Semua Bab Perempuan Masa Lalu Suamiku: Bab 61 - Bab 70

141 Bab

Bab 61: Kawan Lama

“Rahasia. Pokoknya awas kalau kamu nggak segera balik.” Satya memutus sambungan telepon. “Kenapa juga penelitian sampai ke Sangihe yang jauh banget?” batin Satya kesal.Senja baru saja terlipat ketika Satya menemui salah satu koleganya di restoran hotel. Kebetulan temannya melewati daerah Simatupang sehingga menyempatkan untuk mampir. “Mana istrimu?” Heru menjabat erat tangan Satya. Bertahun lamanya mereka tidak bertemu dan hanya berkomunikasi lewat WhatsApp. “Lagi ada acara di Simatupang.” Satya mempersilakan Heru duduk lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan. Alunan music jazz yang cozy menembus rongga telinga, menemani pertemuan dua teman lama itu. “Ngomong-ngomong, kamu beneran nggak jadi nikah sama pacar kamu yang desainer itu?” Heru melepas peluru tajam tepat ke jantung Satya. Lelaki berambut lurus itu duduk di seberang meja yang tidak terlalu lebar berhadapan dengan Satya. Satya sengaja memilih meja kecil di dekat jendela agar pembicaraan mereka lebih nyaman. Dari temp
Baca selengkapnya

Bab 62: Mengapa Tiba-Tiba Menjemput

[Kamu nggak usah buru-buru. Aku tungguin sampai selesai.]Pandangan Lintang belum beralih dari ponsel ketika pesan Satya kembali masuk. Konsentrasinya seketika buyar. Alih-alih memperhatikan penjelasan, Lintang justru sibuk menimbang keputusan apa yang akan dipilih.Dengan berat hati akhirnya Lintang memilih untuk memenuhi permintaan Satya. Ia segera merapikan alat tulis dan minta izin kepada panitia untuk menginap di luar. Diiringi tatapan ganjil El, Lintang keluar ruangan dan berjalan cepat menuju lobi. Senyum semanis madu milik Satya menyambut kedatangannya. “Sorry, Lin, aku jemput mendadak. Besok pagi habis subuh aku antar lagi sekalian ke bandara.” Lintang mengembalikan koran di tangannya lalu memesan taksi online. Lintang tersenyum hambar. Sejujurnya ia malu meninggalkan forum. Apalagi sejak kejadian pagi tadi sikap El dan Dana belum berubah. Dana lebih banyak diam dan menyendiri sementara El seolah sengaja menghindarinya. Untuk bertanya kepada mereka, ia tidak punya cukup ny
Baca selengkapnya

Bab 62: Telaga Itu Kamu

“Kalau bisa, Mas Satya minta salah satu pewarna ilegal itu untuk dibawa pulang dan kita cek kandungannya di lab.” Lintang mengusulkan setelah melihat hasil lab di dokumen yang diberikan Satya. “Ada yang aneh dengan hasil lab itu?” “Pewarna yang dibeli Mas Satya mengandung senyawa turunan azo yang bersifat mutagenik dan karsinogenik. Pemakaian pewarna jenis itu jelas akan mencemari lingkungan dan mematikan kehidupan di sekitar pabrik.” Kata mematikan yang diucapkan Lintang seperti peluru yang menembus kepala Satya. Ia bergidik ngeri membayangkan kerusakan akibat senyawa beracun itu. “Kalau bisa bawa satu buat sampel dan kita cek sendiri akan lebih baik. Tidak ada salahnya kita coba cari pembanding, Mas. Lab saya bisa kok, menganalisis. Biayanya nggak mahal,” lanjut Lintang. “Tapi itu ilegal dan nggak mungkin bisa keluar. Gimana caranya supaya bisa dikirim sekalian?” Satya menyandarkan tubuh di dinding sembari memikirkan jalan keluar. “Besok aku coba hubungi petugas undername impo
Baca selengkapnya

Bab 64: Ada Yang Cemburu

Wajah Dana dan El mengapung di depan mata. Keduanya seolah sedang memandangnya dengan tatapan keberatan. Kalimat-kalimat yang diucapkan El kemarin kembali berjejalan di telinga. Lintang tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, tetapi hatinya mengatakan ia harus mengikuti permintaan El. “Nggak apa-apa. Tapi Mas Satya di sini saja.” Lintang meraih jemari Satya lalu mencium punggung tangannya. Sorot mata penuh tanya milik Satya menerobos rongga mata Lintang. Alih-alih membiarkan Lintang melepas pegangan tangannya dan pergi ke gedung berlogo panda itu, Satya justru menggenggam erat jemari lembut Lintang. “Beneran nggak ada apa-apa. Cuma nggak enak sama Bang El dan Mas Dana.” Akhirnya Lintang memutuskan berterus terang. “Ada yang cemburu?” Kali ini senyum menggoda tersungging di wajah Satya. Lintang mengedikkan bahu. “Nggak juga. Tapi Mas Satya di sini saja. Oke?” Lintang mempersembahkan senyum termanis demi meluluhkan hati Satya. “Okelah.” Meski masih terlihat enggan, Satya ak
Baca selengkapnya

Bab 65: Musuh dalam Selimut (3)

Evan terdiam. Sembari membaca neraca keuangan perusahaan ia mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja. “Kalau menurutmu itu solusi terbaik, lakukan saja.” Satya kembali bersuara. “Tapi di klausul kontrak, kita hanya akan mendapat pengembalian lima puluh persen dari total uang yang dibayarkan. Keuangan pabrik pasti akan terpukul.” Deretan angka berjejalan di benak Satya. Lalu satu kata mendadak muncul dan membuat kepala Satya berdenyut. Defisit.“Tapi pabrik akan lebih terpukul ketika ditinggalkan pelanggan. Mencari pelanggan bukan pekerjaan mudah, terutama rekanan kita di Eropa. Satu kali kita mengirim batik dengan kualitas di bawah standar, pasar kita berakhir saat itu juga.” Tarikan napas Satya terdengar begitu berat. “Kamu benar, Van. Semua yang sudah kita bangun selama ini bisa runtuh seketika ketika tidak bisa mempertahankan kualitas.” “Saya akan segera menghubungi undername importer kita untuk reekspor semua pewarna dan menghubungi perusahaan di Cina. Order dari Jerman biar diurus
Baca selengkapnya

Bab 66: Alibi Pak Handoko

Pak Handoko terdiam sesaat, mencoba mengorek alibi di rongga kepalanya. “Saya pikir perusahaan butuh efisiensi dan penghematan dan pewarna dari Tiongkok bisa jadi salah satu cara untuk menghemat. Kita butuh banyak biaya untuk membangun kantor pusat, Mas.” Lelaki itu berkata dengan tenang. Ia telah berhasil menguasai dirinya kembali.“Sebagian dana sudah tercover asuransi, Pak. Kita memang masih perlu banyak uang, tapi bukan begitu caranya.” Nada suara Satya penuh tekanan. “Lagi pula Anda tidak membicarakan dulu dengan Evan dan saya. Mestinya urusan sepenting itu dibicarakan dulu dengan kami berdua. Minimal dengan Evan.” “Urusan pabrik, saya lebih berpengalaman dibanding Mas Evan. Saya juga tidak mungkin gegabah memutuskan tanpa mempertimbangkan dulu masak-masak.” Emosi Pak Handoko mulai tersulut. Sejak lama ia memendam gelombang di dalam hati. Di bawah perintah pimpinan dengan usia jauh lebih muda sungguh sangat tidak menyenangkan. Ia muak dengan semua itu. “Saya tahu itu. Tapi, uru
Baca selengkapnya

Bab 67: Mencari Titik Terang

Ujung telunjuk Satya mengetuk-ngetuk meja. Lantas, helaan napas panjang lolos dari mulut Satya. Berat baginya bertindak tegas pada Pak Handoko karena posisinya sebagai karyawan lama. Namun, mengambil keputusan tanpa sepengetahuan Evan yang berakibat fatal tentu tidak bisa dibiarkan. Satya yakin, Pak Handoko menyembunyikan sesuatu.“Iya, Van. Kukira Pak Handoko bermain di belakang kita,” ujar Satya setelah berbalik hingga tubuhnya kembali menghadap Evan. “Panggil penyidik swasta kemarin. Aku mau ketemu.” Evan mengangguk. Ia mencatat beberapa hal yang diperintahkan Satya padanya sebelum membereskan bekas makan siang mereka. “Van ….” Panggilan Satya menghentikan Evan yang hampir bangkit dari kursi sehingga ia duduk kembali seraya menatap Satya dengan sorot mata menunggu. “Kamu nggak pengen deketin Laras?” Kali ini Satya memasang wajah serius. Ia memang berharap Evan mengakhiri masa jomlo. Entah kenapa, ia merasa perlu lebih peduli pada tangan kanannya itu. “Dia kayaknya baik,” lanjut
Baca selengkapnya

Bab 68: Kangen

Satya bergeming sesaat. Ia memandang Hamdan lekat-lekat dengan tatapan menelisik. Setelah sempat menoleh pada Evan, Satya mengambil foto Pak Handoko kemudian menunjukkan pada Hamdan. “Saya ingin Anda menyelidiki orang ini. Apakah ia ada hubungan dengan beberapa orang yang dulu sempat berseteru dengan mendiang ibu saya.” Satya menyebut nama dua kerabatnya. “Kenapa Anda mencurigai orang ini?” Hamdan mengambil foto Pak Handoko dan mengamatinya.“Well, baru-baru ini dia melakukan kesalahan fatal lalu mengundurkan diri. Saya kira itu aneh.” Fokus penglihatan Hamdan kembali tertuju pada Satya. “Apa dia ada masalah dengan Anda? Masalah pribadi? Selama bekerja dengan ibu Anda apa dia baik-baik saja?” “Saya tidak pernah bermasalah secara pribadi dengannya. Kalau dengan Bunda, saya kurang tahu.” Satya mengalihkan pandangan pada Evan dan memberi isyarat untuk melanjutkan menjawab pertanyaan Hamdan. “Setahu saya tidak pernah ada masalah pribadi, Mas. Selama ini semua baik-baik saja.” Evan men
Baca selengkapnya

Bab 69: Capek Mikirin Kamu

Ada banyak kisah yang tak terucap oleh awan pada langit, oleh daun pada ranting.Sebagaimana rinduku yang takpernah menjelma menjadi kata.Ia memilih berdetak seiring denyut nadi dan degup jantung. ***Sejenak Satya terdiam. Ada yang berdenyar di dada setiap kali ia melihat paras Lintang. “Aku mau denger suara kamu lagi ngaji,” ujarnya kemudian. Seketika sepasang mata Lintang berpendar secerah kejora. Permintaan Satya seperti seperti tetesan embun di pagi hari. Untuk pertama kalinya Satya memintanya membaca Al Quran. Meski sering mendengar di sampingnya ketika ia membaca mushaf, Satya tidak pernah berkomentar sedikit pun. “Surah apa?” tanya Lintang penuh semangat. “Yang biasa kamu baca sebelum tidur.” “Oke. Tutup dulu teleponnya ya, Mas. Saya ambil wudu dulu.” “He-em. Tapi kamu jangan tidur sebelum surahnya selesai dibaca, lho,” ujar Satya lalu tersenyum menggoda. Lintang tersenyum malu mengingat dirinya sering tertidur saat belum selesai membaca surah Al Waqiah atau Al Mulk.
Baca selengkapnya

Bab 70: Dia yang Diam-Diam Menusuk dari Belakang

Lintang memalingkan wajah sejenak demi menyembunyikan riak yang sempat menyeruak. Ia tidak ingin Satya melihatnya nyaris menumpahkan air mata agar keinginan lelaki itu untuk mencegah kepergiannya tidak semakin kuat. “Kebetulan programnya memang di sana, Mas. Insyaallah setelah ini saya tidak akan ikut program yang jauh. Kali ini saja karena sudah terlanjur daftar sebelum menikah. Oke?” Lintang mengacungkan dua jari membentuk huruf V sembari mengembangkan senyum. Jantungnya berdetak cepat. Dalam hati ia terus berharap Satya mengikhlaskan kepergiannya. Hening sejenak. “Kamu lebih keras kepala dari Bunda,” keluh Satya kemudian. Ia kehabisan akal. Bujuk rayunya tidak mampu merobohkan benteng kokoh di hati Lintang. Sepertinya ia memang harus menepis ego dan memberi kesempatan Lintang untuk menuntaskan apa yang selama ini diidamkannya. Waktu yang berlalu satu minggu ini seperti angin yang berkesiur mencumbu dedaunan. Terkadang ia bertiup sangat kencang, tetapi takjarang embusannya sangat
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
15
DMCA.com Protection Status