Home / Romansa / Anakku Tak Diakui Ayahnya / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Anakku Tak Diakui Ayahnya : Chapter 81 - Chapter 90

96 Chapters

BAB 78

“Silahkan duduk,” ucap laki-laki yang sepertinya sudah menungguku beberapa saat lamanya. Aku mengangguk seraya memohon maaf karena keterlambatanku kali ini. Jalanan yang kulalui mendadak macet parah karena kecelakaan yang truk container yang membuat laju kendaraan menjadi terhambat. Dia menyodorkan buku menu padaku. Aku menerimanya dan segera memesan nasi goreng thailand yang menjadi menu favorit di restoran ini. Untuk minuman, aku memesan lemon tea hangat yang sepertinya sangat cocok dengan cuaca dingin di luar sana. “Sepertinya selera kita sama,” ucapnya dengan wajah sedikit bersahabat, berbeda dengan pertemuan kami sebelumnya. Bahkan saat aku menghadiri undangan pernikahan cucunya, kami tak sempat saling menyapa. Pak Guntoro terlihat kurang sehat hingga harus duduk di atas kursi roda dengan didampingi asistennya yang setia. “Terima kasih sudah datang ke pernikahan Andira,” ucapnya lagi. Aku mengulas senyum sedikit. “Terima kasih juga telah membuat cucu saya yang lain bahagia,”
Read more

BAB 79

Wajahnya tertunduk. Isak tangis tertahan lelaki itu membuat punggungnya terlihat terguncang hebat. Aku tak tahu harus berbuat apa. Harapanku satu-satunya adalah meminta bantuan pada laki-laki di ujung meja yang terus menatap keberadaan kami. Namun lagi-lagi aku tercengang manakala melihat asisten Pak Guntoro hanya mengangguk perlahan tanpa bergerak dari posisi duduknya. Posisi kami yang berjarak kurang lebih lima meter itu membuatku mampu melihat ekspresi wajahnya yang penuh keprihatinan. Sebagai asisten pribadi Pak Guntoro, kuyakin dia tahu persis apa yang membuat lelaki tua di hadapanku menyimpan duka sedalam ini. Tatapan lelaki itu seolah mengatakan aku tetap diam di tempatku duduk dan mendengarkan apa yang Pak Guntoro katakan. “Berkali-kali Satya mengatakan, dia melihat dua orang lelaki berboncengan motor membawa senjata api mengejar mobil orangtuanya. Bahkan dia sempat mendengar bunyi letusan senjata api sebelum mobil orangtuanya terjun ke dalam jurang yang akhirnya membuat
Read more

BAB 80

Kudekati tubuh Satya yang mematung di tempatnya duduk. Kedua tangannya mengepal dan dijadikan tumpuan dagunya. Matanya menerawang, menatap ruangan di depan sana dengan wajah yang tak bisa dijelaskan. Bahkan kedatanganku di sisinya mungkin tak sampai dia sadari sebelum kusentuh perlahan pundaknya.Laki-laki itu terlonjak. Wajahnya sedikit mencair, tak setegang tadi, meski bibirnya berat mengurai senyum untukku.“Rindu? Bukannya ini sudah malam? Kau pulang saja,” ucapnya dengan nada perintah. Aku yakin dia dihubungi oleh asisten kakeknya hingga tahu laki-laki itu dilarikan ke rumah sakit terbaik di kota ini.Aku menggeleng. Tak mungkin meninggalkan Satya seorang diri seperti ini. Apalagi tak mungkin menghubungi Andira yang kudengar sedang berbulan madu ke tanah seberang.“Bintang sudah kuberi tahu. Dia aman bersama Mbak Tini. Kau tenang saja,” jawabku berusaha menghilangkan kekhawatirannya. Aku mendesah, mengeluarkan beban berat yang terasa menghimpit dadaku. Di saat seperti ini pun Sat
Read more

BAB 81

“Jangan lupa, laki-laki yang sedang terbaring lemah di dalam itu ayahku! Apakah kau lupa aku ini om kamu?” decih laki-laki yang akhirnya kutahu memiliki hubungan kekerabatan dengan Satya. Namun aku terbelalak saat melihat bagaimana penerimaan Satya atas dirinya. Dia menepis kasar tindakan laki-laki itu dengan gerakan cukup cepat, seolah tak menginginkan kulit tubuhnya tersentuh sedikit pun.“Aku tahu apa yang ada di kepala Om Darma.” Satya menatap geram sepasang suami istri itu bergantian. Seumur hidup mengenalnya, aku tak pernah melihat Satya bersikap sekasar itu.“Benarkah? Sejak kapan kau punya keahlian menerawang isi kepala orang lain? Apakah keahlianmu bertambah, selain menjilat kakekmu itu?”Satya merangsek ke arah lelaki yang bernama Darma itu. Tanpa kuduga dia meraih kerah baju yang dikenakan lelaki itu dan menyentaknya cukup keras hingga membuatnya terhuyung. Keributan kecil mulai terjadi manakala sang istri berusaha mencegah perbuatan keponakannya. Satya jelas jauh lebih kua
Read more

BAB 82

Satya menyusut air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Sekuat apapun dia bertahan, air mata itu lolos di pipinya. Celana hitam yang dia kenakan sudah penuh dengan lumpur di tanah pemakaman yang masih baru. Lelaki itu memeluk nisan bertulis nama kakeknya dengan erat seolah tengah memeluk Pak Guntoro yang telah berpulang tadi pagi. Kerabat keluarga Satya sudah mundur satu per satu. Hanya tersisa beberapa orang yang masih menatap sendu gundukan tanah merah yang penuh dengan taburan dan karangan bunga yang diberikan oleh para pelayat. Sebagai pemilik Pesona Group, tentu saja banyak orang yang mengenal Pak Guntoro. Kulihat banyak sekali orang yang terluka atas kepergiannya meski hal ini sudah diprediksi sebelumnya. “Mbak, aku pulang dulu. Tolong temani Mas Satya,” ucap Andira sambil memegang bahuku lembut. Mata wanita itu pun terlihat sembab menandakan tangisan yang tak henti semenjak laki-laki yang merawatnya dari kecil itu kembali ke pangkuanNya. Suami Andira sendiri menggenggam t
Read more

BAB 83

[ Bu, Bintang kubawa pulang. Tadi ada keributan sedikit di rumah Pak Satya ] Kubaca pesan itu berulang kali. Mbak Tini mengirimiku sebuah pesan singkat mengabarkan hal yang membuat jantungku berdetak tak karuan. Aku menerka-nerka keributan apa yang tengah terjadi di rumah itu. Tentu saja aku menyembunyikannya dari Satya yang kini duduk di sebelahku. Sementara mobil yang dikemudikan oleh Pak Dewo melaju dengan kecepatan rata-rata membelah rintik hujan yang kian menderas. Tak ada pembicaraan apapun selama hampir satu jam kami di dalam mobil. Hanya tarikan napas yang terasa berat berulang kali terdengar baik dari Pak Dewo maupun Satya. Kami larut dalam pemikiran masing-masing. Aku sendiri memilih mengamati guyuran hujan yang seolah mengirimkan kedamaian atas luka akan kehilangan. “Aku langsung pulang, Bintang dan Mbak Tini sudah lebih dahulu pulang.” Satya seolah bingung dengan kalimat yang baru saja meluncur dari bibirku. Mobil yang kami kendarai sudah masuk ke halaman rumah mewah m
Read more

BAB 84

Restu Seminggu ini Satya tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Hanya beberapa kali dia mengirimiku pesan yang mengabarkan dia baik-baik saja dan tidak perlu mengkhawatirkanku. Meski sebisaku mempercayainya, tetapi mengingat pertemuan terakhir kami di rumahnya saat itu membuatku tak bisa fokus melakukan kerjaku. Bahkan aku hampir menyiram tanganku dengan mesin pembuat kopi saat Adrian–pegawaiku absen masuk kerja. Aku menggeleng cepat, berusaha mengembalikan ritme kerjaku. Saat itu Pak Darma tidak terima dengan pernyataan Pak Brata mengenai isi surat wasiat yang menurutnya sudah dipalsukan oleh pengacara keluarga itu. Hal yang amat mustahil, mengingat semua itu pasti akan mengancam reputasi dengan tanggungjawabnya atas pekerjaan yang selama ini dilakoni oleh Pak Brata. “Jaga batasan Anda, Pak Darma. Jika tidak mengingat saya harus netral dalam hal ini tentu saya akan membeberkan fakta-fakta yang membuat Anda tidak berkutik di hadapan pengadilan!” Pak Brata menajamkan pandang
Read more

BAB 85

“Andira. Om Brata mohon. Tetaplah tenang karena masih banyak hal yang perlu kita bicarakan.” Kalimat itu membuat Andira kembali terdiam seperti semula. Namun tatapan matanya yang nyalang melihat Pak Darma dan Bu Silvi yang duduk tepat di seberangnya tak mampu dihindari. Wanita yang biasa terlihat ceria itu benar-benar dikuasai emosi yang membumbung tinggi. “Inikah alasan Ayah tak pernah memberikanku posisi yang kuinginkan selama puluhan tahun aku menunggunya?” Suara Pak Darma terdengar getir namun penuh emosi terselubung. Dia tertawa miris, entah apa yang membuatnya melakukan demikian. Ataukah dia tengah menertawakan nasibnya sendiri? Pada kenyataannya dia tak mendapatkan apapun setelah melakukan sekian banyak kejahatan. “Bahkan kau tak berhak mendapatkan warisan apapun kecuali apa-apa yang kini sudah melekat pada dirimu yang sudah tertera atas namamu.”“Apa?” Bu Silvi terlihat tak percaya dengan apa yang didengarnya. Wajah putihnya makin terlihat pucat seolah tak ada aliran darah
Read more

BAB 86

Pembicaraan Serius "Kepada siapa aku meminta izin untuk menikahimu? Siapa yang harus kudatangi?" ***Semalaman aku benar-benar tidak bisa memejamkan mata. Pikiranku melayang ke arah kejadian siang ini saat Satya tiba-tiba berkata seserius itu. Bahkan dia tak membiarkan tanganku lolos dari genggaman tangannya. Tak peduli bagaimana tatapan orang-orang yang lalu lalang melihat kami. Belum lagi pada pegawai kami yang tentu saja memandang kami dengan senyuman yang hampir tak bisa mereka sembunyikan. Entah bagaimana bentuk wajahku. Kuyakin mereka dengan mudah melihat raut kegugupan yang terlihat jelas. "Sat, please. Jangan membuatku malu. Mereka menertawakan kita!" ucapku sambil berusa menarik tanganku. Sayang, lelaki itu tak kunjung meloloskannya. Dia malah makin mengeratkan genggaman tangannya. "Biar saja. Mungkin pula rasa malumu yang akan mendorongmu untuk berkata jujur." Laki-laki itu tersenyum. Kurasa seolah sengatan listrik mengalir dalam aliran darahku. Degup jantung yang meng
Read more

BAB 87

Segera sampai di dapur aku mengabulkan permintaan anakku sekaligus membuat kopi yang aromanya sudah menari-nari di otakku. Mungkin saja kepalaku yang terasa berat lama kelamaan akan sembuh jika meneguk secangkir kopi yang memang menjadi candu untukku. Kupanggil Bintang setelah makanan yang dia pesan selesai kubuat. Hanya perlu memanggilnya sekali maka anak itu akan turun dengan segera, tentu saja dengan membawa serta mainannya. "Mama jangan keseringan minum kopi," ucap Bintang saat tubuh mungilnya sudah di duduk di kursi yang terletak persis di sisiku. Aku menoleh, memahami kalimat yang dia lontarkan. Rasanya aneh saja, dia tak pernah mengatakan hal-hal seperti ini sebelumnya. "Apalagi Mama lupa sarapan, nggak baik, Ma. Nanti lama-kelamaan Mama sakit," lanjutnya. Baiklah. Aku rasa dia benar-benar aneh. "Siapa yang mengajarimu?" tanyaku langsung. Aku yakin ada tokoh di balik lancarnya anak lelakiku menasihati ibunya ini. Bintang tersenyum, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan
Read more
PREV
1
...
5678910
DMCA.com Protection Status