Beranda / CEO / MILIARDER yang TERTUNDA / Bara Mahendra Dirgantara

Share

Bara Mahendra Dirgantara

Penulis: Dee Roro P
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bara mengedikan bahu. Ia bangkit dari posisi duduk, lalu melangkah ke dalam kamar di lantai dua. Disusul oleh Andin di belakangnya sembari bermain ponsel.

Meski begitu, Bara dan Andin masih tidur satu ranjang. Namun tersekat oleh guling. Walau dalam keadaan marah, Bara selalu teringat dengan pesan sang ibu sewaktu mereka baru menikah.

“Semarah apa pun kamu, jangan sampai pisah ranjang, Bar.” Begitu kira-kira pesan sang ibu, Rima.

***

Fajar menyingsing. Bara sibuk berbenah berangkat bekerja. Setelah sekiranya rapi, ia menuruni tangga, menyusul Andin yang sudah duduk di kursi meja makan dari tadi.

“Ah, jadi nggak selera makan, nih, gara-gara lihat sampah!” Agnes menekankan kata sampah di dalamnya.

“Aku juga udah kenyang. Pamit berangkat dulu, ya, semua.” Deni, suami agnes, bangkit mengecup kening Agnes lalu pergi dari tempat makan.

Kedua sudut bibir Bara berkedut melihat tingkah laku Deni. Suami dari kakak ipar ke dua yang bekerja sebagai pejabat negara di kota besar itu memang sangat pintar pencitraan. Bara pun tak peduli, lalu duduk di kursi kosong samping Andin.

Berbagai sindiran dilontarkan oleh Ratna, Alin, dan Agnes. Sementara Andin hanya diam menikmati makanan tanpa sepatah kata pun.

“Eh, Mas Tio nggak ikut sarapan?” Andin menatap Tio, suami Alin, berjalan terburu-buru, melewati meja makan.

Tio menggeleng. “Enggak. Aku makan di kantor aja.”

Sekelebat, Bara menoleh, lalu kembali melanjutkan makan. Sementara Alin terlihat membuntuti Tio menuju depan rumah.

Bara yang hanya memiliki posisi sebagai manajer itu pun bangkit dan bergegas berangkat bekerja setelah pamit dengan Andin. Berbeda dengan kedua menantu tampan Abraham yang memakai mobil mewah, Bara hanya memakai sepeda motor butut menuju kantor.

Sering kali Bara mendapat cibiran tentang kendaraan yang dinaiki oleh keluarga Abraham dan rekan kerja lain. Namun sifat Bara yang cuek, tak pernah memedulikan hal itu. Apalagi gaji per bulan yang selalu diberikan seutuhnya ke sang istri.

Tak ada masalah sedikit pun untuk Bara mengenai hal itu. Yang terpenting kebutuhan Andin tercukupi. Bahkan, ada rasa ingin memberi pada ibunya, tetapi ia belum sanggup.

“Ah, jadi kangen sama ibu,” gumam Bara sembari fokus mengendarai motor.

Selama di perjalanan, Bara memikirkan bagaimana caranya agar mendapat gaji lebih dan memberikan pada sang ibu. Semakin dalam Bara larut dalam pikirannya, kendaraan yang ditumpangi semakin tak terarah, hingga menabrak mobil mewah berwarna hitam yang berhenti mendadak di hadapannya.

“Argh!” Bara mengerang saat kaki sebelah kiri tertindih sepeda motor.

Beberapa pengendara yang ada di sana pun menolong Bara. Begitu pun dengan pengendara dan penumpang mobil yang Bara tabrak.

“Maaf, Pak. Apa bapak tidak apa-apa?” tanya lelaki yang memakai pakaian serba hitam, saat Bara sudah duduk di tepi jalan.

Bara mendongak, lalu melihat kaki yang tertindih. Hanya ada luka lebam dan lecet sedikit. Begitu telapak kaki digerakkan, rasa sakit pun menyerang.

“Enggak apa-apa, Pak. Paling hanya terkilir saja,” jawab Bara pada lelaki yang dikira adalah sopir mobil hitam tersebut.

“Apa mau saya bawa ke rumah sakit, Pak?” tawar lelaki dengan name tag, Supri.

Bara tersenyum ramah. Meski rasa sakit begitu terasa, tetapi ia masih bisa menahannya. Kepalanya menoleh ke arah kantor yang jaraknya sudah tak begitu jauh dari tempat kecelakaannya.

“Tidak usah, Pak. Lagian ini salah saya. Seharusnya saya yang minta maaf,” sahut Bara sopan.

“Kalau begitu biar saya cek, Pak.” Lelaki berpakaian hitam itu meraih pergelangan kaki Bara.

Tentu saja Bara merasa tak enak. Selain itu adalah kaki tempat berpijak, pun dengan usia lelaki itu yang terlihat lebih tua darinya.

“Pak, tidak usah, Pak. Pak, saya benar tidak apa-apa.” Bara berusaha melepas genggaman lelaki itu di kakinya.

“Ada apa, Pri?” tanya lelaki tua berpawakan agak gemuk, tiba-tiba berdiri di hadapannya.

Bara menoleh, tepat saat Supri bangkit dan beridiri tepat di samping lelaki tua itu sembari menunduk.

“Kaki mas-mas ini sepertinya terkilir, Tuan. Tapi tidak mau dibawa ke rumah sakit, jadi saya cek apakah baik-baik saja atau tidak,” beber Supri hati-hati.

Lelaki tua itu menoleh ke arah Bara. Sementara Bara hanya mengangguk sopan dengan senyum canggung di wajahnya.

Lelaki yang memiliki rambut dominan berwarna putih itu membuka kacamatanya. Terlihat jelas ada gurat terkejut di wajah keriputnya. Sorot mata lelaki tua itu enggan berpaling sedikit pun dari Bara, hingga Bara merasa semakin canggung dengan keadaan itu.

“Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja menabrak mobil bapak,” ucap Bara setelah berhasil berdiri di depan lelaki tua itu dengan kepala menunduk.

Yang harus Bara lakukan memang hanya minta maaf. Meskipun ia tahu bamper belakang mobil sedikit penyok, tetapi mungkin gaji satu bulan tak mampu menggantinya. Lagi pula, dari tampilan lelaki tua di hadapan Bara itu terlihat lebih kaya darinya. Ralat, bahkan lebih kaya dari keluarga Abraham.

Lelaki tua itu hanya terdiam tanpa satu patah kata pun. Menatap lekat wajah Bara yang penuh penyesalan. Sementara di belakangnya, Supri melihat ada gelagat aneh dengan sang tuan.

“Tuan?” panggil Supri, membuyarkan lamunan lelaki tua tersebut.

“Bagaimana?” tanya lelaki tua asal.

“Mas-mas ini minta maaf karena tidak sengaja menabrak mobil Tuan,” jawab Supri.

Lelaki tua itu mengangguk-angguk. Mendekat ke arah Bara, lalu menepuk pundaknya.

“Siapa namamu anak muda?” Lelaki tua itu menatap lekat Bara.

Bukannya marah, mata memerah dengan kantung mata mengeriput itu justru terlihat begitu senang saat bertemu Bara. Sementara Bara terlihat begitu sangat canggung, meski ada sedikit rasa tak asing dengan sosok di hadapannya.

“Bara, Pak. Bara Mahendra Dirgantara,” jawab Bara singkat.

Supri dan lelaki tua itu membelalak. Menatap tak percaya anak muda yang ada di hadapannya itu. Sejenak, keheningan menyelimuti mereka, meski suara kendaraan berlalu-lalang di jalan raya.

Kedua alis Bara saling tertaut. Menangkap gurat wajah aneh di kedua lelaki yang ada di hadapannya itu. Beberapa detik kemudian, Bara melirik arlogi yang melingkar di pergelangan tangan. Matanya membelalak karena waktu sudah menunjukkan jam 07.20 wib.

Padahal waktu masuk kerja sekitar jam setengah delapan. Jadi Bara hanya memiliki waktu sepuluh menit untuk sampai di kantor tempatnya bekerja.

“Maaf, Pak. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya permisi mau berangkat ke kantor.” Bara mengangguk hormat di hadapan lelaki tua itu.

Supri yang melihat Bara berjalan pincang pun bergegas memapahnya. Sementara lelaki tua itu hanya terus diam dan tanpa jengah menatap setiap pergerakan Bara yang tengah menyalakan motor tanpa menunggu jawaban dari lelaki tua itu.

“Terima kasih, Pak Supri,” ucap Bara tulus, menoleh lelaki tua itu sebelum melajukan motor.

“Tuan, apakah dia …. “

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iis Aisyah
apa mungkin itu ayah bara semoga sajah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Proyek Besar

    Tangan lelaki tua itu terangkat. Memberi isyarat pada Supri untuk diam. Bola mata lelaki yang memakai pakaian kantor itu menatap punggung Bara yang mulai menghilang dari penglihatannya. “Cari tahu dia nama orang tua dan di mana dia tinggal!” perintah lelaki tua itu saat mobil yang dikendarai mulai melaju. Supri mengangguk. “Baik, Tuan.” Lelaki tua itu menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan. Sikunya ditumpu di atas jendela mobil belakang dengan jari mengusap-usap dagu. Bola mata yang seolah menemukan berlian itu tampak berbinar, disertai senyum tipis di wajahnya. Dengan kecepatan penuh, Bara sampai di kantor tepat waktu, meski harus mandi keringat di pagi hari karena berlari dengan kaki pincang. “Woy, Bro. Kenapa kaki elu pincang begitu? Habis digebuk sama bini?” celetuk Dion, tiba-tiba menghampiri meja Bara. Bara meraih map asal dan memukulkan ke kepala Dion. “Sembarangan banget lu kalau ngomong!” Dion terbahak melihat raut wajah kesal Bara. Sementara Bara hanya menata

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Bekerja Bersama Musuh

    “Reno?” Bara menatap lelaki yang tengah berjalan menghampirinya. Seluruh orang dari perusahaan Bara pun berdiri. Menyambut kehadiran lelaki yang menjadi klien-nya tersebut. Berbeda dengan perusahaan Bara, Reno menghadiri meeting kali ini hanya dengan sekretaris saja. “Ayo, Bar, berdiri. Dia klien kita!” perintah Pak Dirham berbisik. Dengan ragu, Bara pun bangkit. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. ‘Berhasilkah ia menjalankan proyek ini?’ Bara menatap kosong wajah Reno yang masih ada bekas memar dan sobekan di ujung bibir. Entah mimpi apa semalam ia sehingga dipertemukan klien yang baru saja dihajar semalam. “Selamat siang semua. Maaf menunggu lama,” ucap Reno, sembari menyalami satu persatu yang hadir di sana. “Tidak apa-apa, Pak. Kami juga baru saja sampai di sini beberapa saat, kok,” sahut salah satu Direktur perusahaan tempat Bara bekerja. Bola mata Bara menangkap wajah ceria penuh senyum ramah di gurat Reno. Mungkin memang Reno orang yang ramah. Namun, keramahannya

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Si Lelaki Berpakaian Serba Hitam

    Lelaki yang memegang kamera itu pun berlari. Tentu saja Bara mengejarnya. Dengan kecepatan full power, si lelaki berlari melewati lorong kecil di salah satu gang yang menembus rumah Bara. Mungkin hanya bisa dilewati orang yang berjalan kaki. Bahkan motor pun tak muat masuk lewat gang tersebut.“Woy! Berhenti lo! Siapa lo sebenarnya? Hah?” Bara berteriak sembari mengejar.Si lelaki berpakaian serba hitam tak mengindahkan ucapan Bara. Bahkan, ia menambah kecepatan berlari. Sesampainya di jalan raya, dengan wajah panik, mata si lelaki menelisik, mencari sesuatu yang mungkin bisa menyelamatkannya.Ketika tangan Bara hampir menangkap baju si lelaki, sepeda motor bebek berwarna hitam tiba-tiba lewat tepat di depannya. Bersyukur, kendaraan roda dua itu tak menyentuh tubuh Bara, meskipun Bara harus terjatuh di tepi jalanan demi menyelamatkan dirinya.“Aish! Sial!” Bara menggeram, melihat si pengintai lolos di kejarannya dan membonceng motor tadi.Rasa sakit di kaki Bara kembali menjalar. Pada

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Perjodohan yang Terlambat

    Sontak, Bara dan Bu Sinta menyahut ucapan salam dari wanita itu, lalu mempersilakan masuk. “Eh, Bu Rima. Sini, Bu, duduk.” Bu Sinta menunjuk kursi kayu segi empat di sampingnya. “Iya, Bu. Ini, loh, Jeng. Saya mau jahit kain buat sarimbitan lusa.” Bu Rima meletakkan paper bag di atas meja kayu usang. Bu Sinta bangkit. Dengan senang, ia meraih paper bag itu, melihat sejenak, lalu memindahkannya di samping jahitan manual. “Untuk ukurannya sudah ada, ya, Jeng?” tanya Bu Rima, saat Bu Sinta membuka catatan ukuran berbentuk persegi panjang. “Iya, Bu, sudah ada,” jawab Bu Sinta sembari tersenyum. Bu Sinta dan Bu Rima sedikit bergurau. Mereka sibuk membicarakan model yang Bu Rima ingin dan selebihnya Bu Rima serahkan pada Bu Sinta.Sementara di kursi, Bara hanya menyimak pembicaraan mereka. Sesekali bibirnya tersenyum mendapati gurauan yang di luar kepala. Profesi Bu Sinta sebagai penjahit ini memang sudah bertahun-tahun sejak Bara masih SD. Makanya tak heran jika pelanggan Bu Sinta sud

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Sosok Ayah

    Bu Sinta dan Bara hanya saling menatap sejenak, lalu menunduk. Sibuk dengan pikiran masing-masing.Sementara Bu Rima yang melihat ada ketegangan di sana langsung terdiam. Ia merasa bersalah karena sudah menyinggung seseorang yang sudah meninggal.Bu Rima menutup mulutnya. “Maaf, Jeng. Nggak sengaja.”Bu Sinta tersenyum tipis. “Iya, nggak apa-apa, kok, Jeng.”Bara hanya terus menunduk. Ia pun tak tahu mengapa ibunya sesensitif itu jika disinggung soal sang ayah.“Maafin tante, ya, Bar. Tante nggak ada maksud buat nyinggung ayah kamu, kok,” ucap Bu Rima tulus.Bara mendongak. Kedua sudut bibirnya terangkat paksa. “Iya, Tan. Aku ngerti, kok.”Bu Rima tersenyum canggung. Sungguh demi apa pun, ia merasa tak enak sudah membuat kedua anak dan ibu menjadi murung. Padahal jelas terpatri saat ia datang, kedua wajah Bara dan Bu Santi bersinar cerah.Bahkan, dahulu Bara sering kali diantarkan ke kuburan pada Bu Sinta. Namun, Bu Sinta menolak dengan dalih letaknya jauh. Bahkan Bara yang ingin meli

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Hasrat Terpendam BarAndin

    Bergegas, Bara menepis pikiran buruk itu jauh-jauh. Ia percaya pasti ada alasan tertentu mengapa Bu Sinta tak memberi tahu tentang sosok sang ayah. Hanya saja Bu Sinta pernah mengatakan jika sifat, wajah, dan kecerdasan Bara memang sangat mirip dengan sang ayah.“Dari mana aja kamu? Kenapa kamu pulangnya telat? Habis selingkuh, ya?” Andin memberondong pertanyaan begitu Bara sampai di rumah.“Suami pulang, mbok, ya, disapa. Kok, malah dituduh macam-macam, sih?” gerutu Bara, mengendurkan dasi yang bertengger di lehernya.“Siapa yang nuduh?” Andin meletakkan ponselnya kasar di atas kasur. “Bedain, ya. Antara bertanya sama nuduh!”Bara mendengkus. Berdebat dengan Andin pasti tak ada ujungnya. Sementara tubuhnya sudah merasa sangat lelah. Ia pun bergegas meraih handuk dan berniat untuk membersihkan diri.“Mas! Kamu nggak jawab pertanyaan aku! Apa jangan-jangan itu benar? Kamu selingkuh?” Andin menaikkan satu oktaf suaranya.Bara mendesah. Langkahnya terhenti. “Aku habis dari rumah ibu.”Uc

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Ujungnya Pakai Sabun

    Bak terhipnotis ucapan Bara, Andin pun mengangguk. Membuat senyum miring di wajah Bara terpatri.Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Bara dengan sigap merengkuh tubuh Andin. Harum semerbak menyeruak indera penciuman Bara. Bara dan Andin yang memang tak saling menyentuh selama 6 bulan, merasa melayang saat ini. Bahkan suara ketukan pintu yang terdengar dari luar pun mereka abaikan.“Andin, Andin, kamu lagi ngapain, sih? Kok, pintunya nggak dibuka-buka?” Suara teriakan Bu Ratna sempat menghentikan aktifitas Bara dan Andin.Bara ingin sekali merutuki keluarga Abraham yang tak pernah membiarkan kesenangannya tercapai. Lelaki yang sudah berada di atas tubuh Andin ini kembali mengecup leher jenjang Andin.Namun kali ini, Andin menahannya. Sejenak, alisnya saling tertaut sembari mempertajam indera pendengarannya.“Kenapa?” tanya Bara dengan suara serak.“Kayaknya papah pulang, deh,” jawab Andin setelah terdiam beberapa menit.“Ya, udah. Biarin aja, Sayang.” Bara kembali mengecup bibir Andin.

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Gangguan Andin

    "Ma-mau apa maksudnya, Kak?" tanya Andin tergagap.“Kok, kamu mau, sih, berhubungan badan sama orang yang nggak bisa nyukupin kebutuhan kamu, Ndin?” Alin berdecak, menyilangkan kedua tangan di depan dada.Jika sudah diremehkan seperti ini, Andin akan memilih bungkam dan enggan memperdebat pemikiran kedua kakaknya yang didukung oleh sang ibu tersebut.Dan inilah sebenarnya alasan Andin tak mau melakukan hubungan dengan sang suami. Meskipun sudah disembunyikan sedemikian rupa, entah kenapa kedua kakaknya pasti akan mengetahui, lalu mengolok-oloknya.Sementara di dalam kamar mandi, Bara tengah menyelesaikan kegiatannya. Sekiranya cukup lega, Bara kembali mandi dengan cepat.“Lagi dingin-dingin, udah mandi dua kali aja!” gerutu Bara sembari melangkah ke ranjang. “Mana nggak jadi buat anak!”Bara memakai pakaian yang sudah sempat diambil sebelumnya dan diletakkan di tepi ranjang tadi. Sekelebat, bayangan pakaian dalam Andin melintas di pikirannya. Membuat Bara kesulitan menelan salivanya.

Bab terbaru

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Menuntut Penjelasan

    “Kali ini kenapa Anda ingin saya menempati rumah mewah ini?” sambung Bara, mengedarkan pandangan ke segala penjuru arah.“Saya tidak bermaksud menelantarkan kamu dan ibu kamu, Bar, tapi …. “ Pak Dirgantara menggantung kalimatnya.“Tapi apa, Pak? Apa Bapak akan bilang karena takut harta Anda saya minta satu sen?” tuduh Bara serta-merta.Sontak, Pak Dirgantara menggeleng. Rasa bersalah yang selama ini bersarang dalam hati semakin besar melihat amarah Bara.Sementara Bara semakin kalut dengan pikirannya sendiri. Bara sama sekali tak berpikiran untuk meminta harta Pak Dirgantara. Sekali pun sang kakek itu miskin, Bara akan menerima kehadirannya dengan hati terbuka. Apa salah jika Bara mengetahui keluarga aslinya?Dengan kekuatan dan kekayaan yang dimiliki Pak Dirgantara, Bara yakin 100% bahwa Pak Dirgantara dengan mudah akan menemukan keberadaannya. Akan tetapi, Pak Dirgantara seolah tak menginginkan kehadiran sosok cucu kecilnya.Pak Dirgantar mengambil satu foto yang terpajang di buffet

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Sebuah Pengungkapan

    Pak Dirgantara terdiam sejenak dengan tatapan tajam lurus ke arah Bara. Sedetik kemudian, satu sudut bibirnya terangkat, lalu mengangguk.“Ya, nama saya Dirgantara,” jawab Pak Dirgantara penuh penekanan.Bara terperanjat. Lidahnya sedikit kelu dengan napas yang tercekat. Namun, ia menepis jauh-jauh pikiran tentang kesamaan nama Bara dan Pak Dirgantara.‘Mungkin ada banyak nama Dirgantara di negeri ini,’ pikir Bara.“Apa kamu terkejut?” tebak Pak Dirgantara tepat sasaran.Bara mengangguk ragu. Memang Bu Sinta tak pernah menunjukkan foto atau bahkan kenangan snag ayah. Namun, Bu Sinta tak menutup-nutupi makam sang ayah. Dan setiap tahun, Bara rutin mengunjungi makan yang letaknya lumayan jauh dari rumah ibunya.Bara dapat melihat dengan jelas di batu nisan itu bahwa makan ayahnya tertulis nama Mahendra Dirgantara. Lalu, apa hubungan nama Dirgantara yang tersemat di bagian belakang nama Bara? “Apa yang membuatmu terkejut?” Pak Dirgantara memicingkan mata.Bara tersenyum tipis. Entah kena

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Curahan Hati Bara

    Bara menatap bergantian Pak Dirgantara dan Supri. Sementara Supri hanya tersenyum, melihat tingkah polos Bara.“Kamu di sini saja, Mas Bara. Tenang saja, Tuan itu baik,” ujar Supri sembari tersenyum. “Lagian saya ada urusan sebentar.”Bara pun mengangguk mendengar penjelasan Supri. Tatapannya beralih pada Pak Dirgantara yang tengah duduk dengan kaki menyilang.Hening. Bara hanya menunduk karena merasa canggung dan tak enak hati berada di rumah mewah yang mungkin tak seharusnya disinggahi. Sementara Pak Dirgantara terus mengamati wajah Bara dengan seulas senyuman.“Eum, maaf. Kenapa Bapak menatap saya seperti itu, ya?” tanya Bara tak enak.Pak Dirgantara hanya tertawa pelan. Saking pelannya, tawa itu cenderung mengarah ke kekehan. Ia menggelengkan kepala, tak menyangka jika takdir akan membawanya sampai detik ini.“Saya hanya tidak menyangka jika takdir akan memihak kepada saya,” jawab Pak Dirgantara lirih, tetapi masih didengar oleh Bara.Bara mengernyit. Tak mengerti dengan ucapan P

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Rumah Mewah Pak Dirgantara

    Bara mengangguk pelan. Menatap pria tua bertubuh tinggi besar dengan seksama. Kemudian, ingatannya terputar saat ia menabrak mobil mewah yang baru saja ditumpangi.“Oh, Bapak itu?” Bara menunjuk Pak Dirgantara, kemudian beralih menunjuk ke luar. “Dan mobil itu?”Pak Dirgantara hanya tersenyum. Sontak, Bara menoleh, menuntut jawaban dari Supri.“Benar. Mobil yang kamu tumpangi tadi adalah mobil yang kamu tabrak tempo lalu,” jelas Supri, membuat Bara terkejut.Bara gusar. Ia merasa bersalah pada Pak Dirgantara yang begitu baik menolongnya. Sementara Pak Dirgantara yang mengamati wajah babak belur Bara pun khawatir."Bapak masih ingat nama saya?" Bara menunjuk dirinya sendiri.Pak Dirgantara tersenyum. "Tentu saja. Saya tidak akan pernah lupa nama kamu dari dulu."Bara mengernyit. Ia tak tahu maksud Pak Dirgantara mengatakan dari dulu. Dari dulu kapan? Padahal, ia dan Pak Dirgantara baru saja bertemu.“Wajah kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini padamu?” Pak Dirgantara mendekat, menyentu

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Seonggok Sampah di Rumah Mewah

    Supri melirik Bara dari balik cermin, kemudian kembali fokus menyetir. “Kata kamu terserah saya yang penting jangan pulang dan ke rumah sakit, kan?”Bara terdiam. Rasa sakit itu perlahan mulai hilang saat Bara fokus mengamati jalanan yang hendak memasuki perumahan mewah.Kendaraan roda empat yang Bara tumpangi itu mulai memasuki halaman rumah dengan gerbang besar yang terbuka otomatis. Tak cukup sampai di sana. Bahkan, mobil yang Supri kendarai harus melewati taman dengan pohon cemara di sepanjang jalan yang lumayan panjang sebelum sampai tepat di depan rumah.“Sudah sampai, Mas. Saya bawa kamu ke rumah majikan saya. Karena saya tinggal di sini.” Supri keluar dari pintu kemudi, lalu bergegas membuka pintu belakang.Tak dapat dipungkiri, tatapan takjub Bara tunjukkan begitu melihat dengan jelas rumah mewah berwarna putih dengan tangga di teras. Bahkan, rasa sakit yang menimpanya kini lenyap begitu saja entah ke mana.“Ru-rumah siapa ini, Pak?” Bara tergagap, setia menatap takjub rumah

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Keberuntungan Bara

    Dengan tertatih, Bara berusaha bangkit dan berjalan sempoyongan ke arah jalan raya yang tak begitu jauh lokasinya. Kali ini, Bara memutuskan untuk tak buru-buru kembali ke rumah karena tak mau ibunya khawatir.“Awwh! Ssh!” Bara meringis kesakitan dan tersungkur di trotoar.Tubuh Bara terasa ngilu. Tanpa sadar, lelaki yang tengah berteriak itu meneteskan air mata. Ia meluapkan segala amarah dan rasa sakit secara bersamaan. Kaki Bara tak sengaja menendang botol kaleng yang ada di sampingnya dan mendarat di jalan raya.Tepat saat itu, mobil sedan mewah berwarna hitam itu hendak lewat. Dari dalam kaca mobil, si sopir melihat Bara masih telentang sembari memegang perut.“Anak muda sekarang kenapa suka sekali mabuk?” gumam Supri, yang ternyata adalah pengendara mobil mewah tersebut.Entah kenapa meski pikiran menentang, naluri Supri ingin sekali menolong lelaki. Supri pun menepikan mobil mewah yang dikendarainya dan berjalan ke arah Bara.“Mas, Mas!” Supri menggoyang-goyangkan badan Bara da

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Dibuang bak Sampah

    Bara bukanlah pria yang sama sekali tak bisa melawan Pak Abraham. Ia hanya takut jika dirinya melawan, Pak Abraham akan memanggil para pesuruh untuk datang ke rumah dan melenyapkan nyawanya.“Usir saja dia dari rumah ini, Pah!” pekik Bu Ratna, menghentikan pukulan Pak Abraham.Pak Abraham mengangguk-angguk. “Kamu benar! Lagian untuk apa melihara lelaki yang tidak berguna sama sekali!”Bara meringis kesakitan. Memegang perut yang terasa sangat nyeri. Bahkan wajahnya pun sudah tak berbentuk lagi.Pak Abraham menatap Tio dan mengintruksi untuk membawa Bara keluar dari rumah. Dengan sigap, menantu pertamanya itu mencengkram kuat kerah Bara dan menyeretnya keluar rumah.“Ndin, Andin?” Bara merintih kesakitan, menatap nanar Andin, mengisyaratkan bahwa dirinya butuh pertolongan.Andin hanya menatap Bara. Lagi-lagi, ia tak ada niat sedikit pun untuk menolong sang suami itu. Sementara Agnes, Alin, dan Bu Ratna mengekor di belakang Pak Abraham.“Pergi kamu dari sini! Dasar lelaki sampah nggak b

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Serangan Pak Abraham

    Bara bangkit dari posisi duduk, hendak mendekat ke arah Agnes. Namun, belum saja sampai, Pak Abraham sudah terlebih dahulu menarik baju bagian belakang Bara.“Jangan macam-macam kamu sama anak saya, Bar!” bentak Pak Abraham, begitu Bara tergeletak di lantai.Mata Bara membelalak. Baru saja Bara hendak bangkit, Pak Abraham sudah mendaratkan pukulan ke pipi Bara.“Aku hanya membuktikan bahwa aku tidak salah, Pak!” Bara menghalangi wajah dari pukulan ke dua Pak Abraham.Pak Abraham tak sedikit pun mengindahkan ucapan Bara. Lelaki berpostur tubuh tegap di usianya yang sudah menginjak setengah abad itu terus menyerang Bara dengan pukulan, hingga sudut bibir Bara sedikit sobek dan mengeluarkan sedikit darah.Melihat Bara terus meringis, Pak Abraham menghentikan pukulan, seraya membentak. “Apa sekarang kamu masih tidak mau mengaku? Hah?”Bara menggeleng. Lelaki yang masih tersungkur dengan luka lebam di kedua pipi itu tetap kekeuh dengan pendiriannya. Tak sudi sama sekali untuk mengakui perb

  • MILIARDER yang TERTUNDA   Semakin Tersudut

    “Ada apa, sih? Malam-malam berisik aja?” Suara Pak Abraham menggema, begitu hendak sampai di dapur.Agnes sedikit berlari dan memeluk Bu Ratna. Sementara Andin dan Bara masih berdiri di tempat tanpa melepas pandangan.“Bara mau memperkosa aku, Mah,” ucap Agnes terisak dan berbohong.Seluruh keluarga Abraham terperanjat. Dengan serta-merta, mereka menuduh Bara yang tidak-tidak dan memilih mempercayai putri ke dua mereka.“Kamu pikir kamu siapa di sini? Hah? Berani-beraninya kamu mau memperkosa anak saya! Dasar bajingan!” Bu Ratna memberi pukulan bertubi pada Bara yang sudah duduk di sofa ruang keluarga.“Mah, aku nggak salah! Aku sama sekali nggak memperkosa Kak Agnes! Bahkan nyentuh aja enggak!” kilah Bara, sembari menghalangi pukulan Bu Ratna.“Mah, sudah, Mah. Hentikan! Kita dengerin dulu penjelasan ini!” perintah Pak Abraham tak terbantah. “Jika benar dia melakukan itu, Papah sendiri yang akan menghukumnya.”Sontak, Bu Ratna pun menghentikan pukulan itu. Andin yang duduk di samping

DMCA.com Protection Status