Semua Bab Dijadikan Ipar oleh Mantan Suami: Bab 11 - Bab 20

38 Bab

Pertolongan Dimas

Sejak tadi Dimas mau bertanya ke mana arah mereka tuju sekarang, tapi Rahma yang sebelumnya tegar, begitu mobil menjauh dari rumahnya langsung terisak sampai sesenggukan. Bahunya berguncang terlihat begitu menyakitkan apa yang ia rasa saat ini.Dimas mengatup mulut rapat membiarkan wanita itu mengeluarkan semua beban dalam tangisnya. Ia tidak bisa apa-apa, hanya terbawa sendu suasana dengan sengaja menginjak gas perlahan. Saat tidak tahu akan ke mana arah mereka, ia mengemudi berputar dua kali di jalan raya yang sama.Jiwa lelakinya ingin sekali melindungi wanita di sebelahnya ini, tapi tertahan karena mereka belum 24 jam mengenal. Seandainya sudah akrab, ingin sekali Dimas merelakan bahu tempat Rahma bersandar membagi beban.“Hm, Rahma, ini mau aku antar ke mana?” Dimas baru membuka suara setelah Rahma tampak sudah menguasai diri. “… mm-maaf, ya,” ucap Rahma menyadari dirinya sudah membuat lelaki di sebelahnya ini bingung. “Aku sebenarnya belum tau akan ke mana … bisakah kau carikan
Baca selengkapnya

Kikuk

“Lega Sayang akhirnya kita resmi jugaaa ….” Tangan Harlan tak mau lepas dari pinggang istri barunya yang tengah membersihkan wajah dengan susu pembersih.“Beneran ya, Mas Har, janjinya.” Bibir sudah bebas lipstick itu manyun dua senti, ingin memastikan janji lelaki ini akan ditepati. Harlan yang gemas segera menyerang bibir Safea dengan mulut lebar miliknya.“Mmmh, ugh, sabar dong, Mas ....” Perempuan berwajah imut itu mendorong dadanya sampai mundur. “Janjinya?”“Iya, iya. Kamu tenang aja, itu semua gampang kalau mas tamvanmu ini yang urus.” Harlan menepuk dada.“Awh ….” Bibir kembali diterkam singa jantan itu, Safea jadi mengaduh berkali-kali.Harlan mengangkat tubuhnya sedikit melemparkan ke peraduan empuk. Lelaki itu berubah buas saat melihat sosok menggoda mata yang kini resmi jadi miliknya. Seorang istri yang bebas ia sentuh kapan saja saat suka.Tercapai sudah rasa ingin memiliki perempuan berisi itu secara utuh. Namun, puluhan menit kemudian usai terkulai lemas, dalam hati H
Baca selengkapnya

Sinyal Rasa

“Iya, Ra, kita makan bareng. Jarang-jarang lho Jay bawa makanan ke sini,” goda Dini inisiatif mengurai suasana yang kaku, ia berpura tak menyadari salah tingkah keduanya. “B-baiklah, Mbak, saya cuci tangan dulu." Rahma melangkah menuju wastafel, lalu sigap mengambil mangkuk dan sendok dibawa ke meja makan.Rahma mulai memindahkan makanan masih panas itu dari plastik ke dalam mangkuk.“Nadia belum pulang les?” Dimas juga sudah cuci tangan, kembali menarik kursi sambil memandangi tangan Rahma yang menyiapkan makanan.“Belum, seperempat jam lagi aku jemput. Habis makan inih,” tunjuk Dini pada isi mangkuknya yang sudah siap disantap.“Saos, kecapnya, Mbak Dini?”“Oh iya lupa, makasih ya, Ra. Kamu jangan segan sama aku, Ra, pake aku aja. Kalau saya kesannya terlalu formal kitanya,” alasan Dini, membuat suasanan jadi lebih akrab.“Iya Mbak Dini aja. Bisa.”"Gitu dong."Mereka mulai menyantap mie ayam yang masih hangat sambil ngobrol ringan.Diam-diam Dimas suka melihat dua perempuan itu su
Baca selengkapnya

Tawaran Sekeping Bahagia

“Telepon siapa, Ra?” Saat bersiap ke kantor Dini melihat Rahma menarik napas panjang usai menutup telepon. Ia baru mengaktifkan ponsel dan menelepon seseorang.“Habis telepon Ibu, Mbak. Anakku katanya lagi kurang sehat. Aku mau pulang pagi ini, Mbak Dini."“Iya nggak apa, Ra. Semoga anakmu cepat sehat." Dini menyentuh pundak Rahma, memberikan dukungan kalau ia pasti bisa melewati semua."Aamiin. Makasih banyak ya Mbak. Kebaikan Mbak Dini nggak akan saya lupakan seumur hidup.""Jangan berlebihan. Justru kamu yang banyak bantu mbak. Mbak akan kangen nggak ada teman ngobrol lagi. Pokoknya jangan marah kalau mbak minta Dimas jemput kamu buat ke sini. Bawa Azka juga tentunya, hum?"Rahma mengulas senyum haru. “Aku juga akan kangen sama Mbak Dini.""Nunggu Jay dulu Ra buat anterin.”“Enggak usah, Mbak Din. Aku naik taksi online saja. Bisa minta nomernya kalau mbak Dini punya langganan?”Rahma belum pernah naik taksi daring sebelumnya. Ia terbiasa pakai sepeda, atau angkutan umum.“Nanti ak
Baca selengkapnya

Sebuah Pilihan

“Mau kamu bawa ke mana cucuku, Rahma?!” Bu Tami menghadang Rahma yang menggendong Azka keluar rumah.“Azka aku bawa, Bu.” Wajah anak itu pucat, jika belum membaik nanti Rahma bermaksud membawanya berobat.“Jangan! Azka jangan dibawa keluar dari sini! bentak Bu Tami."Jangan kamu bawa anakku!" Harlan pun ikut-ikutan, ia loncat berdiri dari duduknya."Mau ngapain Mbak bawa Azka? Diajak nginap bareng gitu?"Rahma menatap geram Safea. “Jaga mulutmu, Fea! Aku ibunya Azka, jadi siapa pun nggak boleh melarangku bawa anakku!” Gegas langkahnya bergerak menjauh dari teras. Namun tertahan Bu Tami menarik punggung bajunya. Harlan bergerak cepat meraih tubuh Azka yang ditahan Rahma kuat. Tarik-tarikan itu membuat Azka menangis.“Azka lagi sakit, Mas! ” pekik Rahma dengan mata berkilat. “Dia juga anakku! Ngapain kamu bawa dia! Di sini ada bapaknya ini! Pura-pura lugu kamu, padahal kamu mau main gila bawa anak-“"Tutup mulut anda!" Dimas menyela, badannya berdiri menghalangi Harlan dari Rahma. Memb
Baca selengkapnya

Tegar

Rahma kembali berada di rumah Dini. Ia sekuat mungkin bersikap tegar, walau menahan malu di bawah belas kasihan mereka.Wanita bermata bulat ini mengurai senyum sebisa mungkin, meski di dalam dada luka hati masih berdarah. Rahma tak ingin murung dan menjadi beban orang lain, atau membuat suasana rumah ini jadi tidak nyaman karena kehadirannya.Cahaya keoptimisan harus tumbuh dari diri sendiri. Meski Dimas tulus menawarkan cinta yang belum bisa dijawabnya untuk sementara ini."Kita akan melewati apa pun bersama ke depannya. Ini bukan janji kosong, Rahma. Ini janji untuk diriku sendiri, dari rasa yang aku punya untukmu." Di perjalanan ke sini kemarin sore Dimas mengucapkan kalimat itu sambil menggenggam jemari kanannya.Tak dipungkiri ada kenyamanan dan ketenangan yang dirasa, tapi lelaki baik itu bukan utama sekarang. Membuktikan pada ibu kalau telah salah menilai dirinya itu lebih penting. Ia berharap hubungan keluarga kembali membaik demi Azka.Masalah asmara belum terbersit, Rahma m
Baca selengkapnya

Pengakuan

Bu Tami mengerut dahi melihat Safea datang menenteng banyak belanjaan. Dua paperbag sedang di tangan Safea, lalu Harlan membawa plastik belanjaan penuh di kedua tangan.“Ini buat Ibu.” Satu plastik merah Safea tinggalkan ke pangkuan ibunya, sambil berlalu ke kamar. Bu Tami melihat isinya dua lembar daster batik bermerk."Dari mana mereka dapat uang sampai belanja segitu banyak?" gumamnya pelan.Perasaan Bu Tami jadi sangat tidak enak. Apa lagi di dalam kamar yang terkunci terdengar Harlan dan Safea kembali bicara berbisik-bisik, kadang keluar tawa yang segera ditahan dengan desis."Apa yang mereka sembunyikan dariku?"*Malam ini di rumah Dini ….Selepas makan malam Dini mengajak Rahma ngobrol di kamarnya.Mengingat di kantor tadi ia memikirkan pekerjaan yang cocok untuk Rahma. Namun, bukan akan mencari pekerjaan yang muncul, tapi sosok teman barunya itu menghadirkan lagi sesuatu yang dulu sempat terhapus dari mimpinya.Seorang perempuan sederhana dengan prinsip kuat, wajah alami, ta
Baca selengkapnya

Rasa Itu

Rambut ikal tadi terikat kini terurai menutupi wajah yang tertelungkup diantara lengan dan lutut. Hati Rahma merasakan perih menyayat atas kejadian tadi pagi. Meski bisa berpura kuat di depan orang lain, begitu di sini sendiri tangisnya pun tumpah. Andai di pantai mungkin ia akan menjerit kuat, teriakkan luapan rasa di dadanya sekarang ini."Kupegang kata-katamu, setelah selesai urusan segera menjauh dari putraku!""Mami?""Kamu melawan mami demi dia?! Mana kesopananmu, Jay?!"Keributan ibu dan anak itu karena alasan dirinya terasa menyakitkan Rahma. Andai Dimas tak segera diam dan membiarkan sang ibu memarahinya habis-habisan, mungkin akan menambah emosi wanita itu.Memang bukan salah hati merasakan cinta, tapi juga bukan kebenaran mengikutinya dengan harus menyakiti orang yang dicintai sejak kecil. Rahma tidak ingin Dimas melakukan itu pada ibunya. Alasan kenapa menangis sampai sesesak ini Rahma pun tak tahu, ia hanya merasa ada bagian hati yang lepas saat membohongi diri tak mempuny
Baca selengkapnya

Sesal

“Nek ... apa Mama ada telepon?” Anak lelaki bermata bening itu bertanya sambil mendudukkan diri di pangkuan Bu Tami.“Oh, tidak ada, Ka. Handphone nenek sering bunyi itu ... orang salah sambung. Nomornya nenek tidak tahu,” dusta Bu Tami sambil menggeser benda kecil yang sudah dinonaktifkannya ke bawah kaki.“Kapan Azka ketemu Mama?” rengek bocah itu, mungkin merasakan kontak batin di sana sang ibu tengah memikirkannya.“Mama kerja, Sayang. Azka sabar. Kalau sudah libur mama pasti pulang.” Kalimat yang sama terucap untuk menenangkan cucunya ini.Bagaimanapun amarah dan kecewa pada Rahma, Bu Tami tak ingin cucunya menjadi korban kelakuan kedua orangtuanya. Ia lebih menyayangi cucu dibanding anak sendiri."Ayo main sana sama nenek." Pipi Azka dicium lama sambil menggelitiki perut anak itu hingga terkikik geli. Keduanya tertawa bersahutan saat si bocah bisa membalas menggelitiki telapak kaki neneknya.Azka adalah pelipur lara, Bu Tami sekarang tak bisa jauh dari cucu tercinta ini.Bruk!
Baca selengkapnya

Dipandang Sebelah Mata

"Apa yang harus saya lakukan, Bu?" tanya lelaki kurus yang terlihat bingung, ia menerima kotak berukuran cukup besar dari majikannya.“Pokoknya sepintar kamulah ngomong, asal dapat di mana alamat rumahnya,” perintah wanita paruh baya itu."Ba-baiklah, Bu. Saya akan coba."Bu Hakim melipat tangan di dada. "Pokoknya harus dapat alamatnya, ya, Parman,. Aku tidak mau tau bagaimana caramu," ucapnya penuh penekanan, membuat sang supir mengiyakan meski ragu. Baru kali ini majikan memberi perintah cukup aneh padanya. Berpura menjadi tukang paket untuk mendapatkan alamat seseorang.'Aku mau lihat siapa keluarganya,' benak Bu Hakim sembari memandangi mobil yang dibawa sopir keluar dari halaman.Saat akan berbalik masuk matanya jadi cerah melihat kehadiran sebuah mobil sedan putih datang. Seorang gadis tinggi langsing turun, dan berjalan cepat menghampirinya. “Hai Tante." Nadine tersenyum lebar, penuh percaya diri."Oh, Nadine. Tante senang kamu dateng." Keduanya saling tempel pipi kiri kanan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status