Semua Bab AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!: Bab 21 - Bab 30

46 Bab

Dua puluh satu

"Setuju gak setuju, ya harus setuju, Bu. Tekadku sudah bulat gak bisa diganggu gugat," jawabku mantap."Emang kamu ada biayanya?" tanya ibu lagi."InsyaAllah ada, Bu," ucapkan meyakinkan wanita yang sangat menyayangi diriku."Syukurlah, ibu dan Ayah lagi gak ada uang, Wid. Sudah dipakai biaya rumah sakit kemarin. Ada sedikit, tapi nanti buat kulakan kelapa. Kalau kamu mau, tunggulah barang sebulan atau dua bulan, insyaAllah sudah ada rejekinya." Terdengar helaan napas setelah ibu mengatakan itu."Oh iya, kamu jadi berangkat kapan?""Besok, Bu," sahutku sambil memasukkan nasi ke mulut."Kamu—""Bu, sarapan dulu ya, ngobrolnya nanti," ucap Ayah memotong Kalimat yang akan diucapkan ibu. Tanpa menjawab ibu langsung mulai memakan nasi yang sudah ada di dalam piringnya, begitu juga aku dan Ayah.***"Bu, aku mau ke rumah Elok ya!" Aku mau berpamitan pada sepupuku i
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-15
Baca selengkapnya

Dua puluh dua

"Dari belanja sekalian ngajak nenek jalan-jalan, Wid. Kenapa kamu kok kayak khawatir gitu?" tanyanya keheranan melihatku."Habisnya aku pas datang, ibu gak ada," sahutku mendekat lalu mengambil alih kursi roda nenek kemudian mendorongnya masuk."Kamu sudah bertemu Elok?" Ibu bertanya sambil tangannya sibuk menaruh belanjaan di meja dapur."Sudah, Bu. Tapi dia gak bisa antar, aku kan pingin puter-puter kampung sebelum kembali ke kota."Aku duduk di depan nenek, wajah keriputnya sangat teduh. Sesekali wanita senja itu tersenyum saat pandangan mata kami beradu. Sementara ibu sibuk memasak untuk makan siang dan malam nanti.**Malam ini kami menghabiskan cerita bersama. Hal sangat lama tidak kami lakukan setelah aku menikah.Terakhir aku memberikan amplop pada Ibu, memang tak banyak dan tak seberapa dibandingkan apa yang sudah mereka berikan padaku."Apa ini, Wid?" tanya ibu sambil mengangkat memperhatikan amplop ya
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-16
Baca selengkapnya

Dua puluh tiga

Sepi, itu yang kurasakan setelah kembali ke rumah. Suasana rumah semakin sunyi karena aku hanya sendiri. Sekilas bayangan kebersamaan dengan Mas Anam melintas. Namun, aku segera menyingkirkannya dari pikiran dengan menyibukkan diri dengan ponsel. Menulis cerita.Rasanya baru sejenak raga ini berisitirahat, pagi sudah datang menyapa. Aku pun melakukan aktivitas seperti biasa. Setelah selesai beres-beres aku berencana ke pengadilan agama, aku tak ingin menundanya lagi, lebih cepat lebih baik.Keluarkan motor yang sudah lama parkir di dalam rumah, sebuah motor baru yang sudah lama kubeli. Namun, jarang kupakai. Aku lebih senang naik sepeda ontel, lebih sehat dan lebih hemat. Hehehehe.Sebuah mobil pick up berhenti di depan rumah salah satu tetangga yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Mobil itu membawa beberapa perabot rumah tangga, seperti sedang pindahan. Aku hanya memperhatikannya sekilas. Namun, ada sesuatu yang membuatku kembali memandang mobil pick up
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-17
Baca selengkapnya

Dua puluh empat

Aku sudah melewati masa iddah, kini aku sudah benar-benar lepas dari Mas Anam. Sudah tidak ada lagi hubungan antara kami, benar-benar menjadi orang lain, sama seperti dulu ketika belum bertemu.Kedamaian yang kurasakan bertolak belakang dengan kehidupan rumah tangga Mas Anam yang selalu diwarnai dengan teriakan istrinya. Sungguh Mas Anam menjadi lelaki yang takut pada istrinya. Kasihan.Aku masih melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Setiap pagi akan menyapu halaman, baru kemudian membersihkan rumah. Pergi belanja ke tukang sayur lalu membuat sarapan.Bosan? Tentu saja. Namun, aku berusaha menikmatinya. Dengan menyibukkan diri dengan menulis, dan promo jualan di medsos."Assalamualaikum," ucap seseorang di luar rumah.Aku yang berada di dapur sedang menyiangi sayur segera beranjak untuk melihat siapa yang datang."Assalamualaikum!" Lagi orang itu berucap, membuat kakiku melangkah dengan tergesa."Waalaikumussalam!" ba
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-18
Baca selengkapnya

Dua puluh lima

"Assalamualaikum," ucapku setelah kami sampai di depan pintu rumah mas Anam. Sementara Lilis berdiri di belakangku karena takut."Waalaikumussalam!" balas seseorang dari dalam. Tiba-tiba saja Lilis mencengkeram lenganku dengan kuat, sepertinya dia benar-benar takut, setelah yang menjawab salam adalah suara laki-laki.Untuk sepersekian detik kami hanya terpaku di tempat masing-masing setelah pintu terbuka. Semua terasa kikuk, ini adalah kali pertama aku akan bicara dengan Mas Anam setelah sidang perceraian dulu."Lilis? Apa yang kamu lakukan di sini?!" Belum juga kami bicara, Erna keluar dari dalam sambil memegangi perutnya yang sudah sangat besar. Wanita itu seperti hamil bayi kembar, karena saking besar perutnya."Mau apa kamu kesini?!" Lagi dia bertanya dengan suara galaknya. Sesekali bibirnya nyengir seperti menahan sakit.Lilis tak menjawab, dia masih diam membisu."Er, lebih baik istirahat di dalam, biar Lilis menjadi urusan
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-19
Baca selengkapnya

Dua puluh enam

"Widya! Keluar kamu!"Aku sangat mengenal suara itu, suara cempreng yang hobinya berteriak. Aku merasa gerah mendengarnya ingin segera menyumpal mulutnya dengan kain pel-pelan.Sebelum aku melanjutkan langkah hendak ke depan, tiba-tiba aku ingin mengirim pesan pada Bu Rt. Memintanya datang ke rumah, dengan alasan karena ada yang menggangguku. Sebenarnya bukan alasan, karena sekarang memang sedang ada yang menganggu.[Bu, tolong datang ke rumah bersama ibu-ibu yang lain, ya. Di rumahku ada yang sedang berbuat ulah. Aku takut, Bu]Terkirim dan langsung dibaca karena centangnya sudah berubah menjadi biru dan saat ini dia sedang mengetik.[Siap, Mbak Widya. Jangan takut kami akan selalu melindungi warga yang baik, apalagi Mbak Widya banyak memberikan bantuan sosial. Tunggu lima menit kami akan sampai di rumah kamu, Mbak. Jangan takut tetap tenang, oke] balasnya.[Ok, terima kasih, Bu] terkirim dan centang biru.[Sama-sama, s
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-20
Baca selengkapnya

Dua puluh tujuh

"Aku buka sekarang, ya?" ucapku sambil beranjak. Karena aku sudah tak tahan mendengar teriakannya yang semakin kencang. Lilis nampak panik, berkali-kali dia mengambil napas dalam lalu perlahan membuangnya."Udah, kamu tenang saja. Gak usah takut. Bilang saja kamu gak mau ikut dengannya. Oh iya, coba kamu hubungi Masmu." Aku memberinya saran mungkin nanti akan berguna. Kira-kira Mas Anam berani gak membantah Mbak Sri."Iya, Mbak. Aku ambil ponsel dulu." Dia pun berlalu dari hadapanku menuju kamar dimana dia akan tidur.Saat Lilis pergi, terdengar bunyi notifikasi dari ponsel yang berada di saku rok, dengan segera aku melihatnya. Rupanya sebuah pesan dari Bu Rt.[Mbak, Widya. Kami sudah sampai dan sedang berada di teras Mbak Sasa. Kita harus ngapain ini? Dan bukankah dia mantan kakak iparmu yang gak tahu diri itu?] pesan telah kubaca dan aku segera mengetik balasan.[Iya, Bu. Terima kasih ya. Nanti saja bertindak kalau dia sudah mulai ngamu
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-21
Baca selengkapnya

Dua puluh delapan

"Mbak, Widya. Kamu gak pa-pa?" tanya Bu Rt, setelah dia dan beberapa ibu-ibu lainnya berada di ruang tamu."Alhamdulillah aku baik-baik saja, Bu, terima kasih sudah mau datang," ucapku tulus dengan kutambahi dengan sedikit senyuman."Iya, sama-sama, Mbak Widya. Sudah tugas kita saling membantu. Itu kenapa sih, Mbak. Mantan kakak ipar kamu, masih saja gangguin? Gemes banget aku tadi, pingin tak bejek-bejek rasanya," ungkapnya, terlihat jelas kalau wanita berbadan bongsor itu sangat kesal.Sementara ibu-ibu yang lainnya hanya mengangguk mengiyakan, sambil berkasak-kusuk juga mengungkapkan kekesalan mereka atas ulah Mbak Sri tadi yang dianggap sudah berbuat rusuh dilingkungan ini."Ibu-ibu, mumpung semua ada di sini. Ada yang ingin kukatakan sekaligus mau minta izin pada Bu RT, maaf belum sempat datang ke rumahnya ibu," aku menjeda kalimat, lalu memandang wanita yang selalu nampak modis itu."Minta izin apa, Mbak?" tanya Bu Rt penasaran. Wan
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-22
Baca selengkapnya

Dua puluh sembilan

"Kenapa-napa gimana ni, Bu?" "Ibu khawatir kamu tak kan bisa melupakan Anam, kalau kamu masih berhubungan dengan keluarganya," balasnya dari ujung telepon."Tapi Lilis sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Bu. Istri Mas Anam gak mau menerimanya, sedangkan Mbak Sri, dia mau mengajak Lilis, tapi malah menjadikannya seperti pembantu.""Ya, biarkan saja, Wid. Itu kan bukan urusanmu." Rupanya sakit yang ibu rasakan, melebihi yang kurasakan. Terdengar helaan napasnya."Aku kasihan pada anaknya, Bu. Bagaimana kalau Lilis nekat membuang atau menghabisi anaknya, karena keadaan? Saat ini hanya itu yang kupikirkan. Anaknya, Bu. Bayi itu tidak berdosa."Hanya terdengar helaan napasnya, ibu tak menyahut. Mungkin dia kesal padaku karena ngeyel saat dinasehatinya."Kamu memang baik, Nak. Dari dulu selalu mendahulukan kebaikan orang lain. Bahkan seringkali kamu yang terluka dan tersakiti. Ya sudah kalau kamu mau menampung Lilis untuk sementara. L
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-23
Baca selengkapnya

Tiga puluh

Kupijit pelipis yang tidak pusing, lalu menyandarkan kepala di kursi sambil menutup mata ini. Sesak, itulah yang kurasakan setiap kali mendengar berita kematian.Entah kapan giliran diri ini. Hanya tinggal menunggu panggilan, sebuah panggilan yang tidak bisa diwakilkan. Panggilannya Sang Kuasa. Mau atau tidak, akan tetap dipaksa, dengan ataupun tanpa bekal. Celakanya diri ini jika waktunya tiba dan belum punya bekal. Kembali hanya bisa beristighfar."Astaghfirullah ...." Bibir ini terus saja melafalkannya jika mengingat kematian."Ada apa, Mbak?" tanya Lilis. Perlahan aku membuka mata dan mendapati Lilis yang kini sudah berada di sisi kursi yang lain."Erna sudah melahirkan, tapi anaknya meninggal, Lis," sahutku masih dengan suara lirih, seolah benar-benar ikut merasakan kehilangan."Innalilahi wa innailaihi rojiun," ucapnya lirih. Wanita dengan perut yang sudah besar itu perlahan menjatuhkan bobot tubuhnya di sampingku.Sepersek
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-02-24
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status