Home / Pernikahan / Kami Bisa Tanpamu Mas / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Kami Bisa Tanpamu Mas: Chapter 11 - Chapter 20

106 Chapters

Bab 11 | Ternyata Tiara Seorang Piatu

Saat hendak memasukan kabel posel milik Mas Riza, lagi lagi mataku menangkap hal tak terduga, sebuah bingkai foto berukuran 5R teronggok di sela-sela antara dipan kasur dan meja kerja milik mas Riza, bukan berniat kurang ajar, aku hanya ingin meletakannya di atas meja. Kupandangi sejenak wajah yang ada di dalam foto tersebut, seorang wanita yang sepertinya tengah mengandung besar. Seyum manis nan tulus tersemat di wajahnya, cantik adalah kesan yang kutangkap dari gambaran wajah tersebut. Apa dia istrinya mas Riza? Sepertinya wajah ini tidak asing untukku, aku seperti pernah melihatnya, tapi di mana? Tidak ingin berlama-lama di sana, aku segera meletakan foto tersebut di atas meja dan beranjak meninggalkan kamar milik ayahnya Tiara tersebut.=====================================================Aku kembali ke kamar tamu dan ikut bergabung dengan anak-anak untuk segera tidur, karena besok pagi aku harus siap-siap ke rumah sakit mengantarkan pakaian ganti untuk bu Ros dan anak-anaknya
Read more

Bab 12 | Bertemu Ayah

Ucapannya membuat aku tersentak. Jadi Tiara tidak memiliki ibu? Pantas anak ini terlihat kurang terawat. Tubuhnya kurus dan terlihat kurang ceria, padahal mas Riza orang berada, tidak mungkin Tiara kurang makan.“Maafin tante ya, Sayang. Tante tidak tahu kalau ibunya Tiara sudah meninggal,” kataku, seraya memeluknya sebentar dan kemudian mengajaknya memeprcepat langkah menuju ruangan.=====================================================Saat aku tiba di depan ruangan tempat bu Rosmalia dirawat, aku dikejutkan dengan suasana menegangkan, bu Rosmalia sempat berhenti bernafas dan tidak merespon kerja dari alat automated external defibrillator atau yang disingkat AED. Sebuah alat medis yang dapat menganalisis irama jantung secara otomatis dan memberikan kejutan listrik untuk mengembalikan irama jantung.Terlihat kepanikan dan kesedihan diwajah-wajah anak bu Rosmalia, Tiara yang tadi tenang bersamaku pun akhirnya ikut menangis, aku mencoba menenangkan cucu perempuannya bu Rosmalia ini.S
Read more

Bab 13 | Kenyataan Pahit

“Bumi kok menangis, Nak? Ada apa? Langit, adek Bumi kenapa, Sayang?” tanyaku lagi.“Tadi saat kita lagi makan, ada ayah sama nenek, Bu. Mereka juga mau makan, tapi Langit sama Bumi panggil-panggil, ayah enggak menjawab, terus kami samperin ayah, tapi malah dimarahi nenek, katanya Langit dan Bumi bukan anak ayah lagi. Ayah juga usir kami berdua, Bu,” tutur Langit, membuatku terkaget.Jadi tadi ada mas Jazi dan Ibunya di sini? Sedang apa mereka? Apa Ibunya mas Jazi sakit? Tapi mengapa mereka tega mengusir anak-anak ini, darah dagingnya. Jadi mas Jazirah serius dengan ucapannya semalam, yang ingin anak-anak tidak lagi menganggap dirinya ayah mereka. Keterlaluan kamu, mas.=====================================================Mbak Rima menatapku dengan tatapan menyelidik, seakan mengajukan pertanyaan lewat tatapan matanya kepadaku. Aku hanya mengangguk seraya tersenyum membalas tatapannya. Cukup lama waktu yang aku butuhkan untuk mengembalikan keceriaan di wajah Langit dan Bumi, mungkin
Read more

Bab 14 | Allah Maafkan Pendosa yang Bertaubat

“Bu, jadi benar ayah bukan ayah kita lagi?” lirih Langitku.Tidak ada jawaban yang keluar, hanya ada sebuah isakan yang lolos dari mulutku, ternyata ada yang lebih sakit dari diceraikan suami tanpa sebab, yaitu melihat sang buah hati menangis karena hatinya terluka akan kenyataan pahit yang harus dihadapinya.Langit, Bumi, ibu janji, Nak. Kita bertiga akan kuat berpijak, tidak perlu khawatir, Nak. Ibu akan berjuang untuk hidup kalian. Ibu tidak akan membiarkan ada hal yang lebih menyakitkan lagi, yang akan kalian hadapi setelah ini. Kuat ya, Nak. Bantu ibu untuk bertahan, Sayang.=====================================================Langit dan Bumi menolak untuk diberikan makan siang, mereka lebih memilih ke kamar untuk tidur siang. Sedihku bertambah karena melihat mereka murung tanpa gairah. Andai saja aku bisa merebut hati keluarganya mas Jazirah, pastilah hal buruk ini tidak akan pernah terjadi. Tapi apalah daya ku, sebagai manusia kami sangat dilarang untuk berandai-andai, karen
Read more

Bab 15 | Lagi-lagi Ditolong Ustadz Faiz

Aku mencoba memahami ucapan ustadnya anak-anakku, benar juga yang beliau katakana, walaupun terasa tidak adil bagi Langitku, tapi itu lebih baik, orang miskin seperti kami pasti akan kalah jika berhadapan dengan orang berada seperti mereka.Setelah mengucapkan terima kasih karena tadi secara tidak langsung sudah membela anak-anak, aku putuskan untuk berpamitan pulang, selain sebentar lagi maghrib, kami juga harus bersiap-siap untuk pergi ke rumah bu Rosmalia.“Mbak Gianira …,” panggil Ustad Faiz ketika aku baru beranjak beberapa langkah.“Ya, Pak Ustad.”“Sabar, ya! Langit dan Bumi anak-anak baik, mereka anak yang kuat,” ucapnya seraya tersenyum, memamerkan barisan giginya yang rapi dan putih.Aku tidak menjawab, hanya tersenyum sambil mengangguk sopan, kemudian menggandeng tangan anak-anakku, dan membawa mereka pulang meninggalkan masjid.=====================================================Aku dan anak-anak tengah bersiap-siap, saat tiba-tiba saja pintu kontrakan kami digedor denga
Read more

Bab 16 | Suara Gaduh

Aku yang panik lantas berteriak, berusaha menghentikan mas Jazirah dari memukuli ustad Faiz. Pak mantri berusaha menahan kedua tangan mas Jazi agar tidak lagi melepaskan pukulan. Tanpa mengucapkan maaf ataupun terima kasih kepada ustad Faiz dan pak mantri karena sudah menolongku, mas Jazirah dengan paksa menarik kasar tanganku yang dibalut kain kasa untuk segera ikut pergi dengannya.Hingga hari berikutnya aku tidak pernah lagi bertemu dengan ustad Faiz, padahal aku ingin sekali berterima kasih dan meminta maaf. Setelah setahun kemudian aku baru mengetahui dari pak mantri saat control kandungan, jika ustad Faiz tengah melanjutkan pendidikannya di Mesir.=====================================================Setelah melaksanakan sholat maghrib di kontrakan, kami segera keluar untuk menuju ke rumah bu Rosmalia, aku berjanji akan datang sebelum isya kepada mas Riza. Tapi karena kejadian tidak terduga tadi, membuatku sedikit terlambat, karena harus membereskan barang-barang sesuai pada tem
Read more

Bab 17 | Awan Riza Mahendra

Namun Tiara menolak, dia meminta ijin untuk bisa tidur bersama dengan ku dan anak-anak di kamar tamu, mau tidak mau akhirnya aku menyetujuinya. Ku temani mereka sikat gigi di kamar mandi belakang terlebih dahulu, kemudian ku bimbing Tiaa dan Langit masuk ke dalam kamar untuk tidur. Tidak lupa ku minta mereka untuk membaca doa terlebih dahulu. Aku baru saja akan membacakan Langit dan Tiara cerita, sebelum akhirnya terdengar suara gaduh dari arah kamar mandi, ku minta anak-anak tetap di dalam kamar dan melanjutkan tidur, sementara aku keluar untuk melihat apa yang terjadi di kamar mandi.=====================================================Langkah ku percepat untuk melihat penyebab suara gaduh yang berasal dari arah kamar mandi tempat mbak Rima sedang mandi. Ku ketuk berkali-kali pintunya, namun tidak juga dibuka, ada apa dengan mbak Rima. Karena panik aku terpaksa langsung membuka pintu kamar mandi tersebut, dan beruntungnya pintu itu tidak dikunci dari dalam oleh mbak Rima.Saat mem
Read more

Bab 18 | Operasi Bu Rosmalia

Setelah memberikan sedikit instruksi kepada Gianira, akhirnya Riza menjalankan roda empatnya menuju ke rumah sakit. Dia harus bergantian menjaga ibunya malam ini. Udara malam yang dingin kembali mengingat kejadian naas yang merenggut nyawa sang istri, sudah cukup lama Riza menyalahkan diri dan Tiara sebagai penyebab kematian istrinya. Bukan tanpa usaha, sudah beberapa psikiater dia datangi untuk berkonsultasi mengenai masalah yang dialaminya, namun nihil, tembok yang dia bangun terlalu kokoh, hingga dirinya sendiripun tidak dapat menghancurkannya kembali.“Maaf aku tidak becus merawat anak kita, Nir …,” lirih Riza, air matanya menggenang di pelupuk mata.=====================================================Pov GianiraAku terbangun tepat lima belas menit sebelum adzan subuh berkumandang, rasa lelah karena kejadian kemarin membuatku tidur terlalu pulas hingga terlewat untuk bangun sholat malam. Setelah melantunkan doa bangun tidur, bergegas aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri
Read more

Bab 19 | Pertanyaan Bu Rosmalia

Kondisi kesehatan Bu Rosmalia berangsur-angsur membaik, tepat empat ari setelah operasi pemasangan ring jantung, Bu Rosmalia diijinkan dokter boleh pulang. Mas Riza dan Mbak Rima yang menjemputnya, sementara aku dan anak-anak menunggu di rumah sambil menyiapkan kejutan khusus untuk menyambut kedatangan pemilik rumah ini.=====================================================Aku dan anak-anak sedang sibuk menyiapkan kejutan untuk penyambutan kedatangan bu Rosmalia, sebenarnya ini idenya mbak Rima yang menginginkan ibundanya mendapat kejutan saat pulang dari rumah sakit, kemudian disambut setuju serta binary bahagia dari anak-anak.Sejak pagi Tiara, Langit dan Bumi antusias sekali membantuku menyiapkan semuanya, mulai dari mendekor ruang tamu yang dihias dengan balon warna warni yang ditiup langsung oleh mereka, membuat tulisan penyambutan di atas kertas karton serta membantuku membuat masakan sehat untuk menu makannya nenek mereka.Tadi malam mbak Rima memberiku sejumlah uang untuk ku
Read more

Bab 20 | Tawaran Bantuan

Kamar selanjutnya yang aku tuju adalah kamar milik bu Rosmalia, ku ketuk pintunya dan dibukakan oleh Mbak Rima, aku ijin untuk membersikan kamarnya, saat aku tengah menyapu, tiba-tiba Bu Rosmalia mengintrupsiku dengan pertanyaan yang membuatku diam terpaku.“Apa benar kamu dicerai suamimu, Gi?”=====================================================“Gianira? Apa benar si Jazirah meninggalkan mu dan anak-anak?” tanya Bu Rosmalia lagi, karena tidak kunjung mendapat jawaban dariku.Aku masih bergeming, bingung ingin memberikan jawaban apa, satu sisi benar apa yang ditanyakan oleh majikanku itu, tapi di sisi lain, aku enggan membahasnya, karena selain ada anak-anak, rasanya aku tidak ingin mengingat pahitnya perlakuan mas Jazirah kepada kami.”Anak-anak, kalian main sendiri dulu ya di taman belakang, nenek mau istirahat dulu,” Mbak Rima yang memahami pandanganku ke arah anak-anak, membuatnya berinisiatif untuk meminta mereka keluar kamar.“Sini duduk, Gi! Nanti saja ngepelnya!”Aku mengham
Read more
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status