Share

Bab 123: Badai Perut

Penulis: HarunaHana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Satya menghela napas. “Semua karena dendam pribadi. Akal-akalan Bagas yang menyebut Hadikusumo sebagai perusahaan terbesar dan paling bertanggung jawab terhadap pencemaran di Kali Jenes dan Kali Wingko. Batik Maitreya dan Janaka lebih besar lagi, tapi kenapa tidak diseret ke pengadilan juga?”

Lintang termangu menyadari keganjilan yang mulai tampak pada kasus ini. “Boleh aku lihat instalasi pengolah limbah di pabrik, Mas? Sekalian aku ambil sampel limbahnya untuk dianalisis.”

Satya tersenyum. “Sepertinya kita akan berkolaborasi kali ini.” Lelaki itu bangkit lalu bersila di hadapan Lintang. “Terserah gimana baiknya saja, Nyonya Peneliti,” ujarnya seraya menggenggam tangan Lintang.

“Kalau soal gugatan LSM itu, Mas Satya bisa hubungi lawyer untuk membantu menangani proses hukumnya. Aku ada kenalan lawyer yang sudah berpengalaman menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan.” Lintang menyebut dua firma hukum terkenal yang selama ini banyak menangani kasus-kasus kejahatan lingkungan. Bahka
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
ini iklan nya banyak banget tapi g terbuka2 .klo nanti lama2 pembaca nya kabur .dn iklan nya yg itu2 juga d ulang2 ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 124: Badai Perut (2)

    Lintang menggeleng. Ia masih memegang lengan Satya kuat-kuat. Perutnya kembali bergejolak, tetapi tidak ada satu pun yang keluar dari mulut.“Salah makan?”“Nggak, Mas. Cuma nggak tahan sama bau sungainya saja.” Ia menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan.“Ya, sudah, ayo pergi. Kamu juga aneh-aneh. Ngapain pakai ke sini kalau nggak tahan bau busuk kayak gini.” Satya menarik tangan Lintang menjauhi bibir sungai lalu mengajak Lintang ke salah satu warung nasi liwet.“Kamu kecapekan, Lin. Kebanyakan begadang.” Satya menatap Lintang yang terlihat agak pucat. Mereka tengah berada di sebuah warung nasi liwet karena Lintang meminta minuman hangat. “Waktunya tidur buat tidur, jangan malah mantengin laptop.” Lintang meringis. Kalau sudah mengomel, Satya susah dihentikan. Bahkan Bulik Marni saja kalah karena perempuan yang merawatnya sejak kecil itu tidak pernah merepet. “Ngejar jadwal wisuda, Mas. Sayang kalau nggak bisa ikutan wisuda Agustus. Nanti kalau keburu ke Belanda, tert

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 125: Mencari Keadilan

    Satya memainkan bolpoin di tangan. Bangkit dari keterpurukan tidak pernah mudah. Satya tahu itu. Ia hanya butuh stok sabar lebih panjang agar bisa melewati masa-masa sulit ini. “Lakukan saja terus. Nggak ada yang sia-sia dari sebuah usaha, kan?” ujarnya kemudian.Evan membenarkan ucapan Satya. Dipandanginya Satya lekat-lekat. Di depannya, Satya seperti Dewa Janus dalam mitologi Yunani. Ia bisa tampil memukau dengan kecerdasan dan analisis yang tajam. Di sisi lain, ketika penyakit iseng dan kekanakannya kambuh, ia terlihat sangat konyol dan absurd. Langit perlahan berubah warna ketika Satya mengakhiri pembicaraan dengan Evan. Sunyi menyelimuti pabrik. Tinggal mereka berdua, satpam, dan Laras yang tersisa. “Kamu nggak bareng Evan saja, Ras. Bentar lagi gelap.” Satya menatap Laras yang baru saja keluar dari ruang kerjanya dengan langkah tergesa. “Saya bawa motor, kok, Pak.” Laras meringis. “Ya tinggal saja motornya. Besok bawa pulang kalau nggak lembur.” “Besok gimana saya berangkat

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 126: Pijit Mesra

    Perempuan berwajah tegas itu memandang Satya lekat-lekat. Ia bisa menangkap raut khawatir sekaligus kesal di wajah Satya. “Tapi, lupakan dulu soal itu,” ucapnya kemudian. “Posisi saya sekarang ada di pihak Anda. Maka saya akan membantu Anda keluar dari masalah ini sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah.” Prof. Kathrina menyodorkan bundel berisi salinan undang-undang lingkungan hidup dan menjelaskan kesalahan apa saja yang sudah dilakukan Hadikusumo Group. Setelah itu, Prof. Kathrina memutar layar monitor sehingga mereka bertiga bisa melihat gambar yang tersaji di sana. “Anda lihat gambar ini?” Bolpoin di tangan Prof. Kathrina menunjuk bagan instalasi pengolah limbah. “Hanya ini solusi Anda lepas dari gugatan mereka.” Kedua mata Satya mengikuti pergerakan bolpoin. Lalu, tatapannya terkunci pada gambar di layar monitor. Selama beberapa detik ia terdiam sementara sel-sel kelabu di kepala berusaha sekuat tenaga mencerna kotak-kotak dan keterangan di bawahnya. “Anda harus membangun

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 127: Ketagihan

    Ucapan Satya terbukti. Pijatannya membuat Lintang nyaman dan rileks. Perlahan matanya terpejam. Ia sempat terjaga sebentar ketika pijatan suaminya terhenti dan tubuh Satya sudah berada di sampingnya sembari melengkungkan bibir.Lintang membalas senyum sang suami. Kedua mata mereka bertemu pandang. Lintang selalu menyukai pendar pada bola mata Satya. Lalu, dibiarkannya lelaki itu mengecup lembut kening dan pipinya. Ia pun terlelap dalam pelukan Satya.Lelah dan banyak pikiran membuat Satya juga tertidur. Meski tidak lama karena alarm ponselnya berbunyi dan menariknya untuk segera membuka kelopak mata. Bibirnya membentuk bulan sabit kala melihat Lintang yang tidur dengan wajah damai.Satya menyibak rambut-rambut halus yang menutupi paras manis Lintang lalu mengecup dahinya. Perlahan digesernya kepala sang istri dari atas lengannya. Sebentar lagi waktu asar dan ia harus segera kembali ke Yogyakarta. Perlahan Satya beringsut dan turun dari ranjang. Diambilnya handuk lalu membersihkan dir

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 128: Pesakitan

    Satya menekuri draft gugatan Konsorsium Peduli Lingkungan Kota Solo. Deretan huruf di atas kertas itu seperti barisan semut merah yang siap mengerubungi dan menggigit tangannya. Lelaki itu menarik napas dalam, memasukkan sebanyak mungkin oksigen ke dalam paru-paru, lalu mengembuskannya perlahan. Baru kali ini ia meluangkan waktu untuk membacanya. Istilah-istilah hukum yang bertaburan di naskah itu membuat dahinya berkerut dan saraf-saraf otaknya seperti tersengat listrik tegangan tinggi. Aroma Arabica Gayo yang meruah dari cangkir-cangkir di atas meja tidak sanggup meredam kecamuk batinnya. “Jadi, kita akan mendengar tuntutan jaksa pada sidang hari pertama?” Satya mengonfirmasi agenda yang tertera pada surat panggilan untuk mengikuti persidangan. “Dan saya langsung duduk di kursi terdakwa?” Ada yang nyeri di hati ketika kalimat itu meluncur dari bibirnya. Terdakwa, pesakitan, dua kata yang membuat Satya seperti terlempar ke sudut jalan seperti sampah tak berguna. Ia semakin menggele

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 129: Pesakitan (2)

    Satya menarik tangannya seraya menatap heran Lintang. “Ini ronde paling enak, lho. Masa kamu nggak mau ngabisin?”Gelengan Lintang menjawab pertanyaan Satya. Bukan ia tidak suka, melainkan perutnya tidak bisa diajak kompromi. Daripada apa yang sudah masuk harus keluar lagi, lebih baik ia berhenti makan. “Aku sudah kenyang. Mas Satya saja yang ngabisin.” “Lah, belum juga separuh?” Satya menggaruk kepala. “Siapa tahu bayinya masih pengen. Ntar dia ngiler gimana?”Lintang tersenyum geli. “Buat Papa saja katanya.”“Nggak percaya. Pasti dia masih pengen.” Satya meletakkan mangkuk di meja lalu mendekatkan kepala ke perut Lintang. “Kamu masih pengen, kan, dek?”“Pokoknya Mas Satya saja yang ngabisin.” Lintang mulai merajuk.Satya mengangkat kepalanya lalu menggeleng. Setiap kali Lintang meminta makanan tertentu, istrinya hanya makan beberapa suap dan setelahnya ia yang harus menghabiskan. “Kalau kayak gini terus, bisa-bisa yang hamil kamu, yang melar badannya aku.” Ambyar sudah dietnya se

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 130: Sidang

    Hening sejenak. Pandangan kedua lelaki itu saling bertemu. “Aku tidak tahu,” ujar Satya menyandarkan tubuh di kursi. Matanya menatap langit-langit ruang makan seolah penawar gundah yang meraja ada di sana. Evan mengganjur napas. Suasana pagi yang hangat mendadak sendu. Ia menyesal telah memulai pembicaraan tentang persidangan hari ini. Seharusnya ia memilih topik pembicaraan lain agar tidak memperburuk suasana hati Satya. “Sudah setengah delapan. Ayo berangkat.” Satya bangkit dan beranjak masuk ke kamar. “Beneran aku nggak boleh ikut?” Lintang menatap Satya lamat-lamat ketika suaminya berada di dalam kamar untuk mengambil tas kerja. “Aku akan baik-baik saja. Aku sudah pernah mengikuti persidangan seperti ini.” Lintang berusaha meluluhkan hati Satya. Selarik senyum terbit di wajah Satya. “Aku belum mengubah keputusan.” Ia memangkas jarak dan duduk di tepi ranjang. “Doamu sudah cukup menyertaiku.”Sekian detik keduanya disergap sunyi, sibuk dengan kecamuk pikiran masing-masing. Sa

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 131: Haruskah Kehilangan

    “Berdasarkan bukti-bukti yang ada, Saudara Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar Undang-Undang nomor 23 tahun 2007 dan melakukan kejahatan lingkungan berat.” Mulut Satya terbuka lalu tertutup. “Kejahatan lingkungan berat”, kalimat itu seperti tusukan ribuan jarum, berdengung di kepala seperti dengungan ribuan lebah.“Oleh karena itu, kami meminta majelis hakim yang terhormat menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama sepuluh tahun, wajib membangun instalasi pengolah limbah yang memadai sehingga menghasilkan limbah yang memenuhi standar baku mutu dan aman bagi lingkungan, serta membayar denda sebesar lima milyar rupiah.” Embusan napas berat Satya mengapung di udara. Bayangan tubuhnya meringkuk di balik jeruji besi berkelebat cepat di rongga mata. Hatinya serasa diremas hingga lumat kala menyadari tidak akan melihat anaknya lahir dan tumbuh besar. Sepuluh tahun, bukan waktu yang singkat untuk dijalani sebagai pesakitan. Sanggupkah ia

Bab terbaru

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 141: Rahasia Satya

    “Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 140: Bulan Madu

    “Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 139: Ajakan Bulan Madu

    Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 138: Akhir Perjuangan Satya

    Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 137: Kabar dari Dini

    Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 136: Bumbu Rayuan Paling Lengkap

    Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 135: Masa Lalu Bagas

    Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 134: Saksi Kunci (2)

    Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 133: Saksi Kunci

    Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers

DMCA.com Protection Status