Home / Pernikahan / Perempuan Masa Lalu Suamiku / Chapter 121 - Chapter 130

All Chapters of Perempuan Masa Lalu Suamiku: Chapter 121 - Chapter 130

141 Chapters

Bab 121: Serangan Balik

Angin berembus meriapkan rambut Satya. Pandangannya masih terkunci pada paras manis Lintang. “Kan, ketutup sama topi lebar kamu. Jadi nggak bakal kelihatan.” Satya bergeming, enggan menggeser tubuh. Lintang menggeleng dan beringsut menjauhi Satya lalu kembali menyesap air kelapa muda sembari memandang laut lepas. Satya tersenyum gemas ketika matanya menangkap rona merah di wajah Lintang. Ia pun kembali fokus dengan minuman di tangannya sembari menikmati gradasi warna laut yang berubah seiring merangkaknya matahari menuju ke barat. “Ngomong-ngomong, kamu mau nggak melihat sunset di Pulau Mendaku?” tanya Satya setelah menandaskan satu butir kelapa muda. “Tadi aku sempat baca berita tentang pulau itu. Katanya favorit wisatawan di sini.” Lintang mengiyakan ucapan Satya. Pulau Mendaku dan Dokupang di Kecamatan Manganitu Selatan memang idola para turis. “Pergi ke mana pun kalau di Sangihe aku nggak nolak,” ujarnya bungah. Mata Lintang berpendar cerah. Citra kedua pulau eksotis itu menar
Read more

Bab 122: Kenapa Aku yang Diserang

Satya menarik napas panjang. Mendadak wajahnya seperti berkerut-kerut karena bingung, kecewa, dan kesal berkelindan di dalam dada. Kepalanya terasa berat dipenuhi berbagai pikiran buruk. “Coba kamu ambil koran hari ini di tasku,” ujarnya kemudian. Tanpa diperintah dua kali, Lintang meraih tas kerja dan mengeluarkan surat kabar dari dua kantor berita yang terbit hari ini. “Baca headline koran-koran itu.” Satya meremas tepi sofa. Pemberitaan di koran itu seperti peluru yang menembus jantungnya. Setelah berhadapan dengan Paklik Mahendra, ia harus berhadapan dengan Bagas, sepupunya, yang menggugat perusahaannya dengan tuduhan mencemari dua sungai legendaris di Kota Solo, Kali Jenes dan Kali Wingko. Bagas menjadi salah satu penggerak LSM lingkungan hidup yang kabarnya telah mengkaji pencemaran di sungai itu selama setahun lebih. “Mas Satya istirahat dulu. Besok kita bicarakan lagi.” Lintang melipat koran. Ditatapnya paras tampan Satya yang semuram malam tanpa bulan dan bintang. “Meman
Read more

Bab 123: Badai Perut

Satya menghela napas. “Semua karena dendam pribadi. Akal-akalan Bagas yang menyebut Hadikusumo sebagai perusahaan terbesar dan paling bertanggung jawab terhadap pencemaran di Kali Jenes dan Kali Wingko. Batik Maitreya dan Janaka lebih besar lagi, tapi kenapa tidak diseret ke pengadilan juga?” Lintang termangu menyadari keganjilan yang mulai tampak pada kasus ini. “Boleh aku lihat instalasi pengolah limbah di pabrik, Mas? Sekalian aku ambil sampel limbahnya untuk dianalisis.” Satya tersenyum. “Sepertinya kita akan berkolaborasi kali ini.” Lelaki itu bangkit lalu bersila di hadapan Lintang. “Terserah gimana baiknya saja, Nyonya Peneliti,” ujarnya seraya menggenggam tangan Lintang. “Kalau soal gugatan LSM itu, Mas Satya bisa hubungi lawyer untuk membantu menangani proses hukumnya. Aku ada kenalan lawyer yang sudah berpengalaman menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan.” Lintang menyebut dua firma hukum terkenal yang selama ini banyak menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan. Bahka
Read more

Bab 124: Badai Perut (2)

Lintang menggeleng. Ia masih memegang lengan Satya kuat-kuat. Perutnya kembali bergejolak, tetapi tidak ada satu pun yang keluar dari mulut.“Salah makan?”“Nggak, Mas. Cuma nggak tahan sama bau sungainya saja.” Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Ya, sudah, ayo pergi. Kamu juga aneh-aneh. Ngapain pakai ke sini kalau nggak tahan bau busuk kayak gini.” Satya menarik tangan Lintang menjauhi bibir sungai lalu mengajak Lintang ke salah satu warung nasi liwet.“Kamu kecapekan, Lin. Kebanyakan begadang.” Satya menatap Lintang yang terlihat agak pucat. Mereka tengah berada di sebuah warung nasi liwet karena Lintang meminta minuman hangat. “Waktunya tidur buat tidur, jangan malah mantengin laptop.” Lintang meringis. Kalau sudah mengomel, Satya susah dihentikan. Bahkan Bulik Marni saja kalah karena perempuan yang merawatnya sejak kecil itu tidak pernah merepet. “Ngejar jadwal wisuda, Mas. Sayang kalau nggak bisa ikutan wisuda Agustus. Nanti kalau keburu ke Belanda, tert
Read more

Bab 125: Mencari Keadilan

Satya memainkan bolpoin di tangan. Bangkit dari keterpurukan tidak pernah mudah. Satya tahu itu. Ia hanya butuh stok sabar lebih panjang agar bisa melewati masa-masa sulit ini. “Lakukan saja terus. Nggak ada yang sia-sia dari sebuah usaha, kan?” ujarnya kemudian.Evan membenarkan ucapan Satya. Dipandanginya Satya lekat-lekat. Di depannya, Satya seperti Dewa Janus dalam mitologi Yunani. Ia bisa tampil memukau dengan kecerdasan dan analisis yang tajam. Di sisi lain, ketika penyakit iseng dan kekanakannya kambuh, ia terlihat sangat konyol dan absurd. Langit perlahan berubah warna ketika Satya mengakhiri pembicaraan dengan Evan. Sunyi menyelimuti pabrik. Tinggal mereka berdua, satpam, dan Laras yang tersisa. “Kamu nggak bareng Evan saja, Ras. Bentar lagi gelap.” Satya menatap Laras yang baru saja keluar dari ruang kerjanya dengan langkah tergesa. “Saya bawa motor, kok, Pak.” Laras meringis. “Ya tinggal saja motornya. Besok bawa pulang kalau nggak lembur.” “Besok gimana saya berangkat
Read more

Bab 126: Pijit Mesra

Perempuan berwajah tegas itu memandang Satya lekat-lekat. Ia bisa menangkap raut khawatir sekaligus kesal di wajah Satya. “Tapi, lupakan dulu soal itu,” ucapnya kemudian. “Posisi saya sekarang ada di pihak Anda. Maka saya akan membantu Anda keluar dari masalah ini sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah.” Prof. Kathrina menyodorkan bundel berisi salinan undang-undang lingkungan hidup dan menjelaskan kesalahan apa saja yang sudah dilakukan Hadikusumo Group. Setelah itu, Prof. Kathrina memutar layar monitor sehingga mereka bertiga bisa melihat gambar yang tersaji di sana. “Anda lihat gambar ini?” Bolpoin di tangan Prof. Kathrina menunjuk bagan instalasi pengolah limbah. “Hanya ini solusi Anda lepas dari gugatan mereka.” Kedua mata Satya mengikuti pergerakan bolpoin. Lalu, tatapannya terkunci pada gambar di layar monitor. Selama beberapa detik ia terdiam sementara sel-sel kelabu di kepala berusaha sekuat tenaga mencerna kotak-kotak dan keterangan di bawahnya. “Anda harus membangun
Read more

Bab 127: Ketagihan

Ucapan Satya terbukti. Pijatannya membuat Lintang nyaman dan rileks. Perlahan matanya terpejam. Ia sempat terjaga sebentar ketika pijatan suaminya terhenti dan tubuh Satya sudah berada di sampingnya sembari melengkungkan bibir.Lintang membalas senyum sang suami. Kedua mata mereka bertemu pandang. Lintang selalu menyukai pendar pada bola mata Satya. Lalu, dibiarkannya lelaki itu mengecup lembut kening dan pipinya. Ia pun terlelap dalam pelukan Satya.Lelah dan banyak pikiran membuat Satya juga tertidur. Meski tidak lama karena alarm ponselnya berbunyi dan menariknya untuk segera membuka kelopak mata. Bibirnya membentuk bulan sabit kala melihat Lintang yang tidur dengan wajah damai.Satya menyibak rambut-rambut halus yang menutupi paras manis Lintang lalu mengecup dahinya. Perlahan digesernya kepala sang istri dari atas lengannya. Sebentar lagi waktu asar dan ia harus segera kembali ke Yogyakarta. Perlahan Satya beringsut dan turun dari ranjang. Diambilnya handuk lalu membersihkan dir
Read more

Bab 128: Pesakitan

Satya menekuri draft gugatan Konsorsium Peduli Lingkungan Kota Solo. Deretan huruf di atas kertas itu seperti barisan semut merah yang siap mengerubungi dan menggigit tangannya. Lelaki itu menarik napas dalam, memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke dalam paru-paru, lalu mengembuskannya perlahan. Baru kali ini ia meluangkan waktu untuk membacanya. Istilah-istilah hukum yang bertaburan di naskah itu membuat dahinya berkerut dan saraf-saraf otaknya seperti tersengat listrik tegangan tinggi. Aroma Arabica Gayo yang meruah dari cangkir-cangkir di atas meja tidak sanggup meredam kecamuk batinnya. “Jadi, kita akan mendengar tuntutan jaksa pada sidang hari pertama?” Satya mengonfirmasi agenda yang tertera pada surat panggilan untuk mengikuti persidangan. “Dan saya langsung duduk di kursi terdakwa?” Ada yang nyeri di hati ketika kalimat itu meluncur dari bibirnya. Terdakwa, pesakitan, dua kata yang membuat Satya seperti terlempar ke sudut jalan seperti sampah tak berguna. Ia semakin menggele
Read more

Bab 129: Pesakitan (2)

Satya menarik tangannya seraya menatap heran Lintang. “Ini ronde paling enak, lho. Masa kamu nggak mau ngabisin?”Gelengan Lintang menjawab pertanyaan Satya. Bukan ia tidak suka, melainkan perutnya tidak bisa diajak kompromi. Daripada apa yang sudah masuk harus keluar lagi, lebih baik ia berhenti makan. “Aku sudah kenyang. Mas Satya saja yang ngabisin.” “Lah, belum juga separuh?” Satya menggaruk kepala. “Siapa tahu bayinya masih pengen. Ntar dia ngiler gimana?”Lintang tersenyum geli. “Buat Papa saja katanya.”“Nggak percaya. Pasti dia masih pengen.” Satya meletakkan mangkuk di meja lalu mendekatkan kepala ke perut Lintang. “Kamu masih pengen, kan, dek?”“Pokoknya Mas Satya saja yang ngabisin.” Lintang mulai merajuk.Satya mengangkat kepalanya lalu menggeleng. Setiap kali Lintang meminta makanan tertentu, istrinya hanya makan beberapa suap dan setelahnya ia yang harus menghabiskan. “Kalau kayak gini terus, bisa-bisa yang hamil kamu, yang melar badannya aku.” Ambyar sudah dietnya se
Read more

Bab 130: Sidang

Hening sejenak. Pandangan kedua lelaki itu saling bertemu. “Aku tidak tahu,” ujar Satya menyandarkan tubuh di kursi. Matanya menatap langit-langit ruang makan seolah penawar gundah yang meraja ada di sana. Evan mengganjur napas. Suasana pagi yang hangat mendadak sendu. Ia menyesal telah memulai pembicaraan tentang persidangan hari ini. Seharusnya ia memilih topik pembicaraan lain agar tidak memperburuk suasana hati Satya. “Sudah setengah delapan. Ayo berangkat.” Satya bangkit dan beranjak masuk ke kamar. “Beneran aku nggak boleh ikut?” Lintang menatap Satya lamat-lamat ketika suaminya berada di dalam kamar untuk mengambil tas kerja. “Aku akan baik-baik saja. Aku sudah pernah mengikuti persidangan seperti ini.” Lintang berusaha meluluhkan hati Satya. Selarik senyum terbit di wajah Satya. “Aku belum mengubah keputusan.” Ia memangkas jarak dan duduk di tepi ranjang. “Doamu sudah cukup menyertaiku.”Sekian detik keduanya disergap sunyi, sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing. Sa
Read more
PREV
1
...
101112131415
DMCA.com Protection Status