[Yang betul, Pak?] [Maaf, Pak, saya perempuan.] [Eh, iya, maaf, Bu.] [Jadi bagaimana, Pak?][Kantornya di mana, Bu?] [Ada di Jakarta, Pak. Ini alamatnya...] Setelah mengantongi alamat tersebut, besok aku akan ke sana. Sepuluh juta, bukankah itu sangat menggiurkan? Aku sudah tak sabar dengan esok hari. Pasti Ambar dan Mbak Imah akan senang karena gajiku besar. --Pagi hari. Ambar sudah selesai masak untuk sarapan, begitupula dengan Mbak Imah. Kami makan dalam satu meja. Usai makan, aku mengawali obrolan. "Ehm... Mbar, Bu, Mbak, Mas, aku diterima kerja di Jakarta. Gajinya lumayan, sepuluh juta," ucapku sambil membusungkan dada. "Sepuluh juta?" ulang Mbak Ambar sekali lagi. "Iya, Mbak. Banyak, kan? Aku titip anak istriku ya, Mbak." "Papa mau ke mana?" tanya Naura. "Mau ke Jakarta, Sayang. Papa mau kerja, nanti Naura mau apapun, Papa beliin!" Binar di mata anak semata wayangku menyala. Sementara reaksi aneh kulihat dari yang lain. "Kenapa? Kalian nggak seneng?" "Bukan ngga
Kepala terasa berat saat mata ini kupaksa terbuka. Remang, itu yang pertama kali netraku tangkap. Mataku memicing, kenapa aku seakan akrab dengan tempat ini? "Eh?" Tanganku diikat oleh tali besar. Di mana ini? Kenapa sepertinya aku pernah ke mari? "Ah!" Setelah diingat-ingat, memang pernah aku ke sini. Saat seminggu lalu diculik oleh suami Priska. "Kamu sudah bangun, Hel?" Suara seorang wanita mengembalikan kesadaranku dari lamunan masa lalu. Suara yang sangat familiar di telinga ini. "P-priska?" Mataku membeliak saat melihat wanita itu berdiri sambil tersenyum. "Iya, ini aku, Sayang." "Kenapa kamu lakuin ini sama aku, Pris?" Priska mendekatiku. Jika dulu, ia sangat begitu menggoda mengenakan gaun yang memiliki belahan dada rendah, kini aku justru takut melihatnya. "Kamu tanya, kenapa aku lakuin ini?" tanyanya mengulangi pertanyaanku. "Iya, kenapa?" "Karena kamu sudah semena-mena dengan suamiku." Suami? Apa aku tak salah dengar? Memangnya, suaminya kenal denganku? "Maks
Pulang dari rumah Mama mertua saat itu, perasaanku tak menentu. Aku jadi cepat marah, cepat tersinggung. Mas Lian pun lebih memilih diam daripada mendengar omelanku. "Fira, beli!" Mendengar suara itu, rasanya ingin sekai kulempar tutup panci tepat di wajahnya. Aku keluar dengan malas. "Apa, Bu?" "Beli mie instan dua sama telur setengah kilo," ucap Bu Romlah. Aku pun mengambilkan pesanannya tanpa banyak tanya. Sepertinya, Bu Romlah ini selain tukang gosip juga tebal muka. Entah karena dia mengira aku tak mendengar pembicaraan mereka, atau karena ia memang tak peduli. "Berapa, Fir?" "Enam belas ribu," jawabku. Bu Romlah menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan, lalu kuserahkan kembaliannya. "Kamu kenapa, Fir?" "Apanya?" "Kenapa mukamu sepet banget gitu sama aku?" Aku mengembuskan napas panjang. Jadi benar, Bu Romlah memang tak mengira bahwa aku telah mendengar obrolan mereka kemarin. "Gapapa. Lagi dapet!" jawabku singkat. "Walah, dapet mulu." Mendengar ucapannya, sontak
Saat bangun, kulihat sekeliling berbeda dengan terakhir kulihat. Bertepatan dengan itu, Mas Lian masuk ke ruangan tempatku berbaring. Wajahnya memerah, aku jadi takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak. "Mas," panggilku. "Dek," jawabnya. Wajahnya merah, sepertinya habis menangis. "Ini di mana, Mas?" tanyaku. "Kamu di klinik, Dek," jawabnya sambil menitikkan air mata."Kamu kenapa nangis, Mas? Apakah aku sakit parah?" Bukannya menjawab, Mas Lian malah semakin tergugu. Membuatku menjadi panik dan serba salah. Sebenarnya, apa yang terjadi? "Dek," panggilnya. "Iya, Mas? Kenapa? Bilang aja. Nggak papa," jawabku. Jika memang benar aku sakit parah, lengkapnya sudah semua ini. Tak kunjung hamil, ditambah kini aku sakit. "Kamu nggak sakit, Dek," ucap Mas Lian. "Lalu?" tanyaku tak sabar. "Kamu hamil, Dek!" Aku menghembuskan napas lega. Hamil ternyata. Eh? "Ha-hamil, Mas?" tanyaku. Mas Lian mengangguk, membuat pelupuk mata penuh dengan air. Ya Allah, aku hamil? Sesuatu hal yang telah
Pagi hari. Aku tengah membuka warung pukul setengah tujuh pagi. Ini semua karena Mas Lian yang membuat peraturan baru, buka warung pukul setengah tujuh dan tutup jam lima sore. Ada-ada saja memang. Padahal habis magrib sampai pukul delapan pun warung masih ramai biasanya. "Tumben kamu baru buka, Fir?" tanya Wiwin sambil menghampiriku. "Iya, Win, kesiangan." Wiwin mengangguk, lalu meminta telur setengah kilo. Lalu pembeli segera berdatangan. Ada yang mau beras, telur, mie, dan lain-lain.Mas Lian dengan sigap membantuku. Ia menyuruhku duduk dan menerima uang dari pembeli, sisanya biar ia yang mengambilkan."Tumben amat ini yang ngelayanin dua-duaan." "Iya, Bu." "Alhamdulillah, Bu, istri saya sedang hamil. Makanya saya bantuin." "Alhamdulillah, kamu hamil, Fir?" tanya Wiwin. Aku mengangguk. "Iya, Win. Alhamdulillah." Pembeli mengucapkan selamat, membuat diri ini begitu bahagia. "Karena istri saya hamil, maka yang belanja di atas dua puluh ribu, saya diskon goceng!" Mereka la
POV 3Peluh membanjiri dahi Helmi. Ia tak menyangka, jika hari ini merupakan penentuan nasib sialnya. "Mungkin Bapak salah orang!" ucapnya pada petugas. "Jelaskan saja nanti di kantor. Sekarang, ikut kami. Bawa dia!" ucap salah satu dari mereka ke yang lain. Mereka membawa Helmi menuju kantor polisi. Berbagai prasangka sudah memenuhi hati dan juga otak lelaki yang dulu pernah menelantarkan ibunya itu. Sampai di kantor polisi, Helmi disuruh duduk dan menghadap ke salah satu petugas yang tengah mengetik sesuatu. Ia akan diwawancara terlebih dahulu. "Saudara Helmi, benarkah anda dan saudara Dono saling mengenal?" tanya petugas yang bernama Aryo itu. "Tidak, Pak. Saya ini baru saja dari kampung." "Baik. Sejak kapan anda di kampung?" "Satu tahun yang lalu," jawah Helmi disertai kebohongan. "Di mana anda tinggal?" "Kampung saya?" "Ya!""Purwokerto.""Sebelumnya?""Di Bogor." Aryo mengangguk-anggukan kepala. Ia tengah berusaha membuat pertanyaan yang nantinya akan menguak rahasia
"Halo, Mas," ucap Imah saat panggilan ia angkat. "Mah, apakah benar jika Helmi di penjara?" "Apa?!" Mendengar pertanyaan kakaknya, Imah berteriak sehingga membuat beberapa orang di sekitarnya menatap. "Iya, makanya Mas menelepon, takutnya itu penipuan."Imah yang sudah berpindah tempat pun menceritakan hal kemarin, saat Helmi berpamitan akan ke Jakarta untuk bekerja. Tak lupa, ia pun mengatakan soal Helmi yang meminjam uang padaya. "Ya Allah Helmi, ada saja ulah yang dia buat. Lalu sekarang bagaimana, Mah?" tanya Cahyo. "Imah juga bingung, Mas. Kalau misal Imah dan Mas Suryo ke sana, nanti bagaimana dengan Ibu? Kalau Bagas sih, bisa dititipkan di rumah Mama."Cahyo pun menggaruk kepalanya yang tak gatal. Jika Imah dan Suryo berangkat ke Jakarta, masa iya Ibu dan bapaknya satu rumah? "Ya sudah, nanti biar Mas bicarakan dengan Ratih. Semoga dia mau ikut ke Jakarta," ucapnya. Bukan ia tak bisa pergi sendiri, namun jika membawa istri dan anaknya, itu akan membuatnya sedikit lebih t
"Dek, kenapa?" Lian segera bangkit dan menepuk-nepuk pipi istrinya. "Perutku sakit, Mas! Aah!" teriak Fira. Lelaki yang sebentar lagi akan menjadi ayah itu pun panik. Apalagi saat ia melihat darah merembes ke seprai. Dengan sigap, ia mengambil kunci mobil dan memanasinya, lalu membangunkan Pak Burhan dan membopong Fira ke dalam mobil. "Apakah sudah waktunya, Li?" tanya Pak Burhan. "Iya, Pak. Ayo kita ke klinik." Mereka tergesa berangkat ke klinik, sementara di dalam Fira sudah terus mengerang. "Cepat, Mas!""Iya, ini juga udah cepet, Dek!" jawab Lian. "Istighfar, Nduk. Jangan dibawa teriak. Tarik napas, hembuskan." Fira mengikuti instruksi bapaknya, namun nyeri di perutnya semakin terasa. Hingga sepuluh menit kemudian, mereka sampai di klinik. "Mbak, jangan tutup dulu!" teriak Lian sambil turun dari mobil karena melihat klinik itu akan ditutup. "Tapi, Pak, ini sudah malam. Waktunya tutup." "Tolong panggilin bidannya, Mbak. Istri saya mau melahirkan. Darahnya udah keluar."