Semua Bab Perempuan Rahasia Suamiku: Bab 31 - Bab 40

73 Bab

31. Surat dari Wulan

Part 31"Damar, jangan diam saja! Kamu dengar gak ibu bilang apa? Cepat jemput Melinda!"Aku menghela nafas dalam dan menjatahkan bobotku di sofa. "Aku baru dateng, Bu, tapi ibu malah langsung menyuruhku jemput dia. Apa ibu tidak bertanya padaku apa masalah kami sebenarny?:"Ibu sudah tahu semuanya, Melinda sudah cerita. Kamu yang salah paham, Damar!" tukas ibu lagi.Aku tertawa, merasa konyol sekali. "Apa ibu gak ingin tahu kabar Wulan dan anak-anak? Mereka juga menantu serta cucu ibu.""Halaah, paling mereka sudah pulang. Tipe wanita seperti Wulan itu pasti gak bisa jauh-jauh dari kamu. Dia bisa apa tanpa kamu sih! Cuma lulusan SMA aja belagu, gadis miskin gak punya orang tua! Gak punya apa-apa yang bisa dibanggakan," tukas ibu kesal. "Dari awal kan ibu setengah hati memberikan restu pada kalian. Tapi ya sudahlah, ibu gak mau mengungkit lagi. Toh pernikahan kalian sudah tujuh tahun. Sudah saling mengerti. Lebih baik sekarang kamu ke sana, susul Melinda. Ibu kasihan sama dia, Nak," u
Baca selengkapnya

32. Kita bertemu di persidangan, Mas!

Part 32Bila bertahan menyakitkan, maka melepaskan adalah jalan terbaik. Aku sudah berpikir tentang hal ini sejak aku tahu Mas Damar bermain hati. Setiap manusia punya kesempatan untuk bahagia, begitu pula denganku. Aku tak ingin kesehatan mentalku terganggu, apalagi harus membesarkan dua anak kesayanganku.Seperti pagi ini, aku memang pulang kembali ke rumah. Tentu dengan beberapa tujuan. Meski Mas Damar sudah menalak Melinda di hadapanku, tapi aku tak serta merta percaya. Bisa saja mereka rujuk kembali tanpa sepengetahuanku. Ya, semua didasari oleh rasa curiga. Mas Damar sepertinya mulai berbohong lagi, kulihat dari sorot matanya yang tampak gusar saat dia izin pulang kampung ke rumah ibunya. Dia memang mengajakku, tapi aku tak siap dengan kenyataan bahwa dia bertemu Melinda. Aku paham Melinda pasti takkan menyerah begitu saja untuk kembali pada suamiku. Mungkin lebih baik aku yang pergi.Setelah kepergian Mas Damar, aku bersiap-siap ke sekolah Raffa, dan menghadap ke kantor guru m
Baca selengkapnya

33. Gagal proyek

Part 33Kuhubungi ponselnya berkali-kali tapi tidak aktif. Aku mengusap wajah dengan kasar. Dimana aku harus mencari Wulan? Malam ini pasti aku tak bisa tidur dengan tenang lagi. Kepala terasa berdenyut berkali-kali.Wulan, kamu kemana? Bagaimana dengan anak-anak? Seketika rasa getir menyelinap dalam hati. Bagaimana ini? Kuletakkan ponsel di meja, pandanganku terkunci pada sebuah kartu ATM yang tergeletak di sana. Jadi dia meninggalkan kartu ini? Lagi dan lagi keningku berkerut. Lalu bagaimana cara dia membiayai anak-anak? Wulan kan gak kerja. Aku jadi tak mengerti apa yang dia pikirkan. Kenapa egois sekali. Bagaimana dengan anak-anakku. Apa dia ingin mati kelaparan?Aku tertidur, entah bagaimana caranya. Ketika terbangun, kondisi rumah masih sama. Sepi. Kupikir itu hanyalah mimpi buruk, rupanya tidak. Wulan dan anak-anak tak kembali.Kepala masih terasa berat, aku beranjak membasuh wajah dan minum segelas air putih. Kuembuskan nafas panjang."Oke, Damar, ayo berpikir yang jernih," g
Baca selengkapnya

34. Shock

Part 34"Mas ...?" panggil sebuah suara. Aku menoleh dan melihatnya datang membawa koper. Keningku berkerut melihat ia berjalan berlenggak-lenggok dan tersenyum menghampiriku."Kamu? Ngapain kesini?" "Ingin melayani suamiku dengan baik," jawabnya santai. Ia langsung menghampiriku dan menggelayut manja."Ngapain bawa-bawa koper segala?""Ya tinggal disinilah, Mas, nemenin kamu. Kan Wulan udah gak ada. Biar kamu gak kesepian lagi.""Tidak, Mel. Kau pulanglah, tempatmu bukan di sini.""Lho kenapa, aku juga kan istrimu, Mas! Kenapa aku gak boleh tinggal di rumahmu? Lagian aku kesepian di rumah sendirian. Lola gak pulang-pulang. Jadi aku butuh kamu, Mas," jawabnya lagi. Bibirnya setengah cemberut kala aku memprotesnya.Aku menghela nafas kasar."Please Mas, izinkan aku tinggal di sini, bersamamu. Lagian Wulan kan gak ada, Mas," rajuknya lagi."Ya tapi, lingkungan di sini gak tahu kalau kita sudah menikah. Kalau digrebek gimana?" Aku berusaha menjelaskan."Halah, gitu aja bingung, Mas. Tin
Baca selengkapnya

35. Keributan di Klinik

Part 35“Hah? Masa gak ada saldo, itu gak mungkin, Mel!” sahutku lagi tak percaya. Karena yang kutahu saldo di kartu ATM ini masihlah banyak, mungkin tersisa 120 jutaan diambil buat bayar kuliah farah juga emas perhiasan untuk Wulan. Kalaupun Wulan mengambil tak mungkin sebanyak itu, dia kan gak punya rekening.“Hiih! Kamu nyebelin sekali, Mas! Ngerjain orang gak tanggung-tanggung!” ia menjatuhkan bobotnya di sampingku.Aku mengusap tengkukku bingung. Tak tahu apa yang sudah terjadi. “Serius, Mel. Masa kartu ATM ini gak ada saldonya?”“Kalau gak percaya cek aja sendiri!” sungutnya kesal.Aku menghempaskan nafas kasar. Kalau gak ada terus kemana larinya duit itu? Masa iya kosong?“Wulan kali yang udah nguras isi ATM-mu, Mas! Siapa lagi kalau bukan dia! Kurang ajar dia, sama aja dia dengan pencuri. Kamu gak mau laporin dia, Mas?”“Hah? Laporin kemana?” Aku makin bingung dengan ucapan Melinda, masa istri sendiri dilaporkan.“Ya ke polisi lah, tentang pencurian.”“Ya gak mungkin, Mel. D
Baca selengkapnya

36. Jangan pisahkan aku dengannya

Part 36“Diam kau, Wulan! Istri macam apa kamu, yang berani-beraninya minggat dari rumah suamimu sendiri? Dan ada masalah segenting ini kau tak menghubungiku? Hati nuranimu dimana, Wulan?! Aku ini ayah mereka! Kau tak pikirkan perasaanku dan anak-anak ‘hah?!”Ceklek ... pintu ruang IGD terbuka.“Maaf Pak, tolong jangan ribut di sini ya, Pak. Jangan mengganggu ketentraman pasien,” ujar seorang perawat yang keluar dari ruang IGD dan melerai mereka, Mas Damar juga Mas Ranu. Seketika mas Damar melepaskan cekalan tangannya.“Ibu dari ananda Raffa, ditunggu di dalam ya Bu,” ujar perawat itu. Tapi tanpa kompromi lagi, Mas Damar lah yang langsung masuk ke ruangan. "Biar saya saja Sus, saya ayah kandungnya," tukas Mas Damar yang masih terdengar di telingaku.“Sini Mbak, Amanda biar sama saya. Mbak masuk aja,” ujar Mas Ranu lagi. Aku mengangguk saja dan menyerahkan bayi mungilku padanya. Entah apa jadinya kami kalau saat kejadian tak ada dirinya. Dia menolong kami saat mobil itu melaju kencan
Baca selengkapnya

37. Silakan kau pergi

Part 37Aku mengendarai mobil cukup kencang, hati dilanda emosi. Rasanya kesal sekali melihat istriku dekat dengan pria lain. Bahkan dia tak menghubungiku mengenai masalah Raffa? Ia justru datang ke klinik ditemani oleh pria itu?! Aku menghela nafas kesal. Tega-teganya Wulan berkhianat."Mas, kamu boleh marah sama Wulan, tapi jangan lampiaskan ini pada kami! Lihatlah Raffa sepertinya ketakutan!" tukas Melinda menyadarkanku.Aku menoleh sejenak, melihat anak lelakiku di pangkuan Melinda yang tampak tak nyaman. Bahkan ia tak mau disentuh oleh ibu tirinya. Sorot matanya terlihat takut. Mulutnya terkatup rapat setelah tadi sempat kubentak."Ayah, Raffa mau ikut bunda," tukas bocah kecilku dengan suara serak habis menangis. "Ayah, kasihan Bunda, Ayah. Bunda nangis."Kami masih diam, Melinda tampak mendiamkannya tapi Raffa meronta."Ayah, Raffa mau ikut sama Bunda. Bunda ... Bunda ..." rengeknya lagi, telingaku sampai penging mendengarnya."Ayah, Raffa mau ikut sama Bunda, Ayah!" rengek Ra
Baca selengkapnya

38. Dia yang begitu tega

Panas terik matahari tak kuhiraukan lagi, demi ingin menjemput Raffa kembali. Tapi nihil, sampai di sana rumah kelihatan sepi. Mereka semalaman tak ada di rumah? Aku harus mencari kemana lagi? Lelah badan jiwa dan raga. Tadinya aku ingin masuk tapi rasanya percuma. Tak ada tanda-tanda orang di rumah.Aku sengaja menunggu di rumah Mbak Rasti, kuceritakan semua pada wanita itu. Ia turut prihatin dengan kondisiku."Kurang ajar memang suamimu itu. Dia bahkan berani membawa pelakor itu kesini. Tadinya aku mau melaporkan ini pada Pak RT, tapi ternyata pak RT sudah tahu lebih dulu, katanya mereka sudah nikah siri. Aku harap Mbak Wulan sabar ya," ungkap Mbak Rasti. Ekspresi wajahnya terlihat sedih."Iya, Mbak. Terima kasih banyak. Aku tunggu di rumah lagi, Mbak. Siapa tahu Mas Damar pulang.""Iya Mbak Wulan. Semangat ya, kami semua mendukungmu kok."Aku duduk sebentar di dekat pintu gerbang itu. Biasanya gerbang ini tak pernah dikunci sepertinya Mas Damar sengaja menggantinya dengan yang baru
Baca selengkapnya

39. Menjemput Raffa kembali

“Amanda lucu banget ya, Mas, lihat deh dia senyum,” ujar Naima.“Iya. Makanya buruan nikah gih, biar bisa gendong bayi sendiri," sahut lelaki itu.“Hahaha, sendirinya aja belum nikah lagi.”“Aku kan dah pernah nikah, kamu aja duluan. Biar gak jadi perawan tua. Haha.”“Yee, usil banget kamu, Mas. Aku tuh emang pemilih, cari calon yang bener-bener baik biar gak salah pilih. Kan sakit kalau dikhianati seperti Wulan itu. Naudzubillah suaminya jahat banget.”“Gak semua laki-laki seperti itu, Nai. Masih ada pria yang baik.”“Iya, aku tahu.”“Lah terus yang kemarin dijodohkan sama kamu gimana?”“Ogah, Mas. Dah ilfil duluan, masa pas perkenalan aja dia bawa ceweknya ke rumah.”“Untung ketahuan sebelum resmi ya, Nai.”“Iya, Mas. Makanya aku minta ayah dan ibu biar gak mendesakku menikah terus menerus. Tapi entahlah, aku juga gak tahu. Ayah dan Ibu tampaknya tak setuju dengan pendapatku."Sepintas aku mendengar obrolan dua saudara sepupu itu. Aku pun datang menghampiri mereka. “Kayaknya lagi se
Baca selengkapnya

40. Ketuk palu

"Damar, Raffa dibawa Wulan!" Aku langsung terlonjak mendengar kabar dari ibu via telepon. Segera aku beranjak dari kursi tempat kerjaku. Berdiri mendekat ke arah kaca."Maksud ibu gimana? Dibawa Wulan? Kok bisa? Coba ceritakan dengan jelas, Bu.""Tadi Wulan kesini sama temannya. Terus langsung bawa Raffa pergi, Nak.""Kenapa ibu gak mencegahnya sih, Bu?""Ibu takut, dia akan melaporkan ibu atas kasus penculikan. Temannya itu seorang pengacara, Nak.""Haduuuh ibuuu. Pasti itu cuma akal-akalan Wulan saja. Ya sudah Bu, aku tutup teleponnya ya.""Iya." Terdengar suara parau dari seberang telepon. Aku menghela nafas dalam-dalam. Cepat sekali Wulan menemukan Raffa. Ck!Aku memukul-mukul pelan dahiku sendiri, pusing kembali hadir di kepala. Kok bisa Wulan bertindak nekad seperti itu. Padahal aku ingin memberi pelajaran padanya, agar dia memohon-mohon dibawah kakiku. Tapi nyatanya ...Hari ini konsentrasiku hilang lagi. Terpaksa aku izin pulang dari kantor. "Maaf Pak Damar, dalam satu bulan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234568
DMCA.com Protection Status