Kalau bukan karena Bu Anita, sudah kulawan pria bernama Joan itu. Jangan mentang-mentang dia kaya dan sudah membawaku ke rumah sakit, hingga bisa berbuat seenaknya. Lagi pula, aku berada di rumah sakit ini karena kesalahannya. Bu Anita bisa saja membelanya dengan alasan Joan seperti itu karena patah hati. Tapi menurutku, pria itu cengeng. Masa sudah dua tahun patah hati, tidak sembuh-sembuh.Aku yakin Joan itu pria mapan, bisa dilihat dari kendaraan, pakaian dan gaya hidup mamanya. Dia juga ganteng, bohong kalau tidak bisa mendapatkan wanita lain. Apa dia yang terlalu bucin atau wanitanya yang istimewa. Ah, kenapa juga aku memikirkan orang lain. Malam ini Bu Anita mengurusku dengan baik, seperti tadi siang. Aku terus-menerus disuapi makanan yang tadi dia beli di minimarket, juga di mall dan sebagian lagi yang ia bawa dari rumah. Sebenarnya aku tidak enak mendapat perlakuan seperti ini. Apalagi aku hanyalah korban. Di mata Joan, akulah yang salah, tapi Bu Anita tidak beranggapan sepe
Aku hanya bisa pasrah ketika wanita yang duduk di kursi depan itu menoleh ke arahku seraya tersenyum. Bu Anita seperti yang bersemangat mengajakku ke rumahnya. Kulirik Pak Joan yang duduk di belakang kemudi dan fokus menyetir, pria itu tidak memberikan reaksi apapun pada ucapan mamanya. Ia tetap datar, menatap lurus ke depan. Sedikit pun tidak terpengaruh ketika Bu Anita mengatakan aku akan pulang ke rumah mereka. Suasana hening berlangsung sampai mobil berbelok ke halaman sebuah rumah megah dengan dua pilar besar di bagian depan. Ternyata mereka bukan orang sembarangan. Rumahnya saja sudah mirip istana, dari luar sudah terasa kesan mewahnya, apalagi nanti suasana di dalam. "Ayo turun, Reka. Selamat datang di rumah kami. Untuk sementara kamu tinggal di sini dulu, ya, sampai keadaanmu pulih," kata Bu Anita ketika mobil berhenti di depan pintu utama. Mereka berdua pun turun melalui pintu yang berbeda. Sementara aku masih kesusahan, karena berada di sisi kanan tepat di belakang Pak Joa
Mataku berkedip tak percaya ketika mas Joan melarang itu. Bu Anita juga tak kalah kaget hingga ia berjalan menghampiri anaknya."Jo, kamu ini apa-apaan. Masa Reka harus tidur bersama pelayan?""Ma, dia 'kan .... " Mas Joan tidak meneruskan kalimatnya, ia melirik ke arahku. Aku tahu pria itu masih ada perasaan sungkan ketika harus menyebutku sama dengan pelayan. Aku memang bukan siapa-siapa, tapi tidak sama juga dengan seorang pelayan.Saat ini aku ingin balik kanan dan berpamitan kepada Bu Anita kalau aku akan pulang ke kontrakan. Tapi jika dipikir lagi, yang mengajakku ke sini adalah Bu Anita, bukan mas Joan. Jadi, untuk apa aku merasa tersinggung dengan ucapan pria itu. Kalau mau, aku bisa saja membawa perkara ini ke polisi dengan tuduhan mas Joan lalai saat menyetir. Tapi aku tidak yakin aku bisa melakukan itu, mas Joan banyak uang, dia bisa saja membeli hukum yang berlaku. Jadi kuputuskan memilih tinggal di sini, sekali-kali aku bisa merasakan hidup di rumah mewah. Meskipun ujung-u
"Mau apa ke sini?" Aku beringsut, bangkit dengan susah payah karena tangan kananku tidak bisa menahan. Khawatir kalau pria itu akan berbuat macam-macam karena berani masuk ke kamar ini.Tanpa menjawab, Mas Joan masuk dan berjalan dengan santainya. Berdiri di ujung tempat tidur, kedua tangannya bersedekap. Dagunya sedikit terangkat dengan tatapan yang sulit diartikan."A-ada apa, Mas?" Aku menelisik."Sepertinya Mama terlalu berlebihan padamu. Aku cuma mau bilang kalau kamu tidak usah terlalu percaya diri, jangan mentang-mentang Mama memperlakukan kamu seperti tamu istimewa. Beliau hanya ingin bertanggung jawab meski menurutku tidak harus sampai berlebihan.""Maaf, kalau boleh jujur, Saya juga tidak ingin diperlakukan seperti ini. Saya ingin menolak lalu pulang ke kontrakan. Karena bagaimanapun itu adalah tempat ternyaman bagi saya saat ini. Tapi saya harus menghormati Mamanya Mas Joan.""Baguslah, kalau kamu sadar diri. Kalau mau pulang, pulang saja. Sepertinya Mama juga tidak akan ke
Dengan berbagai pertimbangan akhirnya aku tetap tinggal di rumahnya Bu Anita. Menyiapkan hati untuk menghadapi sikap anak laki-laki wanita baik hati itu. Bu Anita ternyata wanita sosialita yang sangat sibuk. Hampir setiap hati ia punya kegiatan di luar rumah. Katanya, semua itu untuk mengurangi rasa jenuh. Bu Anita kerap kesepian, Mas Joan adalah anak satu-satunya. Hampir seharian ia berada di luar rumah. Begitu pun dengan suaminya, yang sibuk mengurus bisnis. Memang, sejak aku tinggal di sini, belum pernah melihat papanya Mas Joan. Rupanya beliau sedang berada di Singapura untuk mengurusi bisnisnya. Jadi mas Joan itu anak tunggal? Pantas saja dia egois. Anak tunggal tidak terbiasa mengalah dan saling pengertian. Karena dia sendirian tak punya saingan. Tidak dituntut untuk saling mengerti dengan saudara, apalagi belajar mengalah. Sekarang aku mengerti kenapa pria itu sikapnya menyebalkan.Selama aku berada di rumah Bu Anita, Mas Joan tidak pernah menyapaku. Kami bertemu di meja mak
Hari ini aku sudah mulai bekerja. Meski tangan belum bisa beraktivitas yang berat-berat, tapi sudah bisa digunakan untuk mengelus-ngelus keyboard laptop. "Betah amat yang cuti." Indah menyambutku begitu aku memasuki ruangan."Ini juga belum sembuh sempurna, tapi aku sudah kangen masakan kantin." Aku tertawa kecil berjalan menuju mejaku. Masakan di kantin kantor ini memang enak-enak."Kangen masakan kantin atau kangen ketemu aku?" Gadis itu menggeser tempat duduknya yang kebetulan berdampingan denganku."Mungkin dua-duanya." Aku mulai membereskan mejaku. Hampir dua minggu tidak kujamah, tapi nyaris tidak ada debu. Hanya beberapa barang saja yang letaknya tidak tepat. Sepertinya tetangga mejaku yang rajin bersih-bersih."Atau ... kangen pria di meja seberang?" Indah kembali berbisik sambil melirik ke arah Aldi. teman satu divisi yang lumayan ganteng. Aldi memang ganteng, tempo hari Indah sempat bilang kalau dia naksir pada Aldi. Tapi aku tidak tertarik sama sekali.Saat ini aku belum
Yesi"Ci, makanannya sudah siap," teriak Ibu dari arah dapur."Ya, Bu. Sebentar, Eci masih menjemur pakaian." Aku menjawab dengan berteriak pula. karena memang jarak dapur dan halaman belakang lumayan jauh. Yang membuat jauh adalah, ruangan dapur yang lumayan luas."Biar Ibu yang menyelesaikan Kamu cepat antarkan makanan ini. Sudah siang, nanti Bapakmu dan para pegawainya sudah kelaparan." Ibu muncul dari arah pintu dan menghampiriku.Aku terpaksa menunda pekerjaanku menjemur pakaian. Kalau Ibu sudah berteriak agak keras, itu artinya sudah ada tidak ada lagi tawar-menawar. Apalagi sekarang, beliau sudah ada di dekatku. Siap melanjut pekerjaanku."Hati-hati ya, Nduk. Ada santen daun ubi. Jangan kenceng-kenceng bawa motornya," lanjutnya setelah beliau mengambil alih cucian yang siap dijemur."Siap, Bu. Santennya ditaruh di kantong plastik dulu 'kan?""Nggih, tapi tetap harus hati-hati."Sudah menjadi tugasku setiap hari, mengantarkan makanan ke kandang sapi untuk Bapak dan pegawainya.
Sorenya, selepas ashar aku bergegas mandi. Ibu sampai heran melihatnya, karena katanya tumben aku mandi siang-siang. Biasanya aku baru mandi menjelang magrib jika sedang di rumah, kecuali mau pergi."Kamu mau pergi, Nduk?" "Nggak pergi ke mana-mana, kok, di rumah aja.""Lha, tumben jam segini sudah mandi.""Eum ... iya ... anu Bu, lagi pengen aja."Aku gelagapan dan gegas memasuki kamar untuk berpakaian. Kutinggalkan Ibu yang masih menatapku heran.Tahu kalau sore ini Mas Erik akan datang, makanya aku bersemangat untuk mandi. Merasa malu kalau dia datang, aku masih bau dapur. Entah kenapa aku deg-degan dan salah tingkah. Padahal Mas Erik bukan siapa-siapa, hanya pegawai Bapak. Tapi aku seperti akan kedatangan kekasih yang dinantikan.Sejak Mas Erik bekerja di peternakan Bapak, aku memang sering memperhatikan dia. Pria itu tak pernah mengeluh dalam bekerja. Padahal menurut pengakuannya, sebelumnya ia tidak pernah bekerja kasar seperti ini. Aku salut pada perjuangan Mas Erik yang memi
Aku turun dari ojek tepat di depan rumah Pak Narto. Benar saja, di sini sedang ada pesta hajatan. Tapi pesta apa? Bukankah anak Pak Narto hanya Yesi yang belum menikah. Atau ... jangan-jangan yang dikhawatirkan Ibu benar. Yesi menikah dengan orang lain karena tidak ada kejelasan dariku. Pantas saja gadis itu tidak membalas pesanku apalagi mengangkat teleponku.Lututku lemas seketika. Tubuhku terasa ringan, kaki seakan tidak berpijak di bumi. Ingin bertanya pada orang yang berlalu lalang tapi aku tak sanggup mendengar jawaban mereka. "Gimana, Mas, mau balik lagi atau tidak?" tanya tukang ojek yang tadi kusuruh menunggu."Ya Mas, kita balik saja ke terminal." Aku bersiap untuk naik kembali ke atas motor."Bener, nih, gak jadi kondangan?" Entah ingin memastikan atau sekedarnya kepo, Mas tukang ojek bertanya lagi sebelum aku duduk di belakangnya."Iya, bener, Mas. Ayo!"Hilang sudah harapanku untuk mendapatkan Yesi. Ternyata Ibu benar, masalah itu jangan dibiarkan terlalu-larut. Buktinya
RikoPonsel kuletakkan di atas meja di ruang tamu. Baru saja Reka menelponku sambil sesekali terisak. Adik perempuanku itu ternyata sudah mengetahui tentang masa lalu Joan juga perasaan pria itu pada Lisa. "Kenapa Mas Riko tidak bilang sama aku kalau Mas Joan itu mantan pacarnya Mbak Lisa?"Aku tak bisa berkata-kata ketika pertanyaan itu terlontar dari bibir adikku dengan lembut tapi penuh penekanan."Mas!? Mas Riko tahu 'kan kalau Mas Joan itu mantan pacar Mbak Lisa?" Reka mengulang pertanyaannya karena aku tidak menjawab."Bukan. Mereka tidak pernah berhubungan. Tapi Joan memang cinta sama Lisa.""Jadi Mas tahu tentang itu? Dan cintanya masih ada sampai sekarang. Itulah yang membuat aku tidak enak sebagai istri. Kenapa tidak bilang sama aku?""Mas tidak mau mematahkan kebahagiaan kalian. Melihat ibu begitu berbinar, Mas sangat senang.""Tapi pada akhirnya aku sakit hati, Mas! Mengetahui masih ada nama wanita lain di hati suamiku. Itu yang membuat aku jadi istri yang tak berguna.""
Timbul pertanyaan, jika Mas Joan tidak mengundangnya karena tahu dia mantan kakak iparku, berarti ada kemungkinan Mas Joan saling kenal dengan Mas Riko. Teringat saat lamaran tempo hari, Mas Joan pergi berdua dengan Mas Riko dengan alasan ingin berbicara secara pribadi.Aku Jadi curiga, apa di antara mereka ada urusan yang tidak aku ketahui."Tidak apa-apa, Bu. Meskipun saya tidak diundang, yang penting sekarang saya tahu kalau Reka sudah menjadi menantu Ibu. Saya ikut senang, karena Reka mendapatkan keluarga yang pasti menyayanginya." Mbak Lisa tersenyum sambil mengusap perutnya. Meskipun ada kekecewaan tergambar di wajahnya, tapi wanita yang super sabar itu menutupinya dengan senyuman."Oh ya, kalian kenal di mana?" Mama Anita memberikan pertanyaan yang membuat aku bingung untuk menjawabnya.Aku saling pandang dengan Mbak Lisa. Ragu untuk menjawab karena khawatir Mbak Lisa tidak mau membuka masa lalunya."Reka ini ... mantan adik ipar saya." Akhirnya Mbak Lisa yang memberikan jawaba
Seminggu sudah aku menjadi istrinya Mas Joan. Tapi kebahagiaan sebagai pengantin baru yang sesungguhnya tidak aku dapatkan. Mas Joan ternyata tidak menyentuhku di malam pengantin kami. Begitupun malam-malam selanjutnya, bahkan tidur pun memunggungi. Ketika kami pulang dari hotel tempat resepsi diadakan saat itu. Kami baru saja memasuki kamar ketika Mas Joan mengajakku berbicara serius."Kamu tahu 'kan, pernikahan ini terjadi atas keinginan Mama. Jadi aku harap kamu juga mengerti kalau aku belum bisa menjadi suami seperti yang diinginkan," ucapnya datar tanpa menatapku.Aku terperanjat mendengar pernyataan pria yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Kupikir karena Mas Joan sudah menyetujui rencana Mama Anita, maka pria ini akan menjalankan kewajibannya sebagaimana mestinya."Kalau Mas Joan tidak menginginkan pernikahan ini, kenapa Mas menyetujui rencana Mama? Padahal aku lebih baik ditolak daripada dinikahi tapi tidak dianggap.""Kamu jangan salah paham, Ka. Aku bukan tidak mengingink
RekaEntah apa yang dibicarakan oleh Mas Joan dan Mas Riko hingga mereka perlu mencari tempat untuk bicara secara privat. Mungkin Mas Joan ingin memintaku secara pribadi pada Mas Riko, secara mereka juga baru pertama kali bertemu. Sewaktu Mas Joan berkunjung tempo hari, kakakku memang belum ada di rumah Ibu.Sambil menunggu dua laki-laki itu kembali, aku berbincang dan menemani Ibu Anita dan Pak Adi. Mereka bertanya banyak hal tentang keadaan kampung ini. Dengan senang hati aku pun menjawab setiap pertanyaan mereka.Aku juga sempat berbincang dengan Ibu. Bertanya mengenai Mas Riko, karena aku belum sempat mengobrol dengan kakakku itu.Kata Ibu, kemarin Mas Riko datang bersama seorang wanita dan keluarganya. Mereka adalah orang yang selama ini membantu dan menemukan Mas Riko saat terlantar dulu. Rupanya kakakku itu punya hubungan khusus dengan gadis bernama Yesi itu. Sayangnya, Mas Riko tidak jujur tentang masa lalunya. Tentang dua kali pernikahannya, tentang Kayla, dan tentang penjara
JoanHari ini aku benar-benar mendapatkan kejutan besar. Setelah satu bulan yang lalu aku menyetujui keinginan Mama agar menikah dengan Reka, hari ini aku mendapatkan fakta bahwa Reka adalah adiknya Riko. Pria yang sudah mengambil Lisa dariku, tapi kemudian mencampakkannya.Pantas saja selama ini aku familiar melihat wajah gadis itu. Aku seperti mengenalinya, tapi tak tahu di mana. Rupanya karena memang Reka dan Riko itu mirip. Jelas saja, karena mereka adik kakak. Akan tetapi, karakter keduanya berbeda. Setahuku Riko adalah pria bejat. Itu saja, tak perlu aku merincikan seberapa brengseknya pria itu. Dengan menghianati Lisa saja sudah cukup bagiku melihat sisi buruk pria itu. Reka sebaliknya, gadis yang kukenali karena kecelakaan itu punya prinsip yang sangat kuat dalam hidupnya. Zaman sekarang, menemukan gadis yang tidak pernah pacaran itu hal yang sangat sulit. Inilah salah satu alasanku menyetujui rencana Mama. Kalau aku dulu menolak Bela, karena dia terlalu maniak bekerja hin
Perihal rencana lamaran Reka, sudah kubicarakan dengan Ibu. Mungkin sekarang saatnya aku memikirkan adikku dan mengesampingkan masalahku dengan Yesi. Lebih tepatnya, menunda dulu.Aku mau Reka membawa pria itu menemuiku dulu sebelum sampai pada acara resmi. Tapi Ibu melarang, karena beliau sudah bertemu satu kali dengan pemuda itu. Reka pernah membawanya ke sini. Selainnya itu, kesibukan keduanya, juga keluarganya, membuat mereka tidak punya banyak waktu luang."Dia pemuda yang baik, seorang pengusaha yang sukses hingga lupa untuk menikah. Sudah cukup dewasa, Ibu yakin dia bisa membimbing dan melindungi adikmu.""Tapi Reka bilang, ini adalah keinginan ibunya. Ada kemungkinan pemuda itu terpaksa. Aku tidak mau jika dalam pernikahannya nanti, Reka akan sengsara mendapat suami yang tidak mencintainya.""Jo itu anak yang sangat penurut pada mamahnya. Ibu bisa menyimpulkan itu ketika kami pertama kali bertemu. Jadi, Ibu percaya sama keputusan Reka."Jika Ibu sudah berkata demikian, aku tid
Aku bangkit lalu bergerak menyusul mereka bertiga. Yesi berjalan setengah dipaksa oleh ibunya. Gadis itu terus-menerus menoleh ke arahku. Wajahnya sudah basah, bibirnya bergetar. Tak tega aku melihatnya, ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau aku sangat mencintainya. Tapi tidak bisa kulakukan, hanya mampus menghela panjang.Berdiri di luar mobil tepat di samping Pak Narto yang sudah duduk di belakang setir. Pria itu menatap lurus ke depan seolah-olah tak menyadari kehadiranku."Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Tidak ada niat saya untuk menipu keluarga Bapak. Percayalah, saat itu hanya memikirkan diri saya yang kelaparan dan jika warga tahu, maka mereka tidak akan ada ampun lagi.""Tunjukkan kalau kamu benar-benar orang baik. Saya permisi." Setelah itu Pak Narto menyalakan mesin. Aku beralih menatap Yesi yang duduk di belakang bersama ibunya. Gadis itu balik menatapku penuh harap. Perlahan mobil pun mundur lalu parkir di jalan dan pelan-pelan bergerak. Khawatir menjadi
Aku melirik lalu mengangguk ke arah rumah terdekat dengan rumah Ibu. Dua orang suami istri yang berada di teras rumah mereka pun menatapku datar. Tapi aku bersyukur, meski mereka tidak membalas anggukan kepalaku, minimal tidak mengusirku seperti dulu.Yesi dan orang tuanya tidak boleh tahu kalau saat ini aku sedang was-was, maka segera kuajak mereka mendekat ke arah ibu yang sudah berdiri bersama Bude Marlina."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawab Ibu serempak dengan Bude Marlina."Ini Bu, Yesi dan keluarganya yang kemarin aku ceritakan." Aku langsung memperkenalkan Yesi sekeluarga pada Ibu setelah kucium tangannya dan memeluknya sebentar.Ibu mengangguk ke arah tamunya. Satu persatu mereka pun bersalaman, setelah itu kami pun masuk. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok keluar. Khawatir kalau para tetanggaku datang seperti tempo hari. Syukurlah, tak ada siapa pun di sana. Tetangga terdekat yang tadi ada di teras pun sudah tidak kelihatan. Mungkin mereka juga masuk rumahny