Home / Romansa / Cinta yang Kau Bawa Pergi / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Cinta yang Kau Bawa Pergi : Chapter 21 - Chapter 30

157 Chapters

Part 21 Harga Diri 2

Barra tidak menjawab ucapan sang papa. Ia paham bagaimana jika laki-laki itu sudah berkehendak tidak akan bisa di bantah. Terlebih jika beliau tahu kalau Barra sekarang sedang bermasalah dengan Delia, pasti papanya akan mengamuk karena tahu putranya yang bersalah. Masih berlanjutnya hubungan dengan Cintiara sudah jadi bukti kalau Barra yang berulah."Jauhi Cintiara sebelum papa yang ngasih peringatan sama dia. Sampai kapanpun papa dan mamamu nggak akan merestui kalian. Dia hanya ingin hartamu saja. Jangan kamu pikir, papa nggak tahu kamu telah membelikannya banyak barang-barang branded, termasuk mobil. Mutasi rekeningmu terdeteksi semua, Barra."Mendengar ucapan sang papa membuat Barra makin bungkam. Dulu ia sudah memprediksi kalau lambat laun papanya bakalan tahu juga. Makanya dia bilang pada Cintiara supaya tidak terlalu sering memakai kendaraannya. Alhasil, gadis itu malah sering memintanya untuk menjemput di kantor dan mengantarnya pulang.Bunyi intercom di meja kerja Pak Adibrata
Read more

Part 22 Pergi 1

Delia tersenyum miring sambil membuang muka saat melihat pemandangan tak tahu malu di dekatnya. Cintiara memeluk erat Barra sambil menangis. Sedangkan laki-laki itu berusaha melepaskan diri.Hati Delia tidak hanya hancur, tapi seluruh persendiannya ikut remuk redam dan nyaris membuatnya kalap. Jika tidak ingat harga diri, sudah ditampar dan diamuknya perempuan yang tidak mengenal sopan santun itu. Delia menarik napas dalam-dalam, kemudian menoleh pada Barra yang telah berhasil melepaskan pelukan kekasihnya."Apa Mbak nggak punya etika? Yang kamu peluk itu memang kekasihmu, tapi dia masih menjadi suamiku dan ini di rumah kami. Mas Barra memang mencintaimu dan nggak pernah mencintaiku. Kamu menang, aku akui itu. Tapi tolong, jagalah maruahmu sebagai perempuan. Jangan membuat malu sesama perempuan. Terserah kamu ingin melakukan apa denganya, tapi jangan di hadapanku. Hargai aku di sini. Jika kelak kamu menjadi istri. Apa mau kamu diperlakukan seperti ini? Enggak kan?" Delia berhenti s
Read more

Part 23 Pergi 2

Delia langsung masuk kamar di lantai bawah. Tidak menempati kamarnya sendiri karena berada di lantai dua. Wanita itu langsung mandi dan berganti pakaian yang diambilkan Mak Ni dari kamarnya. Dari kusutnya sang majikan ia tahu, pasti ada masalah serius. Kalau tidak, untuk apa malam-malam begini Delia pulang. Terus Barra berulang kali meneleponnya dengan nada panik."Mak Ni, kembali saja ke kamar dan istirahat," suruh Delia pada ART yang tampak mencemaskan dirinya."Mbak, nggak apa-apa sendirian?""Nggak apa-apa.""Mbak, sudah makan apa belum?""Saya nggak lapar, Mak.""Saya ambilkan makan ya?"Delia menggeleng. "Mak Ni istirahat saja."Wanita itu mengangguk kemudian meninggalkan Delia. Baru saja masuk kamar, ponselnya berdering lagi. "Ya, Pak Barra.""Delia pulang ke rumah nggak, Mak?""I-iya, Pak. Barusan sampai.""Saya ada di depan pagar sekarang.""Sebentar, Pak." Mak Ni meninggalkan teleponnya di kamar, gegas ke kamar Delia dan mengetuknya perlahan. Tak lama sang majikan membuka pi
Read more

Part 24 Marah 1

Barra turun dari mobilnya dan melangkah tergesa menghampiri mertua yang masih berdiri di teras. Pria berkaus hitam dan celana jeans warna biru itu mencium tangan mertuanya."Ayo, masuk!" ajak Pak Irawan. Bu Hesti telah mendahului dan sudah tidak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari menantunya."Rini, buatkan minum untuk Mas Barra," teriak Bu Hesti pada asisten rumah tangganya yang baru berumur delapan belas tahun."Njih, Bu." Terdengar jawaban dari arah dapur."Ada apa sebenarnya, kenapa Delia pulang sendirian malam tadi?" Pak Irawan bertanya dengan sikap masih tenang.Barra mengatur napas. Netranya memerah dan lelah karena menahan sebak dalam dada, juga karena tidak bisa tidur hampir semalaman. Dengan pertanyaan mereka, Barra bisa tahu kalau Delia tak menceritakan permasalahannya. "Maafkan saya, Pa, Ma. Maafkan. Saya yang salah!" ucap Barra sambil memandang kedua orang tua di hadapannya secara bergantian."Memangnya ada apa dengan kalian?" tanya Bu Hesti tidak sabar sambil menat
Read more

Part 25 Marah 2

"Apa yang kamu janjikan sama dia? Bukankah dulu kamu bilang sudah putus dengannya?""Maafkan aku, Pa." Jelas Barra menutupi kenyataan yang sebenarnya. Bilang putus tapi dirinya tidak pernah putus dengan Cintiara. Bahkan setelah menikah pun mereka masih tetap berhubungan. Mereka juga telah merencanakan untuk menikah."Maaf? Kamu pikir semuanya bisa diselesaikan hanya dengan kata maaf. Kalau kata maaf saja sudah cukup, penjara nggak akan ada narapidana. Sekarang jujur, apa yang telah kalian perbuat hingga membuat wanita itu masih juga mengejarmu? Kamu telah menidurinya?"Barra mengangkat wajah. Kaget dengan ucapan sang papa. "Nggak, Pa. Sumpah aku nggak pernah melakukan itu.""Berciuman?"Barra diam.Pak Adibrata menghela nafas panjang. "Barra, Barra. Papa jodohin kamu dengan Delia karena papa dan mamamu tahu, dia gadis baik-baik dan sudah hampir pulih dari traumanya. Nggak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya, apalagi soal pasangan hidup. Soal hutang budi pun nggak akan menggelapka
Read more

Part 26 Sebuah Pilihan 1

Hawa dingin kian menusuk kulit bersamaan dengan turunnya gerimis sore itu. Gerimis pertama di bulan Oktober. Barra gelisah berdiri di balkon lantai dua. Di kamar yang pernah ditempatinya bersama Delia ketika liburan waktu itu.Pemandangan di kejauhan tak kelihatan karena tebalnya kabut yang menyelimuti. Sepi, hanya bunyi gerimis yang terdengar bak harmoni mengiringi sore kelabu. Sudah empat jam lamanya Barra menunggu, tapi Delia belum juga muncul. Pria itu masih berpikir, mungkin istrinya masih jalan-jalan dan baru ke villa saat menjelang malam.Barra ke luar kamar dan menuruni tangga. Di dapur tampak Pak Marwan sedang membuatkan minum untuknya. Pria yang sebenarnya heran dengan sikap Barra itu hanya tersenyum, tidak berani bertanya banyak hal. Tugasnya hanya menjaga vila, bukan ikut campur urusan keluarga majikannya. "Mas Barra, saya bikinkan jahe panas biar anget di badan," ucap Pak Marwan sambil mengaduk air panas yang sudah dikasih jahe geprek di gelas."Saya jadi ngrepotin, Bapa
Read more

Part 27 Sebuah Pilihan 2

Begitu mudahnya kata sabar diucapkan karena luka tidak pernah mengeluarkan suara. Tapi itulah kata penenang yang familiar diucapkan banyak orang.Mak Ni menyelipkan rambut di belakang telinga Delia. "Mbak Delia nggak hanya cantik, tapi juga cerdas. Suatu hari nanti, Allah akan membayar kesakitan ini dengan nikmat yang indah.""Saya yang salah, Mak. Harusnya saya mengakhiri pernikahan ini lebih awal lagi setelah tahu ada perempuan lain di antara kami. Saya salah karena masih berusaha merebut hatinya yang sama sekali nggak ada saya di dalamnya. Sikap saya memalukan karena mempertahankan lelaki yang sebenarnya nggak mau hidup bersama saya.""Berusaha mempertahankan pernikahan itu nggak salah, Mbak. Jangan sesali itu. Setidaknya Mbak sudah berusaha memperjuangkan janji pernikahan yang disaksikan oleh Tuhan."Hening. Delia menoleh ke arah gorden kamar saat mendengar bunyi sesuatu. "Sepertinya turun hujan, Mak." "Iya, hawanya udah beda. Alhamdulillah, musim berganti, Mbak.""Hu um."Delia
Read more

Part 28 Boleh kita berteman?

Dahi Delia mengernyit untuk mengingat siapa lelaki yang menyapanya. Jaket itu, rambut panjangnya, oh Delia ingat. Dia cowok pemilik mobil yang ditumpanginya saat pergi dari apartemen.Cowok itu pindah duduk di bangku dekat Delia, sambil membawa minumannya. Dia tersenyum. Tampaknya memang masih mengingat siapa Delia. "Kamu masih ingat saya?"Delia masih diam."Kamu lupa ya? Tapi saya masih ingat kamu." "Ya, saya ingat," jawab Delia. "Makasih sudah mengantar malam itu."Lelaki itu mengangguk. Kemudian mengulurkan tangan untuk menyalami Delia. "Kenalan dulu, nama saya Xavier.""Delia."Xavier juga menyalami Mak Ni. Dia mengira wanita itu ibunya Delia. "Saya Xavier, Bu.""Hmm, saya Mak Ni. Saya pembantunya Mbak Delia, Mas." Pria modis berambut panjang yang dicepol dengan aksen undercut di sisi samping dan belakang rambut itu tersenyum ramah.Mereka tidak banyak bicara, hanya sesekali cowok itu menoleh pada Delia. Dilihat dari penampilannya, dia bisa menduga kalau Delia bukan berasal dar
Read more

Part 29 Boleh kita berteman? 2

"Assalamu'alaikum," sapanya sambil duduk di tepi ranjang."Wa'alaikumsalam. Kamu sudah pulang?" Pertanyaan yang sangat antusias dari Barra."Ya, barusan.""Aku mencarimu di villa. Rupanya kamu nggak ke sana. Kemarin pergi ke mana?""Aku nggak ke villa.""Lalu ke mana?"Delia tidak memberitahu. "Maaf, Mas. Aku mau mandi dulu.""Aku akan datang ke situ.""Aku mau istirahat. Besok baru kita bertemu. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu balasan salam dari Barra, Delia mengakhiri panggilan dan meletakkan ponselnya di atas ranjang. Hatinya mulai tenang sekarang. Memilih memahami diri sendiri saja, membiarkan kehidupan mengalir sebagaimana mestinya. Jika besok harus bertemu, tak mengapa. Memang waktunya untuk bertemu. Karena mau sampai kapan menghindar yang justru tidak akan menyelesaikan permasalahan.Kalau ikutkan kata hati, ada amarah yang masih berkejaran dengan rasa legowo menerima keadaan. Rasa ikhlas itu memang tidak segampang yang diucapkan. Namun ia akan berusaha tetap tegar, supaya o
Read more

Part 30 Perempuan dan Keputusannya 1

Cinta yang Kau Bawa PergiPart 30 Perempuan dan Keputusannya"Nggak nyangka kita bertemu di sini," kata Xavier sambil tersenyum senang. Delia menyambut sikap ramah pria muda di sebelahnya. Bukan bersikap genit, bukan untuk membuat Barra cemburu. Dia melakukannya untuk menunjukkan sikap profesionalnya. Yang pasti mereka akan menjadi partner kerja. Xavier sendiri belum tahu kalau Delia adalah putri dari pemilik PT Mahakarya Construction. Yang ia tahu, wanita itu adalah staf dari Pak Feri, pria yang baru dikenalnya beberapa bulan ini.Jujur diakui, Delia memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Bisa menjawab semua pertanyaan Barra dan beberapa sanggahannya. Menjelaskan secara terperinci sambil menyertakan alasannya. Xavier tidak tahu kalau Delia sedang berdebat dengan suaminya sendiri."Bu Delia, rencana pembangunan kantor di lantai dasar apartemen sebaiknya fokus dengan efisiensi penggunaan tempatnya. Yang penting fungsi kantornya," bantah Barra saat Delia setuju dengan konsep desain in
Read more
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status