“Nek ... apa Mama ada telepon?” Anak lelaki bermata bening itu bertanya sambil mendudukkan diri di pangkuan Bu Tami.“Oh, tidak ada, Ka. Handphone nenek sering bunyi itu ... orang salah sambung. Nomornya nenek tidak tahu,” dusta Bu Tami sambil menggeser benda kecil yang sudah dinonaktifkannya ke bawah kaki.“Kapan Azka ketemu Mama?” rengek bocah itu, mungkin merasakan kontak batin di sana sang ibu tengah memikirkannya.“Mama kerja, Sayang. Azka sabar. Kalau sudah libur mama pasti pulang.” Kalimat yang sama terucap untuk menenangkan cucunya ini.Bagaimanapun amarah dan kecewa pada Rahma, Bu Tami tak ingin cucunya menjadi korban kelakuan kedua orangtuanya. Ia lebih menyayangi cucu dibanding anak sendiri."Ayo main sana sama nenek." Pipi Azka dicium lama sambil menggelitiki perut anak itu hingga terkikik geli. Keduanya tertawa bersahutan saat si bocah bisa membalas menggelitiki telapak kaki neneknya.Azka adalah pelipur lara, Bu Tami sekarang tak bisa jauh dari cucu tercinta ini.Bruk!
"Apa yang harus saya lakukan, Bu?" tanya lelaki kurus yang terlihat bingung, ia menerima kotak berukuran cukup besar dari majikannya.“Pokoknya sepintar kamulah ngomong, asal dapat di mana alamat rumahnya,” perintah wanita paruh baya itu."Ba-baiklah, Bu. Saya akan coba."Bu Hakim melipat tangan di dada. "Pokoknya harus dapat alamatnya, ya, Parman,. Aku tidak mau tau bagaimana caramu," ucapnya penuh penekanan, membuat sang supir mengiyakan meski ragu. Baru kali ini majikan memberi perintah cukup aneh padanya. Berpura menjadi tukang paket untuk mendapatkan alamat seseorang.'Aku mau lihat siapa keluarganya,' benak Bu Hakim sembari memandangi mobil yang dibawa sopir keluar dari halaman.Saat akan berbalik masuk matanya jadi cerah melihat kehadiran sebuah mobil sedan putih datang. Seorang gadis tinggi langsing turun, dan berjalan cepat menghampirinya. “Hai Tante." Nadine tersenyum lebar, penuh percaya diri."Oh, Nadine. Tante senang kamu dateng." Keduanya saling tempel pipi kiri kanan
Pulang dari rumah Dimas--usai jalan bertiga dengan Rahma--bibir Nadine terus mengerucut. Genggaman tangannya pada setir kuat, menggambarkan kesalnya teramat sangat pada perempuan yang baru dikenalnya tersebut.Meski tak diabaikan, tapi dari cara bicara dan tatapan Dimas pada Rahma nyata jauh berbeda dengan dirinya.Ia kesal hingga ke ubun-ubun Dimas malah mengajak serta perempuan itu pergi.Bagaimana ia lupa, perhatian Dimas pada Rahma menurutnya terlalu berlebihan."Suka yang mana, Sayang?" Dimas seolah sengaja membuat hatinya sakit.“Janda itu ditanya? Lah, gue mana pernah loe ditanya begitu, Jay!” decaknya sembari memukul setir.“Jay kok jadi bucin banget, heran, deh! Pasti perempuan itu ada apa-apanya. Ilmu santet atau apalah!" Sambil fokus pada jalan Nadine menggerutu sendiri.Bayangan wajah Rahma yang terlihat sok lugu, minta perhatian makin mengeratkan genggamannya pada setir.Tambah lagi wajah Dimas yang selalu semringah menanggapi. Tatapan untuk Rahma jelas terlihat begitu da
Bu Tami akan keluar rumah menemui Azka yang tengah bermain di pekarangan samping. Setelah mendapat kiriman dari ibunya kemarin, anak itu jadi anteng memainkan mobil mainan beroda trail bersama anak-anak tetangga. Mereka tengah menyoraki riang benda yang bergerak lincah itu."Seru banget mainnya." Senyum wanita itu merekah. Sebuah kendaraan berbodi panjang berhenti tepat di depan halaman, menarik perhatian Bu Tami."Eh, bukankah itu mobil yang kemarin mengantar mainan untuk cucuku?" Tak lepas memandang ia menunggu siapa yang akan turun dari kendaraan berkilau itu.Tampak lelaki yang kemarin datang sendiri itu keluar dari balik kemudi, membukakan pintu penumpang. Kaki seorang wanita bersepatu pentofel coklat mengkilap, dengan betis putih bersih. Mata Bu Tami bergerak naik, bertemu wajah wanita paruh baya bertahi lalat cukup besar di atas bibir. "Siapa ya?" gumamnya lirih.Dari penampilan sudah terlihat jelas wanita itu berkelas. Bu Tami spontan teringat menteri perempuan yang pernah
Selama di rumah Harlan, bibir Safea cemberut sepanjang waktu. Terlebih saat ibu mertua yang berwajah pasi di ruang sebelah terus mengerang tidak jelas.“Aaaa, uuuunggg …!” Suara Bu Mira makin keras membuatnya menutupi kedua telinga.Lekas beranjak, bukan mendekat tapi Safea malah mencari dua ipar yang lagi asyik cekikikan di kamar.“Hesti, Hasna! Tuh, dipanggil mamamu!”Kedua kakak beradik itu menoleh, lalu saling bertatapan.“Kak Hesti aja, Hasna lagi ada tugas.” Gegas bergerak dari kasur gadis berambut model bob itu menuju meja belajar, mengambil buku dan berpura membaca.“Kenapa nggak Mbak aja, sih?” kesal Hesti. Meski hampir seumuran dengan Safea, karena jadi kakak iparnya terpaksa ia memanggil ‘Mbak’.“Aku ini hamil, susah gerak. Masa gitu aja nggak paham,” alasan Safea sembari pergi.Komat-kamit bibir Hesti mengumpat tanpa suara, di belakang iparnya yang memegang pinggang.‘Perut masih kecil juga lagaknya kayak sudah mau beranak! Alesan!’“Apa sih, Ma? Ganggu aja!” gerutu Hesti
Getar terdengar dari ponsel Dimas dalam laci.“Eh, mungkin itu telepon Nadine lagi?” ujar Rahma mengingatkan.Dimas mengambil ponselnya. “Iya.” Ia perlihatkan pada Rahma 10 panggilan tak terjawab Nadine.“Kayaknya penting, Dim. Coba telepon balik.”“Kamu nggak papa?” Dimas menatapnya dengan raut memindai.“Ya nggak apa.” Rahma mengusap wajah pria itu gemas. Tangannya ditangkap Dimas, dan tidak dilepaskan lagi.“Oke kita coba telepon balik.”Nomor Nadine terhubung, baru sekali nada sambung sudah diangkat.“Jay lo sibuk apa sih kok susah banget dihubungin?!”Suara yang di’speaker itu membuat Dimas dan Rahma saling pandang.“Iya. Ada apa, Nad?” Dimas berusaha tenang. Sebelah kiri memegang ponsel, tangan kanannya erat menggenggam jemari Rahma.“Gue butuh lo sekarang, Jay. Pliss ke sini ….” Suara yang tadi keras berubah isak tangis. Sepertinya suara itu menggema, mungkin Nadine telepon dari kamar mandi.“Gue sakit, Jay ... gue cuma butuh elo di sini,” isak gadis di seberang makin menyayat
Harlan masuk rumah dengan wajah kusut. Makin bertambah saat mendapati istri memasang bibir cemberut, lalu mengejar langkahnya ke kamar.“Mana uangnya?” Safea menadah tangan begitu mereka di kamar.“Apa, sih? Orang baru pulang juga.” Harlan melepas kemeja, dan melemparnya sembarang ke atas kursi rias.Hanya mengenakan kaus dalam, dan boxer lelaki itu menjatuhkan badan ke atas kasur. Dua tangan dipakai menyangga kepala.“Mas ketemu mereka, kan? Dikasih berapa?” Safea duduk di sebelah tubuh suami.“Enggak ada! Katanya, sisanya itu dikasih nunggu habis kamu lahiran,” ujar Harlan tanpa senyum. Bibir lebarnya mengatup, memandang langit-langit dengan sorot menerawang.“Yah … masih lama. Masa kita nunggu tiga bulan lagi? Dapat uang dari mana cona buat bertahan, Mas?”Harlan termenung. Diam tanpa semangat.“Mas Har nggak punya tabungan lagi?”“Nggak ada.”“Ck!!” Safea menatap lelaki itu kesal. “Pokoknya Mas Har coba ketemu lagi sama mereka. Ambil sisanya semua. Nanti setelah lahiran tinggal me
“Mami tetap setuju kamu sama Nadine, Jay! Coba perhatikan baik-baik, dia kurang apa sebagai perempuan? Pendidikannya. Keluarganya. Nadine juga sudah cocok dengan Mami.”“Ini masalahnya kecenderungan hati Jay jelas pada Rahma, Mi.“Buka mata kamulebih lebar, Jay! Lihat mana lebih baik untuk masa depanmu. Mami yakin kamu lebih bahagia dengan Nadine dibanding perempuan itu.”“Mami seyakin itu?”“Tentu. Doa mami akan ngalir buat kalian berdua. Doa restu seorang ibu. Sementara kalau kamu tetap memilih perempuan itu, yang ada malah sebaliknya. Mami tidak ikhlas.”“Dari awal Mami tau Jay nggak bisa mencintai Nadine.”“Cinta akan datang kalau kalian sudah tinggal bersama. Makanya mami ingin kamu dan Nadine langsung menikah.”“Apa?”“Sudah jelas, Jay. Mami tetap akan menikahkanmu dengan Nadine. Selama Mami masih hidup, tolong jangan tolak keinginan ini.”“Aaaaaaaa!” pekik lepas Dimas sambil merentangkan tangan mengepal keras. Pembicaraan memanas dengan sang mami semalam membuatnya harus melepa
"Ada apa?" Dimas mendorong dua pundak Safea untuk melepaskan diri."Ada orang ngejar aku, Mas ... makanya aku lari ke sini ...." Safea kembali memeluknya.“Sebentar, sebentar.” Merasa risi, Dimas menjauh sambil memanggil Rahma. “Sayang, ini ada adekmu,” ujar Dimas pada istrinya di kamar.Rahma langsung keluar, menghampiri Safea dengan wajah terheran-heran.“Safea? Ngapain kamu sampai ke sini?”“Mbak ... aku diganggu orang, makanya tau Mbak Rahma nginap di sini aku lari ke sini. Tolong aku, Mbak … biarkan aku di sini malam ini aja ....” Safea meminta tumpangan nginap sampai pagi, karena merasa diri sedang tidak aman keluar. Mendengar itu tubuh Rahma langsung membatu. Hatinya memang tersentuh, takut Safea benar dalam bahaya, tapi sisi lain ia juga tak ingin kembali dibodohi. Sebelum pernikahan ini terjadi Safea pernah datang ke rumah Dimas, merayu pria itu dengan sangat murahan dan memalukan dirinya sebagai kakak. Untunglah Dimas tahu kelakuan adiknya itu, ia langsung menegur keras a
Besok akad nikah Rahma-Dimas akan dilaksanakan. Malam ini dua calon pengantin itu merasakan gugup teramat sangat.Rahma merasa terus ada yang geli merayap di perut, seperti baru pertama menjadi calon pengantin saja. Bibirnya senyum-senyum sendiri membayangkan akan menjadi istri seorang Dimas Jayadi. Ia berbaring di kasur sudah sejak tadi, tapi sulit memejamkan mata. Kesendiriannya karena Azka memilih tidur bersama sang nenek membawa seraut wajah Dimas menari-nari di pelupuk mata. Geli mengingat peristiwa sore kemarin, di hari terakhir pertemuan mereka sebelum resmi besok. Saat ia minta waktu bicara berdua dengan Dimas.“Sebelum semua terlanjur, apa kamu nggak akan nyesal akan menikahiku, Mas?”“Kenapa? Kamu masih ragu?” Dimas langsung menanggapi serius, dengan menatap manik mata Rahma dalam-dalam.Terdiam sesaat, perempuan kuat ini menata kata yang tepat untuk mewakili sedikit ganjalan di hati.“Aku hadir dalam hidupmu bersama Azka, dua orang yang nggak mungkin terpisah. Apa hati Ma
Sekilas Rahma melirik dua orang pengunjung di belakang Harlan, yang langsung memberi kode anggukan kepala padanya."Baiklah, Mas. Nggak usah lama-lama. Ini uangnya." Rahma merogoh tas, seolah akan mengambil uang. Harlan pun tersenyum-senyum tak sabar."Aaagg!" Bukan uang yang diberikan tapi tempelan senjata kejut listrik pada tangan membuat Harlan sontak memekik.Di saat terkejut dan lengah itulah dua orang petugas yang menyamar jadi pengunjung tadi langsung mudah menyergap, dan mengunci tangan Harlan ke belakang. Borgol besi segera menyatukan dua pergelangan di belakang punggungnya. “Apa-apaan ini! Rahma!” bentak lelaki bopeng itu.“Anda ditangkap dengan tuduhan melakukan penipuan, dan pemerasan.” Petugas menyebut singkat kasus yang dilaporkan belakangan ini.Harlan mengelak, tapi dua petugas itu tetap tegas akan mendengar penjelasannya nanti di kantor polisi saja. Tim lain masuk bantu menyeret Harlan keluar.Lelaki yang pernah merasa hitup di atas angin itu segera menembakkan ka
Rahma mulai menjalankan rencana yang menjadi bagiannya. Ia harus negosiasi dengan Harlan yang menuntut segera ditransfer. Sudah Rahma minta mereka bertemu di suatu tempat. Namun ternyata bukan hal mudah, lelaki itu malah mencurigai maksudnya.“Jangan banyak omong! Cepat transfer ke rekeningku!” pekik Harlan dalam sambungan telepon. Setelah berulang kali dihubungi baru sekarang panggilan Rahma diterima.“Mas, aku sudah berbulan-bulan nggak ketemu Azka, biarkan kami ketemu sebentar aja. Kali ini aja, Mas, skalian aku kasih uangnya.” Tak ingin kalah licik, Rahma membuat suara sesedih mungkin. “Aku ... akan tambah sepuluh juta kalau Mas Harlan bolehkan. Mas Harlan, tolong ya ... aku ngerasa bersalah sudah lama nggak ketemu Azka ...." Hening sejenak. Harlan tergiur tambahan 10 juta yang sangat sulit didapatnya akhir-akhir ini.Harlan menggaruk dahi. “Baiklah, ketemu di mana?” jawabnya kemudian.Rahma langsung menyebut tempat yang pernah direkomendasi Dini kalau mereka bertemu, tapi Harl
Menghela napas sejenak Dimas tersenyum kemudian menjawab, “Jay nurut saja, asal Mami bahagia.” Ia mengecup punggung tangan maminya. “Jay mau nengok kerjaan di kantor dulu, Mi, nanti ke sini lagi.”“Ya, Nak. Hati-hati di jalan.” Dimas mencuci muka di kamar mandi, lalu keluar sambil menguncir rambutnya. “Sebentar.” Bu Hakim menarik tangan Dimas keluar kamar. “Kenapa, Mi?” Pria tersebut kulitnya lebih legam bekas berjemur di pantai selama dua hari pergi, ia tampak bingung maminya menarik ke dapur seperti mencari seseorang, tapi kembali lagi ke ruang tengah.“Itu.” Langkah Bu Hakim terhenti melihat Rahma keluar dari kamar dengan pakaian rapi, sepertinya akan keluar rumah. “Dimas? Alhamdulillah, syukurlah kamu sudah pulang,” ujar Rahma cepat menguasai diri dari rasa terkejut melihat pria itu.Karena Dimas malah terpaku memandangnya Rahma langsung pamit pada Bu Hakim. “Saya mau keluar sebentar, Bu.” Ia menangkup tangan sebelum berbalik. Tak nyaman terjebak canggung antara dirinya, Bu
Lelaki berambut gondrong itu duduk selonjoran pasir, mengatur napas yang ngos-ngosan usai lari tanpa henti di bibir pantai. Ia membuang energi negatif dalam dirinya dengan berolah raga begini.“Mau sampai kapan di sini, Bos? Kasihan tuh yang pada nyariin.” Anto menghampirinya.“Gimana kerjaan, An?”“Masalah kerja brebes, Bos. Anto ini sudah pasti bisa dipercaya,” sombongnya menepuk dada.Senyum yang diharap terbit di bibir Dimas tak didapat jua. “Kenapa sih tiap tertekan harus pergi? Mbak Dini bilang mami Bos kurang sehat, tuh, titip pesan kalau ketemu disuruh pulang.”Dimas menatap teman sekaligus assistennya itu sebentar. Ini salah satu risiko memutuskan pergi, pasti maminya sedang kalut sekarang. Acara tinggal dua hari.Dimas beranjak berdiri, menepuk bahu sobatnya itu. “Ayo!” ujarnya membuat lelaki di sebelahnya menganga.“Maksudnya, pulang nih?” goda Anto. “Hm, kamu mau gantian di sini?” balas Dimas cuek sambil melangkah cepat.Anto tersenyum geli, ia bersusaha menjajari langka
“Maksudnya apa ini, Mas Harlan?!”[Hei, rindunya aku dengar kata ‘Mas Harlan’ dari bibirmu, Rahma … tapi nggak usah semarah gitu juga. Aku mantan suami sekaligus masih adik iparmu lho. Aku sengaja bawa Azka keluar. Jalan-jalan biar bisa main kayak anak-anak lain, tapi kami kehabisan duit.]“Azka dibawa main ke mana?”[Hm, belum bisa main ini kami masih nepi di jalan …][Kamu kirim uang dulu buat Azka]“Aku akan kirim 200 ribu, tapi habis itu Mas cepat bawa Azka pulang. Mainnya biar diantar Ibu aja.”Terdengar cengengesan tawa Harlan di sana. [Mana cukup segitu, Maniis … aku minta kamu kirim lima juta, Rahma. Kami tunggu!]“Gila! Kamu mau memerasku?!”[Hehehe. Biasa aja, Manis. Kalau kamu nggak kirim, aku sama Azka akan tahan makan sampai kelaparan di jalan. Kamu mau kami ma-] “Awas kau, Harlan! Kalau Azka kenapa-kenapa, aku nggak pikir panjang membalasmu!”[Uww, takut. Hahaa. Cepat kirim uangnya Rahma! Aku serius ini!]Panggilan terputus. Detik kemudian pesan masuk berisi nomor reken
Pentungan besi satpam tepat mengenai jari Nadine, berhasil membuat pisaunya terlempar jauh. Gadis itu mengerang dan meloncat-loncat menahan nyeri.“Tolong mbaknya!” Beberapa orang masuk langsung membantu Rahma bangun, dan diobati lukanya.“Mam-mi …??” Seketika tubuh Nadine membeku melihat ada Bu Hakim di depan pintu, tengah menatapnya kecewa. “Se-sejak kapan Mami di sini?”“Kamu angkat tangan!” Satu dari tiga orang laki-laki membawa borgol meneriakinya. “Bawa dia ke kantor polisi!”“Saya nggak salah, Pak! Dia itu janda gatal! Dia sembunyikan calon suami saya!”“Nanti Mbak jelaskan di kantor saja,” tegas mereka tetap memborgol dan menggiringnya keluar.“Mi, tolong Nadine, Mi! Aku ini calon istri Jay, Mi!”Sayangnya Bu Hakim tak sedikit pun mau melihat wajahnya. “Mi! Ini semua juga gara-gara Mami! Gara-gara Jay!! Kalian semuaa!” pekik gadis itu terus histeris sampai di lantai bawah.Beberapa orang kembali turun usai Rahma mengatakan dirinya baik-baik saja, dan menolak ke rumah sakit. T
Harlan datang ke rumah Bu Tami dengan gaya khasnya, seolah lelaki tertampan sedunia.Kehadirannya disambut raut masam dua perempuan yang duduk di ruang tamu.“Woi! Kenapa lihat aku begitu? Mana Azka?” tanyanya sambil celingukan.Safea buang muka lantas gegas ke kamar. Ia sudah lama muak lihat wajah Harlan. Tidak mau lagi berurusan dengan lelaki yang menolak menceraikannya itu.“Azka lagi tidur. Kenapa? Tumbenan ingat rumah ini?” Bu Tami bersedekap.“Lah, lah? Apa maksud Ibu? Oh, pasti Ibu mau halangi aku temui Azka, hum?”Alis lelaki itu naik sebelah. “Aku rindu anakku sekarang. bukan rindu istri cantikku yang hobi manyun itu.”“Kenapa baru sekarang anggap Azka anak? Mana tanggung jawabmu setelah berapa lama hilang?”Seminggu sejak keributan parahnya dengan Safea, Harlan memang tak pernah muncul batang hidungnya, lalu sekarang datang seolah tak bersalah.“Itu urusan pribadi, Bu. Nggak perlu juga kali aku jelaskan.” Ia melewati begitu saja Bu Tami yang melarangnya ke kamar Azka.“Mau ap