Home / Rumah Tangga / Karma untuk Suami Pelit / Chapter 211 - Chapter 220

All Chapters of Karma untuk Suami Pelit: Chapter 211 - Chapter 220

231 Chapters

211. Sensitif

Menjelang tengah hari, Tante Anita datang dengan membawa dua tentengan besar. Pamit mau ke minimarket sebelah, tapi pergi hampir tiga jam. Sepertinya Tante Anita memang doyan belanja. "Maaf ya, Ka. Tante pergi kelamaan. Tadi niatnya mau beli cemilan ke minimarket, eh, malah ketemu teman dan akhirnya kita pergi ke mall." Tante Anita terkekeh sambil menyimpan barang bawaannya di dekat sofa. Ia sendiri duduk santai di sana.Tuh 'kan bener, Tante Anita barusan ke mall. Pantas saja salah satu tentengan yang dibawanya berlogokan salah satu mall yang terkenal di negeri ini."Tidak apa-apa, Tante. Saya juga baru bangun. Tadi habis makan kenyang dan minum obat, alhamdulillah saya tidur nyenyak.""Syukurlah, dengan banyak makan dan istirahat, mudah-mudahan kamu cepat sembuh.""Aamiin Tante, saya juga ingin cepat pulang supaya bisa kembali kerja. Hari ini saja saya belum mengabari ke tempat kerja.""Jangan dulu mikirin pekerjaan, yang penting sekarang sehat dulu," ucap tante Anita sambil mengel
last updateLast Updated : 2023-05-20
Read more

212. Arah Pulang

Kalau bukan karena Bu Anita, sudah kulawan pria bernama Joan itu. Jangan mentang-mentang dia kaya dan sudah membawaku ke rumah sakit, hingga bisa berbuat seenaknya. Lagi pula, aku berada di rumah sakit ini karena kesalahannya. Bu Anita bisa saja membelanya dengan alasan Joan seperti itu karena patah hati. Tapi menurutku, pria itu cengeng. Masa sudah dua tahun patah hati, tidak sembuh-sembuh.Aku yakin Joan itu pria mapan, bisa dilihat dari kendaraan, pakaian dan gaya hidup mamanya. Dia juga ganteng, bohong kalau tidak bisa mendapatkan wanita lain. Apa dia yang terlalu bucin atau wanitanya yang istimewa. Ah, kenapa juga aku memikirkan orang lain. Malam ini Bu Anita mengurusku dengan baik, seperti tadi siang. Aku terus-menerus disuapi makanan yang tadi dia beli di minimarket, juga di mall dan sebagian lagi yang ia bawa dari rumah. Sebenarnya aku tidak enak mendapat perlakuan seperti ini. Apalagi aku hanyalah korban. Di mata Joan, akulah yang salah, tapi Bu Anita tidak beranggapan sepe
last updateLast Updated : 2023-06-02
Read more

213. Tidur di Kamarmu

Aku hanya bisa pasrah ketika wanita yang duduk di kursi depan itu menoleh ke arahku seraya tersenyum. Bu Anita seperti yang bersemangat mengajakku ke rumahnya. Kulirik Pak Joan yang duduk di belakang kemudi dan fokus menyetir, pria itu tidak memberikan reaksi apapun pada ucapan mamanya. Ia tetap datar, menatap lurus ke depan. Sedikit pun tidak terpengaruh ketika Bu Anita mengatakan aku akan pulang ke rumah mereka. Suasana hening berlangsung sampai mobil berbelok ke halaman sebuah rumah megah dengan dua pilar besar di bagian depan. Ternyata mereka bukan orang sembarangan. Rumahnya saja sudah mirip istana, dari luar sudah terasa kesan mewahnya, apalagi nanti suasana di dalam. "Ayo turun, Reka. Selamat datang di rumah kami. Untuk sementara kamu tinggal di sini dulu, ya, sampai keadaanmu pulih," kata Bu Anita ketika mobil berhenti di depan pintu utama. Mereka berdua pun turun melalui pintu yang berbeda. Sementara aku masih kesusahan, karena berada di sisi kanan tepat di belakang Pak Joa
last updateLast Updated : 2023-06-03
Read more

214. Tamu Istimewa

Mataku berkedip tak percaya ketika mas Joan melarang itu. Bu Anita juga tak kalah kaget hingga ia berjalan menghampiri anaknya."Jo, kamu ini apa-apaan. Masa Reka harus tidur bersama pelayan?""Ma, dia 'kan .... " Mas Joan tidak meneruskan kalimatnya, ia melirik ke arahku. Aku tahu pria itu masih ada perasaan sungkan ketika harus menyebutku sama dengan pelayan. Aku memang bukan siapa-siapa, tapi tidak sama juga dengan seorang pelayan.Saat ini aku ingin balik kanan dan berpamitan kepada Bu Anita kalau aku akan pulang ke kontrakan. Tapi jika dipikir lagi, yang mengajakku ke sini adalah Bu Anita, bukan mas Joan. Jadi, untuk apa aku merasa tersinggung dengan ucapan pria itu. Kalau mau, aku bisa saja membawa perkara ini ke polisi dengan tuduhan mas Joan lalai saat menyetir. Tapi aku tidak yakin aku bisa melakukan itu, mas Joan banyak uang, dia bisa saja membeli hukum yang berlaku. Jadi kuputuskan memilih tinggal di sini, sekali-kali aku bisa merasakan hidup di rumah mewah. Meskipun ujung-u
last updateLast Updated : 2023-06-04
Read more

215. Silakan Pulang

"Mau apa ke sini?" Aku beringsut, bangkit dengan susah payah karena tangan kananku tidak bisa menahan. Khawatir kalau pria itu akan berbuat macam-macam karena berani masuk ke kamar ini.Tanpa menjawab, Mas Joan masuk dan berjalan dengan santainya. Berdiri di ujung tempat tidur, kedua tangannya bersedekap. Dagunya sedikit terangkat dengan tatapan yang sulit diartikan."A-ada apa, Mas?" Aku menelisik."Sepertinya Mama terlalu berlebihan padamu. Aku cuma mau bilang kalau kamu tidak usah terlalu percaya diri, jangan mentang-mentang Mama memperlakukan kamu seperti tamu istimewa. Beliau hanya ingin bertanggung jawab meski menurutku tidak harus sampai berlebihan.""Maaf, kalau boleh jujur, Saya juga tidak ingin diperlakukan seperti ini. Saya ingin menolak lalu pulang ke kontrakan. Karena bagaimanapun itu adalah tempat ternyaman bagi saya saat ini. Tapi saya harus menghormati Mamanya Mas Joan.""Baguslah, kalau kamu sadar diri. Kalau mau pulang, pulang saja. Sepertinya Mama juga tidak akan ke
last updateLast Updated : 2023-06-05
Read more

216. Terlalu Baik

Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku tetap tinggal di rumahnya Bu Anita. Menyiapkan hati untuk menghadapi sikap anak laki-laki wanita baik hati itu. Bu Anita ternyata wanita sosialita yang sangat sibuk. Hampir setiap hati ia punya kegiatan di luar rumah. Katanya, semua itu untuk mengurangi rasa jenuh. Bu Anita kerap kesepian, Mas Joan adalah anak satu-satunya. Hampir seharian ia berada di luar rumah. Begitu pun dengan suaminya, yang sibuk mengurus bisnis. Memang, sejak aku tinggal di sini, belum pernah melihat papanya Mas Joan. Rupanya beliau sedang berada di Singapura untuk mengurusi bisnisnya. Jadi mas Joan itu anak tunggal? Pantas saja dia egois. Anak tunggal tidak terbiasa mengalah dan saling pengertian. Karena dia sendirian tak punya saingan. Tidak dituntut untuk saling mengerti dengan saudara, apalagi belajar mengalah. Sekarang aku mengerti kenapa pria itu sikapnya menyebalkan.Selama aku berada di rumah Bu Anita, Mas Joan tidak pernah menyapaku. Kami bertemu di meja mak
last updateLast Updated : 2023-06-06
Read more

217. Kejutan

Hari ini aku sudah mulai bekerja. Meski tangan belum bisa beraktivitas yang berat-berat, tapi sudah bisa digunakan untuk mengelus-ngelus keyboard laptop. "Betah amat yang cuti." Indah menyambutku begitu aku memasuki ruangan."Ini juga belum sembuh sempurna, tapi aku sudah kangen masakan kantin." Aku tertawa kecil berjalan menuju mejaku. Masakan di kantin kantor ini memang enak-enak."Kangen masakan kantin atau kangen ketemu aku?" Gadis itu menggeser tempat duduknya yang kebetulan berdampingan denganku."Mungkin dua-duanya." Aku mulai membereskan mejaku. Hampir dua minggu tidak kujamah, tapi nyaris tidak ada debu. Hanya beberapa barang saja yang letaknya tidak tepat. Sepertinya tetangga mejaku yang rajin bersih-bersih."Atau ... kangen pria di meja seberang?" Indah kembali berbisik sambil melirik ke arah Aldi. teman satu divisi yang lumayan ganteng. Aldi memang ganteng, tempo hari Indah sempat bilang kalau dia naksir pada Aldi. Tapi aku tidak tertarik sama sekali.Saat ini aku belum
last updateLast Updated : 2023-06-08
Read more

218. Salah Tingkah

Yesi"Ci, makanannya sudah siap," teriak Ibu dari arah dapur."Ya, Bu. Sebentar, Eci masih menjemur pakaian." Aku menjawab dengan berteriak pula. karena memang jarak dapur dan halaman belakang lumayan jauh. Yang membuat jauh adalah, ruangan dapur yang lumayan luas."Biar Ibu yang menyelesaikan Kamu cepat antarkan makanan ini. Sudah siang, nanti Bapakmu dan para pegawainya sudah kelaparan." Ibu muncul dari arah pintu dan menghampiriku.Aku terpaksa menunda pekerjaanku menjemur pakaian. Kalau Ibu sudah berteriak agak keras, itu artinya sudah ada tidak ada lagi tawar-menawar. Apalagi sekarang, beliau sudah ada di dekatku. Siap melanjut pekerjaanku."Hati-hati ya, Nduk. Ada santen daun ubi. Jangan kenceng-kenceng bawa motornya," lanjutnya setelah beliau mengambil alih cucian yang siap dijemur."Siap, Bu. Santennya ditaruh di kantong plastik dulu 'kan?""Nggih, tapi tetap harus hati-hati."Sudah menjadi tugasku setiap hari, mengantarkan makanan ke kandang sapi untuk Bapak dan pegawainya.
last updateLast Updated : 2023-06-09
Read more

219. Menghangat

Sorenya, selepas ashar aku bergegas mandi. Ibu sampai heran melihatnya, karena katanya tumben aku mandi siang-siang. Biasanya aku baru mandi menjelang magrib jika sedang di rumah, kecuali mau pergi."Kamu mau pergi, Nduk?" "Nggak pergi ke mana-mana, kok, di rumah aja.""Lha, tumben jam segini sudah mandi.""Eum ... iya ... anu Bu, lagi pengen aja."Aku gelagapan dan gegas memasuki kamar untuk berpakaian. Kutinggalkan Ibu yang masih menatapku heran.Tahu kalau sore ini Mas Erik akan datang, makanya aku bersemangat untuk mandi. Merasa malu kalau dia datang, aku masih bau dapur. Entah kenapa aku deg-degan dan salah tingkah. Padahal Mas Erik bukan siapa-siapa, hanya pegawai Bapak. Tapi aku seperti akan kedatangan kekasih yang dinantikan.Sejak Mas Erik bekerja di peternakan Bapak, aku memang sering memperhatikan dia. Pria itu tak pernah mengeluh dalam bekerja. Padahal menurut pengakuannya, sebelumnya ia tidak pernah bekerja kasar seperti ini. Aku salut pada perjuangan Mas Erik yang memi
last updateLast Updated : 2023-06-10
Read more

220. Nyata Gantengnya

Untuk beberapa saat kami saling diam. Aku memainkan jari jemari yang saling bertautan. Entah kalimat apa lagi yang harus kuucapkan untuk mengurangi kegugupan ini."Pulang dulu, ya. Terima kasih." Aku mengangkat wajah ketika terdengar suara pria dihadapanku. Mas Erik berdiri sambil menatapku. "I-iya, Mas. Sama-sama. Kalau mau telepon adiknya lagi, bilang saja.""Iya."Bersamaan dengan kumandang adzan magrib, Mas Erik berpamitan. Aku pun segera membereskan gelas dan wadah makanan dan membawanya ke dapur."Erik sudah pulang, Nduk?" tanya Ibu ketika aku memasuki ruangan dapur."Baru saja, Bu.""Bagaimana? Apa dia sudah mendapat kabar dari adiknya?""Sudah, Bu. Tepatnya, Mas Erik yang memberikan kabar pada adiknya. Katanya ibunya sangat khawatir.""Apa dia tidak menelepon istrinya?"Aku mengernyit mendengar pertanyaan Ibu."Ibu, kok, nanyanya seperti itu? Tadi sih, Mas Erik cuma nelepon satu kali, sama adiknya.""Siapa tahu dia punya istri.""Dia 'kan ngakunya duda sama Bapak.""Bukannya
last updateLast Updated : 2023-06-11
Read more
PREV
1
...
192021222324
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status