Bu Hindun dan Wiwin mendengarkannya. Heran, kenapa suka banget bergosip di warungku, sih? "Bu, jangan gosip di sini, dong!" "Pesan mie rebus satu, Fir!" "Ngokey!" Aku pun ke belakang sambil membawa sebungkus mie. Kalau sambil beli sih, gapapa, wkwkaak. Saat membawa mie ke depan, kulihat keluarga Mas Helmi sudah selesai berkemas dan hendak ke rumah Mbak Imah. "Nih, Bu. Saya mau ke dalam dulu," ucapku pada mereka. "Mas, sudah selesai?""Senang, kan, kamu, Fir? Aku dan Mas Helmi pergi dari sini? Mana Mbak Imah orangnya bawel," gerutu Mbak Imah."Udah sih, Mbak. Kan di sana juga sementara. Kalian nantinya bakal ngontrak." Mbak Ambar masih saja memajukan bibirnya, sementara aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kuambil dompet dan mengambil tiga lembar uang. "Nih, Mas, buat pegangan. Semoga kalian betah. Kalau mau main, main aja. Naura, kapan-kapan nginep di Tante, ya?" "Oke, Tan." Aku keluar dan menghampiri Mas Lian yang sedang menutup bengkel. "Mas, anterin mereka ke rumah Mbak
Aku menoleh ke arah Mas Lian. Ia pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Kugigit bibir bawah, agar tak meneteskan air mata. "Mas.""Sudah, Dek. Jangan didengarkan." Kami pun mengucapkan salam, terlihat Bu Romlah di sana sedang duduk manis bersama anak gadisnya. Aku tak tahu, ada hubungan apa antara tetanggaku ini dengan Mama mertua, tapi mendengar ucapannya barusan, sungguh membuat diri ini kecewa. Kupikir, ia orang baik. Hanya mulutnya saja yang suka sekali bergosip. Nyatanya, ia mampu juga untuk menusukku dati belakang. "Loh, Fira?" ucap Bu Romlah, sepertinya ia terkejut melihat kedatangan kami."Nduk," sapa Mama lalu menghampiri kami. Kucium tangannya penuh takzim. Seraya meminta maaf belum bisa memberikan keturunan padahal kami menikah sudah cukup lama. Tentu saja kuucapkan itu dalam hati. Mas Lian menggandeng tanganku untuk duduk di seberang Bu Romlah. Terlihat ia sangat salah tingkah melihat kehadiran kami. "Bu Romlah kok bisa di sini?" "Eh? Iya, kan saya ini temen se
Jika bisa kembali ke bulan lalu, sudah pasti aku tak mau menerima pekerjaan laknat itu. Lebih baik kupaksa Ambar untuk menjual salah satu emasnya untuk biaya hidup sehari-hari. Kring! Ponselku berbunyi. Membuatku dan Ambar terlonjak kaget. Beruntung Naura sudah tidur. "Ish! Kaget aja. Siapa sih malam-malam?"Aku meihat ke layar, lalu terkejut saat melihat siapakah yang memanggilku malam-malam. "Siapa?" ulang Ambar. "Pak Toni, nih!" ucapku sambil memperlihatkan layar. "Ngapain dia malam-malam nelpon?" "Mana kutahu. Aku angkat dulu."Aku pun pergi ke teras untuk mengangjat telepon ini. Setelah celingukan, kuusap layar ke atas. "Halo," ucapku. "Halo, Mas. Kamu di mana, sih? Kenapa seminggu ini nggak kelihatan? Kudengar si Dono masuk penjara. Jadi kupikir kamu ikutan juga," cerocosnya dengan diakhiri kekehan. "Enak aja, kamu do'ain aku, emang?" "Lah, ya nggak lah. Aku justru kangen sama kamu, Mas. Kapan, nih, kita ketemu lagi? Aku udah berapa kali ke sana, tapi warung itu tutup
[Jangan dekati istriku lagi.] M*mp*s! Pasti Priska kecolongan. Bisa-bisanya suaminya tahu kalau istrinya habis chatting denganku. "Kamu kenapa, Mas?""Oh, nggak papa. Ya sudah, kita tidur. Kasihan Naura sendiria." Kamipun masuk, rumah sudah sepi. Mungkin penghuni lain sudah pada terlelap di alam mimpinya. Kumiringkan tubuh menghadap Ambar. Kalau saja dia tak kebanyakan mau, mungkin aku tak perlu berhubungan dengan tante-tante hingga kini suaminya malah mengetahui hubungan kami. Kuremas rambut. Sepertinya, pria bertopeng saat itu benar-benar suaminya Priska, terbukti hingga kini aku sudah pindah, tak ada lagi kelihatan batang hidungnya. Ah, sudahlah. Memikirkan itu takkan ada habisnya. Lebih baik aku tidur karena besok akan ikut ke pasar untuk bekerja di toko perabotan milik mertua Mas Suryo. Gaji sehari enam puluh ribu dan makan dua kali. Awalnya, aku menolak. Masa iya gajinya segitu? Dapat apa? Tapi aku diingatkan oleh Mbak Imah kalau kami hanya menumpang sebentar di sini. Ku
[Yang betul, Pak?] [Maaf, Pak, saya perempuan.] [Eh, iya, maaf, Bu.] [Jadi bagaimana, Pak?][Kantornya di mana, Bu?] [Ada di Jakarta, Pak. Ini alamatnya...] Setelah mengantongi alamat tersebut, besok aku akan ke sana. Sepuluh juta, bukankah itu sangat menggiurkan? Aku sudah tak sabar dengan esok hari. Pasti Ambar dan Mbak Imah akan senang karena gajiku besar. --Pagi hari. Ambar sudah selesai masak untuk sarapan, begitupula dengan Mbak Imah. Kami makan dalam satu meja. Usai makan, aku mengawali obrolan. "Ehm... Mbar, Bu, Mbak, Mas, aku diterima kerja di Jakarta. Gajinya lumayan, sepuluh juta," ucapku sambil membusungkan dada. "Sepuluh juta?" ulang Mbak Ambar sekali lagi. "Iya, Mbak. Banyak, kan? Aku titip anak istriku ya, Mbak." "Papa mau ke mana?" tanya Naura. "Mau ke Jakarta, Sayang. Papa mau kerja, nanti Naura mau apapun, Papa beliin!" Binar di mata anak semata wayangku menyala. Sementara reaksi aneh kulihat dari yang lain. "Kenapa? Kalian nggak seneng?" "Bukan ngga
Kepala terasa berat saat mata ini kupaksa terbuka. Remang, itu yang pertama kali netraku tangkap. Mataku memicing, kenapa aku seakan akrab dengan tempat ini? "Eh?" Tanganku diikat oleh tali besar. Di mana ini? Kenapa sepertinya aku pernah ke mari? "Ah!" Setelah diingat-ingat, memang pernah aku ke sini. Saat seminggu lalu diculik oleh suami Priska. "Kamu sudah bangun, Hel?" Suara seorang wanita mengembalikan kesadaranku dari lamunan masa lalu. Suara yang sangat familiar di telinga ini. "P-priska?" Mataku membeliak saat melihat wanita itu berdiri sambil tersenyum. "Iya, ini aku, Sayang." "Kenapa kamu lakuin ini sama aku, Pris?" Priska mendekatiku. Jika dulu, ia sangat begitu menggoda mengenakan gaun yang memiliki belahan dada rendah, kini aku justru takut melihatnya. "Kamu tanya, kenapa aku lakuin ini?" tanyanya mengulangi pertanyaanku. "Iya, kenapa?" "Karena kamu sudah semena-mena dengan suamiku." Suami? Apa aku tak salah dengar? Memangnya, suaminya kenal denganku? "Maks
Pulang dari rumah Mama mertua saat itu, perasaanku tak menentu. Aku jadi cepat marah, cepat tersinggung. Mas Lian pun lebih memilih diam daripada mendengar omelanku. "Fira, beli!" Mendengar suara itu, rasanya ingin sekai kulempar tutup panci tepat di wajahnya. Aku keluar dengan malas. "Apa, Bu?" "Beli mie instan dua sama telur setengah kilo," ucap Bu Romlah. Aku pun mengambilkan pesanannya tanpa banyak tanya. Sepertinya, Bu Romlah ini selain tukang gosip juga tebal muka. Entah karena dia mengira aku tak mendengar pembicaraan mereka, atau karena ia memang tak peduli. "Berapa, Fir?" "Enam belas ribu," jawabku. Bu Romlah menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan, lalu kuserahkan kembaliannya. "Kamu kenapa, Fir?" "Apanya?" "Kenapa mukamu sepet banget gitu sama aku?" Aku mengembuskan napas panjang. Jadi benar, Bu Romlah memang tak mengira bahwa aku telah mendengar obrolan mereka kemarin. "Gapapa. Lagi dapet!" jawabku singkat. "Walah, dapet mulu." Mendengar ucapannya, sontak
Saat bangun, kulihat sekeliling berbeda dengan terakhir kulihat. Bertepatan dengan itu, Mas Lian masuk ke ruangan tempatku berbaring. Wajahnya memerah, aku jadi takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak. "Mas," panggilku. "Dek," jawabnya. Wajahnya merah, sepertinya habis menangis. "Ini di mana, Mas?" tanyaku. "Kamu di klinik, Dek," jawabnya sambil menitikkan air mata."Kamu kenapa nangis, Mas? Apakah aku sakit parah?" Bukannya menjawab, Mas Lian malah semakin tergugu. Membuatku menjadi panik dan serba salah. Sebenarnya, apa yang terjadi? "Dek," panggilnya. "Iya, Mas? Kenapa? Bilang aja. Nggak papa," jawabku. Jika memang benar aku sakit parah, lengkapnya sudah semua ini. Tak kunjung hamil, ditambah kini aku sakit. "Kamu nggak sakit, Dek," ucap Mas Lian. "Lalu?" tanyaku tak sabar. "Kamu hamil, Dek!" Aku menghembuskan napas lega. Hamil ternyata. Eh? "Ha-hamil, Mas?" tanyaku. Mas Lian mengangguk, membuat pelupuk mata penuh dengan air. Ya Allah, aku hamil? Sesuatu hal yang telah