āReno?ā Bara menatap lelaki yang tengah berjalan menghampirinya. Seluruh orang dari perusahaan Bara pun berdiri. Menyambut kehadiran lelaki yang menjadi klien-nya tersebut. Berbeda dengan perusahaan Bara, Reno menghadiri meeting kali ini hanya dengan sekretaris saja. āAyo, Bar, berdiri. Dia klien kita!ā perintah Pak Dirham berbisik. Dengan ragu, Bara pun bangkit. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. āBerhasilkah ia menjalankan proyek ini?ā Bara menatap kosong wajah Reno yang masih ada bekas memar dan sobekan di ujung bibir. Entah mimpi apa semalam ia sehingga dipertemukan klien yang baru saja dihajar semalam. āSelamat siang semua. Maaf menunggu lama,ā ucap Reno, sembari menyalami satu persatu yang hadir di sana. āTidak apa-apa, Pak. Kami juga baru saja sampai di sini beberapa saat, kok,ā sahut salah satu Direktur perusahaan tempat Bara bekerja. Bola mata Bara menangkap wajah ceria penuh senyum ramah di gurat Reno. Mungkin memang Reno orang yang ramah. Namun, keramahannya
Lelaki yang memegang kamera itu pun berlari. Tentu saja Bara mengejarnya. Dengan kecepatan full power, si lelaki berlari melewati lorong kecil di salah satu gang yang menembus rumah Bara. Mungkin hanya bisa dilewati orang yang berjalan kaki. Bahkan motor pun tak muat masuk lewat gang tersebut.āWoy! Berhenti lo! Siapa lo sebenarnya? Hah?ā Bara berteriak sembari mengejar.Si lelaki berpakaian serba hitam tak mengindahkan ucapan Bara. Bahkan, ia menambah kecepatan berlari. Sesampainya di jalan raya, dengan wajah panik, mata si lelaki menelisik, mencari sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkannya.Ketika tangan Bara hampir menangkap baju si lelaki, sepeda motor bebek berwarna hitam tiba-tiba lewat tepat di depannya. Bersyukur, kendaraan roda dua itu tak menyentuh tubuh Bara, meskipun Bara harus terjatuh di tepi jalanan demi menyelamatkan dirinya.āAish! Sial!ā Bara menggeram, melihat si pengintai lolos di kejarannya dan membonceng motor tadi.Rasa sakit di kaki Bara kembali menjalar. Pada
Sontak, Bara dan Bu Sinta menyahut ucapan salam dari wanita itu, lalu mempersilakan masuk. āEh, Bu Rima. Sini, Bu, duduk.ā Bu Sinta menunjuk kursi kayu segi empat di sampingnya. āIya, Bu. Ini, loh, Jeng. Saya mau jahit kain buat sarimbitan lusa.ā Bu Rima meletakkan paper bag di atas meja kayu usang. Bu Sinta bangkit. Dengan senang, ia meraih paper bag itu, melihat sejenak, lalu memindahkannya di samping jahitan manual. āUntuk ukurannya sudah ada, ya, Jeng?ā tanya Bu Rima, saat Bu Sinta membuka catatan ukuran berbentuk persegi panjang. āIya, Bu, sudah ada,ā jawab Bu Sinta sembari tersenyum. Bu Sinta dan Bu Rima sedikit bergurau. Mereka sibuk membicarakan model yang Bu Rima ingin dan selebihnya Bu Rima serahkan pada Bu Sinta.Sementara di kursi, Bara hanya menyimak pembicaraan mereka. Sesekali bibirnya tersenyum mendapati gurauan yang di luar kepala. Profesi Bu Sinta sebagai penjahit ini memang sudah bertahun-tahun sejak Bara masih SD. Makanya tak heran jika pelanggan Bu Sinta sud
Bu Sinta dan Bara hanya saling menatap sejenak, lalu menunduk. Sibuk dengan pikiran masing-masing.Sementara Bu Rima yang melihat ada ketegangan di sana langsung terdiam. Ia merasa bersalah karena sudah menyinggung seseorang yang sudah meninggal.Bu Rima menutup mulutnya. āMaaf, Jeng. Nggak sengaja.āBu Sinta tersenyum tipis. āIya, nggak apa-apa, kok, Jeng.āBara hanya terus menunduk. Ia pun tak tahu mengapa ibunya sesensitif itu jika disinggung soal sang ayah.āMaafin tante, ya, Bar. Tante nggak ada maksud buat nyinggung ayah kamu, kok,ā ucap Bu Rima tulus.Bara mendongak. Kedua sudut bibirnya terangkat paksa. āIya, Tan. Aku ngerti, kok.āBu Rima tersenyum canggung. Sungguh demi apa pun, ia merasa tak enak sudah membuat kedua anak dan ibu menjadi murung. Padahal jelas terpatri saat ia datang, kedua wajah Bara dan Bu Santi bersinar cerah.Bahkan, dahulu Bara sering kali diantarkan ke kuburan pada Bu Sinta. Namun, Bu Sinta menolak dengan dalih letaknya jauh. Bahkan Bara yang ingin meli
Bergegas, Bara menepis pikiran buruk itu jauh-jauh. Ia percaya pasti ada alasan tertentu mengapa Bu Sinta tak memberi tahu tentang sosok sang ayah. Hanya saja Bu Sinta pernah mengatakan jika sifat, wajah, dan kecerdasan Bara memang sangat mirip dengan sang ayah.āDari mana aja kamu? Kenapa kamu pulangnya telat? Habis selingkuh, ya?ā Andin memberondong pertanyaan begitu Bara sampai di rumah.āSuami pulang, mbok, ya, disapa. Kok, malah dituduh macam-macam, sih?ā gerutu Bara, mengendurkan dasi yang bertengger di lehernya.āSiapa yang nuduh?ā Andin meletakkan ponselnya kasar di atas kasur. āBedain, ya. Antara bertanya sama nuduh!āBara mendengkus. Berdebat dengan Andin pasti tak ada ujungnya. Sementara tubuhnya sudah merasa sangat lelah. Ia pun bergegas meraih handuk dan berniat untuk membersihkan diri.āMas! Kamu nggak jawab pertanyaan aku! Apa jangan-jangan itu benar? Kamu selingkuh?ā Andin menaikkan satu oktaf suaranya.Bara mendesah. Langkahnya terhenti. āAku habis dari rumah ibu.āUc
Bak terhipnotis ucapan Bara, Andin pun mengangguk. Membuat senyum miring di wajah Bara terpatri.Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Bara dengan sigap merengkuh tubuh Andin. Harum semerbak menyeruak indera penciuman Bara. Bara dan Andin yang memang tak saling menyentuh selama 6 bulan, merasa melayang saat ini. Bahkan suara ketukan pintu yang terdengar dari luar pun mereka abaikan.āAndin, Andin, kamu lagi ngapain, sih? Kok, pintunya nggak dibuka-buka?ā Suara teriakan Bu Ratna sempat menghentikan aktifitas Bara dan Andin.Bara ingin sekali merutuki keluarga Abraham yang tak pernah membiarkan kesenangannya tercapai. Lelaki yang sudah berada di atas tubuh Andin ini kembali mengecup leher jenjang Andin.Namun kali ini, Andin menahannya. Sejenak, alisnya saling tertaut sembari mempertajam indera pendengarannya.āKenapa?ā tanya Bara dengan suara serak.āKayaknya papah pulang, deh,ā jawab Andin setelah terdiam beberapa menit.āYa, udah. Biarin aja, Sayang.ā Bara kembali mengecup bibir Andin.
"Ma-mau apa maksudnya, Kak?" tanya Andin tergagap.āKok, kamu mau, sih, berhubungan badan sama orang yang nggak bisa nyukupin kebutuhan kamu, Ndin?ā Alin berdecak, menyilangkan kedua tangan di depan dada.Jika sudah diremehkan seperti ini, Andin akan memilih bungkam dan enggan memperdebat pemikiran kedua kakaknya yang didukung oleh sang ibu tersebut.Dan inilah sebenarnya alasan Andin tak mau melakukan hubungan dengan sang suami. Meskipun sudah disembunyikan sedemikian rupa, entah kenapa kedua kakaknya pasti akan mengetahui, lalu mengolok-oloknya.Sementara di dalam kamar mandi, Bara tengah menyelesaikan kegiatannya. Sekiranya cukup lega, Bara kembali mandi dengan cepat.āLagi dingin-dingin, udah mandi dua kali aja!ā gerutu Bara sembari melangkah ke ranjang. āMana nggak jadi buat anak!āBara memakai pakaian yang sudah sempat diambil sebelumnya dan diletakkan di tepi ranjang tadi. Sekelebat, bayangan pakaian dalam Andin melintas di pikirannya. Membuat Bara kesulitan menelan salivanya.
Entah mendapat keberanian dari mana Bara mengatakan hal tersebut. Padahal selama ia menikah dengan Andin, tak sedikit pun Bara mengatakan hal kasar, nada tinggi, atau bahkan membawa kata wanita lain di dalam perdebatan mereka.Namun kali ini, saking muaknya Bara dengan tingkah laku Andin yang selalu ingin dituruti tanpa mau memahami dirinya, hingga terlontarlah kata tersebut dari mulut Bara entah disengaja atau tidak.āOh, jadi gitu?ā Andin bangkit dari posisi, sembari menatap kesal Bara. āUdah ngasih uang berapa kamu, Mas? Sampai berani-beraninya berkata seperti itu?āBara membelalak. Kedua alisnya terangkat. Tak mengerti dengan ucapan Andin.āBerkata seperti itu gimana, Ndin?ā Bara meletakkan laptop di atas meja kaca dan menggenggam tangan Andin.āBawa-bawa wanita lain itu maksudnya apa?ā pekik Andin, menepis tangan Bara.Bara mengangkat satu alis. āKamu cemburu?āAndin menggeleng cepat. Kedua tangannya melipat sembari menatap remeh Bara yang masih duduk di sofa dengan lapisan kulit
āKali ini kenapa Anda ingin saya menempati rumah mewah ini?ā sambung Bara, mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah.āSaya tidak bermaksud menelantarkan kamu dan ibu kamu, Bar, tapi ā¦. ā Pak Dirgantara menggantung kalimatnya.āTapi apa, Pak? Apa Bapak akan bilang karena takut harta Anda saya minta satu sen?ā tuduh Bara serta-merta.Sontak, Pak Dirgantara menggeleng. Rasa bersalah yang selama ini bersarang dalam hati semakin besar melihat amarah Bara.Sementara Bara semakin kalut dengan pikirannya sendiri. Bara sama sekali tak berpikiran untuk meminta harta Pak Dirgantara. Sekali pun sang kakek itu miskin, Bara akan menerima kehadirannya dengan hati terbuka. Apa salah jika Bara mengetahui keluarga aslinya?Dengan kekuatan dan kekayaan yang dimiliki Pak Dirgantara, Bara yakin 100% bahwa Pak Dirgantara dengan mudah akan menemukan keberadaannya. Akan tetapi, Pak Dirgantara seolah tak menginginkan kehadiran sosok cucu kecilnya.Pak Dirgantar mengambil satu foto yang terpajang di buffet
Pak Dirgantara terdiam sejenak dengan tatapan tajam lurus ke arah Bara. Sedetik kemudian, satu sudut bibirnya terangkat, lalu mengangguk.āYa, nama saya Dirgantara,ā jawab Pak Dirgantara penuh penekanan.Bara terperanjat. Lidahnya sedikit kelu dengan napas yang tercekat. Namun, ia menepis jauh-jauh pikiran tentang kesamaan nama Bara dan Pak Dirgantara.āMungkin ada banyak nama Dirgantara di negeri ini,ā pikir Bara.āApa kamu terkejut?ā tebak Pak Dirgantara tepat sasaran.Bara mengangguk ragu. Memang Bu Sinta tak pernah menunjukkan foto atau bahkan kenangan snag ayah. Namun, Bu Sinta tak menutup-nutupi makam sang ayah. Dan setiap tahun, Bara rutin mengunjungi makan yang letaknya lumayan jauh dari rumah ibunya.Bara dapat melihat dengan jelas di batu nisan itu bahwa makan ayahnya tertulis nama Mahendra Dirgantara. Lalu, apa hubungan nama Dirgantara yang tersemat di bagian belakang nama Bara? āApa yang membuatmu terkejut?ā Pak Dirgantara memicingkan mata.Bara tersenyum tipis. Entah kena
Bara menatap bergantian Pak Dirgantara dan Supri. Sementara Supri hanya tersenyum, melihat tingkah polos Bara.āKamu di sini saja, Mas Bara. Tenang saja, Tuan itu baik,ā ujar Supri sembari tersenyum. āLagian saya ada urusan sebentar.āBara pun mengangguk mendengar penjelasan Supri. Tatapannya beralih pada Pak Dirgantara yang tengah duduk dengan kaki menyilang.Hening. Bara hanya menunduk karena merasa canggung dan tak enak hati berada di rumah mewah yang mungkin tak seharusnya disinggahi. Sementara Pak Dirgantara terus mengamati wajah Bara dengan seulas senyuman.āEum, maaf. Kenapa Bapak menatap saya seperti itu, ya?ā tanya Bara tak enak.Pak Dirgantara hanya tertawa pelan. Saking pelannya, tawa itu cenderung mengarah ke kekehan. Ia menggelengkan kepala, tak menyangka jika takdir akan membawanya sampai detik ini.āSaya hanya tidak menyangka jika takdir akan memihak kepada saya,ā jawab Pak Dirgantara lirih, tetapi masih didengar oleh Bara.Bara mengernyit. Tak mengerti dengan ucapan P
Bara mengangguk pelan. Menatap pria tua bertubuh tinggi besar dengan seksama. Kemudian, ingatannya terputar saat ia menabrak mobil mewah yang baru saja ditumpangi.āOh, Bapak itu?ā Bara menunjuk Pak Dirgantara, kemudian beralih menunjuk ke luar. āDan mobil itu?āPak Dirgantara hanya tersenyum. Sontak, Bara menoleh, menuntut jawaban dari Supri.āBenar. Mobil yang kamu tumpangi tadi adalah mobil yang kamu tabrak tempo lalu,ā jelas Supri, membuat Bara terkejut.Bara gusar. Ia merasa bersalah pada Pak Dirgantara yang begitu baik menolongnya. Sementara Pak Dirgantara yang mengamati wajah babak belur Bara pun khawatir."Bapak masih ingat nama saya?" Bara menunjuk dirinya sendiri.Pak Dirgantara tersenyum. "Tentu saja. Saya tidak akan pernah lupa nama kamu dari dulu."Bara mengernyit. Ia tak tahu maksud Pak Dirgantara mengatakan dari dulu. Dari dulu kapan? Padahal, ia dan Pak Dirgantara baru saja bertemu.āWajah kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu?ā Pak Dirgantara mendekat, menyentu
Supri melirik Bara dari balik cermin, kemudian kembali fokus menyetir. āKata kamu terserah saya yang penting jangan pulang dan ke rumah sakit, kan?āBara terdiam. Rasa sakit itu perlahan mulai hilang saat Bara fokus mengamati jalanan yang hendak memasuki perumahan mewah.Kendaraan roda empat yang Bara tumpangi itu mulai memasuki halaman rumah dengan gerbang besar yang terbuka otomatis. Tak cukup sampai di sana. Bahkan, mobil yang Supri kendarai harus melewati taman dengan pohon cemara di sepanjang jalan yang lumayan panjang sebelum sampai tepat di depan rumah.āSudah sampai, Mas. Saya bawa kamu ke rumah majikan saya. Karena saya tinggal di sini.ā Supri keluar dari pintu kemudi, lalu bergegas membuka pintu belakang.Tak dapat dipungkiri, tatapan takjub Bara tunjukkan begitu melihat dengan jelas rumah mewah berwarna putih dengan tangga di teras. Bahkan, rasa sakit yang menimpanya kini lenyap begitu saja entah ke mana.āRu-rumah siapa ini, Pak?ā Bara tergagap, setia menatap takjub rumah
Dengan tertatih, Bara berusaha bangkit dan berjalan sempoyongan ke arah jalan raya yang tak begitu jauh lokasinya. Kali ini, Bara memutuskan untuk tak buru-buru kembali ke rumah karena tak mau ibunya khawatir.āAwwh! Ssh!ā Bara meringis kesakitan dan tersungkur di trotoar.Tubuh Bara terasa ngilu. Tanpa sadar, lelaki yang tengah berteriak itu meneteskan air mata. Ia meluapkan segala amarah dan rasa sakit secara bersamaan. Kaki Bara tak sengaja menendang botol kaleng yang ada di sampingnya dan mendarat di jalan raya.Tepat saat itu, mobil sedan mewah berwarna hitam itu hendak lewat. Dari dalam kaca mobil, si sopir melihat Bara masih telentang sembari memegang perut.āAnak muda sekarang kenapa suka sekali mabuk?ā gumam Supri, yang ternyata adalah pengendara mobil mewah tersebut.Entah kenapa meski pikiran menentang, naluri Supri ingin sekali menolong lelaki. Supri pun menepikan mobil mewah yang dikendarainya dan berjalan ke arah Bara.āMas, Mas!ā Supri menggoyang-goyangkan badan Bara da
Bara bukanlah pria yang sama sekali tak bisa melawan Pak Abraham. Ia hanya takut jika dirinya melawan, Pak Abraham akan memanggil para pesuruh untuk datang ke rumah dan melenyapkan nyawanya.āUsir saja dia dari rumah ini, Pah!ā pekik Bu Ratna, menghentikan pukulan Pak Abraham.Pak Abraham mengangguk-angguk. āKamu benar! Lagian untuk apa melihara lelaki yang tidak berguna sama sekali!āBara meringis kesakitan. Memegang perut yang terasa sangat nyeri. Bahkan wajahnya pun sudah tak berbentuk lagi.Pak Abraham menatap Tio dan mengintruksi untuk membawa Bara keluar dari rumah. Dengan sigap, menantu pertamanya itu mencengkram kuat kerah Bara dan menyeretnya keluar rumah.āNdin, Andin?ā Bara merintih kesakitan, menatap nanar Andin, mengisyaratkan bahwa dirinya butuh pertolongan.Andin hanya menatap Bara. Lagi-lagi, ia tak ada niat sedikit pun untuk menolong sang suami itu. Sementara Agnes, Alin, dan Bu Ratna mengekor di belakang Pak Abraham.āPergi kamu dari sini! Dasar lelaki sampah nggak b
Bara bangkit dari posisi duduk, hendak mendekat ke arah Agnes. Namun, belum saja sampai, Pak Abraham sudah terlebih dahulu menarik baju bagian belakang Bara.āJangan macam-macam kamu sama anak saya, Bar!ā bentak Pak Abraham, begitu Bara tergeletak di lantai.Mata Bara membelalak. Baru saja Bara hendak bangkit, Pak Abraham sudah mendaratkan pukulan ke pipi Bara.āAku hanya membuktikan bahwa aku tidak salah, Pak!ā Bara menghalangi wajah dari pukulan ke dua Pak Abraham.Pak Abraham tak sedikit pun mengindahkan ucapan Bara. Lelaki berpostur tubuh tegap di usianya yang sudah menginjak setengah abad itu terus menyerang Bara dengan pukulan, hingga sudut bibir Bara sedikit sobek dan mengeluarkan sedikit darah.Melihat Bara terus meringis, Pak Abraham menghentikan pukulan, seraya membentak. āApa sekarang kamu masih tidak mau mengaku? Hah?āBara menggeleng. Lelaki yang masih tersungkur dengan luka lebam di kedua pipi itu tetap kekeuh dengan pendiriannya. Tak sudi sama sekali untuk mengakui perb
āAda apa, sih? Malam-malam berisik aja?ā Suara Pak Abraham menggema, begitu hendak sampai di dapur.Agnes sedikit berlari dan memeluk Bu Ratna. Sementara Andin dan Bara masih berdiri di tempat tanpa melepas pandangan.āBara mau memperkosa aku, Mah,ā ucap Agnes terisak dan berbohong.Seluruh keluarga Abraham terperanjat. Dengan serta-merta, mereka menuduh Bara yang tidak-tidak dan memilih mempercayai putri ke dua mereka.āKamu pikir kamu siapa di sini? Hah? Berani-beraninya kamu mau memperkosa anak saya! Dasar bajingan!ā Bu Ratna memberi pukulan bertubi pada Bara yang sudah duduk di sofa ruang keluarga.āMah, aku nggak salah! Aku sama sekali nggak memperkosa Kak Agnes! Bahkan nyentuh aja enggak!ā kilah Bara, sembari menghalangi pukulan Bu Ratna.āMah, sudah, Mah. Hentikan! Kita dengerin dulu penjelasan ini!ā perintah Pak Abraham tak terbantah. āJika benar dia melakukan itu, Papah sendiri yang akan menghukumnya.āSontak, Bu Ratna pun menghentikan pukulan itu. Andin yang duduk di samping