Satya menyebut nama rumah sakit dan dokter jaga yang menangani Mbok Darmi. Setelah itu ia mengeluarkan amplop cokelat berisi foto dan flashdisk berisi rekaman pembicaraan dan transkrip chat Paklik Soeroso dan Pak Handoko“Saya terima bukti-bukti yang sudah Anda kumpulkan untuk kami selidiki lebih lanjut.” Polisi itu mengambil sarung tangan lalu menyimpan barang bukti yang diberikan Satya. “Sayang sekali Anda tidak langsung melapor ketika sesaat setelah kejadian. Saya khawatir banyak bukti yang hilang karena Anda pasti sudah memakai ruang kerja Anda.” Air muka Satya seketika mengelam. Perusakan yang dilakukan di Omah Lowo tidak pernah terpikirkan olehnya. Satya berpikir, flashdisk yang berhasil dicuri pelaku akan menghentikan aksi Paklik Soeroso dan ternyata tebakannya meleset. “Lain kali, segera setelah terjadi tindak kejahatan, upayakan segera lapor.” “Baik, Pak. Tapi semoga kejadian di Omah Lowo yang terakhir.” “Kami akan kirim petugas untuk memeriksa rumah Anda sekarang.” Sa
Setelah salat dan berganti pakaian, Satya memacu mobil menuju Laweyan. Ia berdeham ketika kakinya menapak lantai pendopo dan dilihatnya Evan tengah berbincang dengan Laras di salah satu sudut pendopo. Susah payah Satya menahan senyum ketika melihat paras semerah tomat milik Evan. “Jadi kalian berdua mau ngantor di depan sini?” sapanya ketika sudah duduk di depan keduanya. “Ehm, nggak kok, Pak. Ruangan buat Mas Evan lagi disiapin sama Pak Bayu.” Laras menjawab cepat. “Terus ruangan kamu di mana?” “Bareng sama temen-temen customer service. Kebetulan masih ada tempat.” Laras tersenyum gugup. “Semua sudah jelas, kan, Ras? Kamu bisa pergi sekarang.” Evan buru-buru mengambil kendali sebelum Satya berulah. Laras mengangguk lalu meninggalkan Evan dan Satya. Belum sempat Satya membuka mulut, Evan bangkit dan meninggalkannya. Rasa kesal belum tanggal dari hatinya. Langkah Evan terhenti di ambang pintu ketika telinganya menangkap deru mobil box memasuki halaman. Refleks ia membalikkan tub
Evan mengabaikan ucapan Satya. Kepalanya begitu gaduh dengan berbagai kemungkinan penyebab pembatalan reekspor itu.“Van!”Lelaki itu tergeragap mendengar panggilan Satya. Ditatapnya sang atasan lekat-lekat dengan sorot mata prajurit menunggu titah komandan.“Kamu denger aku nggak?”“Telepon Pak Handoko?”Satya mengangguk kesal.“Untuk apa, Mas?”Helaan napas panjang Satya mengapung di udara, ditingkahi desau angin dan riuh suara anak-anak yang lewat di jalanan depan pabrik. “Ingat nggak isi rekaman pembicaraan Pak Handoko dengan Paklik Soeroso. Dia bilang tugasnya yang gagal sudah berhasil diatasi.”Evan mengalihkan pandangan ke arah gazebo. Tempat itu sudah disulap menjadi area workshop membatik yang akan dilaksanakan besok. Salah satu SMU di Semarang akan berkunjung ke pabrik untuk belajar tentang batik sekalian mencoba membatik. Evan mencoba membuka file memori percakapan yang tersimpan di kepala. “Ya, Allah!” serunya gusar ketika kotak ingatan itu terbuka. “Astagfirullah!” Baga
“Sudah beberapa. Tapi saya belum ketemu dokumen pembelian pewarna yang dilakukan Pak Handoko.” “Ya, sudah, kamu ke masjid dulu. Nanti dilanjutkan lagi.” Bayu mengangguk sopan lalu pamit. Dengan cepat tubuhnya menghilang di balik tembok tinggi yang membatasi pabrik dengan jalan kampung Laweyan. “Maaf, Pak, saya sudah konfirmasi ke undername importer kita. Dokumen reekspor kita sebenarnya sudah lengkap dan siap diproses. Tapi ada pihak kita yang membatalkan permohonan reekspor di hari yang sama dengan masuknya surat permohonan reekspor yang saya kirim. Dan pembatalan hanya by phone. Jadi tidak ada dokumen yang bisa jadi bukti pembatalan itu.” Laras menjelaskan temuannya pada Satya sepeninggal Bayu. “Siapa yang dia sebut pihak kita dan membatalkan proses reeskpor?” tanya Satya gusar. Laras terdiam sembari menggigit-gigit bibir. “Kok, diam, Ras?” Tatapan Satya menelisik paras ayu Laras. “Ehm, anu ….” Laras menarik napas panjang, berusaha memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru
Berulangkali Satya menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan demi mengurai gelisah. Ia harus bisa menenangkan hati agar otaknya bisa bekerja dengan baik. Ia teringat jika belum Salat Asar ketika melihat salah satu petugas satpam dan Bayu kembali dari masjid. Gegas ia melangkah menuju musala yang terletak di tengah antara rumah utama yang beralih fungsi menjadi kantor dan tempat karyawannya membatik. Satya terlonjak kaget ketika ponsel pribadinya berdering. Ia baru selesai membaca istigfar dan selawat. Lintang yang menganjurkan untuk membaca keduanya setiap hari. Sepasang mata Satya berpendar bahagia melihat nama Lintang tengah memanggil. “Lin!” serunya ketika telah tersambung. “Mas!” Lintang berseru pada waktu yang sama. Refleks Satya dan Lintang tertawa. “Kamu lagi di mana? Masih di kota?” tanya Satya taksabar setelah tawanya reda. Paras manis Lintang menggantung di pelupuk mata. Satya beranjak keluar dari musala karena beberapa karyawan masuk untuk Salat Asar. Ia t
Lintang menyerah. Ia mengiyakan permintaan Satya meski hatinya diselimuti rasa malu jika mengingat foto yang dikirim suaminya. Bagaimana ia tidak enggan memasang foto itu kalau posisinya nyaris tak berjarak dengan Satya. Lintang tidak bisa membayangkan komentar teman-temannya ketika melihat foto itu. Ia pasti tidak akan punya muka ketika bertemu dengan dosen-dosen yang sering berhubungan dengannya karena terikat pekerjaan. Lintang bahkan yakin Prof. Kathrina akan menertawakan dan menganggapnya norak. Namun, daripada Satya marah, lebih baik ia menuruti permintaannya. “Mas, doain ya, besok mau berangkat ke salah satu pulau terjauh. Aku dapat cluster tiga. Doain lancar dan nggak mabuk laut.” Lintang mengalihkan pembicaraan, khawatir sinyal keburu hilang padahal ia belum sempat meminta restu pada suaminya.“Bukannya kamu bilang nggak pernah mabuk laut?” “Dulu memang nggak pernah. Nggak tahu kenapa kemarin mabuk sampai muntah-muntah.” Satya terdiam sesaat. Tiba-tiba sepasang matanya b
Refleks Laras membekap mulut yang terbuka. “Bisa nggak sih, Pak Satya nggak meledekku terus gini? Kalau aku ngarep Mas Evan beneran gimana?” batin Laras jengkel. “Saya bukan mau jalan sama Mas Evan, Pak. Saya cuma mau nunggu bentar buat nyerahin laporan.” “Ya, sudah, lanjutin kerjaanmu. Aku juga nunggu Evan. Lama banget nggak sampai-sampai.” Satya keluar ruangan dan kembali duduk di depan. Laras menarik napas lega melihat Satya keluar. Sigap tangannya membereskan stopmap dan isinya yang berserakan. “Nambah-nambah kerjaan saja, nih, Pak Satya,” gerutunya. Langit telah berubah warna ketika mobil Evan memasuki halaman, bersamaan dengan masuknya Laras. Gadis itu memutuskan pergi ke angkringan terdekat demi mengisi perut dan menghindari Satya. Ia khawatir kalau menunggu di kantor akan menjadi bulan-bulanan Satya. “Sorry, Ras, nunggu lama. Aku ada urusan tadi,” ujar Evan saat mereka berjalan beriringan. “Nih buat kamu. Tanda maaf.” Evan menyodorkan kantung plastik berisi sekotak serabi
Laras memandang dua atasannya bergantian. Dihelanya napas dalam-dalam sebelum menyebut nama yang sejak tadi seolah tersangkut di tenggorokan.“Mas Evan yang meng-cancel permohonan reekspor kita.” Gadis berkulit putih itu menjatuhkan punggung di sandaran kursi usai melepas kalimatnya, seolah tulang-belulang yang menyangga tubuhnya tercerabut. Ia menundukkan wajah, taksanggup menatap kedua atasannya. “Astagfirullah!” Evan terhenyak. “Kok, bisa, Ras? Aku nggak pernah cancel permohonan reekspor kita.” “Jadi yang kamu maksud musuh bisa jadi dari orang terdekat itu kamu sendiri?” sambar Satya. Api di matanya semakin berkobar, siap menghanguskan apa pun yang ada di sekitarnya. “Saya nggak pernah melakukannya. Demi Allah.” Dada Evan bergemuruh. “Saya bukan pengkhianat dan tidak mungkin menghancurkan bisnis keluarga njenengan.” Kedua tangan Evan mencengkeram erat lengan kursi. “Sayangnya, namamu yang disebut petugas undername importer kita.” “Bisa jadi pelaku mencatut nama saya.” Evan mem
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers