Semua Bab Rentenir Duda Itu Suamiku: Bab 11 - Bab 20

162 Bab

BAB 11

"Kurang ajar!" Tukang ojek itu mengusap hidungnya yang berdarah. Menatap Puspa yang sudah lari jauh di depan, dia segera mengambil motor dan membawanya sekencang angin. Puspa yang menyadari hal ini mengumpat dalam hati, menyalahkan kebodohannya yang malah berlari begitu saja. Padahal seharusnya pakai saja motor penjahatnya lalu kabur, daripada jadi kejar-kejaran seperti ini? Sambil berlari sekencang yang dia bisa, Puspa sesekali melihat ke belakang dimana motor si penjahat itu makin lama semakin dekat dengan dirinya. Puspa mencari akal, pikirnya si penjahat akan sangat kewalahan jika dia berhasil menjauhkannya dari motornya. Tapi bagaimana caranya?! Berpikir sambil berlari bukanlah suatu perkara mudah. Puspa terengah-engah, hampir menyerah sebelum akhirnya melihat sebuah jurang dangkal di depan sana. Puspa dibesarkan di sini, tidak ada yang lebih tahu wilayah ini daripada dirinya sendiri. Bersama teman-teman kecilnya dulu, Puspa sering menyelinap ke daerah kebun sawit untuk bermain
Baca selengkapnya

BAB 12

Di sebuah kamar besar dengan aksen mewah khas milik orang-orang kaya, Zara Naila nampak tersenyum lebar sambil minum secangkir jus buah segar. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan sebentar akibat panggilan telepon yang membuatnya naik pitam. Zara membanting gelas yang ia pegang ke lantai dan memaki dengan suara keras. "Gagal?! Bagaimana bisa!" Jika orang yang sedang bicara dengannya ini ada di depan wajahnya, pasti sudah dia cabik-cabik seluruh tubuhnya. "Maaf, tapi orangnya sudah ditangkap penjaga kebun dan dibawa ke kantor polisi," ujar seorang lelaki yang dibayar mahal oleh Zara untuk memberi pelajaran pada Puspa. Zara tidak dapat menerima kegagalan ini, terutama pelakunya sampai tertangkap dan dibawa ke kantor polisi. Jika sampai pelaku itu bicara macam-macam, namanya juga bisa ikut terseret! "Sial!" Zara kembali menghubungi seseorang, memintanya menghabisi si tukang ojek yang mereka sewa untuk melecehkan Puspa, yang saat ini sudah berada di kantor polisi. Padahal, rencanan
Baca selengkapnya

BAB 13

Puspa sedang berkemas, bersiap untuk pulang karena memang sudah waktunya. Sebenarnya, jam pulang memang selalu pukul 3 sore. Kecuali ada terlalu banyak pasien yang perlu diurus, maka hitungannya akan masuk kedalam jam lemburan. “Puspa?” Panggil seorang perempuan yang tak lain adalah Manajer Pemasar baru mereka. Puspa yang dipanggil tidak langsung menjawab. Ini dikarenakan dia belum tahu siapa namanya. Bukan karena tidak diberitahu, hanya saja Puspa sibuk bergosip dengan Salsa di aula tadi, sehingga namanya pun dia tidak ingat. “Oh, Ibu manajer baru, ternyata.” Berbasa-basi tanpa menyebut nama adalah keahlian Puspa. Manajer perempuan itu tersenyum kecil, “Nama saya Sinta, panggil nama saja, ya. Lagi pula umur kita tidak terlalu jauh, kok.” “Baik, Bu Sinta. Ada perlu apa, ya? Kebetulan hari ini saya tidak ada lembur. Kalau mau tanya-tanya terkait banyak hal, saya tidak bisa. Tapi ada banyak divisi yang lembur selain saya hari ini.” Tidak biasany
Baca selengkapnya

BAB 14

Hakam melamun sepanjang perjalanan pulang. Entah mengapa, kalimat yang keluar dari bibir Puspa terus membuatnya kepikiran. Tidak biasanya dia begini, selalunya tidak pernah peduli dengan perasaan orang lain. Namun, dengan gadis miskin itu, Hakam merasa berbeda. “Papa pulang,” Hakam membuka pintu dan berniat menyapa Hamun. Namun yang ia dapati pertama kali justru orang lain, yakni sang Ibu yang ternyata sedang berkunjung. Batari, namanya. Perempuan yang sudah berkepala hampir lima itu terlihat sedang bermain bersama cucu kesayangannya. Melihat kedatangan Hakam, Batari tersenyum. “Mama dengar kamu rajin patroli dua hari ini?” Hakam memutar mata, “Baru dua hari.” “Dua hari itu sudah termasuk kemajuan, lho. Ingat siapa yang menolak keras melanjutkan bisnis Papamu dulu? Itu kamu. Tapi coba lihat sekarang, mau tak mau, nyatanya kamu tetap melanjutkan.” Batari berdiri dan berjalan menuju meja ma
Baca selengkapnya

BAB 15

Puspa menatap langit-langit kamarnya yang sudah mengelupas. Kemudian ingatannya kembali ke waktu dimana Hakam mengatakan kalimat menyakitkan tentang antingnya yang hilang. Padahal itu masalah sepele, Puspa sering dapat cemoohan yang lebih sakit daripada itu. Namun, entah mengapa dia masih terus kepikiran sampai sekarang. “Kenapa semua orang kaya selalu begitu, ya.” Puspa menghela nafas dan memutuskan untuk keluar dari rumah, mencari udara segar. Dia berjalan tanpa alas kaki, menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan pendek. Menggelitik telapak kakinya, menjadikan hal itu sebagai hiburan tersendiri baginya yang tidak punya apa-apa.Ketika melihat kaki telanjangnya yang menyentuh tanah, Puspa jadi ingat masa-masa sekolah dasar yang dianggap sebagai tahun terberat baginya. Puspa ingat waktu itu sepatunya rusak parah, tapi karena ibunya belum memiliki uang lebih, dia terpaksa sekolah dengan sepatu rusaknya.Teman-temannya mengejeknya, menja
Baca selengkapnya

BAB 16

Hakam mengerang, memejamkan mata sambil menikmati setiap sentuhan yang dia berikan pada teman besarnya. Tetapi, ada yang aneh. Hakam tidak bisa memikirkan hal lain selain pemandangan es krim meleleh yang beberapa saat lalu membuatnya terkesan. Setiap kali dia mencoba untuk membayangkan hal lainnya, libidonya menurun. Namun, akan naik lagi dengan cepat ketika membayangkan adegan yang barusan di lihatnya di pinggir jalan. “Sial!” Hakam mengumpat, merasa seakan melayang diudara ketika lahar panas di bawah sana berhasil di muntahkan. Sungguh, satu tahun adalah waktu yang cukup lama untuk menyimpan semua benih dalam dirinya. Kini, ketika akhirnya dibebaskan, masing-masing dari mereka seakan menggila. Membuat pelepasannya kali ini menjadi salah satu yang paling memuaskan, layaknya gunung meletus yang memuntahkan lahar panas.Terengah-engah, Hakam memejamkan matanya sebentar untuk rehat. Akhirnya, pikirannya kembali jernih setelah berhasil menjinakkan si cacing alaska. Mengingat kelakuannya
Baca selengkapnya

BAB 17

Karena ada dua mayat, Puspa dan Salsa harus mengerjakan satu-persatu. Ternyata kedua jenazah tersebut adalah sepasang suami istri yang meninggal akibat kecelakaan. Yang sedang digarap mereka saat ini adalah si lelakinya. Sementara mayat perempuan diletakkan di ruangan lain. Bu Sinta yang sejak tadi masih bersembunyi di balik tikungan, kini perlahan muncul dan berjalan melewati lorong dengan masing-masing pintu tertutup. Kemudian dia berhenti di depan salah satu pintu dan masuk kedalamnya. Melihat mayat perempuan itu masih tergeletak di tempat yang seharusnya, dia buru-buru mendekat dan mencari-cari sesuatu.Ya, dia memang punya niat jahat. Ingin mengambil barang berharga apapun dari si mayat, yang nantinya akan diletakkan ke dalam tas kerja Puspa. “Ketemu,” Sinta tertawa ketika melihat jari manis mayat itu masih terpasang cincin kawinnya. “Ini pasti akan jadi hiburan yang menarik,” Sinta tersenyum licik, kemudian bergerak cepat mengambil cincin itu sebelum dibawa pergi dengan langk
Baca selengkapnya

BAB 18

Puspa bangun pagi, membantu Elisha membuat sarapan dan duduk bersama di meja makan. Elisha melihat putrinya makan terburu-buru, dia dengan cepat memarahi. “Sudahlah tidak doa, makan pun seperti hewan. Pelan-pelan!”‘Uhuk!’ Puspa yang terkejut pun langsung tersedak. “Kenapa, sih. Ini Puspa buru-buru, loh.”“Buru-buru apa, Ibuk tahu jadwal masuk kamu jam berapa. Biasanya juga jam segini masih luluran di kamar mandi!”Puspa mencebik, “Sok tahu. Tapi betulan, Puspa buru-buru hari ini.”“Memang ada masalah apa?” Tanya Elisha agak serius.Tapi Puspa malah menjawab bercanda, “Kepo, deh. Sudah, ah. Puspa berangkat dulu, Assalamualaikum!”Elisha pun dibuat tersedak ketika mendengar salam dari Puspa barusan, “Anak kurang ajar! Beraninya kamu main-main dengan salam agama orang lain! Hei, Puspa!”“HAHAHA …” Puspa hanya tertawa kencang dan tidak menganggap serius kemarahan Ibunya.***Di gedung Rumah Duka, orang-orang mulai berdatangan. Sinta baru saja sampai, turun dari mobil yang ia kendarai da
Baca selengkapnya

BAB 19

Puspa menceritakan tentang pertemuannya dengan Bu Sinta pada Salsa yang datang terlambat. Dan dia pun marah besar. “Kenapa tidak tunggu aku dulu, sih! Aku sudah bilang mau ikut, kan?!”Puspa menjawab dengan santai, “Salah sendiri datang kesiangan.”“Motorku itu yang segala pecah ban, jadi aku harus antre di bengkel!”Puspa menahan tawa, “Ya, sudah sih. Kenapa harus marah-marah coba. Lagian semua sudah terbukti kalau memang Bu Sinta pelakunya. Cuma sayangnya kita belum punya bukti yang kuat. Coba kalau ada, pasti sudah dipecat.”“Jadi, rencana selanjutnya apa?” Tanya Salsa penasaran.Puspa menjawab, “Jaga mata, jaga telinga. Setelah tau sifat aslinya, kita harus hati-hati. Walaupun aku masih belum yakin, cuma firasatku biasanya selalu benar.”“Firasat apa?”“Kalau kedatangan Bu Sinta di perusahaan ini bukan cuma kebetulan,” bisik Puspa pelan
Baca selengkapnya

BAB 20

Sementara Hakam berada di tempat lain, Zara dan Batari baru saja keluar dari toko pakaian ternama yang pastinya hanya menjual baju-baju dengan harga di atas satu juta. Keduanya berbincang santai sambil berjalan ke kafetaria tempat terakhir kali mereka tinggalkan Hamun dan Hakam.“Loh, kok mereka tidak ada, ya.” Zara bertanya-tanya.“Mungkin bosan menunggu, jadi mereka jalan-jalan. Tunggu saja sebentar lagi.” Saran Batari.Zara mengangguk sambil menurunkan ponsel dari telinganya. “Di telepon juga tidak diangkat.”“Sudah, biarkan saja. Nanti juga pulang.” Batari mengambil kursi berhadapan dengan Zara kemudian melanjutkan obrolan yang tadi sempat tertunda.Sementara itu, di toko perhiasan, ada Puspa yang jadi tidak nyaman karena merasa diawasi oleh dua orang asing. Dia sejak awal sudah salah langkah sebenarnya, ini jelas toko perhiasan mahal yang sudah melebihi ekspektasinya. Akan tetapi, kalau keluar begitu saja, dia nanti jadi merasa rendah diri. Seakan-akan tidak jadi beli karena tid
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
17
DMCA.com Protection Status