“Eyalah bocah, enggak sopan!” bentak bibi. Citra dan Mas Fais terkekeh.“Lah, bener loh, Buk. Luamyan uangnya untuk Intan.”“Iya-iya, yuk, pulang keburu Maghrib!” ajak bibi.Kami beriringan jalan ke luar. Mas Fais di depan kami di belakangnya.“Mas, nanti aku turun di rumah Bibi saja ya, biar dijemput Susanti,” pintaku.“Iya, Mbak, boleh.”“Antar Mbak Fatki saja dulu, tidak apa-apa nanti baru antar kami,” sahut Citra.“Nah, itu jauh lebih bagus,” jawab Mas Fais.“Ssstt ... kamu itu, Cit, enggak sopan loh,” bisik bibi.“He he ... maaf deh, Buk. Eh, maaf ya, Mbak.” Aku mengangguk.“Sebenarnya kalian penasaran enggak sih, sama Arman? Kok, Bibi, pingin banget ketemu Arman, ya? Bibi pingin mukulin dia. Astaghfirullah ....”“Sama, Buk. Aku pun ingin ketemu Mas Arman. Mau kusumpel itu mulut dia pakai uang koin 200 perak. Emosi jiwa aku, Buk. Pasti ini Mas Arman menganggap semuanya baik-baik saja. Aku yakin itu.”“Itulah yang Ibu pikirkan. Ibu juga sudah bilang sama saudara-saudara di kampung
Terakhir Diperbarui : 2022-09-24 Baca selengkapnya