Semua Bab MILIARDER yang TERTUNDA: Bab 1 - Bab 10

23 Bab

Dianggap Sampah

“Dasar sampah! Pergi kamu dari sini!” Kalimat yang terlontar dari mulut Ratna, ibu mertuanya, selalu terngiang di telinga Bara. Ketidaksengajaan menumpahkan minuman yang dibawa ternyata membuatnya dipermalukan tepat di acara ulang tahun pernikahan Alin, kakak ipar pertama, yang diadakan di taman belakang rumah. “Lelaki macam apa kamu? Bawa minuman saja tidak becus!” sahut Agnes, kakak ipar ke dua. “Maaf, saya tidak sengaja menumpahkannya.” Bara mencoba membela diri, meski ia tahu hanyalah sia-sia. “Kan, sudah saya bilang, kalau gembel tuh nggak usah belaga ikut pesta!” Ratna mendorong keras tubuh Bara. Bara hanya menunduk. Meski di dalam hati rasanya ingin mengutuk cemoohan keluarga istrinya itu. Para tamu undangan yang hadir pun seolah menghardiknya lewat tatapan. Sementara di atas panggung sepasang suami istri yang tengah merayakan hari jadi pernikahan itu pun menatap Bara penuh kebencian. Dari dalam rumahterlihat Andin, istri Bara, berlari tergopoh, menghampiri Bara. “Ada apa
Baca selengkapnya

Kemarahan Bara

Bara berdiri. Menyingkirkan kasar tangan yang masih mencekal. Sorot matanya menatap tajam sang istri yang berdiri di hadapan Reno. Rahangnya mengeras disertai dada yang naik turun saat melihat Andin menanyakan keadaan Reno. Tentu saja amarah dalam diri Bara semakin tinggi. Ingin kembali memukul Reno, tetapi terhalang oleh Andin. Sementara keluarga Abraham terlihat begitu ketakutan. Bagaimana tidak? Lelaki yang biasanya sabar dan menerima segala umpatan mereka, kini meluapkan amarah. Bukankah kemarahan orang yang sabar dan pendiam begitu menakutkan? Dan itu berlaku pula untuk Bara. “Apa-apaan, sih, Mas! Kenapa kamu main pukul segala!” bentak Andin mendorong pelan dada Bara. Mata merah Bara membelalak. “Kenapa kamu marah? Harusnya di sini aku yang marah!” Bara menekankan setiap kata. “Ngapain kamu marah! Reno ini tamu di rumah ini, Bar!” kilah Ratna tak mau kalah. Bara tersenyum remeh. Satu sudut bibirnya terangkat dengan tatapan merendahkan anggota keluarga Abraham, yang langsung
Baca selengkapnya

Bara Mahendra Dirgantara

Bara mengedikan bahu. Ia bangkit dari posisi duduk, lalu melangkah ke dalam kamar di lantai dua. Disusul oleh Andin di belakangnya sembari bermain ponsel. Meski begitu, Bara dan Andin masih tidur satu ranjang. Namun tersekat oleh guling. Walau dalam keadaan marah, Bara selalu teringat dengan pesan sang ibu sewaktu mereka baru menikah. “Semarah apa pun kamu, jangan sampai pisah ranjang, Bar.” Begitu kira-kira pesan sang ibu, Rima. *** Fajar menyingsing. Bara sibuk berbenah berangkat bekerja. Setelah sekiranya rapi, ia menuruni tangga, menyusul Andin yang sudah duduk di kursi meja makan dari tadi. “Ah, jadi nggak selera makan, nih, gara-gara lihat sampah!” Agnes menekankan kata sampah di dalamnya. “Aku juga udah kenyang. Pamit berangkat dulu, ya, semua.” Deni, suami agnes, bangkit mengecup kening Agnes lalu pergi dari tempat makan. Kedua sudut bibir Bara berkedut melihat tingkah laku Deni. Suami dari kakak ipar ke dua yang bekerja sebagai pejabat negara di kota besar itu memang s
Baca selengkapnya

Proyek Besar

Tangan lelaki tua itu terangkat. Memberi isyarat pada Supri untuk diam. Bola mata lelaki yang memakai pakaian kantor itu menatap punggung Bara yang mulai menghilang dari penglihatannya. “Cari tahu dia nama orang tua dan di mana dia tinggal!” perintah lelaki tua itu saat mobil yang dikendarai mulai melaju. Supri mengangguk. “Baik, Tuan.” Lelaki tua itu menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan. Sikunya ditumpu di atas jendela mobil belakang dengan jari mengusap-usap dagu. Bola mata yang seolah menemukan berlian itu tampak berbinar, disertai senyum tipis di wajahnya. Dengan kecepatan penuh, Bara sampai di kantor tepat waktu, meski harus mandi keringat di pagi hari karena berlari dengan kaki pincang. “Woy, Bro. Kenapa kaki elu pincang begitu? Habis digebuk sama bini?” celetuk Dion, tiba-tiba menghampiri meja Bara. Bara meraih map asal dan memukulkan ke kepala Dion. “Sembarangan banget lu kalau ngomong!” Dion terbahak melihat raut wajah kesal Bara. Sementara Bara hanya menata
Baca selengkapnya

Bekerja Bersama Musuh

“Reno?” Bara menatap lelaki yang tengah berjalan menghampirinya. Seluruh orang dari perusahaan Bara pun berdiri. Menyambut kehadiran lelaki yang menjadi klien-nya tersebut. Berbeda dengan perusahaan Bara, Reno menghadiri meeting kali ini hanya dengan sekretaris saja. “Ayo, Bar, berdiri. Dia klien kita!” perintah Pak Dirham berbisik. Dengan ragu, Bara pun bangkit. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. ‘Berhasilkah ia menjalankan proyek ini?’ Bara menatap kosong wajah Reno yang masih ada bekas memar dan sobekan di ujung bibir. Entah mimpi apa semalam ia sehingga dipertemukan klien yang baru saja dihajar semalam. “Selamat siang semua. Maaf menunggu lama,” ucap Reno, sembari menyalami satu persatu yang hadir di sana. “Tidak apa-apa, Pak. Kami juga baru saja sampai di sini beberapa saat, kok,” sahut salah satu Direktur perusahaan tempat Bara bekerja. Bola mata Bara menangkap wajah ceria penuh senyum ramah di gurat Reno. Mungkin memang Reno orang yang ramah. Namun, keramahannya
Baca selengkapnya

Si Lelaki Berpakaian Serba Hitam

Lelaki yang memegang kamera itu pun berlari. Tentu saja Bara mengejarnya. Dengan kecepatan full power, si lelaki berlari melewati lorong kecil di salah satu gang yang menembus rumah Bara. Mungkin hanya bisa dilewati orang yang berjalan kaki. Bahkan motor pun tak muat masuk lewat gang tersebut.“Woy! Berhenti lo! Siapa lo sebenarnya? Hah?” Bara berteriak sembari mengejar.Si lelaki berpakaian serba hitam tak mengindahkan ucapan Bara. Bahkan, ia menambah kecepatan berlari. Sesampainya di jalan raya, dengan wajah panik, mata si lelaki menelisik, mencari sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkannya.Ketika tangan Bara hampir menangkap baju si lelaki, sepeda motor bebek berwarna hitam tiba-tiba lewat tepat di depannya. Bersyukur, kendaraan roda dua itu tak menyentuh tubuh Bara, meskipun Bara harus terjatuh di tepi jalanan demi menyelamatkan dirinya.“Aish! Sial!” Bara menggeram, melihat si pengintai lolos di kejarannya dan membonceng motor tadi.Rasa sakit di kaki Bara kembali menjalar. Pada
Baca selengkapnya

Perjodohan yang Terlambat

Sontak, Bara dan Bu Sinta menyahut ucapan salam dari wanita itu, lalu mempersilakan masuk. “Eh, Bu Rima. Sini, Bu, duduk.” Bu Sinta menunjuk kursi kayu segi empat di sampingnya. “Iya, Bu. Ini, loh, Jeng. Saya mau jahit kain buat sarimbitan lusa.” Bu Rima meletakkan paper bag di atas meja kayu usang. Bu Sinta bangkit. Dengan senang, ia meraih paper bag itu, melihat sejenak, lalu memindahkannya di samping jahitan manual. “Untuk ukurannya sudah ada, ya, Jeng?” tanya Bu Rima, saat Bu Sinta membuka catatan ukuran berbentuk persegi panjang. “Iya, Bu, sudah ada,” jawab Bu Sinta sembari tersenyum. Bu Sinta dan Bu Rima sedikit bergurau. Mereka sibuk membicarakan model yang Bu Rima ingin dan selebihnya Bu Rima serahkan pada Bu Sinta.Sementara di kursi, Bara hanya menyimak pembicaraan mereka. Sesekali bibirnya tersenyum mendapati gurauan yang di luar kepala. Profesi Bu Sinta sebagai penjahit ini memang sudah bertahun-tahun sejak Bara masih SD. Makanya tak heran jika pelanggan Bu Sinta sud
Baca selengkapnya

Sosok Ayah

Bu Sinta dan Bara hanya saling menatap sejenak, lalu menunduk. Sibuk dengan pikiran masing-masing.Sementara Bu Rima yang melihat ada ketegangan di sana langsung terdiam. Ia merasa bersalah karena sudah menyinggung seseorang yang sudah meninggal.Bu Rima menutup mulutnya. “Maaf, Jeng. Nggak sengaja.”Bu Sinta tersenyum tipis. “Iya, nggak apa-apa, kok, Jeng.”Bara hanya terus menunduk. Ia pun tak tahu mengapa ibunya sesensitif itu jika disinggung soal sang ayah.“Maafin tante, ya, Bar. Tante nggak ada maksud buat nyinggung ayah kamu, kok,” ucap Bu Rima tulus.Bara mendongak. Kedua sudut bibirnya terangkat paksa. “Iya, Tan. Aku ngerti, kok.”Bu Rima tersenyum canggung. Sungguh demi apa pun, ia merasa tak enak sudah membuat kedua anak dan ibu menjadi murung. Padahal jelas terpatri saat ia datang, kedua wajah Bara dan Bu Santi bersinar cerah.Bahkan, dahulu Bara sering kali diantarkan ke kuburan pada Bu Sinta. Namun, Bu Sinta menolak dengan dalih letaknya jauh. Bahkan Bara yang ingin meli
Baca selengkapnya

Hasrat Terpendam BarAndin

Bergegas, Bara menepis pikiran buruk itu jauh-jauh. Ia percaya pasti ada alasan tertentu mengapa Bu Sinta tak memberi tahu tentang sosok sang ayah. Hanya saja Bu Sinta pernah mengatakan jika sifat, wajah, dan kecerdasan Bara memang sangat mirip dengan sang ayah.“Dari mana aja kamu? Kenapa kamu pulangnya telat? Habis selingkuh, ya?” Andin memberondong pertanyaan begitu Bara sampai di rumah.“Suami pulang, mbok, ya, disapa. Kok, malah dituduh macam-macam, sih?” gerutu Bara, mengendurkan dasi yang bertengger di lehernya.“Siapa yang nuduh?” Andin meletakkan ponselnya kasar di atas kasur. “Bedain, ya. Antara bertanya sama nuduh!”Bara mendengkus. Berdebat dengan Andin pasti tak ada ujungnya. Sementara tubuhnya sudah merasa sangat lelah. Ia pun bergegas meraih handuk dan berniat untuk membersihkan diri.“Mas! Kamu nggak jawab pertanyaan aku! Apa jangan-jangan itu benar? Kamu selingkuh?” Andin menaikkan satu oktaf suaranya.Bara mendesah. Langkahnya terhenti. “Aku habis dari rumah ibu.”Uc
Baca selengkapnya

Ujungnya Pakai Sabun

Bak terhipnotis ucapan Bara, Andin pun mengangguk. Membuat senyum miring di wajah Bara terpatri.Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Bara dengan sigap merengkuh tubuh Andin. Harum semerbak menyeruak indera penciuman Bara. Bara dan Andin yang memang tak saling menyentuh selama 6 bulan, merasa melayang saat ini. Bahkan suara ketukan pintu yang terdengar dari luar pun mereka abaikan.“Andin, Andin, kamu lagi ngapain, sih? Kok, pintunya nggak dibuka-buka?” Suara teriakan Bu Ratna sempat menghentikan aktifitas Bara dan Andin.Bara ingin sekali merutuki keluarga Abraham yang tak pernah membiarkan kesenangannya tercapai. Lelaki yang sudah berada di atas tubuh Andin ini kembali mengecup leher jenjang Andin.Namun kali ini, Andin menahannya. Sejenak, alisnya saling tertaut sembari mempertajam indera pendengarannya.“Kenapa?” tanya Bara dengan suara serak.“Kayaknya papah pulang, deh,” jawab Andin setelah terdiam beberapa menit.“Ya, udah. Biarin aja, Sayang.” Bara kembali mengecup bibir Andin.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status