“Iya, Ra, kita makan bareng. Jarang-jarang lho Jay bawa makanan ke sini,” goda Dini inisiatif mengurai suasana yang kaku, ia berpura tak menyadari salah tingkah keduanya. “B-baiklah, Mbak, saya cuci tangan dulu." Rahma melangkah menuju wastafel, lalu sigap mengambil mangkuk dan sendok dibawa ke meja makan.Rahma mulai memindahkan makanan masih panas itu dari plastik ke dalam mangkuk.“Nadia belum pulang les?” Dimas juga sudah cuci tangan, kembali menarik kursi sambil memandangi tangan Rahma yang menyiapkan makanan.“Belum, seperempat jam lagi aku jemput. Habis makan inih,” tunjuk Dini pada isi mangkuknya yang sudah siap disantap.“Saos, kecapnya, Mbak Dini?”“Oh iya lupa, makasih ya, Ra. Kamu jangan segan sama aku, Ra, pake aku aja. Kalau saya kesannya terlalu formal kitanya,” alasan Dini, membuat suasanan jadi lebih akrab.“Iya Mbak Dini aja. Bisa.”"Gitu dong."Mereka mulai menyantap mie ayam yang masih hangat sambil ngobrol ringan.Diam-diam Dimas suka melihat dua perempuan itu su
“Telepon siapa, Ra?” Saat bersiap ke kantor Dini melihat Rahma menarik napas panjang usai menutup telepon. Ia baru mengaktifkan ponsel dan menelepon seseorang.“Habis telepon Ibu, Mbak. Anakku katanya lagi kurang sehat. Aku mau pulang pagi ini, Mbak Dini."“Iya nggak apa, Ra. Semoga anakmu cepat sehat." Dini menyentuh pundak Rahma, memberikan dukungan kalau ia pasti bisa melewati semua."Aamiin. Makasih banyak ya Mbak. Kebaikan Mbak Dini nggak akan saya lupakan seumur hidup.""Jangan berlebihan. Justru kamu yang banyak bantu mbak. Mbak akan kangen nggak ada teman ngobrol lagi. Pokoknya jangan marah kalau mbak minta Dimas jemput kamu buat ke sini. Bawa Azka juga tentunya, hum?"Rahma mengulas senyum haru. “Aku juga akan kangen sama Mbak Dini.""Nunggu Jay dulu Ra buat anterin.”“Enggak usah, Mbak Din. Aku naik taksi online saja. Bisa minta nomernya kalau mbak Dini punya langganan?”Rahma belum pernah naik taksi daring sebelumnya. Ia terbiasa pakai sepeda, atau angkutan umum.“Nanti ak
“Mau kamu bawa ke mana cucuku, Rahma?!” Bu Tami menghadang Rahma yang menggendong Azka keluar rumah.“Azka aku bawa, Bu.” Wajah anak itu pucat, jika belum membaik nanti Rahma bermaksud membawanya berobat.“Jangan! Azka jangan dibawa keluar dari sini! bentak Bu Tami."Jangan kamu bawa anakku!" Harlan pun ikut-ikutan, ia loncat berdiri dari duduknya."Mau ngapain Mbak bawa Azka? Diajak nginap bareng gitu?"Rahma menatap geram Safea. “Jaga mulutmu, Fea! Aku ibunya Azka, jadi siapa pun nggak boleh melarangku bawa anakku!” Gegas langkahnya bergerak menjauh dari teras. Namun tertahan Bu Tami menarik punggung bajunya. Harlan bergerak cepat meraih tubuh Azka yang ditahan Rahma kuat. Tarik-tarikan itu membuat Azka menangis.“Azka lagi sakit, Mas! ” pekik Rahma dengan mata berkilat. “Dia juga anakku! Ngapain kamu bawa dia! Di sini ada bapaknya ini! Pura-pura lugu kamu, padahal kamu mau main gila bawa anak-“"Tutup mulut anda!" Dimas menyela, badannya berdiri menghalangi Harlan dari Rahma. Memb
Rahma kembali berada di rumah Dini. Ia sekuat mungkin bersikap tegar, walau menahan malu di bawah belas kasihan mereka.Wanita bermata bulat ini mengurai senyum sebisa mungkin, meski di dalam dada luka hati masih berdarah. Rahma tak ingin murung dan menjadi beban orang lain, atau membuat suasana rumah ini jadi tidak nyaman karena kehadirannya.Cahaya keoptimisan harus tumbuh dari diri sendiri. Meski Dimas tulus menawarkan cinta yang belum bisa dijawabnya untuk sementara ini."Kita akan melewati apa pun bersama ke depannya. Ini bukan janji kosong, Rahma. Ini janji untuk diriku sendiri, dari rasa yang aku punya untukmu." Di perjalanan ke sini kemarin sore Dimas mengucapkan kalimat itu sambil menggenggam jemari kanannya.Tak dipungkiri ada kenyamanan dan ketenangan yang dirasa, tapi lelaki baik itu bukan utama sekarang. Membuktikan pada ibu kalau telah salah menilai dirinya itu lebih penting. Ia berharap hubungan keluarga kembali membaik demi Azka.Masalah asmara belum terbersit, Rahma m
Bu Tami mengerut dahi melihat Safea datang menenteng banyak belanjaan. Dua paperbag sedang di tangan Safea, lalu Harlan membawa plastik belanjaan penuh di kedua tangan.“Ini buat Ibu.” Satu plastik merah Safea tinggalkan ke pangkuan ibunya, sambil berlalu ke kamar. Bu Tami melihat isinya dua lembar daster batik bermerk."Dari mana mereka dapat uang sampai belanja segitu banyak?" gumamnya pelan.Perasaan Bu Tami jadi sangat tidak enak. Apa lagi di dalam kamar yang terkunci terdengar Harlan dan Safea kembali bicara berbisik-bisik, kadang keluar tawa yang segera ditahan dengan desis."Apa yang mereka sembunyikan dariku?"*Malam ini di rumah Dini ….Selepas makan malam Dini mengajak Rahma ngobrol di kamarnya.Mengingat di kantor tadi ia memikirkan pekerjaan yang cocok untuk Rahma. Namun, bukan akan mencari pekerjaan yang muncul, tapi sosok teman barunya itu menghadirkan lagi sesuatu yang dulu sempat terhapus dari mimpinya.Seorang perempuan sederhana dengan prinsip kuat, wajah alami, ta
Rambut ikal tadi terikat kini terurai menutupi wajah yang tertelungkup diantara lengan dan lutut. Hati Rahma merasakan perih menyayat atas kejadian tadi pagi. Meski bisa berpura kuat di depan orang lain, begitu di sini sendiri tangisnya pun tumpah. Andai di pantai mungkin ia akan menjerit kuat, teriakkan luapan rasa di dadanya sekarang ini."Kupegang kata-katamu, setelah selesai urusan segera menjauh dari putraku!""Mami?""Kamu melawan mami demi dia?! Mana kesopananmu, Jay?!"Keributan ibu dan anak itu karena alasan dirinya terasa menyakitkan Rahma. Andai Dimas tak segera diam dan membiarkan sang ibu memarahinya habis-habisan, mungkin akan menambah emosi wanita itu.Memang bukan salah hati merasakan cinta, tapi juga bukan kebenaran mengikutinya dengan harus menyakiti orang yang dicintai sejak kecil. Rahma tidak ingin Dimas melakukan itu pada ibunya. Alasan kenapa menangis sampai sesesak ini Rahma pun tak tahu, ia hanya merasa ada bagian hati yang lepas saat membohongi diri tak mempuny
“Nek ... apa Mama ada telepon?” Anak lelaki bermata bening itu bertanya sambil mendudukkan diri di pangkuan Bu Tami.“Oh, tidak ada, Ka. Handphone nenek sering bunyi itu ... orang salah sambung. Nomornya nenek tidak tahu,” dusta Bu Tami sambil menggeser benda kecil yang sudah dinonaktifkannya ke bawah kaki.“Kapan Azka ketemu Mama?” rengek bocah itu, mungkin merasakan kontak batin di sana sang ibu tengah memikirkannya.“Mama kerja, Sayang. Azka sabar. Kalau sudah libur mama pasti pulang.” Kalimat yang sama terucap untuk menenangkan cucunya ini.Bagaimanapun amarah dan kecewa pada Rahma, Bu Tami tak ingin cucunya menjadi korban kelakuan kedua orangtuanya. Ia lebih menyayangi cucu dibanding anak sendiri."Ayo main sana sama nenek." Pipi Azka dicium lama sambil menggelitiki perut anak itu hingga terkikik geli. Keduanya tertawa bersahutan saat si bocah bisa membalas menggelitiki telapak kaki neneknya.Azka adalah pelipur lara, Bu Tami sekarang tak bisa jauh dari cucu tercinta ini.Bruk!
"Apa yang harus saya lakukan, Bu?" tanya lelaki kurus yang terlihat bingung, ia menerima kotak berukuran cukup besar dari majikannya.“Pokoknya sepintar kamulah ngomong, asal dapat di mana alamat rumahnya,” perintah wanita paruh baya itu."Ba-baiklah, Bu. Saya akan coba."Bu Hakim melipat tangan di dada. "Pokoknya harus dapat alamatnya, ya, Parman,. Aku tidak mau tau bagaimana caramu," ucapnya penuh penekanan, membuat sang supir mengiyakan meski ragu. Baru kali ini majikan memberi perintah cukup aneh padanya. Berpura menjadi tukang paket untuk mendapatkan alamat seseorang.'Aku mau lihat siapa keluarganya,' benak Bu Hakim sembari memandangi mobil yang dibawa sopir keluar dari halaman.Saat akan berbalik masuk matanya jadi cerah melihat kehadiran sebuah mobil sedan putih datang. Seorang gadis tinggi langsing turun, dan berjalan cepat menghampirinya. “Hai Tante." Nadine tersenyum lebar, penuh percaya diri."Oh, Nadine. Tante senang kamu dateng." Keduanya saling tempel pipi kiri kanan
"Ada apa?" Dimas mendorong dua pundak Safea untuk melepaskan diri."Ada orang ngejar aku, Mas ... makanya aku lari ke sini ...." Safea kembali memeluknya.“Sebentar, sebentar.” Merasa risi, Dimas menjauh sambil memanggil Rahma. “Sayang, ini ada adekmu,” ujar Dimas pada istrinya di kamar.Rahma langsung keluar, menghampiri Safea dengan wajah terheran-heran.“Safea? Ngapain kamu sampai ke sini?”“Mbak ... aku diganggu orang, makanya tau Mbak Rahma nginap di sini aku lari ke sini. Tolong aku, Mbak … biarkan aku di sini malam ini aja ....” Safea meminta tumpangan nginap sampai pagi, karena merasa diri sedang tidak aman keluar. Mendengar itu tubuh Rahma langsung membatu. Hatinya memang tersentuh, takut Safea benar dalam bahaya, tapi sisi lain ia juga tak ingin kembali dibodohi. Sebelum pernikahan ini terjadi Safea pernah datang ke rumah Dimas, merayu pria itu dengan sangat murahan dan memalukan dirinya sebagai kakak. Untunglah Dimas tahu kelakuan adiknya itu, ia langsung menegur keras a
Besok akad nikah Rahma-Dimas akan dilaksanakan. Malam ini dua calon pengantin itu merasakan gugup teramat sangat.Rahma merasa terus ada yang geli merayap di perut, seperti baru pertama menjadi calon pengantin saja. Bibirnya senyum-senyum sendiri membayangkan akan menjadi istri seorang Dimas Jayadi. Ia berbaring di kasur sudah sejak tadi, tapi sulit memejamkan mata. Kesendiriannya karena Azka memilih tidur bersama sang nenek membawa seraut wajah Dimas menari-nari di pelupuk mata. Geli mengingat peristiwa sore kemarin, di hari terakhir pertemuan mereka sebelum resmi besok. Saat ia minta waktu bicara berdua dengan Dimas.“Sebelum semua terlanjur, apa kamu nggak akan nyesal akan menikahiku, Mas?”“Kenapa? Kamu masih ragu?” Dimas langsung menanggapi serius, dengan menatap manik mata Rahma dalam-dalam.Terdiam sesaat, perempuan kuat ini menata kata yang tepat untuk mewakili sedikit ganjalan di hati.“Aku hadir dalam hidupmu bersama Azka, dua orang yang nggak mungkin terpisah. Apa hati Ma
Sekilas Rahma melirik dua orang pengunjung di belakang Harlan, yang langsung memberi kode anggukan kepala padanya."Baiklah, Mas. Nggak usah lama-lama. Ini uangnya." Rahma merogoh tas, seolah akan mengambil uang. Harlan pun tersenyum-senyum tak sabar."Aaagg!" Bukan uang yang diberikan tapi tempelan senjata kejut listrik pada tangan membuat Harlan sontak memekik.Di saat terkejut dan lengah itulah dua orang petugas yang menyamar jadi pengunjung tadi langsung mudah menyergap, dan mengunci tangan Harlan ke belakang. Borgol besi segera menyatukan dua pergelangan di belakang punggungnya. “Apa-apaan ini! Rahma!” bentak lelaki bopeng itu.“Anda ditangkap dengan tuduhan melakukan penipuan, dan pemerasan.” Petugas menyebut singkat kasus yang dilaporkan belakangan ini.Harlan mengelak, tapi dua petugas itu tetap tegas akan mendengar penjelasannya nanti di kantor polisi saja. Tim lain masuk bantu menyeret Harlan keluar.Lelaki yang pernah merasa hitup di atas angin itu segera menembakkan ka
Rahma mulai menjalankan rencana yang menjadi bagiannya. Ia harus negosiasi dengan Harlan yang menuntut segera ditransfer. Sudah Rahma minta mereka bertemu di suatu tempat. Namun ternyata bukan hal mudah, lelaki itu malah mencurigai maksudnya.“Jangan banyak omong! Cepat transfer ke rekeningku!” pekik Harlan dalam sambungan telepon. Setelah berulang kali dihubungi baru sekarang panggilan Rahma diterima.“Mas, aku sudah berbulan-bulan nggak ketemu Azka, biarkan kami ketemu sebentar aja. Kali ini aja, Mas, skalian aku kasih uangnya.” Tak ingin kalah licik, Rahma membuat suara sesedih mungkin. “Aku ... akan tambah sepuluh juta kalau Mas Harlan bolehkan. Mas Harlan, tolong ya ... aku ngerasa bersalah sudah lama nggak ketemu Azka ...." Hening sejenak. Harlan tergiur tambahan 10 juta yang sangat sulit didapatnya akhir-akhir ini.Harlan menggaruk dahi. “Baiklah, ketemu di mana?” jawabnya kemudian.Rahma langsung menyebut tempat yang pernah direkomendasi Dini kalau mereka bertemu, tapi Harl
Menghela napas sejenak Dimas tersenyum kemudian menjawab, “Jay nurut saja, asal Mami bahagia.” Ia mengecup punggung tangan maminya. “Jay mau nengok kerjaan di kantor dulu, Mi, nanti ke sini lagi.”“Ya, Nak. Hati-hati di jalan.” Dimas mencuci muka di kamar mandi, lalu keluar sambil menguncir rambutnya. “Sebentar.” Bu Hakim menarik tangan Dimas keluar kamar. “Kenapa, Mi?” Pria tersebut kulitnya lebih legam bekas berjemur di pantai selama dua hari pergi, ia tampak bingung maminya menarik ke dapur seperti mencari seseorang, tapi kembali lagi ke ruang tengah.“Itu.” Langkah Bu Hakim terhenti melihat Rahma keluar dari kamar dengan pakaian rapi, sepertinya akan keluar rumah. “Dimas? Alhamdulillah, syukurlah kamu sudah pulang,” ujar Rahma cepat menguasai diri dari rasa terkejut melihat pria itu.Karena Dimas malah terpaku memandangnya Rahma langsung pamit pada Bu Hakim. “Saya mau keluar sebentar, Bu.” Ia menangkup tangan sebelum berbalik. Tak nyaman terjebak canggung antara dirinya, Bu
Lelaki berambut gondrong itu duduk selonjoran pasir, mengatur napas yang ngos-ngosan usai lari tanpa henti di bibir pantai. Ia membuang energi negatif dalam dirinya dengan berolah raga begini.“Mau sampai kapan di sini, Bos? Kasihan tuh yang pada nyariin.” Anto menghampirinya.“Gimana kerjaan, An?”“Masalah kerja brebes, Bos. Anto ini sudah pasti bisa dipercaya,” sombongnya menepuk dada.Senyum yang diharap terbit di bibir Dimas tak didapat jua. “Kenapa sih tiap tertekan harus pergi? Mbak Dini bilang mami Bos kurang sehat, tuh, titip pesan kalau ketemu disuruh pulang.”Dimas menatap teman sekaligus assistennya itu sebentar. Ini salah satu risiko memutuskan pergi, pasti maminya sedang kalut sekarang. Acara tinggal dua hari.Dimas beranjak berdiri, menepuk bahu sobatnya itu. “Ayo!” ujarnya membuat lelaki di sebelahnya menganga.“Maksudnya, pulang nih?” goda Anto. “Hm, kamu mau gantian di sini?” balas Dimas cuek sambil melangkah cepat.Anto tersenyum geli, ia bersusaha menjajari langka
“Maksudnya apa ini, Mas Harlan?!”[Hei, rindunya aku dengar kata ‘Mas Harlan’ dari bibirmu, Rahma … tapi nggak usah semarah gitu juga. Aku mantan suami sekaligus masih adik iparmu lho. Aku sengaja bawa Azka keluar. Jalan-jalan biar bisa main kayak anak-anak lain, tapi kami kehabisan duit.]“Azka dibawa main ke mana?”[Hm, belum bisa main ini kami masih nepi di jalan …][Kamu kirim uang dulu buat Azka]“Aku akan kirim 200 ribu, tapi habis itu Mas cepat bawa Azka pulang. Mainnya biar diantar Ibu aja.”Terdengar cengengesan tawa Harlan di sana. [Mana cukup segitu, Maniis … aku minta kamu kirim lima juta, Rahma. Kami tunggu!]“Gila! Kamu mau memerasku?!”[Hehehe. Biasa aja, Manis. Kalau kamu nggak kirim, aku sama Azka akan tahan makan sampai kelaparan di jalan. Kamu mau kami ma-] “Awas kau, Harlan! Kalau Azka kenapa-kenapa, aku nggak pikir panjang membalasmu!”[Uww, takut. Hahaa. Cepat kirim uangnya Rahma! Aku serius ini!]Panggilan terputus. Detik kemudian pesan masuk berisi nomor reken
Pentungan besi satpam tepat mengenai jari Nadine, berhasil membuat pisaunya terlempar jauh. Gadis itu mengerang dan meloncat-loncat menahan nyeri.“Tolong mbaknya!” Beberapa orang masuk langsung membantu Rahma bangun, dan diobati lukanya.“Mam-mi …??” Seketika tubuh Nadine membeku melihat ada Bu Hakim di depan pintu, tengah menatapnya kecewa. “Se-sejak kapan Mami di sini?”“Kamu angkat tangan!” Satu dari tiga orang laki-laki membawa borgol meneriakinya. “Bawa dia ke kantor polisi!”“Saya nggak salah, Pak! Dia itu janda gatal! Dia sembunyikan calon suami saya!”“Nanti Mbak jelaskan di kantor saja,” tegas mereka tetap memborgol dan menggiringnya keluar.“Mi, tolong Nadine, Mi! Aku ini calon istri Jay, Mi!”Sayangnya Bu Hakim tak sedikit pun mau melihat wajahnya. “Mi! Ini semua juga gara-gara Mami! Gara-gara Jay!! Kalian semuaa!” pekik gadis itu terus histeris sampai di lantai bawah.Beberapa orang kembali turun usai Rahma mengatakan dirinya baik-baik saja, dan menolak ke rumah sakit. T
Harlan datang ke rumah Bu Tami dengan gaya khasnya, seolah lelaki tertampan sedunia.Kehadirannya disambut raut masam dua perempuan yang duduk di ruang tamu.“Woi! Kenapa lihat aku begitu? Mana Azka?” tanyanya sambil celingukan.Safea buang muka lantas gegas ke kamar. Ia sudah lama muak lihat wajah Harlan. Tidak mau lagi berurusan dengan lelaki yang menolak menceraikannya itu.“Azka lagi tidur. Kenapa? Tumbenan ingat rumah ini?” Bu Tami bersedekap.“Lah, lah? Apa maksud Ibu? Oh, pasti Ibu mau halangi aku temui Azka, hum?”Alis lelaki itu naik sebelah. “Aku rindu anakku sekarang. bukan rindu istri cantikku yang hobi manyun itu.”“Kenapa baru sekarang anggap Azka anak? Mana tanggung jawabmu setelah berapa lama hilang?”Seminggu sejak keributan parahnya dengan Safea, Harlan memang tak pernah muncul batang hidungnya, lalu sekarang datang seolah tak bersalah.“Itu urusan pribadi, Bu. Nggak perlu juga kali aku jelaskan.” Ia melewati begitu saja Bu Tami yang melarangnya ke kamar Azka.“Mau ap