Aku segera berjalan ke luar sambil memegangi daster, maklum emak-emak kalau buru-buru pasti langsung menaikkan daster dan berjalan cepat. Mas Lian menghampiriku, raut wajahnya sudah tak enak. Entah mengapa, melihat sepasang kaki itu membuatku perasaanku tak enak. Sepasang kaki? Ya, karena badannya masih tertutup dengan pintu yang masih terbuka Disusul oleh dua pasang kaki lainnya. "Terima kasih ya, Pak!" Brak! Pintu itu ditutup dengan kencang. Mataku membulat, begitupun dengan Mas Lian. Perasaan tak enak kami pun terbukti, Mas Helmi dan keluarganya datang membawa tas serta koper. "Assalamu'alaikum," ucap Mas Helmi sambil tersenyum. "Wa'alaikum salam," jawabku. Mereka masuk, tanpa kupersilakan. Memang seperti itu, kebiasaan. Mendengar suara anak lelakinya, Bapak keluar dengan kursi rodanya. "Pak," sapa Mas Helmi pada Bapak sambil mencium tangan beliau, diikuti oleh Mbak Ambar dan juga Naura. Aku dan Mas Lian buru-buru duduk dan menarik lengan Mas Helmi. Apa maksudnya, dia d
Esok hari. Selesai menyapu, aku menyerbu tukang sayur bersama ibu-ibu yang lain. Seperti biasa, tidak ada ceritanya belanja tanpa ghibah dulu. Saat sedang asyik bercerita, Mbak Ambar tiba-tiba sudah ada di sampingku. "Masak rendang aja, Fir. Rendang buatanmu kan enak," ucapnya sambil menguap. Astaghfirullah, ini bau mulut orang, apa bau selokan? Kulihat ibu-ibu yang lain pun menutup hidung dan risih dengan kedatangan Mbak Ambar. Untungnya, setelah mengatakan itu ia segera masuk ke dalam rumah lagi. "Siapa itu, Fir?" tanya Bu Romlah. "Kakak ipar, Bu." "Kok kelakuannya gitu? Itu mulut pasti isinya sampah, bau banget," ucap Bu Romlah. Aku hanya menggaruk kepala, bingung mau menjawab apa. Wajar jika orang-orang sini tak kenal dengan Mbak Ambar karena mereka baru tiga kali ini berkunjung ke sini. Itupun di dalam rumah terus ketika berkunjung. Saat memasak, aku mendengar suara orang yang memanggil. Rupanya Bu Naima. Cih, mau apa dia ke sini? "Apa, Bu?" "Ambilin micin, Fir. Nih, ua
"Apa?" ulang Mbak Imah tak sabar. "Rumah itu mau kujual, Mbak.""Apa?!" ucapku dan Mbak Imah bersamaan. "Tapi, kenapa?" "Ya aku mau tinggal di kampung saja. Dekat dengan kalian. Nggak enak di sana, berasa nggak punya sodara. Tahu sendiri gimana keluarga Ibu." Aku dan Mbak Imah masih terkejut dengan ceritanya. Rumahnya dijual, lalu berniat menjadi benalu di sini? Oh, tidak akan kubiarkan, Fergusso! "Mbak, bukannya di rumah Mbak Imah ada kamar kosong? Sebaiknya, Mas Helmi ke sana saja, ya? Di sini kan sudah tak ada. Sementara rumah ini kecil."Mbak Imah tampak menggaruk kepalanya yang tertutup dengan hijab itu, lalu akhirnya mengangguk. "Tapi ingat, Hel, di rumahku tak ada yang gratis. Mau makan, nyapu dulu!" Mas Helmi tak berkutik, hingga akhirnya ia mengangguk. "Nanti, Adek bantuin cari kontrakan Mas. Di sini kan murah. Kemarin ini rumah Pak Jaedin dikontrakin. Nggak tahu sekarang ada penghuninya apa nggak." "Yang bayar siapa?" Aku memutar bola mata, jengah. "Ya Mas, lah! S
Bu Hindun dan Wiwin mendengarkannya. Heran, kenapa suka banget bergosip di warungku, sih? "Bu, jangan gosip di sini, dong!" "Pesan mie rebus satu, Fir!" "Ngokey!" Aku pun ke belakang sambil membawa sebungkus mie. Kalau sambil beli sih, gapapa, wkwkaak. Saat membawa mie ke depan, kulihat keluarga Mas Helmi sudah selesai berkemas dan hendak ke rumah Mbak Imah. "Nih, Bu. Saya mau ke dalam dulu," ucapku pada mereka. "Mas, sudah selesai?""Senang, kan, kamu, Fir? Aku dan Mas Helmi pergi dari sini? Mana Mbak Imah orangnya bawel," gerutu Mbak Imah."Udah sih, Mbak. Kan di sana juga sementara. Kalian nantinya bakal ngontrak." Mbak Ambar masih saja memajukan bibirnya, sementara aku hanya bisa menggelengkan kepala. Kuambil dompet dan mengambil tiga lembar uang. "Nih, Mas, buat pegangan. Semoga kalian betah. Kalau mau main, main aja. Naura, kapan-kapan nginep di Tante, ya?" "Oke, Tan." Aku keluar dan menghampiri Mas Lian yang sedang menutup bengkel. "Mas, anterin mereka ke rumah Mbak
Aku menoleh ke arah Mas Lian. Ia pun sepertinya sama terkejutnya denganku. Kugigit bibir bawah, agar tak meneteskan air mata. "Mas.""Sudah, Dek. Jangan didengarkan." Kami pun mengucapkan salam, terlihat Bu Romlah di sana sedang duduk manis bersama anak gadisnya. Aku tak tahu, ada hubungan apa antara tetanggaku ini dengan Mama mertua, tapi mendengar ucapannya barusan, sungguh membuat diri ini kecewa. Kupikir, ia orang baik. Hanya mulutnya saja yang suka sekali bergosip. Nyatanya, ia mampu juga untuk menusukku dati belakang. "Loh, Fira?" ucap Bu Romlah, sepertinya ia terkejut melihat kedatangan kami."Nduk," sapa Mama lalu menghampiri kami. Kucium tangannya penuh takzim. Seraya meminta maaf belum bisa memberikan keturunan padahal kami menikah sudah cukup lama. Tentu saja kuucapkan itu dalam hati. Mas Lian menggandeng tanganku untuk duduk di seberang Bu Romlah. Terlihat ia sangat salah tingkah melihat kehadiran kami. "Bu Romlah kok bisa di sini?" "Eh? Iya, kan saya ini temen se
Jika bisa kembali ke bulan lalu, sudah pasti aku tak mau menerima pekerjaan laknat itu. Lebih baik kupaksa Ambar untuk menjual salah satu emasnya untuk biaya hidup sehari-hari. Kring! Ponselku berbunyi. Membuatku dan Ambar terlonjak kaget. Beruntung Naura sudah tidur. "Ish! Kaget aja. Siapa sih malam-malam?"Aku meihat ke layar, lalu terkejut saat melihat siapakah yang memanggilku malam-malam. "Siapa?" ulang Ambar. "Pak Toni, nih!" ucapku sambil memperlihatkan layar. "Ngapain dia malam-malam nelpon?" "Mana kutahu. Aku angkat dulu."Aku pun pergi ke teras untuk mengangjat telepon ini. Setelah celingukan, kuusap layar ke atas. "Halo," ucapku. "Halo, Mas. Kamu di mana, sih? Kenapa seminggu ini nggak kelihatan? Kudengar si Dono masuk penjara. Jadi kupikir kamu ikutan juga," cerocosnya dengan diakhiri kekehan. "Enak aja, kamu do'ain aku, emang?" "Lah, ya nggak lah. Aku justru kangen sama kamu, Mas. Kapan, nih, kita ketemu lagi? Aku udah berapa kali ke sana, tapi warung itu tutup
[Jangan dekati istriku lagi.] M*mp*s! Pasti Priska kecolongan. Bisa-bisanya suaminya tahu kalau istrinya habis chatting denganku. "Kamu kenapa, Mas?""Oh, nggak papa. Ya sudah, kita tidur. Kasihan Naura sendiria." Kamipun masuk, rumah sudah sepi. Mungkin penghuni lain sudah pada terlelap di alam mimpinya. Kumiringkan tubuh menghadap Ambar. Kalau saja dia tak kebanyakan mau, mungkin aku tak perlu berhubungan dengan tante-tante hingga kini suaminya malah mengetahui hubungan kami. Kuremas rambut. Sepertinya, pria bertopeng saat itu benar-benar suaminya Priska, terbukti hingga kini aku sudah pindah, tak ada lagi kelihatan batang hidungnya. Ah, sudahlah. Memikirkan itu takkan ada habisnya. Lebih baik aku tidur karena besok akan ikut ke pasar untuk bekerja di toko perabotan milik mertua Mas Suryo. Gaji sehari enam puluh ribu dan makan dua kali. Awalnya, aku menolak. Masa iya gajinya segitu? Dapat apa? Tapi aku diingatkan oleh Mbak Imah kalau kami hanya menumpang sebentar di sini. Ku
[Yang betul, Pak?] [Maaf, Pak, saya perempuan.] [Eh, iya, maaf, Bu.] [Jadi bagaimana, Pak?][Kantornya di mana, Bu?] [Ada di Jakarta, Pak. Ini alamatnya...] Setelah mengantongi alamat tersebut, besok aku akan ke sana. Sepuluh juta, bukankah itu sangat menggiurkan? Aku sudah tak sabar dengan esok hari. Pasti Ambar dan Mbak Imah akan senang karena gajiku besar. --Pagi hari. Ambar sudah selesai masak untuk sarapan, begitupula dengan Mbak Imah. Kami makan dalam satu meja. Usai makan, aku mengawali obrolan. "Ehm... Mbar, Bu, Mbak, Mas, aku diterima kerja di Jakarta. Gajinya lumayan, sepuluh juta," ucapku sambil membusungkan dada. "Sepuluh juta?" ulang Mbak Ambar sekali lagi. "Iya, Mbak. Banyak, kan? Aku titip anak istriku ya, Mbak." "Papa mau ke mana?" tanya Naura. "Mau ke Jakarta, Sayang. Papa mau kerja, nanti Naura mau apapun, Papa beliin!" Binar di mata anak semata wayangku menyala. Sementara reaksi aneh kulihat dari yang lain. "Kenapa? Kalian nggak seneng?" "Bukan ngga