"Damar, Raffa dibawa Wulan!" Aku langsung terlonjak mendengar kabar dari ibu via telepon. Segera aku beranjak dari kursi tempat kerjaku. Berdiri mendekat ke arah kaca."Maksud ibu gimana? Dibawa Wulan? Kok bisa? Coba ceritakan dengan jelas, Bu.""Tadi Wulan kesini sama temannya. Terus langsung bawa Raffa pergi, Nak.""Kenapa ibu gak mencegahnya sih, Bu?""Ibu takut, dia akan melaporkan ibu atas kasus penculikan. Temannya itu seorang pengacara, Nak.""Haduuuh ibuuu. Pasti itu cuma akal-akalan Wulan saja. Ya sudah Bu, aku tutup teleponnya ya.""Iya." Terdengar suara parau dari seberang telepon. Aku menghela nafas dalam-dalam. Cepat sekali Wulan menemukan Raffa. Ck!Aku memukul-mukul pelan dahiku sendiri, pusing kembali hadir di kepala. Kok bisa Wulan bertindak nekad seperti itu. Padahal aku ingin memberi pelajaran padanya, agar dia memohon-mohon dibawah kakiku. Tapi nyatanya ...Hari ini konsentrasiku hilang lagi. Terpaksa aku izin pulang dari kantor. "Maaf Pak Damar, dalam satu bulan
"Mas, gimana sih kenapa Wulan memenangkan semuanya? Nanti kita akan tinggal dimana? Aku gak bisa terima ini!!" pekik Melinda dengan emosi menggebu-gebu. Ia pasti tidak terima dengan hasil keputusan sidang. Aku terdiam. Seluruh hati dan hidupku pun luluh lantak. "Tenanglah, Mel, aku akan pikirkan caranya," sahutku sembari mengurut kening. Pusing tentu saja. Apa yang harus kulakukan?"Cara apa, Mas? Cara menuju kebangkrutan?" Ia kembali emosi. "Kenapa kamu gak bilang dari awal kalau kamu menandatangani sebuah perjanjian, Mas? Kenapa kamu menyembunyikan ini semua dariku?" ocehnya lagi, makin membuat pening di kepala."Kalau aku bilang, apa kamu masih mau tinggal sama aku?" tanyaku, sembari kutatap wajah ayunya yang kini terlihat berantakan.Dia terdiam sejenak, dadanya masih naik turun dengan nafas yang tak beraturan. Pandangan kami saling beradu. Entah kenapa dia seolah tak berani menjawab pertanyaanku tadi.Melinda menghentakkan kakinya lalu beralih ke kamar. Aku mengikuti langkahnya
Pov MelindaBayanganku menjadi satu-satunya istri Mas Damar yang begitu bahagia dan sempurna, musnah sudah. Karena kini aku hanya bersama lelaki miskin tak punya apa-apa selain uang gaji bulanannya saja. Kesal sekali rasanya.Aargghh! Aku benar-benar membencinya. Bahkan Wulan tega sekali mengusirku dan Mas Damar dari rumah! Padahal harusnya aku yang memiliki rumah ini karena aku kan sedang hamil. Sungguh aku yang bodoh karena dari awal tak tahu tentang surat perjanjian Mas Damar dengan Wulan. Kalau tahu mungkin sudah sejak awal aku menguras harta Mas Damar?Benci sekali rasanya. Benci, benci, benci!Aku benar-benar tidak menyangka, Wulan bisa selicik ini padahal kelihatannya dia wanita yang pendiam dan penurut, kok bisa memberontak seperti ini? Licik sekali dia. Huh! Aku harus bagaimana? Aku memang sengaja menikah dengan Mas Damar agar kecipratan hartanya, bukan harus bersusah payah lagi dari nol. Ya, tujuanku menikah dengan Mas Damar adalah agar hidup lebih baik, terjamin kebutuhan h
"Berita penting apa?" tanya Melinda sambil menatapku tanpa berkedip. Aku jadi ragu untuk mengatakannya. Takutnya ia justru shock dengan kabar berita ini.Kuhela nafas dalam-dalam. "Tidak jadi, nanti saja. Aku lelah sekali Mel, bisakah kau buatkan aku kopi?" uajarku mengalihkan pembicaraan."Ya, tunggu sebentar, Mas."Aku mengangguk, lalu mengambil satu potong pizza yang tergeletak di meja. Lumayan lah buat ganjal perut. Kuambil ponsel dan kembali membaca pesan dari partner bisnisku. [Pak Damar, mohon maaf. Salah satu mobil rental mengalami kecelakaan. Kerusakannya sangat parah dan tak bisa diperbaiki. Bahkan pengendara itu meninggal dunia, jadi kami tak bisa menuntut ganti rugi. Ini kecelakaan tunggal, pengendara itu diduga mabuk dan mengendarai mobil dengan kencang hingga menabrak pohon dan tergelincir ke jurang. Satu kasus lagi, Pak, satu mobil yang lain hilang, penyewa itu ternyata menggunakan data diri palsu, kami sudah melacaknya tapi tak kunjung ketemu. Kami kehilangan jejakny
Kala rembulan tak bersinar, kuterpaut sendiri. Sepi, lamunan tiada arti. Hati kian jadi beku. Kala sang bintang ditelan malam, kutelusuri angan tanpa pasti. Hampa, menggores luka. Kala mendung menutup cakrawala, kelam ... semua menghilang. Termenungku dalam kekecewaan.*** Aku masih terpaku menatap dua buah hatiku yang tengah tertidur pulas. Sekarang aku sudah benar-benar sendiri. Berjuang membesarkan kedua malaikat kecil, berperan ganda sebagai ibu juga ayah. Rasanya memang menyesakkan dada, tak ada orang yang menginginkan perpisahan. Tapi apalah daya, hatiku yang tak kuat untuk menerima bila harus dimadu.Aku ingin bahagia, tapi mungkin aku justru wanita egois yang mementingkan hati sendiri tanpa memikirkan perasaan anak-anak. “Bunda, mau kemana? Kenapa aku sama dedek ditinggal sama Om Ranu? Bunda pasti pulang ‘kan? Bunda gak akan ninggalin kita 'kan?” pertanyaan polos yang keluar dari mulut Raffa terasa menohok hatiku. Itu hari dimana aku menjalani sidang perceraian.Ya, karena
"Maaf Mas, tidak perlu. Nanti istrimu marah lagi kayak tadi siang. Aku gak sudi dibilang mantan istri yang kegatelan.""Ah itu, maafkan aku, atas sikap Melinda yang kasar padamu," ujarku pelan. "Aku juga gak nyangka dia akan berbuat seperti itu di tempat keramaian."Kulihat Wulan hanya tersenyum simpul. "Bukankah dari dulu sikapnya sudah seperti itu? Masa kamu baru menyadarinya, Mas?"Aku termenung mendengarnya, gegara aku terlalu dibutakan oleh cinta jadi tak menyadari kekurangannya.Uang yang kupegang itu akhirnya kuberikan pada Raffa. Karena aku tahu, Wulan pasti enggan untuk menerimanya lagi bila aku memaksa."Sayang, ini buat jajan Raffa di sekolah ya, Dedek Amanda juga dibagi ya!" ujarku. "Iya, Ayah."Tetiba ponselku berdering berkali-kali. Panggilan dari Melinda. Segera kujawab panggilan telepon itu, karena kalau tidak, panggilannya takkan pernah berhenti, membuat berisik di telinga. "Tunggu sebentar, ayah terima telepon dulu ya, Nak," ujarku. Otomatis Raffa langsung berdiri
Di sebuah ruangan serba putih, terbaring seorang wanita paruh baya dengan perawakan yang kurus. Terdapat selang infus di sebelah tangannya. Ini untuk kesekian kalinya ia harus menjalani rawat inap. Setelah keluar dari rumah sakit, tak berapa lama, ia akan drop lagi. Setiap hari hanya makanan bubur yang masuk ke dalam tubuhnya. Itupun dua anaknya selalu bergantian berjaga. Seorang pria masuk menaruh tasnya di lantai. Ia menyalami tangan sang ibu dan mengecup keningnya dengan lembut."Gimana kabar hari ini, Bu?" Sang ibu mengangguk sambil tersenyum. "Ibu sudah jauh lebih baik, Nak. Ibu ingin pulang ke rumah, Nak. Maafkan ibu yang selalu merepotkan kalian.""Ibu, jangan bilang seperti itu. Dulu ibu merawat kami dengan baik, jadi izinkan kami untuk merawatmu," ujar pria itu lagi. Ia tersenyum dan berusaha tegar melihat kondisi ibunya yang masih sakit-sakitan."Iya Bu. Kami ikhlas merawat ibu," sambung sang adik."Kedua bola mata itu mulai berkaca-kaca. "Terima kasih anak-anakku. Tanpa
"Di hadapan ibuku, aku ingin menyatakan semua perasaanku selama ini. Aku menyukaimu. Apa kamu bersedia jadi teman hidupku?"Aku benar-benar bingung dengan ungkapan cintanya. Diam-diam dia menyukaiku? Kenapa bisa seperti ini? Rasanya ini terlalu cepat. Bahkan luka di hatiku saja belum mengering sepenuhnya. Trauma, itu yang kurasakan. Aku takut tersakiti lagi. Meski dia bukan Mas Damar, tapi tetap saja aku masih butuh waktu untuk mengobati luka hati yang entah kapan sembuhnya. Bukankah lebih baik sendiri dulu? Aku ingin fokus anak-anak dan juga usahaku. Lebih baik menjanda yang penting tetap bahagia bersama dua malaikat kecilku.Kali ini aku memberanikan diri untuk menatap lelaki itu barang sejenak. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Tersenyum. Ya, dia tengah tersenyum saat menatapku. Aduhai, dia memang mempesona. Selama ini aku jarang memperhatikan. Karena semuanya kuanggap biasa saja. Ia hanya teman. Memang, sesekali dibuat terharu karena sikapnya. Dia seorang penyayang anak kecil, dia
Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar
Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b
Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta
Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide
Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah
Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta
"Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena
“Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin
Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,