Home / All / WARISAN DARI BAPAK / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of WARISAN DARI BAPAK : Chapter 31 - Chapter 40

84 Chapters

Bab 31

Aku tersadar di suatu ruangan yang pengap dengan posisi duduk. Kuedarkan pandangan, di mana ini? Kenapa semuanya asing? Mataku awas meniti setiap sudut ruangan. Sepertinya, ini adalah gudang tua yang sudah lama tak terurus. "Aw!" Pergelangan tanganku terasa sakit saat akan menarik tangan ini. Ah, s*al! Siapa yang berani melakukan hal ini padaku? Aku terus berusaha mengingat, siapakah orang yang selama ini terlihat bersaing atau menunjukkan gelagat tak suka padaku? "Apa jangan-jangan, suaminya Priska?" Mataku membulat. Jika memang benar ini perbuatan suaminya Priska, matilah aku! Bisa-bisa viral dan Ambar tahu. Padahal niatku hanya bermain-main saja dengannya. "Tolong! Tolong!" Aku berteriak sekeras dan sesering mungkin hingga tenggorokan ini rasanya sakit. Namun nihil, tak kunjung terdengar suara apapun. Aku jadu merinding sendiri. "Tolong, lepaskan saya!" Akhirnya, aku terdiam. Terbayang lagi, jika sampai suaminya Priska membunuhku di sini. Bagaimana dengan Ambar? Naura? Sudah
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more

Bab 32

Ia langsung panik dan membantuku untuk masuk ke dalam. Setelah selesai, Maman pamit undur diri. "Makasih, ya, Man," ucapku. "Sama-sama, Pak. Kebetulan saja, saya tadi memang mau ke juragan Pendi." "Juragan Pendi?" tanyaku. Karena setahuku, Juragan Pendi adalah pemilik perkebunan sayur. Sering kali kami bertemu, namun karena sifatnya yang slengean membuatku malas bergaul dengannya. "Iya, Pak. Mulai besok, saya kerja di sana," ucap Maman. "Loh, kamu nggak kerja di Fira lagi?" tanyaku memastikan. Maman menggeleng, tatapannya berubah sendu. Ada apa dengan perkebunan milik Fira? Tidak mungkin jika adikku itu memecat Maman, karena ia sudah bekerja semenjak tanam benih pertama. "Bapak tidak tahu?" Kali ini, giliran aku yang menggeleng. "Kebun Bu Fira sudah dijual." Rasanya mataku hendak keluar saat mendengar kabar ini. Apa? Dijual? Kenapa Fira tak berbicara padaku tentang hal ini? "Ya sudah, Pak, saya permisi dulu." Aku mengangguk, membiarkan Maman pergi dan meneruskan tujuannya
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more

Bab 33

Aku segera berjalan ke luar sambil memegangi daster, maklum emak-emak kalau buru-buru pasti langsung menaikkan daster dan berjalan cepat. Mas Lian menghampiriku, raut wajahnya sudah tak enak. Entah mengapa, melihat sepasang kaki itu membuatku perasaanku tak enak. Sepasang kaki? Ya, karena badannya masih tertutup dengan pintu yang masih terbuka Disusul oleh dua pasang kaki lainnya. "Terima kasih ya, Pak!" Brak! Pintu itu ditutup dengan kencang. Mataku membulat, begitupun dengan Mas Lian. Perasaan tak enak kami pun terbukti, Mas Helmi dan keluarganya datang membawa tas serta koper. "Assalamu'alaikum," ucap Mas Helmi sambil tersenyum. "Wa'alaikum salam," jawabku. Mereka masuk, tanpa kupersilakan. Memang seperti itu, kebiasaan. Mendengar suara anak lelakinya, Bapak keluar dengan kursi rodanya. "Pak," sapa Mas Helmi pada Bapak sambil mencium tangan beliau, diikuti oleh Mbak Ambar dan juga Naura. Aku dan Mas Lian buru-buru duduk dan menarik lengan Mas Helmi. Apa maksudnya, dia d
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more

Bab 34

Esok hari. Selesai menyapu, aku menyerbu tukang sayur bersama ibu-ibu yang lain. Seperti biasa, tidak ada ceritanya belanja tanpa ghibah dulu. Saat sedang asyik bercerita, Mbak Ambar tiba-tiba sudah ada di sampingku. "Masak rendang aja, Fir. Rendang buatanmu kan enak," ucapnya sambil menguap. Astaghfirullah, ini bau mulut orang, apa bau selokan? Kulihat ibu-ibu yang lain pun menutup hidung dan risih dengan kedatangan Mbak Ambar. Untungnya, setelah mengatakan itu ia segera masuk ke dalam rumah lagi. "Siapa itu, Fir?" tanya Bu Romlah. "Kakak ipar, Bu." "Kok kelakuannya gitu? Itu mulut pasti isinya sampah, bau banget," ucap Bu Romlah. Aku hanya menggaruk kepala, bingung mau menjawab apa. Wajar jika orang-orang sini tak kenal dengan Mbak Ambar karena mereka baru tiga kali ini berkunjung ke sini. Itupun di dalam rumah terus ketika berkunjung. Saat memasak, aku mendengar suara orang yang memanggil. Rupanya Bu Naima. Cih, mau apa dia ke sini? "Apa, Bu?" "Ambilin micin, Fir. Nih, ua
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more

Bab 35

"Apa?" ulang Mbak Imah tak sabar. "Rumah itu mau kujual, Mbak.""Apa?!" ucapku dan Mbak Imah bersamaan. "Tapi, kenapa?" "Ya aku mau tinggal di kampung saja. Dekat dengan kalian. Nggak enak di sana, berasa nggak punya sodara. Tahu sendiri gimana keluarga Ibu." Aku dan Mbak Imah masih terkejut dengan ceritanya. Rumahnya dijual, lalu berniat menjadi benalu di sini? Oh, tidak akan kubiarkan, Fergusso! "Mbak, bukannya di rumah Mbak Imah ada kamar kosong? Sebaiknya, Mas Helmi ke sana saja, ya? Di sini kan sudah tak ada. Sementara rumah ini kecil."Mbak Imah tampak menggaruk kepalanya yang tertutup dengan hijab itu, lalu akhirnya mengangguk. "Tapi ingat, Hel, di rumahku tak ada yang gratis. Mau makan, nyapu dulu!" Mas Helmi tak berkutik, hingga akhirnya ia mengangguk. "Nanti, Adek bantuin cari kontrakan Mas. Di sini kan murah. Kemarin ini rumah Pak Jaedin dikontrakin. Nggak tahu sekarang ada penghuninya apa nggak." "Yang bayar siapa?" Aku memutar bola mata, jengah. "Ya Mas, lah! S
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more

Bab 36

Bu Hindun dan Wiwin mendengarkannya. Heran, kenapa suka banget bergosip di warungku, sih? "Bu, jangan gosip di sini, dong!" "Pesan mie rebus satu, Fir!" "Ngokey!" Aku pun ke belakang sambil membawa sebungkus mie. Kalau sambil beli sih, gapapa, wkwkaak. Saat membawa mie ke depan, kulihat keluarga Mas Helmi sudah selesai berkemas dan hendak ke rumah Mbak Imah. "Nih, Bu. Saya mau ke dalam dulu," ucapku pada mereka. "Mas, sudah selesai?""Senang, kan, kamu, Fir? Aku dan Mas Helmi pergi dari sini? Mana Mbak Imah orangnya bawel," gerutu Mbak Imah."Udah sih, Mbak. Kan di sana juga sementara. Kalian nantinya bakal ngontrak." Mbak Ambar masih saja memajukan bibirnya, sementara aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kuambil dompet dan mengambil tiga lembar uang. "Nih, Mas, buat pegangan. Semoga kalian betah. Kalau mau main, main aja. Naura, kapan-kapan nginep di Tante, ya?" "Oke, Tan." Aku keluar dan menghampiri Mas Lian yang sedang menutup bengkel. "Mas, anterin mereka ke rumah Mbak
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more

Bab 37

Aku menoleh ke arah Mas Lian. Ia pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Kugigit bibir bawah, agar tak meneteskan air mata. "Mas.""Sudah, Dek. Jangan didengarkan." Kami pun mengucapkan salam, terlihat Bu Romlah di sana sedang duduk manis bersama anak gadisnya. Aku tak tahu, ada hubungan apa antara tetanggaku ini dengan Mama mertua, tapi mendengar ucapannya barusan, sungguh membuat diri ini kecewa. Kupikir, ia orang baik. Hanya mulutnya saja yang suka sekali bergosip. Nyatanya, ia mampu juga untuk menusukku dati belakang. "Loh, Fira?" ucap Bu Romlah, sepertinya ia terkejut melihat kedatangan kami."Nduk," sapa Mama lalu menghampiri kami. Kucium tangannya penuh takzim. Seraya meminta maaf belum bisa memberikan keturunan padahal kami menikah sudah cukup lama. Tentu saja kuucapkan itu dalam hati. Mas Lian menggandeng tanganku untuk duduk di seberang Bu Romlah. Terlihat ia sangat salah tingkah melihat kehadiran kami. "Bu Romlah kok bisa di sini?" "Eh? Iya, kan saya ini temen se
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more

Bab 38

Jika bisa kembali ke bulan lalu, sudah pasti aku tak mau menerima pekerjaan laknat itu. Lebih baik kupaksa Ambar untuk menjual salah satu emasnya untuk biaya hidup sehari-hari. Kring! Ponselku berbunyi. Membuatku dan Ambar terlonjak kaget. Beruntung Naura sudah tidur. "Ish! Kaget aja. Siapa sih malam-malam?"Aku meihat ke layar, lalu terkejut saat melihat siapakah yang memanggilku malam-malam. "Siapa?" ulang Ambar. "Pak Toni, nih!" ucapku sambil memperlihatkan layar. "Ngapain dia malam-malam nelpon?" "Mana kutahu. Aku angkat dulu."Aku pun pergi ke teras untuk mengangjat telepon ini. Setelah celingukan, kuusap layar ke atas. "Halo," ucapku. "Halo, Mas. Kamu di mana, sih? Kenapa seminggu ini nggak kelihatan? Kudengar si Dono masuk penjara. Jadi kupikir kamu ikutan juga," cerocosnya dengan diakhiri kekehan. "Enak aja, kamu do'ain aku, emang?" "Lah, ya nggak lah. Aku justru kangen sama kamu, Mas. Kapan, nih, kita ketemu lagi? Aku udah berapa kali ke sana, tapi warung itu tutup
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more

Bab 39

[Jangan dekati istriku lagi.] M*mp*s! Pasti Priska kecolongan. Bisa-bisanya suaminya tahu kalau istrinya habis chatting denganku. "Kamu kenapa, Mas?""Oh, nggak papa. Ya sudah, kita tidur. Kasihan Naura sendiria." Kamipun masuk, rumah sudah sepi. Mungkin penghuni lain sudah pada terlelap di alam mimpinya. Kumiringkan tubuh menghadap Ambar. Kalau saja dia tak kebanyakan mau, mungkin aku tak perlu berhubungan dengan tante-tante hingga kini suaminya malah mengetahui hubungan kami. Kuremas rambut. Sepertinya, pria bertopeng saat itu benar-benar suaminya Priska, terbukti hingga kini aku sudah pindah, tak ada lagi kelihatan batang hidungnya. Ah, sudahlah. Memikirkan itu takkan ada habisnya. Lebih baik aku tidur karena besok akan ikut ke pasar untuk bekerja di toko perabotan milik mertua Mas Suryo. Gaji sehari enam puluh ribu dan makan dua kali. Awalnya, aku menolak. Masa iya gajinya segitu? Dapat apa? Tapi aku diingatkan oleh Mbak Imah kalau kami hanya menumpang sebentar di sini. Ku
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more

Bab 40

[Yang betul, Pak?] [Maaf, Pak, saya perempuan.] [Eh, iya, maaf, Bu.] [Jadi bagaimana, Pak?][Kantornya di mana, Bu?] [Ada di Jakarta, Pak. Ini alamatnya...] Setelah mengantongi alamat tersebut, besok aku akan ke sana. Sepuluh juta, bukankah itu sangat menggiurkan? Aku sudah tak sabar dengan esok hari. Pasti Ambar dan Mbak Imah akan senang karena gajiku besar. --Pagi hari. Ambar sudah selesai masak untuk sarapan, begitupula dengan Mbak Imah. Kami makan dalam satu meja. Usai makan, aku mengawali obrolan. "Ehm... Mbar, Bu, Mbak, Mas, aku diterima kerja di Jakarta. Gajinya lumayan, sepuluh juta," ucapku sambil membusungkan dada. "Sepuluh juta?" ulang Mbak Ambar sekali lagi. "Iya, Mbak. Banyak, kan? Aku titip anak istriku ya, Mbak." "Papa mau ke mana?" tanya Naura. "Mau ke Jakarta, Sayang. Papa mau kerja, nanti Naura mau apapun, Papa beliin!" Binar di mata anak semata wayangku menyala. Sementara reaksi aneh kulihat dari yang lain. "Kenapa? Kalian nggak seneng?" "Bukan ngga
last updateLast Updated : 2022-08-05
Read more
PREV
1234569
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status