Sebuah senyum terlihat dipaksakan saat melihat aku merasa tak canggung. Iya, aku merasa tak enak. Bara terlalu baik, tapi, ah … otakku mulai tak bisa berpikir. Semua terlalu rumit untuk dijelaskan."Hai, abang baik - baik saja. Senyum!" Tanganya mengacak rambutku, hal itu justru semakin membuat hatiku merasa sakit."Lah, malah nangis," lanjutnya lagi. Dia mengusap pipi basahku. "Abang ngerti, sudah jangan menangis lagi, jelek."Terbuat dari apa hati pria di depanku ini. Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Rasanya sesak sekali."Dengar, abang kesini ingin melihat sebuah senyum. Bukan lihat orang nangis gini, sudah. Abang rindu sama Al, sudah bangun belum?" Bara mengangkat wajahku, kembali mengusap air mata yang membasahi pipiku. Sebuah senyum aku berikan padanya meski mata masih basah."Sudah, tadi habis berjemur." Aku menjawab, dengan sisa tangisku."Dengar, abang gak mau lihat kamu bersedih lagi, apapun alasannya. Apalagi menangis karena abang. Abang tak selemah itu, abang bisa me
Read more