Kala rembulan tak bersinar, kuterpaut sendiri. Sepi, lamunan tiada arti. Hati kian jadi beku. Kala sang bintang ditelan malam, kutelusuri angan tanpa pasti. Hampa, menggores luka. Kala mendung menutup cakrawala, kelam ... semua menghilang. Termenungku dalam kekecewaan.*** Aku masih terpaku menatap dua buah hatiku yang tengah tertidur pulas. Sekarang aku sudah benar-benar sendiri. Berjuang membesarkan kedua malaikat kecil, berperan ganda sebagai ibu juga ayah. Rasanya memang menyesakkan dada, tak ada orang yang menginginkan perpisahan. Tapi apalah daya, hatiku yang tak kuat untuk menerima bila harus dimadu.Aku ingin bahagia, tapi mungkin aku justru wanita egois yang mementingkan hati sendiri tanpa memikirkan perasaan anak-anak. “Bunda, mau kemana? Kenapa aku sama dedek ditinggal sama Om Ranu? Bunda pasti pulang ‘kan? Bunda gak akan ninggalin kita 'kan?” pertanyaan polos yang keluar dari mulut Raffa terasa menohok hatiku. Itu hari dimana aku menjalani sidang perceraian.Ya, karena
"Maaf Mas, tidak perlu. Nanti istrimu marah lagi kayak tadi siang. Aku gak sudi dibilang mantan istri yang kegatelan.""Ah itu, maafkan aku, atas sikap Melinda yang kasar padamu," ujarku pelan. "Aku juga gak nyangka dia akan berbuat seperti itu di tempat keramaian."Kulihat Wulan hanya tersenyum simpul. "Bukankah dari dulu sikapnya sudah seperti itu? Masa kamu baru menyadarinya, Mas?"Aku termenung mendengarnya, gegara aku terlalu dibutakan oleh cinta jadi tak menyadari kekurangannya.Uang yang kupegang itu akhirnya kuberikan pada Raffa. Karena aku tahu, Wulan pasti enggan untuk menerimanya lagi bila aku memaksa."Sayang, ini buat jajan Raffa di sekolah ya, Dedek Amanda juga dibagi ya!" ujarku. "Iya, Ayah."Tetiba ponselku berdering berkali-kali. Panggilan dari Melinda. Segera kujawab panggilan telepon itu, karena kalau tidak, panggilannya takkan pernah berhenti, membuat berisik di telinga. "Tunggu sebentar, ayah terima telepon dulu ya, Nak," ujarku. Otomatis Raffa langsung berdiri
Di sebuah ruangan serba putih, terbaring seorang wanita paruh baya dengan perawakan yang kurus. Terdapat selang infus di sebelah tangannya. Ini untuk kesekian kalinya ia harus menjalani rawat inap. Setelah keluar dari rumah sakit, tak berapa lama, ia akan drop lagi. Setiap hari hanya makanan bubur yang masuk ke dalam tubuhnya. Itupun dua anaknya selalu bergantian berjaga. Seorang pria masuk menaruh tasnya di lantai. Ia menyalami tangan sang ibu dan mengecup keningnya dengan lembut."Gimana kabar hari ini, Bu?" Sang ibu mengangguk sambil tersenyum. "Ibu sudah jauh lebih baik, Nak. Ibu ingin pulang ke rumah, Nak. Maafkan ibu yang selalu merepotkan kalian.""Ibu, jangan bilang seperti itu. Dulu ibu merawat kami dengan baik, jadi izinkan kami untuk merawatmu," ujar pria itu lagi. Ia tersenyum dan berusaha tegar melihat kondisi ibunya yang masih sakit-sakitan."Iya Bu. Kami ikhlas merawat ibu," sambung sang adik."Kedua bola mata itu mulai berkaca-kaca. "Terima kasih anak-anakku. Tanpa
"Di hadapan ibuku, aku ingin menyatakan semua perasaanku selama ini. Aku menyukaimu. Apa kamu bersedia jadi teman hidupku?"Aku benar-benar bingung dengan ungkapan cintanya. Diam-diam dia menyukaiku? Kenapa bisa seperti ini? Rasanya ini terlalu cepat. Bahkan luka di hatiku saja belum mengering sepenuhnya. Trauma, itu yang kurasakan. Aku takut tersakiti lagi. Meski dia bukan Mas Damar, tapi tetap saja aku masih butuh waktu untuk mengobati luka hati yang entah kapan sembuhnya. Bukankah lebih baik sendiri dulu? Aku ingin fokus anak-anak dan juga usahaku. Lebih baik menjanda yang penting tetap bahagia bersama dua malaikat kecilku.Kali ini aku memberanikan diri untuk menatap lelaki itu barang sejenak. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Tersenyum. Ya, dia tengah tersenyum saat menatapku. Aduhai, dia memang mempesona. Selama ini aku jarang memperhatikan. Karena semuanya kuanggap biasa saja. Ia hanya teman. Memang, sesekali dibuat terharu karena sikapnya. Dia seorang penyayang anak kecil, dia
Kepalaku terasa berdenyut. Pusing tujuh keliling memikirkan sifat-sifat Melinda yang sangat jauh berbeda dengan Wulan. Bagaikan langit dan bumi. Bagaikan siang dan malam. Wulan yang begitu pandai mengatur keuangan tanpa mengeluh, ia justru bisa berhemat berbanding terbalik dengan Melinda yang sangat boros, menghabiskan semua gajiku tanpa sisa justru punya hutang dimana-mana.Perasaan sesal tetiba datang menghampiriku, kenapa aku baru tahu semua tentang Melinda setelah sejauh ini? Mau tak mau aku harus bertanggung jawab padanya. Membayar semua hutang yang entah digunakan untuk apa. Ya, lagi dan lagi perasaan sesal itu kembali datang kala mengingat Wulan dan anak-anak. Bodohnya aku kenapa mengkhianati mereka hanya karena cinta masa lalu yang tampak begitu menggoda.Bola mataku kembali membuat kala melihat semua rincian hutang yang Melinda punya. Hampir ratusan juta hutangnya pada aplikasi pinjaman online. Sungguh gila. Dan yang lebih gila lagi, aku tak pernah tahu larinya uang itu untu
Part 48"Bismillahirrohmanirrohim. Baiklah, Mas. Aku menerima pinanganmu. Aku bersedia jadi istrimu."Aku sudah mempertimbangkan semuanya, apalagi melihat Raffa yang begitu lengket dengannya. Semoga saja dia jodoh yang Allah kirimkan untukku dan menjadi ayah pengganti yang baik untuk anak-anak. Aku juga melihat kegigihannya selama beberapa bulan terakhir ini. Itupun aku bertanya banyak tentang Mas Ranu pada Naima. Tentang masa lalunya dan juga semuanya. Karena hal itu, aku jadi yakin kalau Mas Ranu memang lelaki yang baik.Raffa dan Mas Ranu saling ber'tos' ria. Aku jadi tertawa dengan tingkah mereka. Begitu pula dengan calon ibu mertua."Alhamdulillah, ibu ikut senang mendengarnya.""Bismillah, doakan lancar ya, Bu," ujar Mas Ranu."Tapi, Mas, aku minta waktu.""Waktu?""Jangan nikahi aku sekarang. Tapi tolong tunggu sampai usia Amanda satu tahun," sahutku lagi.Mas Ranu tersenyum. "Baiklah. Lima bulan lagi tak akan lama. Sekaligus aku akan mempersiapkan semuanya. Agar hari itu menja
"Baiklah, Mas. Aku menerima pinanganmu. Aku bersedia jadi istrimu."Deg! Dan seketika hati ini terasa begitu sakit. Seolah ditusuk oleh ribuan duri. Sakit sekali. Mendengarnya saja terasa begitu menyesakkan dada. Wulan, jadi kau sudah serius dengannya.Tak ingin sakit lebih dalam lagi akhirnya aku balik badan dan pergi meninggalkan mereka. Ya benar, status kita sekarang memang sudah mantan. Aku tak punya apapun lagi untuk melarangmu meraih kebahagiaan.Aku memacu motorku dengan kecepatan kencang. Tak peduli dengan apapun. Rasanya sangat sakit, seolah ada batu besar yang menghimpit.Sampai di rumah penampilanku sudah tak karuan dibuatnya. Rasa lapar yang mendera tak kuhiraukan lagi. Pergi saat pagi dan pulang sore hari."Mas, kamu pulang bawa motor, berarti berhasil, Mas? Kamu sudah jual mobilmu?" tanya Melinda. Raut wajahnya tampak berbinar."Ya ini semua kulakukan demi kamu. Tapi aku minta, kamu jangan terlibat pinjaman online lagi."Melinda langsung memelukku. "Makasih ya, Mas.""Ta
Part 50Astaga, uang sebanyak itu. Aku harus cari pinjaman kemana lagi? Lagi dan lagi kepalaku terasa begitu berat. Rasanya begitu pening. Ingin menangis tapi air mata ini tertahan. Harga diriku sebagai laki-laki ada dimana! Aku mengacak rambutku dengan kesal. Kesal dengan keadaan sendiri yang tak bisa berbuat banyak. Setelah sekitar satu jam menunggu, pintu ruang operasi terbuka dan munculah seorang pegawai rumah sakit yang memakai baju OK keluar dari pintu ruang operasi.Aku segera mendekatinya, " Itu bayi Ny. Melinda, Mbak?" tanyaku. Perawat bermasker itu memandangku sejenak. "Iya Pak, selamat, bayinya lahir perempuan, tapi berat badannya rendah karena prematur, sehingga harus masuk inkubator terlebih dahulu," jawabnya.Aku hanya menatapnya dengan pasrah saat anakku diinfus dan dipasang selang oksigen. Terenyuh melihat bayi semungil itu harus masuk inkubator. Rasanya hatiku nyeri, tak tega melihatnya begitu. Setelahnya, aku berkonsultasi dengan dokter anak yang menangani bayi m
Aku menatap layar ponsel di aplikasi marketplace. Bersyukur tiada terkira melihat banyak sekali pesanan masuk hingga ribuan paket. Ya, sangat banyak, aku sampai kewalahan, padahal waktu itu hanya mengikuti promo diskon yang diselenggarakan aplikasi merketplace online tersebut. Tiada mengira akan sebanyak ini, bahkan sampai kehabisan stock dan harus ambil ke supplier itupun berkat bantuan Mas Ranu yang mengambil ke gudangnya langsung.Tetiba sebuah tangan meraih ponselku. Aku mendongak, melihat Mas Ranu tersenyum. Mengecup keningku dengan lembut.“Pesanan sebanyak ini, sudah waktunya kamu menambah karyawan lagi, Sayang. Biar kamu gak kecapekan gini.”Aku memandangnya sambil senyum, meregangkan tubuh sejenak karena sejak ba’da isya tadi berkutat dengan membungkus paket yang tiada habisnya. Bahkan Raffa dan Amanda, Mas Ranu lah yang menidurkannya. Biar pun dia hanya ayah sambungnya, tapi ia begitu baik dan menyayangi anak-anakku dengan tulus.“Coba lihat sudah jam berapa sekarang,” ujar
Pagi buta seusai salat subuh, aku segera pulang. Pintu dibuka setelah kuketuk berkali-kali. Rupanya Melinda yang membukakan pintu. "Oh ternyata kau sudah bangun, Mel," sapaku. Wanita itu tersenyum. "Ya, Mas."Dia tampak kaku saat memandang ke arahku. Gegas aku ke kamar mandi dan bebersih diri. Tiap pagi aku harus cari tambahan uang, jadi tukang ojek dadakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarga, meski dapat satu sampai tiga penumpang sudah alhamdulillah, bisa buat beli bensin dan kuota data.Keluar dari kamar mandi kulihat ada ibu dan Melinda yang ada di dapur. Sepertinya hendak memasak."Damar, sebelum berangkat, kau sarapan dulu. Ini sama mie telor.""Iya, Bu."Ibu menghidangkan semangkuk mie plus telor di meja. Segera kusantap dengan lahap. Sedangkan Farah, belum bangun, pintu kamarnya masih tertutup rapat."Kamu kerja lagi, Mas?" tanyanya saat aku memakai jaket hitam dan hijau itu."Ya, seperti yang kau lihat. Paling sampai jam 9 pagi. Lumayan buat tambahan. Pagi-pagi b
Part 70“Melindaaa ...! Tunggu, Mel!” teriakku.Aku berlari mengejarnya dan berhasil menarik tangan wanita yang berambut acak-acakan itu. Tetiba ia menangis sesenggukkan. Aku tak mampu mendengar ia bicara apa. Melihatnya seperti ini hatiku teriris begitu perih. Benarkah ini Melinda yang dulu begitu cantik dan selalu ingin tampil sempurna? Kenapa kondisinya jadi makin memprihatinkan seperti ini?“Mel, kenapa kamu jadi seperti ini?”Mendadak tubuhnya merosot ke tanah, bahunya berguncang. Ia menangis begitu pilu tapi tak mau menjawab pertanyaanku.“Mel, tinggal dimana kamu sekarang?”Dia menggeleng lagi. Dan hanya menangis. Aku menatapnya nanar. Baju yang begitu kumal, tanpa mengenakan alas kaki. Rambut yang berantakan karena jarang disisir lalu, kulit yang dulu putih mulus sudah berganti coklat dan penuh kotoran, pun aroma tubuh yang tidak sedap. Dia tak berani menatapku, mungkin karena malu. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kendaraan bermmotor hanya sesekali lewat. Banyak sekali perta
Saat ini, aku hanya seorang pengangguran, uang kompensasi yang kuterima sebagian kuberikan pada ibu, dan sebagian lagi untuk peganganku, untuk bensin dan makan di luar serta kebutuhan mendadak yang lain. Alhamdulillah, setidaknya aku merasa lega saat Farah perlahan membaik. Ia tak lagi menjerit atau berteriak histeris seperti di kampung. Ia pun mulai mau diajak mengobrol.Surat lamaran pekerjaan sudah kulayangkan ke beberapa perusahaan, tapi belum ada kejelasan. Jadi aku melamar ke tempat pekerjaan lain. “Bu, hari ini aku mau lamar kerja.”“Melamar kerja dimana?”“Di Mall Bu, kata orang sedang butuh cleaning service.”“Kamu gak apa-apa kerja begituan?”“Iya, Bu. Aku tidak apa-apa. Akan kubuang gengsi ini jauh-jauh. Dari pada nganggur, yang penting dapat penghasilan untuk memenuhi hidup kita.”“Terima kasih ya, Nak. Kamu sudah berubah sekarang, semoga Allah meridhoimu.”“Aamiin, Bu. Keadaan yang membentuk kita jadi seperti ini ya, Bu.”Ibu mengangguk seraya tersenyum simpul. Kita dide
Sudah lebih dari satu minggu aku di rumah. Panggilan kantor tak kugubris lagi. Ini dikarenakan Farah yang sering kumat, berteriak histeris bahkan tak segan menyakiti dirinya sendiri. Ibu sudah kewalahan, selalu menangis tanpa bisa berbuat apa-apa. Apalagi akhir-akhir ini Syifana pun sering sakit-sakitan, panas dan tak berhenti menangis. Mungkin dia pun merasa terganggu dengan teriakan Farah.“Farah! Jangan seperti ini, Dek! Jangan sakiti dirimu seperti ini, Dek!” pekikku seraya mengambil cutter di tangannya. Lalu kupeluk tubuhnya yang terguncang. Kubiarkan dia memukul-mukul tubuhku. Rasanya benar-benar perih. Sangat perih melihat adikku hancur. Aku benar-benar tak tega. Wajah cantiknya sudah tak karuan. Mata merah yang sembab, bahkan rambutnya yang berantakan sungguh membuatnya sangat miris. Sudah hilang keceriaan dan semangatnya untuk hidup gara-gara lelaki biadab. Andai kutahu siapa pria yang begitu tega membuat adikku sampai seperti ini, pasti sudah kuhabisi dia.“Dek, ini adalah
Tetiba sebuah sentuhan lembut di pundak membuyarkan pikiranku. "Ada apa, Sayang? Kamu kenapa? Kok di sini?" tanya suara seorang laki-laki yang kini mengisi hari-hari sepiku.Aku menoleh dan menatapnya yang tengah keheranan."Mas, tadi aku lihat Melinda.""Melinda istri mantan suamimu itu? Dimana? Apa dia menyakitimu lagi?""Ah tidak-tidak. Tapi aku sungguh tak percaya dengan keadaannya sekarang.""Maksudmu?""Dia kok kayak jadi gembel ya, Mas," jawabku heran."Gembel?""Iya, tadi dia ngorek-ngorek tong sampah, Mas, sepertinya cari makanan. Jadi aku beri saja kotak nasi. Eh setelah kulihat termyata dia Melinda, dia langsung lari."Mas Ranu masih diam memperhatikanku bicara. "Penampilannya juga lusuh, kumal banget, Mas. Kasihan kalau memang benar itu Melinda.""Kenapa kasihan?""Bukannya dia masih punya bayi.""Sayang, apa kau tidak ingat dulu pernah disakiti olehnya?" pertanyaan Mas Ranu seketika membungkam mulutku."Mungkin itu bentuk teguran dari Allah agar dia sadar dan bisa berta
"Ada apa, Mas?""Ada yang mengacau di toko," sahutnya. "Mereka sepertinya komplotan, security dibuat babak belur, kaca toko dihancurkan, mungkin mereka juga mengambil isinya serta uang yang masih ada di brankas kasir."Dia menghela nafas dalam-dalam. "Rampok?"Mas Ranu mengangguk. "Tapi kau tenang saja ya, nanti akan kubereskan. Aku harus berangkat sekarang, mau cek ke lokasi dulu.""Mas mau langsung pergi?""Iya."Wajah lelaki itu tampak begitu tegang. Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas meja serta jaket agar tubuhnya sedikit hangat. Aku mengantarnya sampai teras depan. "Sayang ...""Ya, Mas?""Tolong jangan beri tahu ibu m3ngenai hal ini, aku takut beliau drop lagi. Bilang saja aku ada urusan di Butik yang gak bisa ditinggal," ujar Mas Ranu kemudian."Iya, Mas.""Maaf ya.""Tidak apa-apa, Mas, semoga masalahnya cepat selesai ya, Mas.""Terima kasih, Wulan." Aku meraih punggung tangannya lalu menciumnya dengan takdzim. "Mas, hati-hati.""Iya, Sayang. Makasih ya. Kau tena
“Aku mencintaimu, Wulan. Mari kita raih bahagia bersama,” ujarnya lembut.Aku mengangguk lagi, entah mulai dari mana bunga-bunga cinta ini hadir dalam hatiku. Saat bersamanya terasa begitu damai juga nyaman.Ting ting ting, denting suara notifikasi pesan WA membuyarkan kami. Aku menatap ponselku yang menyala dan berkedip-kedip sebagai tanda banyak pesan yang masuk.“Handphonemu bunyi, Wulan, coba dilihat dulu, mungkin ada yang penting,” ujar Mas Ranu. “Iya, Mas. Emmh aku sekalian mau ganti baju dulu,” jawabku kikuk. Mas Ranu mengangguk sambil tersenyum melihat salah tingkahku. Dia duduk di bibir ranjang sembari terus memperhatikanku.Aku membuka pesan yang dikirim oleh Naima. [Wulan, jangan lupa kado dariku dibuka dulu. Kadonya sudah kutaruh di dekat lampu tidur][Kau harus tampil cantik dan mempesona di hadapan suamimu][Semangat ya Wulan, semoga malam pertamamu dilalui dengan indah][Aku yakin, Mas Ranu takkan mungkin mengecewakanmu. Dia kalau sudah jatuh cinta, pasti bakalan cin
Satu hari yang begitu istimewa, acara demi acara terlewati dengan baik. Aku tak menyangka, banyak tamu undangan yang pada hadir. Rasanya seperti mimpi, aku menikah lagi bahkan dibuatkan pesta semeriah ini. "Terima kasih ya sudah mau jadi istriku," ujarnya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Tak lama Mas Ranu mengecup keningku dengan lembut. "Hari ini kita pulang ke rumah ya, ya menginaplah selama beberapa hari setelah itu terserah kamu mau tinggal dimana," ucapnya lagi."Iya, Mas."Malam harinya, setelah pernikahan selesai, kami langsung dibawa pulang ke rumah Mas Ranu. Selama jalannya acara, anak-anak juga tak menangis, mereka bersama Naima juga ibu."Ranu, Wulan, kalian istirahatlah. Raffa dan Amanda biar Bik Waroh yang mengurusnya," ujar ibu. Di sampingnya sudah berdiri wanita yang berumur 45 tahunan, tersenyum ke arah kami.Aku menghampiri Amanda yang masih digendong oleh Naima. Dia tengah tertidur pulas. Kuciumi sebentar gadis mungilku ini. Sementara Raffa tengah duduk di sofa,