Lelaki yang memegang kamera itu pun berlari. Tentu saja Bara mengejarnya. Dengan kecepatan full power, si lelaki berlari melewati lorong kecil di salah satu gang yang menembus rumah Bara. Mungkin hanya bisa dilewati orang yang berjalan kaki. Bahkan motor pun tak muat masuk lewat gang tersebut.
“Woy! Berhenti lo! Siapa lo sebenarnya? Hah?” Bara berteriak sembari mengejar.Si lelaki berpakaian serba hitam tak mengindahkan ucapan Bara. Bahkan, ia menambah kecepatan berlari. Sesampainya di jalan raya, dengan wajah panik, mata si lelaki menelisik, mencari sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkannya.Ketika tangan Bara hampir menangkap baju si lelaki, sepeda motor bebek berwarna hitam tiba-tiba lewat tepat di depannya. Bersyukur, kendaraan roda dua itu tak menyentuh tubuh Bara, meskipun Bara harus terjatuh di tepi jalanan demi menyelamatkan dirinya.“Aish! Sial!” Bara menggeram, melihat si pengintai lolos di kejarannya dan membonceng motor tadi.Rasa sakit di kaki Bara kembali menjalar. Padahal waktu Bara mengejar si pengintai, kakinya terasa baik-baik saja. Aneh memang, tetapi itulah yang Bara rasakan.Dengan tertatih, Bara bangkit dan kembali melangkah ke rumah sang ibu meski jalannya pincang.“Loh, Bar? Habis dari mana kamu?” tanya wanita paruh baya yang sudah berdiri di depan rumah.Bara tersenyum sedikit meringis, memegang kaki kiri yang terasa ngilu. Dengan sigap, wanita paruh baya itu memapah tubuh Bara.“Kaki kamu kenapa?” tanya ibu Bara, Bu Sinta, sedikit khawatir.“Nggak apa-apa, Bu. Tadi cuma terkilir aja,” jawab Bara berbohong.Bu Sinta mendesah. Ia menuntun Bara duduk di kursi kayu berbentuk segi panjang dan berlalu mengambil minyak zaitun di kamar. Sementara Bara melepas sepatu dan meluruskan kaki di atas kursi panjang itu.“Coba ibu cek.” Bu Sinta meraih kaki kiri Bara dan meletakkan di atas pangkuan. “Kamu sendirian ke sini?”Bara mengiyakan pertanyaan sang ibu dengan anggukan kepala. Tak mau Bu Sinta salah paham, Bara pun menjelaskan bahwa dirinya habis pulang kerja."Oh, iya, Bu. Tadi Ibu lihat ada orang yang ke sini, enggak?" Bara masih penasaran dengan sosok lelaki itu.Dahi Bu Sinta mengernyit. Tak mengerti dengan apa yang Bara ucapkan. Sedetik kemudian Bu Sinta mengangguk. Membuat bola mata Bara membelalak."Siapa, Bu? Cowok? Ada urusan apa ke sini? Apa dia mengancam Ibu? Atau Ibu ada yang terluka?" Bara memberondong pertanyaan sembari menelisik tangan dan kaki sang ibu.Bu Sinta menyingkirkan tangan Bara sembari tertawa, menatap aneh putranya yang terlihat begitu mengkhawatirkan."Enggak ada apa-apa, kok. Orang tadi yang ke sini cuma yang mau jahit aja." Mendengar penuturan Bu Sinta, Bara menghela napas lega."Udah. Sini ibu pijat kakinya yang terkilir." Bu Sinta kembali meraih kaki Bara.Bara menurut. Selain merindukan sang ibu, tujuan Bara selanjutnya memang ingin dipijat Bu Sinta. Karena menurutnya, tak ada yang bisa menandingi pijatan sang ibu.“Bar, kamu bohong sama ibu. Ini, mah, bukan terkilir.” Bu Sinta menatap intimidasi Bara. “Kamu jujur sama ibu, Bar.”Bara meringis sembari menggaruk tengkuk leher. Sedari kecil, setiap kali Bara berbohong memang selalu diketahui oleh Bu Sinta. Bara juga bingung, apakah dia yang tak pandai berbohong? Atau ibunya yang terlalu cerdas?“Tadi pagi aku habis nabrak mobil, Bu,” jawab Bara jujur.Bu Sinta mengangguk-angguk. Meski sedikit khawatir, setidaknya ia tahu kondisi Bara saat ini baik-baik saja. Ia pun dengan telaten memijat kaki Bara.“Tadi ibu dengar kamu teriak-teriak. Ada apa, Bar?” tanya Bu Sinta penasaran.Bara terdiam. Bola matanya menatap lekat wajah cantik yang mulai keriput. Ingin rasanya mengatakan bahwa ada orang yang mengintai Bu Sinta. Akan tetapi, ia tak mau membuat ibunya khawatir.“Bukan apa-apa, kok, Bu. Tadi ada orang mencurigakan yang mau nyelonong masuk ke rumah tetangga sebelah,” beber Bara berbohong.Bu Sinta mengangguk-angguk, percaya dengan ucapan Bara. Meski ada sedikit keraguan dalam benaknya. Namun, ia tak ingin bertanya lebih detail.Bangunan separuh bata dengan kalsibot di atasnya itu memberi kenyamanan tersendiri untuk Bara. Meskipun rumah ini sepuluh kali lipat lebih kecil dari milik sang mertua, tetapi di sini lah ia merasa damai.“Bu, ibu punya foto ayah enggak?” tanya Bara tiba-tiba.Bu Sinta mengernyit. Menatap selidik Bara. “Kenapa kamu tanya itu lagi? Kita udah pernah bahas itu, Bar!”Melihat raut wajah Bu Sinta yang berubah menjadi ketus, sedikit membuat nyali Bara beringsut. Sebenarnya sudah berulang kali menanyakan itu dan berakhir Bu Sinta yang enggan memberi tahu Bara.“Nggak apa-apa, Bu.” Bara mengalah dan tak mau berdebat.Kedatangan Bara ke rumah sang ibu hanya untuk melepas rindu. Ia tak mau menyinggung perasaan Bu Sinta sedikit pun.“Assalamualaikum.” Suara feminim terdengar dari arah luar rumah Bu Sinta.Sontak, Bara dan Bu Sinta menyahut ucapan salam dari wanita itu, lalu mempersilakan masuk. “Eh, Bu Rima. Sini, Bu, duduk.” Bu Sinta menunjuk kursi kayu segi empat di sampingnya. “Iya, Bu. Ini, loh, Jeng. Saya mau jahit kain buat sarimbitan lusa.” Bu Rima meletakkan paper bag di atas meja kayu usang. Bu Sinta bangkit. Dengan senang, ia meraih paper bag itu, melihat sejenak, lalu memindahkannya di samping jahitan manual. “Untuk ukurannya sudah ada, ya, Jeng?” tanya Bu Rima, saat Bu Sinta membuka catatan ukuran berbentuk persegi panjang. “Iya, Bu, sudah ada,” jawab Bu Sinta sembari tersenyum. Bu Sinta dan Bu Rima sedikit bergurau. Mereka sibuk membicarakan model yang Bu Rima ingin dan selebihnya Bu Rima serahkan pada Bu Sinta.Sementara di kursi, Bara hanya menyimak pembicaraan mereka. Sesekali bibirnya tersenyum mendapati gurauan yang di luar kepala. Profesi Bu Sinta sebagai penjahit ini memang sudah bertahun-tahun sejak Bara masih SD. Makanya tak heran jika pelanggan Bu Sinta sud
Bu Sinta dan Bara hanya saling menatap sejenak, lalu menunduk. Sibuk dengan pikiran masing-masing.Sementara Bu Rima yang melihat ada ketegangan di sana langsung terdiam. Ia merasa bersalah karena sudah menyinggung seseorang yang sudah meninggal.Bu Rima menutup mulutnya. “Maaf, Jeng. Nggak sengaja.”Bu Sinta tersenyum tipis. “Iya, nggak apa-apa, kok, Jeng.”Bara hanya terus menunduk. Ia pun tak tahu mengapa ibunya sesensitif itu jika disinggung soal sang ayah.“Maafin tante, ya, Bar. Tante nggak ada maksud buat nyinggung ayah kamu, kok,” ucap Bu Rima tulus.Bara mendongak. Kedua sudut bibirnya terangkat paksa. “Iya, Tan. Aku ngerti, kok.”Bu Rima tersenyum canggung. Sungguh demi apa pun, ia merasa tak enak sudah membuat kedua anak dan ibu menjadi murung. Padahal jelas terpatri saat ia datang, kedua wajah Bara dan Bu Santi bersinar cerah.Bahkan, dahulu Bara sering kali diantarkan ke kuburan pada Bu Sinta. Namun, Bu Sinta menolak dengan dalih letaknya jauh. Bahkan Bara yang ingin meli
Bergegas, Bara menepis pikiran buruk itu jauh-jauh. Ia percaya pasti ada alasan tertentu mengapa Bu Sinta tak memberi tahu tentang sosok sang ayah. Hanya saja Bu Sinta pernah mengatakan jika sifat, wajah, dan kecerdasan Bara memang sangat mirip dengan sang ayah.“Dari mana aja kamu? Kenapa kamu pulangnya telat? Habis selingkuh, ya?” Andin memberondong pertanyaan begitu Bara sampai di rumah.“Suami pulang, mbok, ya, disapa. Kok, malah dituduh macam-macam, sih?” gerutu Bara, mengendurkan dasi yang bertengger di lehernya.“Siapa yang nuduh?” Andin meletakkan ponselnya kasar di atas kasur. “Bedain, ya. Antara bertanya sama nuduh!”Bara mendengkus. Berdebat dengan Andin pasti tak ada ujungnya. Sementara tubuhnya sudah merasa sangat lelah. Ia pun bergegas meraih handuk dan berniat untuk membersihkan diri.“Mas! Kamu nggak jawab pertanyaan aku! Apa jangan-jangan itu benar? Kamu selingkuh?” Andin menaikkan satu oktaf suaranya.Bara mendesah. Langkahnya terhenti. “Aku habis dari rumah ibu.”Uc
Bak terhipnotis ucapan Bara, Andin pun mengangguk. Membuat senyum miring di wajah Bara terpatri.Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Bara dengan sigap merengkuh tubuh Andin. Harum semerbak menyeruak indera penciuman Bara. Bara dan Andin yang memang tak saling menyentuh selama 6 bulan, merasa melayang saat ini. Bahkan suara ketukan pintu yang terdengar dari luar pun mereka abaikan.“Andin, Andin, kamu lagi ngapain, sih? Kok, pintunya nggak dibuka-buka?” Suara teriakan Bu Ratna sempat menghentikan aktifitas Bara dan Andin.Bara ingin sekali merutuki keluarga Abraham yang tak pernah membiarkan kesenangannya tercapai. Lelaki yang sudah berada di atas tubuh Andin ini kembali mengecup leher jenjang Andin.Namun kali ini, Andin menahannya. Sejenak, alisnya saling tertaut sembari mempertajam indera pendengarannya.“Kenapa?” tanya Bara dengan suara serak.“Kayaknya papah pulang, deh,” jawab Andin setelah terdiam beberapa menit.“Ya, udah. Biarin aja, Sayang.” Bara kembali mengecup bibir Andin.
"Ma-mau apa maksudnya, Kak?" tanya Andin tergagap.“Kok, kamu mau, sih, berhubungan badan sama orang yang nggak bisa nyukupin kebutuhan kamu, Ndin?” Alin berdecak, menyilangkan kedua tangan di depan dada.Jika sudah diremehkan seperti ini, Andin akan memilih bungkam dan enggan memperdebat pemikiran kedua kakaknya yang didukung oleh sang ibu tersebut.Dan inilah sebenarnya alasan Andin tak mau melakukan hubungan dengan sang suami. Meskipun sudah disembunyikan sedemikian rupa, entah kenapa kedua kakaknya pasti akan mengetahui, lalu mengolok-oloknya.Sementara di dalam kamar mandi, Bara tengah menyelesaikan kegiatannya. Sekiranya cukup lega, Bara kembali mandi dengan cepat.“Lagi dingin-dingin, udah mandi dua kali aja!” gerutu Bara sembari melangkah ke ranjang. “Mana nggak jadi buat anak!”Bara memakai pakaian yang sudah sempat diambil sebelumnya dan diletakkan di tepi ranjang tadi. Sekelebat, bayangan pakaian dalam Andin melintas di pikirannya. Membuat Bara kesulitan menelan salivanya.
Entah mendapat keberanian dari mana Bara mengatakan hal tersebut. Padahal selama ia menikah dengan Andin, tak sedikit pun Bara mengatakan hal kasar, nada tinggi, atau bahkan membawa kata wanita lain di dalam perdebatan mereka.Namun kali ini, saking muaknya Bara dengan tingkah laku Andin yang selalu ingin dituruti tanpa mau memahami dirinya, hingga terlontarlah kata tersebut dari mulut Bara entah disengaja atau tidak.“Oh, jadi gitu?” Andin bangkit dari posisi, sembari menatap kesal Bara. “Udah ngasih uang berapa kamu, Mas? Sampai berani-beraninya berkata seperti itu?”Bara membelalak. Kedua alisnya terangkat. Tak mengerti dengan ucapan Andin.“Berkata seperti itu gimana, Ndin?” Bara meletakkan laptop di atas meja kaca dan menggenggam tangan Andin.“Bawa-bawa wanita lain itu maksudnya apa?” pekik Andin, menepis tangan Bara.Bara mengangkat satu alis. “Kamu cemburu?”Andin menggeleng cepat. Kedua tangannya melipat sembari menatap remeh Bara yang masih duduk di sofa dengan lapisan kulit
"Enggak sama sekali!" Bara menekankan di setiap kata.Andin membelalak, tak percaya dengan ucapan Bara."Tunggu aja! Aku bakal lebih sukses dari dia!" geram Bara, dengan gigi gemeletuk.Bahkan menyebut nama Reno saja, Bara enggan. Menurut lelaki berumur 30 tahun lebih itu sangat muak mendengar pujian-pujian Andin pada Reno."Apa?" Andin tertawa, terbahak. Bak mengejek perkataan Bara. "Kerjaan kamu aja kayak gini! Udahlah kamu nggak ada gunanya! Gimana caranya kamu bisa ngalahin Reno, Mas?"Bara hanya menunduk. Bekerja di bawah tekanan siapa pun tak pernah membuat diri Bara merasa malu sedikit pun. Akan tetapi, entah mengapa bekerja sama di bawah tekanan dan bayang-bayang Reno membuat harga dirinya seolah terinjak.“Wuih, keren, ya, Reno. Masih muda tapi udah punya perusahaan sendiri,” celetuk Andin, masih sibuk berselancar di situs internet.Mendengar sang istri membangga-banggakan lelaki lain tentu saja membuat hati Bara tersayat. Bahkan ia tak mampu lagi memusatkan pikiran pada peke
Agnes menarik paksa tangan Bara. Tentu saja Bara memberontak dan berusaha terlepas dari cekalan Agnes tanpa melukai wanita itu sedikit pun. Namun entah apa yang membuat cengkraman itu sulit terlepas, padahal tenaga Bara lebih kuat darinya.Sialnya, bahkan kaki Bara tak sengaja sempat menendang tepi pintu menuju dapur itu, hingga menyisakan rasa sakit di ibu jarinya.“Awh! Shit!” erang Bara kesakitan.“Makanya, kamu nurut aja sama aku!” Agnes mencengkram kerah kaos polos Bara. “Di sini kamu itu tidak lebih dari seorang budak! Tahu kamu?”Melihat hasrat liar kakak ipar yang di luar batas itu, membuat Bara tertawa remeh.“Dan bahkan, wanita yang katanya terhormat pun mau berhubungan sama seorang budak?” Bara menekankan kata terhormat dan budak di dalamnya.Mendengar hal itu, Agnes merasa kesal. Tepat saat dirinya hendak menampar Bara, tiba-tiba saja suara Andin terdengar.“Kalian sedang apa?” tanya Andin sembari memegang gelas kosong di tangannya.Bara menghela napas lega. Merasa disela
“Kali ini kenapa Anda ingin saya menempati rumah mewah ini?” sambung Bara, mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah.“Saya tidak bermaksud menelantarkan kamu dan ibu kamu, Bar, tapi …. “ Pak Dirgantara menggantung kalimatnya.“Tapi apa, Pak? Apa Bapak akan bilang karena takut harta Anda saya minta satu sen?” tuduh Bara serta-merta.Sontak, Pak Dirgantara menggeleng. Rasa bersalah yang selama ini bersarang dalam hati semakin besar melihat amarah Bara.Sementara Bara semakin kalut dengan pikirannya sendiri. Bara sama sekali tak berpikiran untuk meminta harta Pak Dirgantara. Sekali pun sang kakek itu miskin, Bara akan menerima kehadirannya dengan hati terbuka. Apa salah jika Bara mengetahui keluarga aslinya?Dengan kekuatan dan kekayaan yang dimiliki Pak Dirgantara, Bara yakin 100% bahwa Pak Dirgantara dengan mudah akan menemukan keberadaannya. Akan tetapi, Pak Dirgantara seolah tak menginginkan kehadiran sosok cucu kecilnya.Pak Dirgantar mengambil satu foto yang terpajang di buffet
Pak Dirgantara terdiam sejenak dengan tatapan tajam lurus ke arah Bara. Sedetik kemudian, satu sudut bibirnya terangkat, lalu mengangguk.“Ya, nama saya Dirgantara,” jawab Pak Dirgantara penuh penekanan.Bara terperanjat. Lidahnya sedikit kelu dengan napas yang tercekat. Namun, ia menepis jauh-jauh pikiran tentang kesamaan nama Bara dan Pak Dirgantara.‘Mungkin ada banyak nama Dirgantara di negeri ini,’ pikir Bara.“Apa kamu terkejut?” tebak Pak Dirgantara tepat sasaran.Bara mengangguk ragu. Memang Bu Sinta tak pernah menunjukkan foto atau bahkan kenangan snag ayah. Namun, Bu Sinta tak menutup-nutupi makam sang ayah. Dan setiap tahun, Bara rutin mengunjungi makan yang letaknya lumayan jauh dari rumah ibunya.Bara dapat melihat dengan jelas di batu nisan itu bahwa makan ayahnya tertulis nama Mahendra Dirgantara. Lalu, apa hubungan nama Dirgantara yang tersemat di bagian belakang nama Bara? “Apa yang membuatmu terkejut?” Pak Dirgantara memicingkan mata.Bara tersenyum tipis. Entah kena
Bara menatap bergantian Pak Dirgantara dan Supri. Sementara Supri hanya tersenyum, melihat tingkah polos Bara.“Kamu di sini saja, Mas Bara. Tenang saja, Tuan itu baik,” ujar Supri sembari tersenyum. “Lagian saya ada urusan sebentar.”Bara pun mengangguk mendengar penjelasan Supri. Tatapannya beralih pada Pak Dirgantara yang tengah duduk dengan kaki menyilang.Hening. Bara hanya menunduk karena merasa canggung dan tak enak hati berada di rumah mewah yang mungkin tak seharusnya disinggahi. Sementara Pak Dirgantara terus mengamati wajah Bara dengan seulas senyuman.“Eum, maaf. Kenapa Bapak menatap saya seperti itu, ya?” tanya Bara tak enak.Pak Dirgantara hanya tertawa pelan. Saking pelannya, tawa itu cenderung mengarah ke kekehan. Ia menggelengkan kepala, tak menyangka jika takdir akan membawanya sampai detik ini.“Saya hanya tidak menyangka jika takdir akan memihak kepada saya,” jawab Pak Dirgantara lirih, tetapi masih didengar oleh Bara.Bara mengernyit. Tak mengerti dengan ucapan P
Bara mengangguk pelan. Menatap pria tua bertubuh tinggi besar dengan seksama. Kemudian, ingatannya terputar saat ia menabrak mobil mewah yang baru saja ditumpangi.“Oh, Bapak itu?” Bara menunjuk Pak Dirgantara, kemudian beralih menunjuk ke luar. “Dan mobil itu?”Pak Dirgantara hanya tersenyum. Sontak, Bara menoleh, menuntut jawaban dari Supri.“Benar. Mobil yang kamu tumpangi tadi adalah mobil yang kamu tabrak tempo lalu,” jelas Supri, membuat Bara terkejut.Bara gusar. Ia merasa bersalah pada Pak Dirgantara yang begitu baik menolongnya. Sementara Pak Dirgantara yang mengamati wajah babak belur Bara pun khawatir."Bapak masih ingat nama saya?" Bara menunjuk dirinya sendiri.Pak Dirgantara tersenyum. "Tentu saja. Saya tidak akan pernah lupa nama kamu dari dulu."Bara mengernyit. Ia tak tahu maksud Pak Dirgantara mengatakan dari dulu. Dari dulu kapan? Padahal, ia dan Pak Dirgantara baru saja bertemu.“Wajah kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu?” Pak Dirgantara mendekat, menyentu
Supri melirik Bara dari balik cermin, kemudian kembali fokus menyetir. “Kata kamu terserah saya yang penting jangan pulang dan ke rumah sakit, kan?”Bara terdiam. Rasa sakit itu perlahan mulai hilang saat Bara fokus mengamati jalanan yang hendak memasuki perumahan mewah.Kendaraan roda empat yang Bara tumpangi itu mulai memasuki halaman rumah dengan gerbang besar yang terbuka otomatis. Tak cukup sampai di sana. Bahkan, mobil yang Supri kendarai harus melewati taman dengan pohon cemara di sepanjang jalan yang lumayan panjang sebelum sampai tepat di depan rumah.“Sudah sampai, Mas. Saya bawa kamu ke rumah majikan saya. Karena saya tinggal di sini.” Supri keluar dari pintu kemudi, lalu bergegas membuka pintu belakang.Tak dapat dipungkiri, tatapan takjub Bara tunjukkan begitu melihat dengan jelas rumah mewah berwarna putih dengan tangga di teras. Bahkan, rasa sakit yang menimpanya kini lenyap begitu saja entah ke mana.“Ru-rumah siapa ini, Pak?” Bara tergagap, setia menatap takjub rumah
Dengan tertatih, Bara berusaha bangkit dan berjalan sempoyongan ke arah jalan raya yang tak begitu jauh lokasinya. Kali ini, Bara memutuskan untuk tak buru-buru kembali ke rumah karena tak mau ibunya khawatir.“Awwh! Ssh!” Bara meringis kesakitan dan tersungkur di trotoar.Tubuh Bara terasa ngilu. Tanpa sadar, lelaki yang tengah berteriak itu meneteskan air mata. Ia meluapkan segala amarah dan rasa sakit secara bersamaan. Kaki Bara tak sengaja menendang botol kaleng yang ada di sampingnya dan mendarat di jalan raya.Tepat saat itu, mobil sedan mewah berwarna hitam itu hendak lewat. Dari dalam kaca mobil, si sopir melihat Bara masih telentang sembari memegang perut.“Anak muda sekarang kenapa suka sekali mabuk?” gumam Supri, yang ternyata adalah pengendara mobil mewah tersebut.Entah kenapa meski pikiran menentang, naluri Supri ingin sekali menolong lelaki. Supri pun menepikan mobil mewah yang dikendarainya dan berjalan ke arah Bara.“Mas, Mas!” Supri menggoyang-goyangkan badan Bara da
Bara bukanlah pria yang sama sekali tak bisa melawan Pak Abraham. Ia hanya takut jika dirinya melawan, Pak Abraham akan memanggil para pesuruh untuk datang ke rumah dan melenyapkan nyawanya.“Usir saja dia dari rumah ini, Pah!” pekik Bu Ratna, menghentikan pukulan Pak Abraham.Pak Abraham mengangguk-angguk. “Kamu benar! Lagian untuk apa melihara lelaki yang tidak berguna sama sekali!”Bara meringis kesakitan. Memegang perut yang terasa sangat nyeri. Bahkan wajahnya pun sudah tak berbentuk lagi.Pak Abraham menatap Tio dan mengintruksi untuk membawa Bara keluar dari rumah. Dengan sigap, menantu pertamanya itu mencengkram kuat kerah Bara dan menyeretnya keluar rumah.“Ndin, Andin?” Bara merintih kesakitan, menatap nanar Andin, mengisyaratkan bahwa dirinya butuh pertolongan.Andin hanya menatap Bara. Lagi-lagi, ia tak ada niat sedikit pun untuk menolong sang suami itu. Sementara Agnes, Alin, dan Bu Ratna mengekor di belakang Pak Abraham.“Pergi kamu dari sini! Dasar lelaki sampah nggak b
Bara bangkit dari posisi duduk, hendak mendekat ke arah Agnes. Namun, belum saja sampai, Pak Abraham sudah terlebih dahulu menarik baju bagian belakang Bara.“Jangan macam-macam kamu sama anak saya, Bar!” bentak Pak Abraham, begitu Bara tergeletak di lantai.Mata Bara membelalak. Baru saja Bara hendak bangkit, Pak Abraham sudah mendaratkan pukulan ke pipi Bara.“Aku hanya membuktikan bahwa aku tidak salah, Pak!” Bara menghalangi wajah dari pukulan ke dua Pak Abraham.Pak Abraham tak sedikit pun mengindahkan ucapan Bara. Lelaki berpostur tubuh tegap di usianya yang sudah menginjak setengah abad itu terus menyerang Bara dengan pukulan, hingga sudut bibir Bara sedikit sobek dan mengeluarkan sedikit darah.Melihat Bara terus meringis, Pak Abraham menghentikan pukulan, seraya membentak. “Apa sekarang kamu masih tidak mau mengaku? Hah?”Bara menggeleng. Lelaki yang masih tersungkur dengan luka lebam di kedua pipi itu tetap kekeuh dengan pendiriannya. Tak sudi sama sekali untuk mengakui perb
“Ada apa, sih? Malam-malam berisik aja?” Suara Pak Abraham menggema, begitu hendak sampai di dapur.Agnes sedikit berlari dan memeluk Bu Ratna. Sementara Andin dan Bara masih berdiri di tempat tanpa melepas pandangan.“Bara mau memperkosa aku, Mah,” ucap Agnes terisak dan berbohong.Seluruh keluarga Abraham terperanjat. Dengan serta-merta, mereka menuduh Bara yang tidak-tidak dan memilih mempercayai putri ke dua mereka.“Kamu pikir kamu siapa di sini? Hah? Berani-beraninya kamu mau memperkosa anak saya! Dasar bajingan!” Bu Ratna memberi pukulan bertubi pada Bara yang sudah duduk di sofa ruang keluarga.“Mah, aku nggak salah! Aku sama sekali nggak memperkosa Kak Agnes! Bahkan nyentuh aja enggak!” kilah Bara, sembari menghalangi pukulan Bu Ratna.“Mah, sudah, Mah. Hentikan! Kita dengerin dulu penjelasan ini!” perintah Pak Abraham tak terbantah. “Jika benar dia melakukan itu, Papah sendiri yang akan menghukumnya.”Sontak, Bu Ratna pun menghentikan pukulan itu. Andin yang duduk di samping