Aku mulai bosan, sementara tubuh belum bisa diajak kompromi untuk duduk lama. Seperti ini ternyata rasanya menjadi pasien.Seperti pahan, Bang Sam lalu pamit mencarikan teh hangat dan camilan. Kemudian datang kembali setelah beberapa saat kemudian.Dia duduk di sampingku, menyodorkan teh dalam cup lalu dengan sigap merangkul pundakku untuk memberikan rasa nyaman.Andai saja dia tidak berulah dan membuatku benci, diperlakukan seperti ini oleh suami tentu saja akan terasa menjadi permaisuri sejati.“Ibu Airin istri Bapak Samsuari!”Seorang perawat yang berdiri di depan ruang periksa, memanggil dengan map di tangannya. Akhirnya. Setelah hampir lumutan, namaku dipanggil juga.Konon kabarnya, di rumah sakit umum seperti ini, untuk mendapat pelayanan cepat, pasien harus mengantri pagi-pagi sekali.Seorang dokter paruh baya dengan kacamata menyapa ramah. Cara beliau bertanya dengan hangat, membuatku teringat Dokter Ramlan.Anamnesa (tanya jawab) dilakukan dengan cepat untuk membantu menegak
Beberapa puluh meter ke dalam, tampak sebuah bangunan semacam rumah, gubuk, barak atau apalah.Rumah sederhana itu berdinding papan dan beratap seng. Menilik dari warna atap yang masih mengkilat dan cat putih yang belum pudar, aku yakin pondok yang kami tuju belum terlalu lama didirikan.“Rumah siapa itu?”“Rumah pengkhianat.”“Maksudnya?”Bang Sam tidak menjawab. Dia justru sibuk meraba sesuatu di atas para-para.Kemudian, tangannya dengan cekatan membuka gembok dan mempersilahkan aku masuk.Tidak ada apa-apa di dalam ruangan berukuran kecil itu kecuali lantai papan, sebuah tikar plastik dan satu set alat masak portabel. Bau apak yang menguar menjelaskan bahwa rumah ini jarang dibuka. Aroma cat labur putih juga masih meninggalkan jejaknya. Tetesan noktah di lantai menjelaskan bahwa ruangan ini jarang dikunjungi.“Mana pengkhianatnya?” Mataku berputar-putar dan tidak menemukan siapa pun kecuali hawa pengap dan keheningan.“Mereka kabur.” Bang Sam menjawab sekenanya.Aku menoleh tidak
Mataku berpendar mengawasi setiap sudut ruang, membiarkan laki-laki itu lebih tenang sebelum kami pulang. Bang Sam tidak boleh gusar karena harus membawa kendaraan.Lelaki itu masih duduk tercenung sambil sesekali menyesap kopi instan yang mulai dingin. Kedua telapak tangannya merangkum gelas kertas di tangannya.Kemudian, pandanganku tiba-tiba tertuju pada sesuatu yang ganjil di dinding sebelah kanan. Bercak darah kering tercetak jelas di beberapa titik. Kupandangi Bang Sam yang tepekur menatap lantai, menopangkan dagunya pada lutut yang ditekuk. Darah siapa itu?Di tempat sesepi ini orang bisa saja gelap mata, leluasa meluapkan amarah karena dicurangi. Tidak akan ada saksi mata apalagi orang yang peduli.Hatiku kembali bertanya-tanya, teringat malam itu Bang Sam pulang dalam keadaan basah kuyup dan terluka. Darimana dia? Kenapa tangannya terluka dan baju basah dengan noda lumpur? Apakah dia baru saja membunuh seseorang?“Abang,” panggilku hati-hati. Tetap saja, aku masih harus waspa
“Fatma dulu ninggalin anak karena bekerja. Ini seharian pergi dari rumah habis main sama suaminya.”Aku mendengar dengan sangat jelas, Amak mengeluh kepada Ayuk yang bekerja membantu di rumah, ketika aku sengaja ke belakang mau mengambil minum.“Di kamar terus, alasannya menjaga Manda, nggak bisa masak. Lain nian dengan Fatma.”Aku menghela napas panjang. Gara-gara kami pulang terlambat tempo hari itu masih membuat Amak kesal. Ternyata benar yang teman-teman bilang, sebaik-baik mertua, jika tinggal serumah, suatu saat akan terjadi konflik juga.Apalagi saat aku menjadi yang kedua, ada pembanding yang dijadikan pembeda.Aku urung ke dapur dan kembali ke kamar dengan pikiran tidak keruan. Selain memang tidak jago memasak, mencium bau makanan kini sungguh membuatku mual, sementara diri masih belum berani mengatakan bahwa sedang berbadan dua.Kembali kurebahkan diri di kasur, membuka-buka buku bisnis yang beberapa waktu lalu dibeli secara online. Namun, pikiranku sama sekali tidak bisa f
Hari ini, Abah masih uring-uringan. Sertifikat rumah yang entah mau digunakan untuk apa tetap tidak kelihatan. Aku hanya diam, duduk di lantai teras sambil memangku Amanda, menemani Zain dan Zidan bermain lego. Meski telinga risih dan mulut gatal ingin bicara.Duh, Bang Sam, kenapa bikin masalah nggak kira-kira, sih? Gemasku luar biasa.Rumah pemberian mertua yang nyaman pada awalnya mulai terasa gerah dan membuat tidak tenang. Rasanya aku ingin cepat-cepat hengkang.Hati bertanya-tanya, Ayuk Fatma hidup nyaman dahulunya. Atau barangkali dia tipe perempuan yang pandai membawa diri dan tidak mengumbar aib suami. Bisa saja seperti itu. Ah, entahlah. Sepertinya aku harus belajar dari pendahuluku. Ayuk Fatma memang perempuan baik.“Kenapa Abang dak jujur saja sama Abah tentang sertifikat itu?” tanyaku malam tadi.Bang Sam hanya menggeleng dengan wajah frustasi. Aku tahu dia tidak akan berani. Namun, sampai kapan dia bisa menutupi kebohongan ini sebelum ketahuan.Jika suatu hari nanti cici
Kantor polisi. Ah, sekali lagi, aku harus berhubungan dengan mereka ini.Ruang tempat pengaduan masyarakat itu tampak ramai dengan petugas berseragam yang hilir-mudik, sebagian sibuk mengetik di meja masing-masing. Beberapa dari mereka berdiri dan serius mengobrol. Entah membicarakan apa.Dua orang petugas yang seperti familiar dengan Abah, mendekat. Menyalami laki-laki sepuh itu dengan hangat dan mempersilahkan duduk.Pelaporan pun dilakukan. Abah dan aku ditanya bergantian, sementara seorang petugas lain mengetik sesuatu di komputer sambil mendengarkan.Tentu saja dadaku berdebar. Selain ini adalah pengalaman pertama, ada informasi rahasia yang susah-payah kusembunyikan. Informasi yang bagai dua mata pedang. Amanah rahasia Bang Sam yang yang harus kusimpan atau menceritakan informasi yang barangkali dibutuhkan.Satu jam yang seperti pesakitan saja. Satu jam yang begitu lama.Setelah obrolan panjang lebar dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, polisi dengan nametag Andi di
Bapak dan Ibu mau mampir sekalian ada perlu. Bunyi pesan Ibu di ponselku.Setelah sekian lama tidak bertemu semenjak aku menikah dan hanya berkirim kabar, pagi ini Ibu memberitahu akan mampir sekalian ada perlu ke kabupaten.Kenapa waktunya nggak pas banget gini, sih?Kupandangi ponsel di tangan dengan perasaan galau. Apa yang harus kusampaikan pada Bapak Ibu kalau mereka bertanya tentang kehidupanku di sini? Bagaimana jika mereka bertanya ke mana suamiku? Apakah sebaiknya kularang saja mereka berkunjung? Tapi apa alasannya?Betapapun, aku tidak ingin semakin membebani orang tuaku, ketika anak gadisnya menikah karena terpaksa, tidak ada walimahan yang merupakan kebanggaan orang tua. Kemudian sekarang aku harus berhenti bekerja.Bisa kubayangkan bagaimana hancurnya hati mereka jika tahu seperti apa kehidupan anaknya sekarang. Alih-alih bahagia, Bang Sam justru penuh misteri dan membuatku bertanya-tanya. Pun, sekarang menghilang entah ke mana.Aku masih termangu di kamar setelah menidu
Kunjungan Bapak dan Ibu menjadi begitu singkat karena masalah ini. Kurasa, masing-masing saling menjaga hati.“Amak, Rin pamit.” Aku mengulurkan tangan, mengambil tangan Amak untuk kucium.Perempuan itu hanya mengatakan ‘heem’ nyaris tanpa ekspresi. Sesuatu yang menyadarkanku bahwa tidak selamanya orang akan bersikap baik. Apalagi Amak yang terbiasa mudah mendapatkan apa yang dia mau. Tinggal tunjuk ini itu.Mereka adalah orang kaya dan aku hanya menantu dadakan yang dinikahi putranya karena terpaksa. Kesalahan prosedur yang membuat hidupku berkubang air mata.Aku berjalan keluar dan melambai pada ojek yang mangkal di pertigaan. Meski ada beberapa kendaraan pribadi di garasi, itu bukan milik kami. Tidak sepantasnya aku merengek minta diantarkan.Lihatlah, betapa perbedaan stara antara aku dan Bang Sam laksana langit dan bumi.“Baleklah kau cepat, Rin. Jangan lama nian di kampung.” Amak berpesan saat aku sudah berada di boncengan ojek yang akan membawaku ke terminal. Entah. Apakah ia m
Sepulang dari kampus, aku kembali ke ruko setelah mampir sebentar ke cabang laundry ke dua di dekat tempat kerja. Aku duduk termenung di lantai dua. Mengingat dan meresapi lagi apa yang tadi pagi Bu Suji katakan.“Kita tidak bisa selalu menjadi malaikat bagi orang lain. Berikan pada ahlinya. Biar mereka yang menyelesaikannya. Cerita sama mertua Bu Airin. Ini bukan perkara aib, tetapi Ibu harus tetap waras, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini.”“Tapi, Bu ….”“Saya belum terlalu yakin sebab menegakkan diagnosa memang tidak hanya mengambil dari sumber kedua. Tetapi saran saya, cari pertolongan, jangan dipendam sendirian. Ini bukan lagi perkara menutup aib, tetapi menjaga kewarasan.”Aku menarik napas berat. Perpisahan, apapun namanya, bukanlah cita-cita bagi setiap perempuan. Tetapi mengingat kelakuan Bang Sam dan Amak, tak urung membuatku bergidik. Benar kata Bu Suji, mengerikan jika harus bertahan lebih lama lagi.Kuedarkan pandangan sekali lagi. Aku putuskan untuk tinggal di sini,
Kalau tidak ingat sedang di kampus, ingin rasanya aku menjerit. Dada rasanya sakit sekali. Sehingga aku hanya tergugu dan meratapi diri, kenapa dipertemukan dan harus menikah dengan laki-laki model begini.Bu Suji segera mendekat dan mendekapku yang terus mengigil sambil menangis.“Saya udah dak kuat lagi, Ibuu. Toloong. Saya udah dak kuat.” Aku merintih seperti anak kecil. Sementara, Bu Suji diam dan hanya membiarkanku terus menumpahkan air mata di bahunya.Cukup lama aku terisak, namun rasanya belum juga hilang rasa sakit yang mengoyak harga diriku begitu dalam.Bu Suji segera bangkit dan aku berpaling ke arah tembok saat seseorang terdengar mengetuk pintu. Aku berusaha menyembunyikan wajah dari siapa pun yang berdiri di depan situ.“Assalamualaikum, Ibu. Sekarang jam kebidanan psikologi sama Bu Suji di ruang 3B lantai tiga.” Seorang mahasiswa terdengar menjemput beliau untuk mengajar. Ternyata sudah satu jam kami mengobrol dan tidak terasa waktu beranjak begitu cepat.“Waalaikumuss
Pagi-pagi sekali, indekost gempar. Sebab ada seorang ibu hamil yang kabur dari rumah suaminya dan kembali terdampar, di kontrakan mereka.“Maaf, ngrepotin kalian lagi,” ujarku penuh sesal. Tetapi bukannya marah, mereka justru excited. berceloteh tentang kebahagiaan bahwa nanti bakal ada bayi yang bisa jadi hiburan. “Senanglah kami, Yuk. Ada yang bisa dimainin balek kami dari kuliah.”Andai saja Bang Sam bisa seperti mereka ini, yang memberi tanpa perhitungan dan meminta ganti rugi.Makanan segera terhidang, meski mereka beli dari lapak pagi sarapan di depan gang. Nasi kuning dengan telur balado dan teh hangat. Bungkusan sejumlah kepala yang sekarang menghuni kost. Rame dan riuhnya mereka sedikit melipur lara hati.Panggilan telepon dari Bang Sam terhitung belasan kali sampai jam satu malam tadi. Aku menghapusnya tanpa ada keinginan untuk menelepon balik. Buat apa. Baginya, aku hanyalah perempuan hina. Setelah Amak menuduh dengan tuduhan keji, sekarang anaknya setali tiga uang. Sama s
Reaksi Bang Sam sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya dia berpikir senaif itu. Apa dia kira semua orang seperti dirinya yang dengan mudah bermain mata?Perang mulut tidak lagi terhindarkan. Ini adalah keributan kedua meski belum genap satu tahun umur pernikahan kami. Bagaimana bisa dia berpikir, aku akan macam-macam dengan perut sebesar ini? Usahaku membantunya, mengurus rumah, melunasi hutang, mencukupi kebutuhan, justru dibalas dengan kecurigaan yang tidak masuk akal.Meski tidak ada lagi rasa hormatku, aku tetap melayani semua kebutuhannya. Mengurus anaknya, menyiapkan pakaian, makan, dapur dan lain sebagainya. Lalu ini balasannya? Bagaimana pun aku menjelaskan, Bang Sam tetap kukuh menuduh, bahwa aku masih mencintai Bang Idham. Sengaja tidak mengganti judul proposal demi bertemu dengan mantan. padahal proposal itu sudah di acc pembimbing sebelum tragedi kematian Ayuk Fatma.Dia lalu mengotak-atik ponselku dan duduk diam terpaku di sofa, membiarkan gemuruh di dadaku semakin bertal
Seperti tidak punya daya, Bang Sam duduk dan mulai makan, ditingkahi anak-anaknya yang sibuk berebut mainan. "Maem dulu, Bang, Dek. Nanti lagi mainnya." Dengan lembut, Bang Sam menegur anak-anaknya. Barangkali sedang mode kalem, dia melayani kedua anak bujang dengan telaten dan sabar. Ekor matanya sesekali melirikku yang duduk di seberang meja. Aku sibuk mengaduk susu hangat yag sudah larut semenjak tadi. Sibuk dengan pikiranku sendiriMembiarkannya makan sambil melayani Zain dan Zidan."Papa, ada tulangnya." Zidan menyodorkan piringnya. Sepotong pesmol ikan mas memang harus hati-hati disiangi, sebab durinya banyak dan kecil-kecil sekali. Belum selesai Bang Sam membersihkan duri lauk milik Zidan, si sulung pun tidak tinggal diam. "Punya Abang juga."Bang Sam menghela napas, lalu menarik piring Zain juga ke hadapannya. Sementara aku pura-pura tidak peduli. Cepat-cepat kuhabiskan susu dan berdiri."Dak makan dulu, Adek?""Sudah tadi," jawabku cepat, meski aku belum makan malam, mel
Wajah tampan itu kini berubah menyeramkan. Pongah. Arogan. Menyebalkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa lama. Sepertinya, ada yang salah dengan otaknya.“Kenapa? Laki-laki boleh menikah lebih dari satu, Dek.”“Tau. Tapi bukan seperti itu konsepnya. Bukan begitu cara mencari dan menyelami sifat seorang perempuan.”“Jadi, cari istri macam dapetin Adek? Perempuan macam Adek? Yang keras kepala, kerja dak izin suami. Lancang buka-buka hape suami? Istri yang suudzon bae sama suami? Gitu?”Astaghfirullah. Kenapa sekarang justru aku yang salah? Bukannya kemarin dia bilang menikah karena cinta sama aku.“Asal Adek tau, Abang kenal mereka sebelum kita menikah. Abang niat berhenti karena punya Amanda. Tapi, kan dak secepat itu.”“Kan, tinggal bilang putus, apa susahnya?”“Kasian, Dek. Mereka manusia, punya perasaan.”“Dan, Abang? Dak merasa bersalah Ayuk sampai nekat melakukan vaginolpasty demi Abang? Karena sudah merasa dak sempurna sampai lakinya sibuk cari gebetan? Dak pedul
Menjelang Dzuhur, seluruh rangkaian acar selesai, meninggalkan kenangan pahit bagi sebagian orang. Maksudku, bagi perempuan-perempuan itu.Mereka mundur diri satu persatu dengan muka ditekuk, kecuali perempuan berambut merah. Satu-satunya yang mendatangi Bang Sam dengan tatapan menantang.Dia justru duduk tepat di depan kami sambil menikmati kudapan. Santai sekali. Atau berusaha santai. Sebab dia tampak menarik napas panjang berkali-kali.Bang Sam semakin blingsatan. Mau kabur dilihat Abah dan banyak orang, tetap berada di tempat dia sepertinya akan diserang. Perempuan berambut emas itu berkali-kali menatap Bang Sam dengan tajam. Tidak terlalu lama setelah itu, seluruh undangan telah pulang. Perempuan itu bangkit dan berjalan keluar, aku mengawasinya. Dia duduk di atas motor dan menyulut sebatang rokok. Sementara bagian katering sibuk membenahi bekas prasmanan.Azan Zhuhur berkumandang, Abah dan Amak izin pulang duluan. Mereka mengajak Bapak dan Ibu serta. Tidak ada lagi yang terting
Ruang bagian depan ruko sudah ditata sedemikian rupa. Makanan kudapan, buah, juga menu utama sudah dipesan dari katering setempat. Sederhana saja. Sekadar pengumuman kepada sekitar bahwa sebuah unit usaha laundry sudah buka. Sebagian teman-teman kerjaku, teman kampus, dan karyawan Abah turut diundang.Papan karangan bunga dari instansi tempatku bekerja dan perusahaan Abah, sudah cukup menjadi wakil marketing bahwa usaha ini berada dalam naungan Abah.Ahad. Pukul sepuluh pagi.Aku beberapa kali melirik jam tangan yang melingkar di tangan. Bang Sam meski terlihat enggan, terpaksa datang karena paksaan Abah. Seego apa pun laki-laki itu, di depan orangtuanya, dia mati kutu. Bang Sam tidak punya nilai tawar.Orang yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Jarak rumah Bu Rere di Pasir Putih memang agak sedikit jauh dari tempatku membuka usaha. Ibarat, satunya belok kiri dan yang lain belok kanan, sementara rumah Abah ada di tengah. Kemudian, hingga acara dimulai, batang hidung perempuan i
Sejak pergulatan malam itu dan dia tidak bisa lagi mengelak, aku dan Bang Sam saling diam. Pura-pura tidak melihat kalau berpapasan atau mengerjakan sesuatu di sebuah ruang. Tidak sia-sia aku memegang sabuk hitam karate. Olahraga yang kugeluti semenjak SMU. Meski setelah menikah, baju dogi itu hanya menjadi penghuni almari di indekost. Berdebu dan usang.Beberapa kali Sempai Dody menanyakan ketidakhadiranku dan hanya kujawab dengan ucapan maaf. Minimal, dari hasil binaannya itu, Bang Sam mati kutu di bawah tendangan mae geri-ku, meski refleks.Banyak hal yang yang terpaksa kurelakan demi memenuhi wasiat Ayuk Fatma dan meikahi suaminya. Lelaki yang sebenarnya separuh ... entah. Amak yang kini tidak frontal hanya beberapa kali tersenyum saat melintas. Di samping khawatir aku mengadu kepada Abah perihal sertifikat rumah, barangkali dia juga tidak bisa lagi membela Bang Sam. Anak kesayangannya justru yang banyak ulah. Pertengkaran kami malam itu, menampik tuduhan bahwa aku yang mengeja