Satya memarkir mobil di halaman rumah berarsitektur Jawa klasik dengan halaman luas. Pohon tabebuya berbunga pink berada di sudut kiri dan kanan halaman seperti dua orang penerima tamu bersiap menyambut siapa pun yang berkunjung. Di depan pendopo, Satya menarik napas panjang, mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin oksigen. Hatinya masih berusaha memastikan apakah yang dilakukannya hari ini sudah benar. “Ayo, masuk, Sat.” Ndoro Soeroso membuka pintu depan lebar-lebar. Senyum hangat menghias wajah sepuh itu. Satya mencium takzim punggung tangan Ndoro Soeroso. “Nggih, Paklik.” Satya menjawab sopan.“Mana istrimu? Kok, nggak diajak?” tanya Ndoro Soeroso setelah mereka duduk di ruang tamu. “Lagi keluar kota, Paklik. Lintang titip salam saja buat Paklik sekeluarga.” Satya menjawab sesopan mungkin meski hatinya bergemuruh. “Pandai sekali Paklik Soeroso berakting,” batinnya kesal. “Wah, pengantin baru kok, malah sering pisah kalian ini. Nanti Paklik nggak segera dapat ponakan.” Lel
Read more