Share

Bab 39

Penulis: Jingga Rinjani
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-05 20:54:05

[Jangan dekati istriku lagi.]

M*mp*s! Pasti Priska kecolongan. Bisa-bisanya suaminya tahu kalau istrinya habis chatting denganku.

"Kamu kenapa, Mas?"

"Oh, nggak papa. Ya sudah, kita tidur. Kasihan Naura sendiria."

Kamipun masuk, rumah sudah sepi. Mungkin penghuni lain sudah pada terlelap di alam mimpinya.

Kumiringkan tubuh menghadap Ambar. Kalau saja dia tak kebanyakan mau, mungkin aku tak perlu berhubungan dengan tante-tante hingga kini suaminya malah mengetahui hubungan kami.

Kuremas rambut. Sepertinya, pria bertopeng saat itu benar-benar suaminya Priska, terbukti hingga kini aku sudah pindah, tak ada lagi kelihatan batang hidungnya.

Ah, sudahlah. Memikirkan itu takkan ada habisnya. Lebih baik aku tidur karena besok akan ikut ke pasar untuk bekerja di toko perabotan milik mertua Mas Suryo. Gaji sehari enam puluh ribu dan makan dua kali.

Awalnya, aku menolak. Masa iya gajinya segitu? Dapat apa? Tapi aku diingatkan oleh Mbak Imah kalau kami hanya menumpang sebentar di sini.

Ku
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 40

    [Yang betul, Pak?] [Maaf, Pak, saya perempuan.] [Eh, iya, maaf, Bu.] [Jadi bagaimana, Pak?][Kantornya di mana, Bu?] [Ada di Jakarta, Pak. Ini alamatnya...] Setelah mengantongi alamat tersebut, besok aku akan ke sana. Sepuluh juta, bukankah itu sangat menggiurkan? Aku sudah tak sabar dengan esok hari. Pasti Ambar dan Mbak Imah akan senang karena gajiku besar. --Pagi hari. Ambar sudah selesai masak untuk sarapan, begitupula dengan Mbak Imah. Kami makan dalam satu meja. Usai makan, aku mengawali obrolan. "Ehm... Mbar, Bu, Mbak, Mas, aku diterima kerja di Jakarta. Gajinya lumayan, sepuluh juta," ucapku sambil membusungkan dada. "Sepuluh juta?" ulang Mbak Ambar sekali lagi. "Iya, Mbak. Banyak, kan? Aku titip anak istriku ya, Mbak." "Papa mau ke mana?" tanya Naura. "Mau ke Jakarta, Sayang. Papa mau kerja, nanti Naura mau apapun, Papa beliin!" Binar di mata anak semata wayangku menyala. Sementara reaksi aneh kulihat dari yang lain. "Kenapa? Kalian nggak seneng?" "Bukan ngga

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 41

    Kepala terasa berat saat mata ini kupaksa terbuka. Remang, itu yang pertama kali netraku tangkap. Mataku memicing, kenapa aku seakan akrab dengan tempat ini? "Eh?" Tanganku diikat oleh tali besar. Di mana ini? Kenapa sepertinya aku pernah ke mari? "Ah!" Setelah diingat-ingat, memang pernah aku ke sini. Saat seminggu lalu diculik oleh suami Priska. "Kamu sudah bangun, Hel?" Suara seorang wanita mengembalikan kesadaranku dari lamunan masa lalu. Suara yang sangat familiar di telinga ini. "P-priska?" Mataku membeliak saat melihat wanita itu berdiri sambil tersenyum. "Iya, ini aku, Sayang." "Kenapa kamu lakuin ini sama aku, Pris?" Priska mendekatiku. Jika dulu, ia sangat begitu menggoda mengenakan gaun yang memiliki belahan dada rendah, kini aku justru takut melihatnya. "Kamu tanya, kenapa aku lakuin ini?" tanyanya mengulangi pertanyaanku. "Iya, kenapa?" "Karena kamu sudah semena-mena dengan suamiku." Suami? Apa aku tak salah dengar? Memangnya, suaminya kenal denganku? "Maks

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 42

    Pulang dari rumah Mama mertua saat itu, perasaanku tak menentu. Aku jadi cepat marah, cepat tersinggung. Mas Lian pun lebih memilih diam daripada mendengar omelanku. "Fira, beli!" Mendengar suara itu, rasanya ingin sekai kulempar tutup panci tepat di wajahnya. Aku keluar dengan malas. "Apa, Bu?" "Beli mie instan dua sama telur setengah kilo," ucap Bu Romlah. Aku pun mengambilkan pesanannya tanpa banyak tanya. Sepertinya, Bu Romlah ini selain tukang gosip juga tebal muka. Entah karena dia mengira aku tak mendengar pembicaraan mereka, atau karena ia memang tak peduli. "Berapa, Fir?" "Enam belas ribu," jawabku. Bu Romlah menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan, lalu kuserahkan kembaliannya. "Kamu kenapa, Fir?" "Apanya?" "Kenapa mukamu sepet banget gitu sama aku?" Aku mengembuskan napas panjang. Jadi benar, Bu Romlah memang tak mengira bahwa aku telah mendengar obrolan mereka kemarin. "Gapapa. Lagi dapet!" jawabku singkat. "Walah, dapet mulu." Mendengar ucapannya, sontak

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 43

    Saat bangun, kulihat sekeliling berbeda dengan terakhir kulihat. Bertepatan dengan itu, Mas Lian masuk ke ruangan tempatku berbaring. Wajahnya memerah, aku jadi takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak. "Mas," panggilku. "Dek," jawabnya. Wajahnya merah, sepertinya habis menangis. "Ini di mana, Mas?" tanyaku. "Kamu di klinik, Dek," jawabnya sambil menitikkan air mata."Kamu kenapa nangis, Mas? Apakah aku sakit parah?" Bukannya menjawab, Mas Lian malah semakin tergugu. Membuatku menjadi panik dan serba salah. Sebenarnya, apa yang terjadi? "Dek," panggilnya. "Iya, Mas? Kenapa? Bilang aja. Nggak papa," jawabku. Jika memang benar aku sakit parah, lengkapnya sudah semua ini. Tak kunjung hamil, ditambah kini aku sakit. "Kamu nggak sakit, Dek," ucap Mas Lian. "Lalu?" tanyaku tak sabar. "Kamu hamil, Dek!" Aku menghembuskan napas lega. Hamil ternyata. Eh? "Ha-hamil, Mas?" tanyaku. Mas Lian mengangguk, membuat pelupuk mata penuh dengan air. Ya Allah, aku hamil? Sesuatu hal yang telah

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 44

    Pagi hari. Aku tengah membuka warung pukul setengah tujuh pagi. Ini semua karena Mas Lian yang membuat peraturan baru, buka warung pukul setengah tujuh dan tutup jam lima sore. Ada-ada saja memang. Padahal habis magrib sampai pukul delapan pun warung masih ramai biasanya. "Tumben kamu baru buka, Fir?" tanya Wiwin sambil menghampiriku. "Iya, Win, kesiangan." Wiwin mengangguk, lalu meminta telur setengah kilo. Lalu pembeli segera berdatangan. Ada yang mau beras, telur, mie, dan lain-lain.Mas Lian dengan sigap membantuku. Ia menyuruhku duduk dan menerima uang dari pembeli, sisanya biar ia yang mengambilkan."Tumben amat ini yang ngelayanin dua-duaan." "Iya, Bu." "Alhamdulillah, Bu, istri saya sedang hamil. Makanya saya bantuin." "Alhamdulillah, kamu hamil, Fir?" tanya Wiwin. Aku mengangguk. "Iya, Win. Alhamdulillah." Pembeli mengucapkan selamat, membuat diri ini begitu bahagia. "Karena istri saya hamil, maka yang belanja di atas dua puluh ribu, saya diskon goceng!" Mereka la

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 45

    POV 3Peluh membanjiri dahi Helmi. Ia tak menyangka, jika hari ini merupakan penentuan nasib sialnya. "Mungkin Bapak salah orang!" ucapnya pada petugas. "Jelaskan saja nanti di kantor. Sekarang, ikut kami. Bawa dia!" ucap salah satu dari mereka ke yang lain. Mereka membawa Helmi menuju kantor polisi. Berbagai prasangka sudah memenuhi hati dan juga otak lelaki yang dulu pernah menelantarkan ibunya itu. Sampai di kantor polisi, Helmi disuruh duduk dan menghadap ke salah satu petugas yang tengah mengetik sesuatu. Ia akan diwawancara terlebih dahulu. "Saudara Helmi, benarkah anda dan saudara Dono saling mengenal?" tanya petugas yang bernama Aryo itu. "Tidak, Pak. Saya ini baru saja dari kampung." "Baik. Sejak kapan anda di kampung?" "Satu tahun yang lalu," jawah Helmi disertai kebohongan. "Di mana anda tinggal?" "Kampung saya?" "Ya!""Purwokerto.""Sebelumnya?""Di Bogor." Aryo mengangguk-anggukan kepala. Ia tengah berusaha membuat pertanyaan yang nantinya akan menguak rahasia

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05
  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 46

    "Halo, Mas," ucap Imah saat panggilan ia angkat. "Mah, apakah benar jika Helmi di penjara?" "Apa?!" Mendengar pertanyaan kakaknya, Imah berteriak sehingga membuat beberapa orang di sekitarnya menatap. "Iya, makanya Mas menelepon, takutnya itu penipuan."Imah yang sudah berpindah tempat pun menceritakan hal kemarin, saat Helmi berpamitan akan ke Jakarta untuk bekerja. Tak lupa, ia pun mengatakan soal Helmi yang meminjam uang padaya. "Ya Allah Helmi, ada saja ulah yang dia buat. Lalu sekarang bagaimana, Mah?" tanya Cahyo. "Imah juga bingung, Mas. Kalau misal Imah dan Mas Suryo ke sana, nanti bagaimana dengan Ibu? Kalau Bagas sih, bisa dititipkan di rumah Mama."Cahyo pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. Jika Imah dan Suryo berangkat ke Jakarta, masa iya Ibu dan bapaknya satu rumah? "Ya sudah, nanti biar Mas bicarakan dengan Ratih. Semoga dia mau ikut ke Jakarta," ucapnya. Bukan ia tak bisa pergi sendiri, namun jika membawa istri dan anaknya, itu akan membuatnya sedikit lebih t

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-05
  • WARISAN DARI BAPAK    bab 47

    "Dek, kenapa?" Lian segera bangkit dan menepuk-nepuk pipi istrinya. "Perutku sakit, Mas! Aah!" teriak Fira. Lelaki yang sebentar lagi akan menjadi ayah itu pun panik. Apalagi saat ia melihat darah merembes ke seprai. Dengan sigap, ia mengambil kunci mobil dan memanasinya, lalu membangunkan Pak Burhan dan membopong Fira ke dalam mobil. "Apakah sudah waktunya, Li?" tanya Pak Burhan. "Iya, Pak. Ayo kita ke klinik." Mereka tergesa berangkat ke klinik, sementara di dalam Fira sudah terus mengerang. "Cepat, Mas!""Iya, ini juga udah cepet, Dek!" jawab Lian. "Istighfar, Nduk. Jangan dibawa teriak. Tarik napas, hembuskan." Fira mengikuti instruksi bapaknya, namun nyeri di perutnya semakin terasa. Hingga sepuluh menit kemudian, mereka sampai di klinik. "Mbak, jangan tutup dulu!" teriak Lian sambil turun dari mobil karena melihat klinik itu akan ditutup. "Tapi, Pak, ini sudah malam. Waktunya tutup." "Tolong panggilin bidannya, Mbak. Istri saya mau melahirkan. Darahnya udah keluar."

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-16

Bab terbaru

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 84

    "Apa kamu tahu, Helmi masuk rumah sakit?" tanya Mbak Imah. "Apa Mbak Imah dan Fira kerja sama dengan Mas Helmi? Kemarin Fira juga ngomong gitu ... Loh." Suara Mbak Ambar menggantung saat kamera kubalik menggunakan kamera belakang. Bisa kulihat ia tertegun beberapa saat. Mungkin ia terkejut, karena sedari kemarin hanya menganggapku berbohong. "I-itu, Mas Helmi?" tanya Mbak Ambar, setelah menguasai diri. "Ya, itu suami yang kamu bilang kerja sama dengan kami. Bagaimana caranya kami kerja sama kalau keadaannya juga begitu?" tanya Mbak Imah, seraya terisak. Aku melihat air mata Mbak Ambar mengalir, lalu kuhembuskan napas yang terasa sesak. Apa ia sungguh-sungguh akan menceraikan Mas Helmi jika kenyataannya begini? "Aku akan ke sana," ucap Mbak Ambar. "Nggak perlu. Masih ada kami, keluarganya. Kamu fokus lah dulu pada kesembuhanmu sendiri. Jangan pedulikan Helmi," ucap Mbak Imah sambil mematikan ponsel. Hening. Isak tangis Mbak Imah masih terdengar. Meski ia bawel, cerewet, dan bah

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 83

    "Halo, Fir? Kok diam? Mana Mas Helminya?" Aku semakin bingung saat mendengar Mbak Ambar menanyakan Mas Helmi. Tak apakah jika aku memberitahunya? "Mbak, tolong pikirkan lagi soal perceraian itu," ucapku pada akhirnya. Terdengar helaan napas panjang dari arah seberang telepon. Mungkin, ini berat bagi Mbak Ambar. "Berat, Fir. Apalagi kakakmu kasusnya sudah sampai menikahi orang lain dan tak memberitahuku. Apa kamu yakin, bakal diam saja kalau Lian nikah lagi? Apa kamu yakin, bakal menerima semuanya meski itu hanyalah masa lalu?" Lagi-lagi aku terdiam. Benar, beban setiap orang itu berbeda. Aku yakin, yang ditimpa Mbak Ambar sekarang ini begitu berat. Apalagi ini menyangkut mental. "Mana Mas Helminya? Biar Mbak suruh untuk menandatangi dan mengirimkannya sekarang juga." "Mas Helmi, ada di rumh sakit." "Rumah sakit? Apa Naura sakit? Atau, Ibu?" "Mbak, apa kamu pikir, Mas Helmi tidak bisa sakit sehingga yang kamu tanyakan hanyalah mertuamu dan anakmu sendiri. Mas Helmi, kecelakaan

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 82

    "Apanya?" "Retak di bagian batok kepala, pendarahan di otak, dan juga patah kaki kiri." Mbak Imah langsung beristighfar. Benar memang, di antara satu garis keturunan, pasti ada satu yang berbeda, dan di keluarga kami adalah Mas Helmi. Entah sudah berapa kali masalah dan musibah yang menghampirinya. Kalau dulu, masih ada Bapak yang menjadi jalan mengadu kami, kalau sekarang? Kami harus bergotong-royong demi menyebabkan masalah yang ia lakan. "Setengahnya dicover bpjs katanya, Mbak. Jadi kita hanya perlu setengah lagi. Apa, kita perlu menjual rumah Mas Helmi di Bogor?" "Tapi, kalau kita ke sana nanti, bagaimana, Fir?" Aku menghela napas. Benar, di mana tempat kami akan tinggal jika suatu hari nanti kami ke sana? Karena masih banyak saudara dari Ibu, sehingga sudah pasti suatu hari nanti akan berkunjung. "Nanti, biar Fira yang atur, Mbak. Sekarang aku mau masuk dulu," ucapku pada Mbak Imah saat melihat Mas Surya keluar. Aku pun masuk, melihat berbagai selang yang dipasang di tubuh

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 81

    "Apa, Mas?" "Nih." Dengan dad berdebar, segera kusaut ponsel dari Mas Lian. Setelah mengatur debar dalam dada, aku mulai berbicara. "Iya, saya Fira." "Korban bernama Pak Helmi, menjadi korban kecelakaan dengan mobil. Saat ini kondisinya kritis.""Ya Allah! Di rumah sakit mana, Bu?" Setelah mengantongi nama rumah sakitnya, segera aku menelepon Mbak Imah supaya bisa menemani ke sana. Untuk Mas Cahyo, mungkin nanti akan kuhubungi dan berangkat terpisah, mengingat jarak kami yang lumayan jauh. "Sudah siap, Fir?" tanya Mbak Imah. "Sudah, Mbak. Mas, tolong jagain Aya, ya. Kalau kamu kuajak, kasihan Ibu harus jagain dua cucunya." "Iya, beres. Sudah, sekarang kamu berangkat saja sana. Nggak usah pikirin yang di rumah, semoga Mas Helmi segera pulih. Jangan lupa kasih kabar, ya," ucap Mas Lian yang segera kuangguki. Setelah memakai jaket, kami langsung berangkat. Di sepanjang jalan tak hentinya aku beristighfar, semoga tak ada satu pun hal buruk yang menimpa kakakku itu. "Kok bisa kec

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 80

    Habis magrib, Mas Helmi datang ke sini. Mas Surya pun ke sini lagi bersama Mbak Imah, karena aku kekeuh tak ingin memberikan surat itu. "Wih, ngumpul, nih." "Hel, tarik napas dulu," ucap Mas Surya. "Kenapa sih, Mas?" "Sudah, tarik napas dulu." Mas Helmi menuruti perkataan Mas Surya dan melakukannya. Saat sudah selesai, Mas Surya segera memberikan amplop tadi pagi. "Apa ini?" tanya Mas Helmi. "Buka saja." Mas Helmi pun mengambil amplop itu dengan bingung, lalu membuka isinya. Matanya membeliak saat membaca kop suratnya. "Pengadilan? Mas Surya mau menceraikan Mbak Imah?" Pletak! Mbak Imah melemparkan sendok ke kepala Mas Helmi. "Ngawur ngomongnya. Buka dulu. Lagian, nggak kamu baca itu siapa pengirimnya?" Mas Helmi tak menghiraukan ucapan Mbak Imah, lalu membuka surat itu. Matanya dua kali lebih besar dari yang tadi. Tentu saja, ia pasti amat terkejut karena itu. "I-ini, nggak benar, kan?" "Masa iya kami prank?" "Nggak mungkin, Mas. Masa iya Ambar menceraikanku?" Mas Su

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 79

    "Mas!" teriakku. Mas Lian dan Ibu yang tengah menggendong Aya, segera menghampiri saat aku berteriak. Bagaimana aku tak marah, jika surat dari pengadilan ada di tanganku? "Kenapa, Dek?" "Apa ini?" "Maksudnya?" "Kamu mau menceraikan aku?" "Hahhh? Apa sih Dek? Jangan mengada-ada." "Lalu ini apa?" Mas Lian segera mengambil surat itu dari tanganku dan membacanya. Matanya membeliak, lalu menepuk jidatnya sendiri. Kenapa ia berekspresi seperti itu? "Ini, bukan untuk kam, Dek. Tapi untuk Mas Helmi." "Apa?" Kali ini giliran aku yang terkejut, hingga Athaya menangis karena mendengar teriakan kami. "Uuh, Sayang, maafkan Bunda, ya. Kaget, ya?" tanyaku sambil mengelus kepala anak yang sudah aktif itu. "Mas Helmi? Apa Mbak Ambar menceraikannya?" "Bisa jadi." "Tapi kan dia lagi hamil loh, Mas. Mana boleh cerai." "Kan perkiraan minggu depan lahiran." Aku menepuk jidat. Benar-benar telmi aku ini. Kenapa Mbak Ambar menggugat cerai Mas Helmi? Mengingat kali terakhir sebelum ia pergi, si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 78

    "Nggak, Mas, aku cuma nanya doang kok." "Awas macem-macem." "Perasaan dulu yang ngejar kamu, Fir, kok sekarang yang bucin malah Mas Lian?" "Mau tau rahasianya?" "Iya, apa?" tanya Fitri sambil mencondongkan badannya demi mendengarkan jawabanku. Namun justru itu yang membuatku menahan tawa. "Pesonaku." "Njiiir!" Pletak! Aku malah dijitak oleh Fitri.--Esok hari. Aku mengantar Naura berangkat sekolah. Ia masih terlihat lemas, mungkin karena efek berjauhan dengan ibunya. "Apa kamu nggak curiga, kok Mbak Ambar tega ninggalin anaknya?" "Astaghfirullah, Fitri! Kalau mau gabung, panggil dulu, kek, jangan asal ngomong aja. Kaget!"Fitri hanya nyengir saja, namun aku kepikiran dengan kata-katanya. Benar, kenapa Mbak Ambar tega meninggalkan Naura? Apa benar, sekolah menjadi alasan utama, atau ada alasan yang lainnya? "Kenapa? Baru kepikiran?" Aku mengangguk, lalu membenarkan topi yang dikenakan oleh Aya. Cuaca sedang panas, jam setengah tujuh pagi saja matahari sudah menunjukkan si

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 77

    Mbak Ambar menatap Mas Helmi, "Iya, sama Papa." Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari tatapan kakak iparku itu. Setelah berpamitan, mobil mulai melaju. Tangis Naura terus terdengar. Wajar, ia baru berusia sepuluh tahun dan juga begitu dimanja oleh Mbak Ambar, sehingga pasti sangat kehilangan. "Emangnya, jadwal Ambar lahiran, kapan, Hel?" tanya Mbak Imah. "Dua mingguan lagi, Mbak. Mungkin, dia masih takut apa-apanya sendiri, jadi mau lahiran di rumah Mama. Padahal dia sudah punya pengalaman. Tapi ya sudah lah, nggak papa, toh cuma dua mingguan ini. Nanti bisa ke sana pas Ambar mau melahirkan.""Lagian bukan kamu ikut ke sana, Hel," ucap Bu Romlah, entah kapan ia ada di sini. "Saya kan kerja, Bu. Kalau nggak kerja dan di sana cuma nganggur, ya ga enak. Meski mertua saya nggak kaya Bu Romlah, tetep aja ga enak, toh?" "Loh, memangnya saya kenapa?" tanya Bu Romlah. "Cerewet, bawel, tukang gosip!" jawab kami bersamaan lalu masuk ke dalam rumahku. --Pagi hari. Aku sedang sibuk

  • WARISAN DARI BAPAK    Bab 76

    "Makanya, kalau nggak mau jadi bahan gosip mereka, nggak usah betingkah." "Siapa yang betingkah sih, Yang? Orang Riska ke sini sendiri, kok. Aku nggak mungkin lah, nolak pelanggan." "Pelanggan tapi nggak bayar!" ucapku, lalu keluar kamar, hendak mengambil Athaya di rumah Mbak Ambar, karena kata Ibu, tadi di bawa oleh Kak Ratih saat aku dan Mas Lian di kamar menuju rumah Mbak Ambar. Ketika di teras, aku terkejut melihat Riska masih di sini, bahkan duduk di teras warungku. Kuambil napas banyak, lalu menghampirinya. "Ada apa lagi?" "Aku bukan orang miskin, jadi mau bayar ongkos isi angin tadi. Nih," ucapnya sambil memberikan uang pada Mas Lian, padahal jelas-jelas aku yang lebih dekat dengan tempatnya berdiri. "Terima kasih," ucapku sambil merebut uang itu dan meminta Mas Cahyo untuk menutup bengkel Mas Lian. Bener-bener si Riska, gak ada malunya meski ada aku, istri sahnya Mas Lian. "Yang, kamu jangan cemburu gitu, dong! Aku sama Riska itu nggak ada apa-apa. Masa kamu marah-marah

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status