Home / Pernikahan / Titip / Chapter 21 - Chapter 30

All Chapters of Titip: Chapter 21 - Chapter 30

65 Chapters

Katarsis

Aku menggigit bibir, ikut merasakan apa yang Bang Sam rasakan. Bagaimana pekerjaan seorang anak dianggap sebelah mata oleh orang tua. Nama besar dan usaha Abah yang gemilang, membuat dia mudah saja menghakimi putranya.Aku menyingkir ketika salah satu dari laki-laki itu berdiri dan masuk ke rumah. Abah terlihat menuju kamarnya.“Amaak!” Gelegar suara Abah memanggil istrinya beberapa saat kemudian. Amanda sampai terbangun karena terkejut.Amak tergopoh memasuki kamar depan mendengar panggilan sang suami yang tidak biasa.“Sertifikat rumah ini ke mana?”“Entah. Mana Amak tahu. Abah taruh di laci biasanya.”Hebohlah suasana pagi di rumah besar itu. Abah kehilangan sertifikat rumah sementara tidak ada orang yang bersuara atau pun mengaku melihatnya.Tak lama setelah itu, Bang Sam pamit pergi ke kantornya tanpa banyak cakap, sementara hatiku menerka-nerka.Apa mungkin, Bang Sam yang mengambilnya. Tetapi untuk apa?Aku menggeleng. Mengenyahkan pikiran buruk yang melintas tiba-tiba.**Abah
Read more

Aroma Sabun

Sudah nyaris sebulan dari syarat yang aku ajukan, tetapi Bang sam masih juga tidak memberikan jawaban. Barangkali dia lupa syarat satu bulan itu atau atau sengaja melupakannya.Dia selalu pergi kerja terburu-buru, bekerja hingga larut malam, dan pulang membawa wajah yang kusut masam.Singasana kami pun tidak berubah, dia di ranjang dan aku di sofa di samping boks Amanda, meski Bang Sam lelah memintaku pindah dan bertukar tempat.Betapa sebenarnya sungguh menyenangkan memiliki pasangan meski tidak sempurna. Pasangan yang punya kekurangan. Asal saling bergandengan tangan dan saling menguatkan, jatuh bangun berdua. Sehingga ketika salah satu tergelincir, yang lain akan menariknya kembali berdiri. Berjalan bersama, seiya sekata menuju satu titik di ujung sana.Hal yang begitu samar untuk kami berdua.Bang Sam keluar kamar mandi hanya dengan melilitkan handuk di pinggangnya. Pemandangan yang membuatku jengah dan memalingkan muka.“Sudah nyaris dua bulan, Abang. Masih juga belum mau bicara?
Read more

Flek

Aku mulai bosan, sementara tubuh belum bisa diajak kompromi untuk duduk lama. Seperti ini ternyata rasanya menjadi pasien.Seperti pahan, Bang Sam lalu pamit mencarikan teh hangat dan camilan. Kemudian datang kembali setelah beberapa saat kemudian.Dia duduk di sampingku, menyodorkan teh dalam cup lalu dengan sigap merangkul pundakku untuk memberikan rasa nyaman.Andai saja dia tidak berulah dan membuatku benci, diperlakukan seperti ini oleh suami tentu saja akan terasa menjadi permaisuri sejati.“Ibu Airin istri Bapak Samsuari!”Seorang perawat yang berdiri di depan ruang periksa, memanggil dengan map di tangannya. Akhirnya. Setelah hampir lumutan, namaku dipanggil juga.Konon kabarnya, di rumah sakit umum seperti ini, untuk mendapat pelayanan cepat, pasien harus mengantri pagi-pagi sekali.Seorang dokter paruh baya dengan kacamata menyapa ramah. Cara beliau bertanya dengan hangat, membuatku teringat Dokter Ramlan.Anamnesa (tanya jawab) dilakukan dengan cepat untuk membantu menegak
Read more

Bukit Rahasia

Beberapa puluh meter ke dalam, tampak sebuah bangunan semacam rumah, gubuk, barak atau apalah.Rumah sederhana itu berdinding papan dan beratap seng. Menilik dari warna atap yang masih mengkilat dan cat putih yang belum pudar, aku yakin pondok yang kami tuju belum terlalu lama didirikan.“Rumah siapa itu?”“Rumah pengkhianat.”“Maksudnya?”Bang Sam tidak menjawab. Dia justru sibuk meraba sesuatu di atas para-para.Kemudian, tangannya dengan cekatan membuka gembok dan mempersilahkan aku masuk.Tidak ada apa-apa di dalam ruangan berukuran kecil itu kecuali lantai papan, sebuah tikar plastik dan satu set alat masak portabel. Bau apak yang menguar menjelaskan bahwa rumah ini jarang dibuka. Aroma cat labur putih juga masih meninggalkan jejaknya. Tetesan noktah di lantai menjelaskan bahwa ruangan ini jarang dikunjungi.“Mana pengkhianatnya?” Mataku berputar-putar dan tidak menemukan siapa pun kecuali hawa pengap dan keheningan.“Mereka kabur.” Bang Sam menjawab sekenanya.Aku menoleh tidak
Read more

Jejak Darah

Mataku berpendar mengawasi setiap sudut ruang, membiarkan laki-laki itu lebih tenang sebelum kami pulang. Bang Sam tidak boleh gusar karena harus membawa kendaraan.Lelaki itu masih duduk tercenung sambil sesekali menyesap kopi instan yang mulai dingin. Kedua telapak tangannya merangkum gelas kertas di tangannya.Kemudian, pandanganku tiba-tiba tertuju pada sesuatu yang ganjil di dinding sebelah kanan. Bercak darah kering tercetak jelas di beberapa titik. Kupandangi Bang Sam yang tepekur menatap lantai, menopangkan dagunya pada lutut yang ditekuk. Darah siapa itu?Di tempat sesepi ini orang bisa saja gelap mata, leluasa meluapkan amarah karena dicurangi. Tidak akan ada saksi mata apalagi orang yang peduli.Hatiku kembali bertanya-tanya, teringat malam itu Bang Sam pulang dalam keadaan basah kuyup dan terluka. Darimana dia? Kenapa tangannya terluka dan baju basah dengan noda lumpur? Apakah dia baru saja membunuh seseorang?“Abang,” panggilku hati-hati. Tetap saja, aku masih harus waspa
Read more

Di Kamar Terus

“Fatma dulu ninggalin anak karena bekerja. Ini seharian pergi dari rumah habis main sama suaminya.”Aku mendengar dengan sangat jelas, Amak mengeluh kepada Ayuk yang bekerja membantu di rumah, ketika aku sengaja ke belakang mau mengambil minum.“Di kamar terus, alasannya menjaga Manda, nggak bisa masak. Lain nian dengan Fatma.”Aku menghela napas panjang. Gara-gara kami pulang terlambat tempo hari itu masih membuat Amak kesal. Ternyata benar yang teman-teman bilang, sebaik-baik mertua, jika tinggal serumah, suatu saat akan terjadi konflik juga.Apalagi saat aku menjadi yang kedua, ada pembanding yang dijadikan pembeda.Aku urung ke dapur dan kembali ke kamar dengan pikiran tidak keruan. Selain memang tidak jago memasak, mencium bau makanan kini sungguh membuatku mual, sementara diri masih belum berani mengatakan bahwa sedang berbadan dua.Kembali kurebahkan diri di kasur, membuka-buka buku bisnis yang beberapa waktu lalu dibeli secara online. Namun, pikiranku sama sekali tidak bisa f
Read more

Sertifikat

Hari ini, Abah masih uring-uringan. Sertifikat rumah yang entah mau digunakan untuk apa tetap tidak kelihatan. Aku hanya diam, duduk di lantai teras sambil memangku Amanda, menemani Zain dan Zidan bermain lego. Meski telinga risih dan mulut gatal ingin bicara.Duh, Bang Sam, kenapa bikin masalah nggak kira-kira, sih? Gemasku luar biasa.Rumah pemberian mertua yang nyaman pada awalnya mulai terasa gerah dan membuat tidak tenang. Rasanya aku ingin cepat-cepat hengkang.Hati bertanya-tanya, Ayuk Fatma hidup nyaman dahulunya. Atau barangkali dia tipe perempuan yang pandai membawa diri dan tidak mengumbar aib suami. Bisa saja seperti itu. Ah, entahlah. Sepertinya aku harus belajar dari pendahuluku. Ayuk Fatma memang perempuan baik.“Kenapa Abang dak jujur saja sama Abah tentang sertifikat itu?” tanyaku malam tadi.Bang Sam hanya menggeleng dengan wajah frustasi. Aku tahu dia tidak akan berani. Namun, sampai kapan dia bisa menutupi kebohongan ini sebelum ketahuan.Jika suatu hari nanti cici
Read more

Kantor Polisi

Kantor polisi. Ah, sekali lagi, aku harus berhubungan dengan mereka ini.Ruang tempat pengaduan masyarakat itu tampak ramai dengan petugas berseragam yang hilir-mudik, sebagian sibuk mengetik di meja masing-masing. Beberapa dari mereka berdiri dan serius mengobrol. Entah membicarakan apa.Dua orang petugas yang seperti familiar dengan Abah, mendekat. Menyalami laki-laki sepuh itu dengan hangat dan mempersilahkan duduk.Pelaporan pun dilakukan. Abah dan aku ditanya bergantian, sementara seorang petugas lain mengetik sesuatu di komputer sambil mendengarkan.Tentu saja dadaku berdebar. Selain ini adalah pengalaman pertama, ada informasi rahasia yang susah-payah kusembunyikan. Informasi yang bagai dua mata pedang. Amanah rahasia Bang Sam yang yang harus kusimpan atau menceritakan informasi yang barangkali dibutuhkan.Satu jam yang seperti pesakitan saja. Satu jam yang begitu lama.Setelah obrolan panjang lebar dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, polisi dengan nametag Andi di
Read more

Waktu Yang Melambat

Bapak dan Ibu mau mampir sekalian ada perlu. Bunyi pesan Ibu di ponselku.Setelah sekian lama tidak bertemu semenjak aku menikah dan hanya berkirim kabar, pagi ini Ibu memberitahu akan mampir sekalian ada perlu ke kabupaten.Kenapa waktunya nggak pas banget gini, sih?Kupandangi ponsel di tangan dengan perasaan galau. Apa yang harus kusampaikan pada Bapak Ibu kalau mereka bertanya tentang kehidupanku di sini? Bagaimana jika mereka bertanya ke mana suamiku? Apakah sebaiknya kularang saja mereka berkunjung? Tapi apa alasannya?Betapapun, aku tidak ingin semakin membebani orang tuaku, ketika anak gadisnya menikah karena terpaksa, tidak ada walimahan yang merupakan kebanggaan orang tua. Kemudian sekarang aku harus berhenti bekerja.Bisa kubayangkan bagaimana hancurnya hati mereka jika tahu seperti apa kehidupan anaknya sekarang. Alih-alih bahagia, Bang Sam justru penuh misteri dan membuatku bertanya-tanya. Pun, sekarang menghilang entah ke mana.Aku masih termangu di kamar setelah menidu
Read more

Sinyal Terakhir

Kunjungan Bapak dan Ibu menjadi begitu singkat karena masalah ini. Kurasa, masing-masing saling menjaga hati.“Amak, Rin pamit.” Aku mengulurkan tangan, mengambil tangan Amak untuk kucium.Perempuan itu hanya mengatakan ‘heem’ nyaris tanpa ekspresi. Sesuatu yang menyadarkanku bahwa tidak selamanya orang akan bersikap baik. Apalagi Amak yang terbiasa mudah mendapatkan apa yang dia mau. Tinggal tunjuk ini itu.Mereka adalah orang kaya dan aku hanya menantu dadakan yang dinikahi putranya karena terpaksa. Kesalahan prosedur yang membuat hidupku berkubang air mata.Aku berjalan keluar dan melambai pada ojek yang mangkal di pertigaan. Meski ada beberapa kendaraan pribadi di garasi, itu bukan milik kami. Tidak sepantasnya aku merengek minta diantarkan.Lihatlah, betapa perbedaan stara antara aku dan Bang Sam laksana langit dan bumi.“Baleklah kau cepat, Rin. Jangan lama nian di kampung.” Amak berpesan saat aku sudah berada di boncengan ojek yang akan membawaku ke terminal. Entah. Apakah ia m
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status