"Setuju gak setuju, ya harus setuju, Bu. Tekadku sudah bulat gak bisa diganggu gugat," jawabku mantap.
"Emang kamu ada biayanya?" tanya ibu lagi."InsyaAllah ada, Bu," ucapkan meyakinkan wanita yang sangat menyayangi diriku."Syukurlah, ibu dan Ayah lagi gak ada uang, Wid. Sudah dipakai biaya rumah sakit kemarin. Ada sedikit, tapi nanti buat kulakan kelapa. Kalau kamu mau, tunggulah barang sebulan atau dua bulan, insyaAllah sudah ada rejekinya." Terdengar helaan napas setelah ibu mengatakan itu."Oh iya, kamu jadi berangkat kapan?""Besok, Bu," sahutku sambil memasukkan nasi ke mulut."Kamu—""Bu, sarapan dulu ya, ngobrolnya nanti," ucap Ayah memotong Kalimat yang akan diucapkan ibu. Tanpa menjawab ibu langsung mulai memakan nasi yang sudah ada di dalam piringnya, begitu juga aku dan Ayah.***"Bu, aku mau ke rumah Elok ya!" Aku mau berpamitan pada sepupuku i"Dari belanja sekalian ngajak nenek jalan-jalan, Wid. Kenapa kamu kok kayak khawatir gitu?" tanyanya keheranan melihatku."Habisnya aku pas datang, ibu gak ada," sahutku mendekat lalu mengambil alih kursi roda nenek kemudian mendorongnya masuk."Kamu sudah bertemu Elok?" Ibu bertanya sambil tangannya sibuk menaruh belanjaan di meja dapur."Sudah, Bu. Tapi dia gak bisa antar, aku kan pingin puter-puter kampung sebelum kembali ke kota."Aku duduk di depan nenek, wajah keriputnya sangat teduh. Sesekali wanita senja itu tersenyum saat pandangan mata kami beradu. Sementara ibu sibuk memasak untuk makan siang dan malam nanti.**Malam ini kami menghabiskan cerita bersama. Hal sangat lama tidak kami lakukan setelah aku menikah.Terakhir aku memberikan amplop pada Ibu, memang tak banyak dan tak seberapa dibandingkan apa yang sudah mereka berikan padaku."Apa ini, Wid?" tanya ibu sambil mengangkat memperhatikan amplop ya
Sepi, itu yang kurasakan setelah kembali ke rumah. Suasana rumah semakin sunyi karena aku hanya sendiri. Sekilas bayangan kebersamaan dengan Mas Anam melintas. Namun, aku segera menyingkirkannya dari pikiran dengan menyibukkan diri dengan ponsel. Menulis cerita.Rasanya baru sejenak raga ini berisitirahat, pagi sudah datang menyapa. Aku pun melakukan aktivitas seperti biasa. Setelah selesai beres-beres aku berencana ke pengadilan agama, aku tak ingin menundanya lagi, lebih cepat lebih baik.Keluarkan motor yang sudah lama parkir di dalam rumah, sebuah motor baru yang sudah lama kubeli. Namun, jarang kupakai. Aku lebih senang naik sepeda ontel, lebih sehat dan lebih hemat. Hehehehe.Sebuah mobil pick up berhenti di depan rumah salah satu tetangga yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Mobil itu membawa beberapa perabot rumah tangga, seperti sedang pindahan. Aku hanya memperhatikannya sekilas. Namun, ada sesuatu yang membuatku kembali memandang mobil pick up
Aku sudah melewati masa iddah, kini aku sudah benar-benar lepas dari Mas Anam. Sudah tidak ada lagi hubungan antara kami, benar-benar menjadi orang lain, sama seperti dulu ketika belum bertemu.Kedamaian yang kurasakan bertolak belakang dengan kehidupan rumah tangga Mas Anam yang selalu diwarnai dengan teriakan istrinya. Sungguh Mas Anam menjadi lelaki yang takut pada istrinya. Kasihan.Aku masih melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Setiap pagi akan menyapu halaman, baru kemudian membersihkan rumah. Pergi belanja ke tukang sayur lalu membuat sarapan.Bosan? Tentu saja. Namun, aku berusaha menikmatinya. Dengan menyibukkan diri dengan menulis, dan promo jualan di medsos."Assalamualaikum," ucap seseorang di luar rumah.Aku yang berada di dapur sedang menyiangi sayur segera beranjak untuk melihat siapa yang datang."Assalamualaikum!" Lagi orang itu berucap, membuat kakiku melangkah dengan tergesa."Waalaikumussalam!" ba
"Assalamualaikum," ucapku setelah kami sampai di depan pintu rumah mas Anam. Sementara Lilis berdiri di belakangku karena takut."Waalaikumussalam!" balas seseorang dari dalam. Tiba-tiba saja Lilis mencengkeram lenganku dengan kuat, sepertinya dia benar-benar takut, setelah yang menjawab salam adalah suara laki-laki.Untuk sepersekian detik kami hanya terpaku di tempat masing-masing setelah pintu terbuka. Semua terasa kikuk, ini adalah kali pertama aku akan bicara dengan Mas Anam setelah sidang perceraian dulu."Lilis? Apa yang kamu lakukan di sini?!" Belum juga kami bicara, Erna keluar dari dalam sambil memegangi perutnya yang sudah sangat besar. Wanita itu seperti hamil bayi kembar, karena saking besar perutnya."Mau apa kamu kesini?!" Lagi dia bertanya dengan suara galaknya. Sesekali bibirnya nyengir seperti menahan sakit.Lilis tak menjawab, dia masih diam membisu."Er, lebih baik istirahat di dalam, biar Lilis menjadi urusan
"Widya! Keluar kamu!"Aku sangat mengenal suara itu, suara cempreng yang hobinya berteriak. Aku merasa gerah mendengarnya ingin segera menyumpal mulutnya dengan kain pel-pelan.Sebelum aku melanjutkan langkah hendak ke depan, tiba-tiba aku ingin mengirim pesan pada Bu Rt. Memintanya datang ke rumah, dengan alasan karena ada yang menggangguku. Sebenarnya bukan alasan, karena sekarang memang sedang ada yang menganggu.[Bu, tolong datang ke rumah bersama ibu-ibu yang lain, ya. Di rumahku ada yang sedang berbuat ulah. Aku takut, Bu]Terkirim dan langsung dibaca karena centangnya sudah berubah menjadi biru dan saat ini dia sedang mengetik.[Siap, Mbak Widya. Jangan takut kami akan selalu melindungi warga yang baik, apalagi Mbak Widya banyak memberikan bantuan sosial. Tunggu lima menit kami akan sampai di rumah kamu, Mbak. Jangan takut tetap tenang, oke] balasnya.[Ok, terima kasih, Bu] terkirim dan centang biru.[Sama-sama, s
"Aku buka sekarang, ya?" ucapku sambil beranjak. Karena aku sudah tak tahan mendengar teriakannya yang semakin kencang. Lilis nampak panik, berkali-kali dia mengambil napas dalam lalu perlahan membuangnya."Udah, kamu tenang saja. Gak usah takut. Bilang saja kamu gak mau ikut dengannya. Oh iya, coba kamu hubungi Masmu." Aku memberinya saran mungkin nanti akan berguna. Kira-kira Mas Anam berani gak membantah Mbak Sri."Iya, Mbak. Aku ambil ponsel dulu." Dia pun berlalu dari hadapanku menuju kamar dimana dia akan tidur.Saat Lilis pergi, terdengar bunyi notifikasi dari ponsel yang berada di saku rok, dengan segera aku melihatnya. Rupanya sebuah pesan dari Bu Rt.[Mbak, Widya. Kami sudah sampai dan sedang berada di teras Mbak Sasa. Kita harus ngapain ini? Dan bukankah dia mantan kakak iparmu yang gak tahu diri itu?] pesan telah kubaca dan aku segera mengetik balasan.[Iya, Bu. Terima kasih ya. Nanti saja bertindak kalau dia sudah mulai ngamu
"Mbak, Widya. Kamu gak pa-pa?" tanya Bu Rt, setelah dia dan beberapa ibu-ibu lainnya berada di ruang tamu."Alhamdulillah aku baik-baik saja, Bu, terima kasih sudah mau datang," ucapku tulus dengan kutambahi dengan sedikit senyuman."Iya, sama-sama, Mbak Widya. Sudah tugas kita saling membantu. Itu kenapa sih, Mbak. Mantan kakak ipar kamu, masih saja gangguin? Gemes banget aku tadi, pingin tak bejek-bejek rasanya," ungkapnya, terlihat jelas kalau wanita berbadan bongsor itu sangat kesal.Sementara ibu-ibu yang lainnya hanya mengangguk mengiyakan, sambil berkasak-kusuk juga mengungkapkan kekesalan mereka atas ulah Mbak Sri tadi yang dianggap sudah berbuat rusuh dilingkungan ini."Ibu-ibu, mumpung semua ada di sini. Ada yang ingin kukatakan sekaligus mau minta izin pada Bu RT, maaf belum sempat datang ke rumahnya ibu," aku menjeda kalimat, lalu memandang wanita yang selalu nampak modis itu."Minta izin apa, Mbak?" tanya Bu Rt penasaran. Wan
"Kenapa-napa gimana ni, Bu?" "Ibu khawatir kamu tak kan bisa melupakan Anam, kalau kamu masih berhubungan dengan keluarganya," balasnya dari ujung telepon."Tapi Lilis sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Bu. Istri Mas Anam gak mau menerimanya, sedangkan Mbak Sri, dia mau mengajak Lilis, tapi malah menjadikannya seperti pembantu.""Ya, biarkan saja, Wid. Itu kan bukan urusanmu." Rupanya sakit yang ibu rasakan, melebihi yang kurasakan. Terdengar helaan napasnya."Aku kasihan pada anaknya, Bu. Bagaimana kalau Lilis nekat membuang atau menghabisi anaknya, karena keadaan? Saat ini hanya itu yang kupikirkan. Anaknya, Bu. Bayi itu tidak berdosa."Hanya terdengar helaan napasnya, ibu tak menyahut. Mungkin dia kesal padaku karena ngeyel saat dinasehatinya."Kamu memang baik, Nak. Dari dulu selalu mendahulukan kebaikan orang lain. Bahkan seringkali kamu yang terluka dan tersakiti. Ya sudah kalau kamu mau menampung Lilis untuk sementara. L
Hal seperti ini takkan membuat rasa percayaku pada Mas Adnan luntur. Pengalaman dulu membuat diri ini semakin sadar, bahwa semua itu hanya sebuah jebakan, menganggap iseng orang yang sudah melakukannya.Namun, aku tak langsung menghapusnya, menyimpan agar nanti bisa kutunjukan pada suamiku. Bagaimana nanti reaksinya? Sama kah dengan sikap Mas Anam dulu?Heran, masih saja ada orang jahil dengan menggunakan cara seperti itu. Apa yang mereka harapkan, kehancuran rumah tanggaku? Sungguh pekerjaan yang sia-sia.**"Dek, jalan-jalan yuk," ajak Mas Adnan setelah pulang dari masjid selepas salat subuh."Emang mau ke mana sih, Mas?" tanyaku malas-malasan. Tadi aku kembali berbaring setelah melaksanan kewajiban subuh."Ke pasar, mau?" tanyanya lagi, saat ini Mas Adnan sudah berada di sisiku. Lelaki itu memijit kakiku dengan lembut. Sesekali tangannya mengelus perutku yang sudah membuncit."Mas," panggilku sambil memberikan ponselk
"Bidan? Tunggu!" Aku bergegas ke arah kalender yang tergantung di dinding. Melihat tanggal dan hari yang tertera di bulan ini."Mas ...." panggilku dengan suara bergetar. Lelaki itu gegas mendekati diriku yang sedang terpaku di depan deretan angka dalam kalender tersebut."Ada apa, Dek?" Mas Adnan nampak bingung, lelaki itu memandang diriku dan kalender secara bergantian."Mas, sudah dua bulan ini aku gak bulanan. Apa mungkin—?" Aku menggantungkan kalimat yang tadi kuucap. Dadaku berdetak lebih kencang, pandangan mata kami bertemu. Seolah bisa mengerti apa yang ingin ku ucapkan. Tiba-tiba Mas Adnan meraih tubuhku dalam pelukannya, bisa kurasakan detak jantungnya yang memompa dengan cepat."Ya Allah ... Alhamdulillah," ucap Mas Adnan dengan suara parau. Lelakiku itu nampak meneteskan air matanya."Bismillah, kita ke rumah bidan sekarang. Semoga saja apa yang kita pikirkan benar terjadi atas izin Allah." Doanya yang segera kuamini.
"Mas, aku mau tinggal di sini. Di rumah Ayah dan Ibu." Memang benar apa yang dikatakan suamiku ini, tapi aku sangat berat meninggalkan kota, di mana aku lahir dan dibesarkan. Mas Adnan terlihat terkejut, namun sekejap kemudian dia tersenyum bahagia."Insyaallah, di sini juga menyenangkan kok, Dek. Kamu juga bisa bantu Mas ngajar ngaji. Bayangkan setiap satu huruf yang kita ajarkan akan menjadi amal jariyah untuk kita selamanya."Aku tersenyum mendengarkan bujukan Mas Adnan, aku berasa jadi anak kecil. Dibujuk dan dirayu."Dan untuk Anam dan istrinya biarkan mereka bahagia menurut mereka. Tahu gak, kalau kita membuat orang lain bahagia, maka atas izin Allah kita juga akan dibahagiakan orang lain." Kembali aku dibuat tersenyum oleh lelaki dengan mata setajam elang ini."Bagaimana dengan rumahnya, Mas? Apa harus dijual?""Gak usah dijual, Dek. Sebulan atau dua bulan sekali kita ke sana untuk liburan. N
"Difa itu apanya kamu, Mas?" tanyaku, ketika tangannya mulai mengelus rambut hitamku."Sepupu, Dek. Kenapa?" Lelaki itu balik bertanya. Saat ini di tengah menoleh memperhatikan diri ini.Mas Adnan bertanya mengapa? Benar-benar laki-laki gak peka. Padahal tadi Hanin, sepupunya yang lain sedikit cerita tentang sepupunya yang bernama Difa itu."Menyebalkan," ucapku yang lebih mirip dengan gumaman."Siapa yang sudah membuatmu sebal, Dek? Sini bilang." Mas Adnan mencoba menggodaku dengan candaannya. Namun, hati ini sudah telanjur kesal, akhirnya aku pun berbaring memunggunginya.Mas Adnan tak lagi membujuk, lelakiku itu ikut berbaring, lalu memeluk tubuh ini dari belakang, posisi yang sangat kusukai karena aku merasa nyaman, aman dan yang pasti merasa dilindungi."Mas, tahu gak? Tekanan mental seberat apapun dari pihak ketiga untuk istri, tidak akan berpengaruh banyak jika suami menjadi tameng terdepan ba
Lagi, kata Mbak Sasa, Erna terlihat sangat bahagia semenjak aku pulang ke kampung. Namun, akhir-akhir ini wanita itu nampak murung kembali setelah mengetahui aku telah menikah. Hah?! Apa hubungannya?Setelah berhaha-hihi dengan mereka, aku pun berpamitan untuk undur diri. Saatnya meneruskan nulis untuk menambah bab cerita yang sedang on-going. Sampai entah kapan diri ini terlelap.Aku merasa terusik, saat merasakan seseorang tengah membetulkan letak tidurku. Tubuhku menggeliat setelah itu mata ini mengerjap, setelah mengamati sekejap akhirnya netra ini terbuka sempurna."Mas Adnan, kapan datang? Kok gak dibangunin sih?" tanyaku bercampur kaget."Baru saja datang, Dek. Maaf ya gara-gara mas tidur jadi terganggu. Habisnya melihatnya saja dadaku ikut ampek," ujarnya sambil meninggalkanku, kemudian dia melangkah ke kamar mandi.Kutengok jam di meja menunjukkan pukul setengah tiga, aku pun bangkit, beranjak dari kasur yang empuk dan nyaman ini
"Nanti sore saja kita ke rumah ibu. Sekalian nginap di sana. Setelah sampai di sana, baru kita berangkat ke kota. Aku berangkat dulu ya." Dia pun melajukan sepeda motornya setelah mengucapkan salam.Karena merasa sepi, sendirian di rumah, aku pun memutuskan untuk pergi ke pasar. Untuk membantu Ayah dan Ibu."Loh, nganten baru kok ke pasar sendirian?" tanya seorang ibu yang aku tahu orangnya, tapi gak tahu namanya."Iya, Bu," sahutku sambil tersenyum, berusaha bersikap ramah walaupun tak begitu mengenalnya."Gak, pa-pa, Nak. Memang suamimu itu orang sibuk, pekerja keras dia. Rajin, banyak yang menyukainya, eh dia malah jadi jodohmu." Ibu itu pun berlalu setelah berucap.Sebenarnya aku ingin padanya tentang apa sebenarnya pekerjaan Mas Adnan. Namun, aku mengurungkannya, khawatir wanita itu nanti malah berpikir yang tidak-tidak, masak seorang istri gak tahu pekerjaan suaminya. Aneh, kan?"Loh, Widya. Kamu kok kesini?" tanya Ayah sa
Aku terjaga ketika sayup-sayup mendengar sholawat tarhim dari masjid yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, bibir ini tak henti-hentinya tersenyum, jika mengingat kejadian semalam.Tunggu! Aku menoleh ke belakang. Namun tak kutemui Mas Adnan di belakangku. Kemana suamiku? Apa dia sudah bangun? Ah, malunya diriku jika memang seperti itu.Mas Adnan keluar dari kamar mandi, lelaki itu hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. Dia melihatku sekilas, lalu dengan santai memakai pakaian di hadapanku. Mungkin dia mengira aku masih tidur, atau dia sengaja mau menggodaku? Ah, sialnya aku yang malu sendiri dibuatnya.Aku masih pura-pura tertidur, mata ini masih terpejam, ketika dia mulai mendekat lalu duduk di sisi ranjang.Telapak tangannya yang besar mengelus rambutku, membenarkan beberapa rambut yang menutupi wajahku, menyelipkan beberapa helai anak rambut ke telinga lalu mengecup kening turun, terus turun ke bawah hingga sampai di bib*rk
"Alhamdulillah, dilanjut nggih?""Nggih ....""Dari episode indah Umar bin Khathab dalam bermuamalah dengan pasangannya, ada faidah penting yang bisa dijadikan acuan bagi keharmonisan pasutri.""Pertama, suami hendaklah mampu menahan diri. Sikap diamnya Umar bukan berarti ia tak membela diri, justru sebaliknya. Inilah sikap mulia seorang suami sekaligus sebagai pemimpin rumah tangga ia telah memberikan teladan dalam kebaikan akhlak.""Bukan pula ia membiarkan kesalahan istri, tapi saat situasi memanas, sama sekali tak kondusif untuk menasehati istri. Terlebih lagi ketika ia segera membalas kemarahan istri, maka yang terjadi adalah perang mulut dimana ledakan emosi-emosi negatif akan menjadikan keduanya terjebak dalam pertengkaran, karena masing-masing mengemukakan alasan.""Disinilah, sosok suami shalih harus mampu mengendalikan diri, menjaga keadaan tetap stabil sehingga tak membuka kesempatan sekecil apapun bagi setan untuk ma
"Ada apa, Yah, Bu?" Kenapa kalian senyam-senyum?""Senang aja, akhirnya akan ada lagi yang menjaga putri ibu, dan yang lebih membuat kami bahagia, kami sudah kenal dan tahu orangnya.""Doakan agar semua berkah ya, Bu, Yah." Seperti anak kecil aku pun menghambur ke pelukan ibu.**Semua sudah siap, tak ada pesta meriah, hanya ijab qobul yang akan kami lakukan di KUA.Setelah itu ibu akan mengadakan syukuran dan meminta doa dari kerabat serta tetangga dekat untuk keberkahan keluarga baruku.Doa dipanjatkan dengan khusus yang dipimpin oleh Mbah Moden. Tak lupa beberapa wejangan juga beliau berikan kepada kami."Menikah adalah sebuah proses menerima kekurangan pasangan yang tidak engkau temui ketika baru berkenalan dengannya.""Sesungguhnya menikah memerlukan perjuangan panjang dan lama, akan tetapi terasa indah."Setelah itu Mbah Moden yang merangkap seorang ustadz itu menceritakan tentang rumah tangga Say