnya tidak ditemukan penyakit apapun. "Kalau begini ya enggak usah ke RS," protes Elsa. "Aku mau nengok Papa dulu."Mereka bertiga lantas mengunjungi ruang ICU. Orang tua yang mereka rindukan masih terkapar lemah di atas ranjang, berselimut kain putih dan hidung yang dipasang selang oksigen."Mau sampai kapan Papa kayak gini! Sadar dong, Pa!" Gerutu Elsa. "Papa harus pulang, harus sehat lagi, jangan pergi dulu, Pa! Elsa kangen."Elsa meringis, terisak-isak sampai suara tangisnya menggema di seluruh ruangan."Elsa, udah kita pulang sekarang. Jangan nangis di sini, Papa kan udah ada yang ngurus, kita percayakan urusan sama
Kamar mendiang Nenek Diah tampak berantakan, kumuh dan bau pesing. Ada air menggenang di lantai dan dikerumuni kumbang. "Mas, ada apa?" Sahut Elsa. Baru saja membuka pintu, dia langsung muntah-muntah. "Bau banget!""Mas, pagi-pagi udah teriak," keluh Intan. "Ada apa--"Intan terbelalak dan langsung menutup hidungnya. Dia bergegas mengambil masker untuk menutupi mulut dan penciumannya."Mas, gue mau ngopi, ngapain manggil gue?""Lihat, perbuatan siapa di sini?" Spontan, Erwin menyemburkan kopi dari mulutnya. "Bau banget!"Tak lama kemudian, Intan menghampiri sambil menyodorkan masker penutup mulut dan hidung. Kendati, agar mereka leluasa memeriksa kondisi di dalam kamar yang sudah kosong itu."Ini bukan air biasa, ini air seni," gumam Edwin. "Masa di sini ada yang pipis," gerutu Elsa. "Jijik banget!"Lalu, mereka mendongak ke atas, mendapati CCTV yang sudah pecah dan serpihannya berhamburan di lantai. "Oh, dia merusak cctv dulu sebelum beraksi, itu pelaku cerdik juga ya," gumam Er