Beranda / CEO / MILIARDER yang TERTUNDA / Bekerja Bersama Musuh

Share

Bekerja Bersama Musuh

Penulis: Dee Roro P
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Reno?” Bara menatap lelaki yang tengah berjalan menghampirinya.

Seluruh orang dari perusahaan Bara pun berdiri. Menyambut kehadiran lelaki yang menjadi klien-nya tersebut. Berbeda dengan perusahaan Bara, Reno menghadiri meeting kali ini hanya dengan sekretaris saja.

“Ayo, Bar, berdiri. Dia klien kita!” perintah Pak Dirham berbisik.

Dengan ragu, Bara pun bangkit. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya.

‘Berhasilkah ia menjalankan proyek ini?’

Bara menatap kosong wajah Reno yang masih ada bekas memar dan sobekan di ujung bibir. Entah mimpi apa semalam ia sehingga dipertemukan klien yang baru saja dihajar semalam.

“Selamat siang semua. Maaf menunggu lama,” ucap Reno, sembari menyalami satu persatu yang hadir di sana.

“Tidak apa-apa, Pak. Kami juga baru saja sampai di sini beberapa saat, kok,” sahut salah satu Direktur perusahaan tempat Bara bekerja.

Bola mata Bara menangkap wajah ceria penuh senyum ramah di gurat Reno. Mungkin memang Reno orang yang ramah. Namun, keramahannya pada sang istri itu membuat Bara merasa geram.

“Bara!” Pak Dirham menyenggol tubuh Bara.

Bara tersadar dari lamunan. Menatap arah pandang Pak Dirham yang ternyata tangan Reno sudah terulur di hadapannya.

Bara pun meraih uluran tangan Reno meski ada jeda beberapa detik. Berbeda dengan Reno yang terus tersenyum, wajah Bara terlihat datar dengan tatapan kosong.

“Senang bertemu denganmu,” ucap Reno ramah.

Tentu saja rekan kerja Bara bahagia mendengar kedekatan antara mereka.

“Apa kalian saling kenal?” tanya Pak Dirham.

Bara menggeleng. Sementara Reno mengiyakan pertanyaan Pak Dirham. Membuat wajah-wajah karyawan perusahaan yang hadir semakin sumringah.

“Berhubung CEO di perusahaan Dir Company ini sedang di luar kota, beliau memasrahkan proyek ini kepada kami.” Direktur utama perusahaan bersuara. “Jadi, perkenankan kami memulai presentasenya.”

Reno mengangguk dengan kedua sudut bibir terus menyungging. Sementara Bara hanya diam menyimak direktur perusahaannya melakukan presentase.

Setelah selesai, kini giliran Reno melakukan pertimbangan atas semua presentase. Ia mempertanyakan pertimbangan-pertimbangan yang ada dan Bara berhasil menjawab pertanyaan tersebut.

“Baiklah kalau begitu … senang bekerja sama dengan Anda.” Reno mengulurkan tangan di hadapan direktur utama perusahaan Bara.

Bara tersenyum. Ia senang karena Reno begitu professional dalam bekerja. Bahkan sampai detik ini, Reno tak mengatakan apa pun tentang pertikaian mereka.

Begitu direktur utama perusahaan Bara meraih uluran tangan Reno, gemuruh tepuk tangan menyeruak di ruangan tersebut.

“Terima kasih atas kepercayaan Anda, Pak Reno,” ucap direktur perusahaan.

Reno menepuk lengan sang direktur. Tatapannya beralih menatap Bara yang duduk sedikit jauh darinya.

“Ah, saya ada meminta satu syarat. Apa boleh?” Reno kembali menatap sang direktur.

“Tentu saja boleh, Pak. Bagaimana?” sahut sang direktur ramah.

Reno melepas uluran tangan, duduk dengan kaki menyila, mendekat ke arah meja, menatap lekat Bara, dan kedua siku bertumpu di atas meja.

“Saya ingin Bara yang langsung turun tangan untuk mengawasi proyek ini. Apa bisa?” tantang Reno, menaikan satu alis.

Bara terperanjat. Bola matanya mengedar ke seluruh karyawan perusahaan yang tengah mengangguk. Namun, ada pula yang hanya mengedip. Memberi isyarat Bara untuk mengiyakan tawaran Reno.

Dengan terpaksa, Bara pun akhirnya mengiyakan tawaran yang dominan tantangan itu. Andai saja Bara memiliki kekuasaan di sana, sudah dipastikan ia akan menolak mentah-mentah tawaran Reno.

Ada gurat mencurigakan di wajah Reno saat tertawa. Namun, Bara hanya diam dan berdoa supaya jalan dalam mengerjakan proyek tersebut dipermudah. Hanya itu saja.

“Kalau boleh tahu, wajah Pak Reno kenapa …. “ Pak Dirham menggantung kalimatnya, menunjuk wajahnya sendiri.

Dengan cepat, Bara menatap wajah Reno. Ia khawatir jika Reno akan mengatakan hal yang sebenarnya terjadi tadi malam. Sementara Reno tersenyum miring sembari mengusap sudut bibirnya.

“Oh … biasalah, Pak. Anak muda,” ucap Reno berbohong.

Bara menghembuskan napas lega. Lagi-lagi Reno tak membahas sedikit pun urusan pribadi antara mereka.

Setelah sejenak bercengkrama dan sedikit membahas proyek, Reno bangkit dan pamit untuk kembali ke kantor.

“Senang bekerja dengan Anda. Semoga proyek ini berjalan dengan lancar,” ucap Reno, begitu sampai di hadapan Bara dan menyalami tangannya.

Bara hanya terdiam. Dari tatapan Reno menunjukkan ada sesuatu yang tersirat dan kelicikan di dalamnya. Namun sayang, Bara tak bisa berbuat apa pun.

Setelah Reno pergi, seluruh karyawan di perusahaan tempat kerja Bara pun kembali ke kantor. Di sepanjang perjalanan, Bara hanya diam melamun, memikirkan proyek yang akan dikerjakan di bawah bayang-bayang Reno.

“Bara, berhubung kamu dan Reno sudah saling kenal, jadikan hubungan kalian semakin dekat.” Direktur perusahaan yang duduk di samping sopir bersuara.

Bara hanya diam. Larut dengan pikiran sendiri dengan tatapan kosong ke luar jendela. Melihat hal itu, salah satu karyawan yang duduk di sampingnya pun menyenggol Bara.

“I-iya, Pak,” ucap Bara bingung.

Direktur utama tersenyum sembari menggeleng-geleng. Ia mengulangi ucapan yang sama dan Bara hanya mengangguk. Mengiyakan ucapan sang direktur meski dalam hati berseberangan.

Waktu semakin bergulir cepat. Waktu bekerja telah usai. Seluruh karyawan mulai pergi dengan urusannya masing-masing. Sementara Bara masih sibuk berkemas.

“Bar, ikut gue, yok!” Dion tiba-tiba berdiri di samping Bara.

“Ke mana?” Bara tak mengalihkan pandangannya sedikit pun.

“Kerja tambahan,” jawab Dion sedikit berbisik.

Bara menghentikan pergerakannya. Menatap Dion yang masih berdiri di sampingnya. Tatapan kosong itu pun kembali menyergap Bara. Bayang-bayang Reno terlintas di pikirannya.

“Yee, malah bengong. Ayok, lu ikut enggak?” Dion menepuk bahu Bara.

“Enggak, deh. Gue mau ke rumah ibu gue,” tolak Bara halus.

"Ya, udah. Gue cabut dulu, ya." Dion berlalu meninggalkan Bara yang masih duduk di kursi kerja.

Di tempat Bara duduk, ia menatap punggung Dion yang mulai menghilang dari penglihatannya. Ada keraguan dalam benak Bara, memilih antara mencari pekerjaan sampingan atau bekerja bersama musuh?

Bara pun bangkit. Berjalan ke halaman parki, menyalakan sepeda motor dan meluncurkan ke rumah sang ibu.

Niat hati Bara untuk mampir sejenak ke tempat sang ibu demi membayar rasa rindu yang singgah di hatinya ternyata kesampaian. Lantaran sudah dua minggu ia tak bertemu dengan wanita yang melahirkannya tersebut.

Ketika sepeda motor Bara memasuki halaman rumah sang ibu, netranya menangkap ada seorang lelaki berpakaian serba hitam tengah berdiri di bawah pohon randu. Gerak-geriknya menimbulkan kecurigaan di benak Bara.

"Woy, siapa lu?" teriak Bara tepat setelah membuka helm.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iis Aisyah
lah dugaan ku meleset Oke bar hadapi reno dengan sabar dan ikhlas semangat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Si Lelaki Berpakaian Serba Hitam

    Lelaki yang memegang kamera itu pun berlari. Tentu saja Bara mengejarnya. Dengan kecepatan full power, si lelaki berlari melewati lorong kecil di salah satu gang yang menembus rumah Bara. Mungkin hanya bisa dilewati orang yang berjalan kaki. Bahkan motor pun tak muat masuk lewat gang tersebut.“Woy! Berhenti lo! Siapa lo sebenarnya? Hah?” Bara berteriak sembari mengejar.Si lelaki berpakaian serba hitam tak mengindahkan ucapan Bara. Bahkan, ia menambah kecepatan berlari. Sesampainya di jalan raya, dengan wajah panik, mata si lelaki menelisik, mencari sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkannya.Ketika tangan Bara hampir menangkap baju si lelaki, sepeda motor bebek berwarna hitam tiba-tiba lewat tepat di depannya. Bersyukur, kendaraan roda dua itu tak menyentuh tubuh Bara, meskipun Bara harus terjatuh di tepi jalanan demi menyelamatkan dirinya.“Aish! Sial!” Bara menggeram, melihat si pengintai lolos di kejarannya dan membonceng motor tadi.Rasa sakit di kaki Bara kembali menjalar. Pada

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Perjodohan yang Terlambat

    Sontak, Bara dan Bu Sinta menyahut ucapan salam dari wanita itu, lalu mempersilakan masuk. “Eh, Bu Rima. Sini, Bu, duduk.” Bu Sinta menunjuk kursi kayu segi empat di sampingnya. “Iya, Bu. Ini, loh, Jeng. Saya mau jahit kain buat sarimbitan lusa.” Bu Rima meletakkan paper bag di atas meja kayu usang. Bu Sinta bangkit. Dengan senang, ia meraih paper bag itu, melihat sejenak, lalu memindahkannya di samping jahitan manual. “Untuk ukurannya sudah ada, ya, Jeng?” tanya Bu Rima, saat Bu Sinta membuka catatan ukuran berbentuk persegi panjang. “Iya, Bu, sudah ada,” jawab Bu Sinta sembari tersenyum. Bu Sinta dan Bu Rima sedikit bergurau. Mereka sibuk membicarakan model yang Bu Rima ingin dan selebihnya Bu Rima serahkan pada Bu Sinta.Sementara di kursi, Bara hanya menyimak pembicaraan mereka. Sesekali bibirnya tersenyum mendapati gurauan yang di luar kepala. Profesi Bu Sinta sebagai penjahit ini memang sudah bertahun-tahun sejak Bara masih SD. Makanya tak heran jika pelanggan Bu Sinta sud

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Sosok Ayah

    Bu Sinta dan Bara hanya saling menatap sejenak, lalu menunduk. Sibuk dengan pikiran masing-masing.Sementara Bu Rima yang melihat ada ketegangan di sana langsung terdiam. Ia merasa bersalah karena sudah menyinggung seseorang yang sudah meninggal.Bu Rima menutup mulutnya. “Maaf, Jeng. Nggak sengaja.”Bu Sinta tersenyum tipis. “Iya, nggak apa-apa, kok, Jeng.”Bara hanya terus menunduk. Ia pun tak tahu mengapa ibunya sesensitif itu jika disinggung soal sang ayah.“Maafin tante, ya, Bar. Tante nggak ada maksud buat nyinggung ayah kamu, kok,” ucap Bu Rima tulus.Bara mendongak. Kedua sudut bibirnya terangkat paksa. “Iya, Tan. Aku ngerti, kok.”Bu Rima tersenyum canggung. Sungguh demi apa pun, ia merasa tak enak sudah membuat kedua anak dan ibu menjadi murung. Padahal jelas terpatri saat ia datang, kedua wajah Bara dan Bu Santi bersinar cerah.Bahkan, dahulu Bara sering kali diantarkan ke kuburan pada Bu Sinta. Namun, Bu Sinta menolak dengan dalih letaknya jauh. Bahkan Bara yang ingin meli

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Hasrat Terpendam BarAndin

    Bergegas, Bara menepis pikiran buruk itu jauh-jauh. Ia percaya pasti ada alasan tertentu mengapa Bu Sinta tak memberi tahu tentang sosok sang ayah. Hanya saja Bu Sinta pernah mengatakan jika sifat, wajah, dan kecerdasan Bara memang sangat mirip dengan sang ayah.“Dari mana aja kamu? Kenapa kamu pulangnya telat? Habis selingkuh, ya?” Andin memberondong pertanyaan begitu Bara sampai di rumah.“Suami pulang, mbok, ya, disapa. Kok, malah dituduh macam-macam, sih?” gerutu Bara, mengendurkan dasi yang bertengger di lehernya.“Siapa yang nuduh?” Andin meletakkan ponselnya kasar di atas kasur. “Bedain, ya. Antara bertanya sama nuduh!”Bara mendengkus. Berdebat dengan Andin pasti tak ada ujungnya. Sementara tubuhnya sudah merasa sangat lelah. Ia pun bergegas meraih handuk dan berniat untuk membersihkan diri.“Mas! Kamu nggak jawab pertanyaan aku! Apa jangan-jangan itu benar? Kamu selingkuh?” Andin menaikkan satu oktaf suaranya.Bara mendesah. Langkahnya terhenti. “Aku habis dari rumah ibu.”Uc

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Ujungnya Pakai Sabun

    Bak terhipnotis ucapan Bara, Andin pun mengangguk. Membuat senyum miring di wajah Bara terpatri.Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Bara dengan sigap merengkuh tubuh Andin. Harum semerbak menyeruak indera penciuman Bara. Bara dan Andin yang memang tak saling menyentuh selama 6 bulan, merasa melayang saat ini. Bahkan suara ketukan pintu yang terdengar dari luar pun mereka abaikan.“Andin, Andin, kamu lagi ngapain, sih? Kok, pintunya nggak dibuka-buka?” Suara teriakan Bu Ratna sempat menghentikan aktifitas Bara dan Andin.Bara ingin sekali merutuki keluarga Abraham yang tak pernah membiarkan kesenangannya tercapai. Lelaki yang sudah berada di atas tubuh Andin ini kembali mengecup leher jenjang Andin.Namun kali ini, Andin menahannya. Sejenak, alisnya saling tertaut sembari mempertajam indera pendengarannya.“Kenapa?” tanya Bara dengan suara serak.“Kayaknya papah pulang, deh,” jawab Andin setelah terdiam beberapa menit.“Ya, udah. Biarin aja, Sayang.” Bara kembali mengecup bibir Andin.

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Gangguan Andin

    "Ma-mau apa maksudnya, Kak?" tanya Andin tergagap.“Kok, kamu mau, sih, berhubungan badan sama orang yang nggak bisa nyukupin kebutuhan kamu, Ndin?” Alin berdecak, menyilangkan kedua tangan di depan dada.Jika sudah diremehkan seperti ini, Andin akan memilih bungkam dan enggan memperdebat pemikiran kedua kakaknya yang didukung oleh sang ibu tersebut.Dan inilah sebenarnya alasan Andin tak mau melakukan hubungan dengan sang suami. Meskipun sudah disembunyikan sedemikian rupa, entah kenapa kedua kakaknya pasti akan mengetahui, lalu mengolok-oloknya.Sementara di dalam kamar mandi, Bara tengah menyelesaikan kegiatannya. Sekiranya cukup lega, Bara kembali mandi dengan cepat.“Lagi dingin-dingin, udah mandi dua kali aja!” gerutu Bara sembari melangkah ke ranjang. “Mana nggak jadi buat anak!”Bara memakai pakaian yang sudah sempat diambil sebelumnya dan diletakkan di tepi ranjang tadi. Sekelebat, bayangan pakaian dalam Andin melintas di pikirannya. Membuat Bara kesulitan menelan salivanya.

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Bekerja di Bawah Saingan

    Entah mendapat keberanian dari mana Bara mengatakan hal tersebut. Padahal selama ia menikah dengan Andin, tak sedikit pun Bara mengatakan hal kasar, nada tinggi, atau bahkan membawa kata wanita lain di dalam perdebatan mereka.Namun kali ini, saking muaknya Bara dengan tingkah laku Andin yang selalu ingin dituruti tanpa mau memahami dirinya, hingga terlontarlah kata tersebut dari mulut Bara entah disengaja atau tidak.“Oh, jadi gitu?” Andin bangkit dari posisi, sembari menatap kesal Bara. “Udah ngasih uang berapa kamu, Mas? Sampai berani-beraninya berkata seperti itu?”Bara membelalak. Kedua alisnya terangkat. Tak mengerti dengan ucapan Andin.“Berkata seperti itu gimana, Ndin?” Bara meletakkan laptop di atas meja kaca dan menggenggam tangan Andin.“Bawa-bawa wanita lain itu maksudnya apa?” pekik Andin, menepis tangan Bara.Bara mengangkat satu alis. “Kamu cemburu?”Andin menggeleng cepat. Kedua tangannya melipat sembari menatap remeh Bara yang masih duduk di sofa dengan lapisan kulit

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Lingerie Merah

    "Enggak sama sekali!" Bara menekankan di setiap kata.Andin membelalak, tak percaya dengan ucapan Bara."Tunggu aja! Aku bakal lebih sukses dari dia!" geram Bara, dengan gigi gemeletuk.Bahkan menyebut nama Reno saja, Bara enggan. Menurut lelaki berumur 30 tahun lebih itu sangat muak mendengar pujian-pujian Andin pada Reno."Apa?" Andin tertawa, terbahak. Bak mengejek perkataan Bara. "Kerjaan kamu aja kayak gini! Udahlah kamu nggak ada gunanya! Gimana caranya kamu bisa ngalahin Reno, Mas?"Bara hanya menunduk. Bekerja di bawah tekanan siapa pun tak pernah membuat diri Bara merasa malu sedikit pun. Akan tetapi, entah mengapa bekerja sama di bawah tekanan dan bayang-bayang Reno membuat harga dirinya seolah terinjak.“Wuih, keren, ya, Reno. Masih muda tapi udah punya perusahaan sendiri,” celetuk Andin, masih sibuk berselancar di situs internet.Mendengar sang istri membangga-banggakan lelaki lain tentu saja membuat hati Bara tersayat. Bahkan ia tak mampu lagi memusatkan pikiran pada peke

Bab terbaru

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Menuntut Penjelasan

    “Kali ini kenapa Anda ingin saya menempati rumah mewah ini?” sambung Bara, mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah.“Saya tidak bermaksud menelantarkan kamu dan ibu kamu, Bar, tapi …. “ Pak Dirgantara menggantung kalimatnya.“Tapi apa, Pak? Apa Bapak akan bilang karena takut harta Anda saya minta satu sen?” tuduh Bara serta-merta.Sontak, Pak Dirgantara menggeleng. Rasa bersalah yang selama ini bersarang dalam hati semakin besar melihat amarah Bara.Sementara Bara semakin kalut dengan pikirannya sendiri. Bara sama sekali tak berpikiran untuk meminta harta Pak Dirgantara. Sekali pun sang kakek itu miskin, Bara akan menerima kehadirannya dengan hati terbuka. Apa salah jika Bara mengetahui keluarga aslinya?Dengan kekuatan dan kekayaan yang dimiliki Pak Dirgantara, Bara yakin 100% bahwa Pak Dirgantara dengan mudah akan menemukan keberadaannya. Akan tetapi, Pak Dirgantara seolah tak menginginkan kehadiran sosok cucu kecilnya.Pak Dirgantar mengambil satu foto yang terpajang di buffet

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Sebuah Pengungkapan

    Pak Dirgantara terdiam sejenak dengan tatapan tajam lurus ke arah Bara. Sedetik kemudian, satu sudut bibirnya terangkat, lalu mengangguk.“Ya, nama saya Dirgantara,” jawab Pak Dirgantara penuh penekanan.Bara terperanjat. Lidahnya sedikit kelu dengan napas yang tercekat. Namun, ia menepis jauh-jauh pikiran tentang kesamaan nama Bara dan Pak Dirgantara.‘Mungkin ada banyak nama Dirgantara di negeri ini,’ pikir Bara.“Apa kamu terkejut?” tebak Pak Dirgantara tepat sasaran.Bara mengangguk ragu. Memang Bu Sinta tak pernah menunjukkan foto atau bahkan kenangan snag ayah. Namun, Bu Sinta tak menutup-nutupi makam sang ayah. Dan setiap tahun, Bara rutin mengunjungi makan yang letaknya lumayan jauh dari rumah ibunya.Bara dapat melihat dengan jelas di batu nisan itu bahwa makan ayahnya tertulis nama Mahendra Dirgantara. Lalu, apa hubungan nama Dirgantara yang tersemat di bagian belakang nama Bara? “Apa yang membuatmu terkejut?” Pak Dirgantara memicingkan mata.Bara tersenyum tipis. Entah kena

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Curahan Hati Bara

    Bara menatap bergantian Pak Dirgantara dan Supri. Sementara Supri hanya tersenyum, melihat tingkah polos Bara.“Kamu di sini saja, Mas Bara. Tenang saja, Tuan itu baik,” ujar Supri sembari tersenyum. “Lagian saya ada urusan sebentar.”Bara pun mengangguk mendengar penjelasan Supri. Tatapannya beralih pada Pak Dirgantara yang tengah duduk dengan kaki menyilang.Hening. Bara hanya menunduk karena merasa canggung dan tak enak hati berada di rumah mewah yang mungkin tak seharusnya disinggahi. Sementara Pak Dirgantara terus mengamati wajah Bara dengan seulas senyuman.“Eum, maaf. Kenapa Bapak menatap saya seperti itu, ya?” tanya Bara tak enak.Pak Dirgantara hanya tertawa pelan. Saking pelannya, tawa itu cenderung mengarah ke kekehan. Ia menggelengkan kepala, tak menyangka jika takdir akan membawanya sampai detik ini.“Saya hanya tidak menyangka jika takdir akan memihak kepada saya,” jawab Pak Dirgantara lirih, tetapi masih didengar oleh Bara.Bara mengernyit. Tak mengerti dengan ucapan P

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Rumah Mewah Pak Dirgantara

    Bara mengangguk pelan. Menatap pria tua bertubuh tinggi besar dengan seksama. Kemudian, ingatannya terputar saat ia menabrak mobil mewah yang baru saja ditumpangi.“Oh, Bapak itu?” Bara menunjuk Pak Dirgantara, kemudian beralih menunjuk ke luar. “Dan mobil itu?”Pak Dirgantara hanya tersenyum. Sontak, Bara menoleh, menuntut jawaban dari Supri.“Benar. Mobil yang kamu tumpangi tadi adalah mobil yang kamu tabrak tempo lalu,” jelas Supri, membuat Bara terkejut.Bara gusar. Ia merasa bersalah pada Pak Dirgantara yang begitu baik menolongnya. Sementara Pak Dirgantara yang mengamati wajah babak belur Bara pun khawatir."Bapak masih ingat nama saya?" Bara menunjuk dirinya sendiri.Pak Dirgantara tersenyum. "Tentu saja. Saya tidak akan pernah lupa nama kamu dari dulu."Bara mengernyit. Ia tak tahu maksud Pak Dirgantara mengatakan dari dulu. Dari dulu kapan? Padahal, ia dan Pak Dirgantara baru saja bertemu.“Wajah kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu?” Pak Dirgantara mendekat, menyentu

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Seonggok Sampah di Rumah Mewah

    Supri melirik Bara dari balik cermin, kemudian kembali fokus menyetir. “Kata kamu terserah saya yang penting jangan pulang dan ke rumah sakit, kan?”Bara terdiam. Rasa sakit itu perlahan mulai hilang saat Bara fokus mengamati jalanan yang hendak memasuki perumahan mewah.Kendaraan roda empat yang Bara tumpangi itu mulai memasuki halaman rumah dengan gerbang besar yang terbuka otomatis. Tak cukup sampai di sana. Bahkan, mobil yang Supri kendarai harus melewati taman dengan pohon cemara di sepanjang jalan yang lumayan panjang sebelum sampai tepat di depan rumah.“Sudah sampai, Mas. Saya bawa kamu ke rumah majikan saya. Karena saya tinggal di sini.” Supri keluar dari pintu kemudi, lalu bergegas membuka pintu belakang.Tak dapat dipungkiri, tatapan takjub Bara tunjukkan begitu melihat dengan jelas rumah mewah berwarna putih dengan tangga di teras. Bahkan, rasa sakit yang menimpanya kini lenyap begitu saja entah ke mana.“Ru-rumah siapa ini, Pak?” Bara tergagap, setia menatap takjub rumah

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Keberuntungan Bara

    Dengan tertatih, Bara berusaha bangkit dan berjalan sempoyongan ke arah jalan raya yang tak begitu jauh lokasinya. Kali ini, Bara memutuskan untuk tak buru-buru kembali ke rumah karena tak mau ibunya khawatir.“Awwh! Ssh!” Bara meringis kesakitan dan tersungkur di trotoar.Tubuh Bara terasa ngilu. Tanpa sadar, lelaki yang tengah berteriak itu meneteskan air mata. Ia meluapkan segala amarah dan rasa sakit secara bersamaan. Kaki Bara tak sengaja menendang botol kaleng yang ada di sampingnya dan mendarat di jalan raya.Tepat saat itu, mobil sedan mewah berwarna hitam itu hendak lewat. Dari dalam kaca mobil, si sopir melihat Bara masih telentang sembari memegang perut.“Anak muda sekarang kenapa suka sekali mabuk?” gumam Supri, yang ternyata adalah pengendara mobil mewah tersebut.Entah kenapa meski pikiran menentang, naluri Supri ingin sekali menolong lelaki. Supri pun menepikan mobil mewah yang dikendarainya dan berjalan ke arah Bara.“Mas, Mas!” Supri menggoyang-goyangkan badan Bara da

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Dibuang bak Sampah

    Bara bukanlah pria yang sama sekali tak bisa melawan Pak Abraham. Ia hanya takut jika dirinya melawan, Pak Abraham akan memanggil para pesuruh untuk datang ke rumah dan melenyapkan nyawanya.“Usir saja dia dari rumah ini, Pah!” pekik Bu Ratna, menghentikan pukulan Pak Abraham.Pak Abraham mengangguk-angguk. “Kamu benar! Lagian untuk apa melihara lelaki yang tidak berguna sama sekali!”Bara meringis kesakitan. Memegang perut yang terasa sangat nyeri. Bahkan wajahnya pun sudah tak berbentuk lagi.Pak Abraham menatap Tio dan mengintruksi untuk membawa Bara keluar dari rumah. Dengan sigap, menantu pertamanya itu mencengkram kuat kerah Bara dan menyeretnya keluar rumah.“Ndin, Andin?” Bara merintih kesakitan, menatap nanar Andin, mengisyaratkan bahwa dirinya butuh pertolongan.Andin hanya menatap Bara. Lagi-lagi, ia tak ada niat sedikit pun untuk menolong sang suami itu. Sementara Agnes, Alin, dan Bu Ratna mengekor di belakang Pak Abraham.“Pergi kamu dari sini! Dasar lelaki sampah nggak b

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Serangan Pak Abraham

    Bara bangkit dari posisi duduk, hendak mendekat ke arah Agnes. Namun, belum saja sampai, Pak Abraham sudah terlebih dahulu menarik baju bagian belakang Bara.“Jangan macam-macam kamu sama anak saya, Bar!” bentak Pak Abraham, begitu Bara tergeletak di lantai.Mata Bara membelalak. Baru saja Bara hendak bangkit, Pak Abraham sudah mendaratkan pukulan ke pipi Bara.“Aku hanya membuktikan bahwa aku tidak salah, Pak!” Bara menghalangi wajah dari pukulan ke dua Pak Abraham.Pak Abraham tak sedikit pun mengindahkan ucapan Bara. Lelaki berpostur tubuh tegap di usianya yang sudah menginjak setengah abad itu terus menyerang Bara dengan pukulan, hingga sudut bibir Bara sedikit sobek dan mengeluarkan sedikit darah.Melihat Bara terus meringis, Pak Abraham menghentikan pukulan, seraya membentak. “Apa sekarang kamu masih tidak mau mengaku? Hah?”Bara menggeleng. Lelaki yang masih tersungkur dengan luka lebam di kedua pipi itu tetap kekeuh dengan pendiriannya. Tak sudi sama sekali untuk mengakui perb

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Semakin Tersudut

    “Ada apa, sih? Malam-malam berisik aja?” Suara Pak Abraham menggema, begitu hendak sampai di dapur.Agnes sedikit berlari dan memeluk Bu Ratna. Sementara Andin dan Bara masih berdiri di tempat tanpa melepas pandangan.“Bara mau memperkosa aku, Mah,” ucap Agnes terisak dan berbohong.Seluruh keluarga Abraham terperanjat. Dengan serta-merta, mereka menuduh Bara yang tidak-tidak dan memilih mempercayai putri ke dua mereka.“Kamu pikir kamu siapa di sini? Hah? Berani-beraninya kamu mau memperkosa anak saya! Dasar bajingan!” Bu Ratna memberi pukulan bertubi pada Bara yang sudah duduk di sofa ruang keluarga.“Mah, aku nggak salah! Aku sama sekali nggak memperkosa Kak Agnes! Bahkan nyentuh aja enggak!” kilah Bara, sembari menghalangi pukulan Bu Ratna.“Mah, sudah, Mah. Hentikan! Kita dengerin dulu penjelasan ini!” perintah Pak Abraham tak terbantah. “Jika benar dia melakukan itu, Papah sendiri yang akan menghukumnya.”Sontak, Bu Ratna pun menghentikan pukulan itu. Andin yang duduk di samping

DMCA.com Protection Status