Home / Pernikahan / Bukan Kesepakatan Pernikahan / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Bukan Kesepakatan Pernikahan: Chapter 1 - Chapter 10

14 Chapters

Ibu Pinjaman

Aku melangkah menuju suatu ruangan yang hampir tak pernah kudatangi. Ruangan yang sangat mewah, yang bahkan untuk melewati depan pintunya pun aku merasa segan. Seolah memiliki sihir yang bisa merubah atmosfer dari dalamnya. Dengan satu tarikan napas, kuberanikan diri untuk mengetuk perlahan pintu itu. Pintu dengan bahan kayu jati yang diselimuti cat berwarna hitam yang terlihat sangat kokoh. Di bagian atasnya tertulis larangan untuk masuk tanpa seizin pemiliknya. Tok ... tok ... tok. Aku menahan napas dan menggigit bibir. Terdengar suara wanita dengan tegas, "Siapa?" "Ini aku Milly," sahutku. Tak ada jawaban. Sekian detik aku menunggu, aku berpaling dengan niat untuk kembali ke kamar. Beliau mungkin sedang tak ingin diganggu olehku. Namun, ketika baru mau melangkahkan kaki, kudengar jawaban dari balik sana. "Masuk!" Mendengar perintah itu, aku berbalik kembali ke hadapan pintu. Kuraih daun pintu lalu mendorongnya perlahan, lalu berjalan masuk ke dalam ruangan itu. Ruangan yang
Read more

Pertemuan

Aku terbangun dengan selang oksigen di hidung, dan selang infus di tangan kiri. Aku menatap langit-langit berwarna putih yang sudah pasti itu adalah rumah sakit.Aku tidak tahu sudah berapa lama berada di sini. Bahkan aku tak ingat kejadian apa yang menimpaku. Aku hanya teringat ketika sedang berdebat dengan Mama, lalu pergi mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi.Terdapat kapas yang tertempel dengan plester di kening sebelah kananku. Aku mencoba bangkit perlahan dan mendapati seorang pria yang menyandarkan kepalanya ke ranjangku tengah tertidur pulas. Wajahnya sangat familiar."Ben?" ucapku heran.Sedang apa Ben di sini? Apa dia yang melarikanku ke rumah sakit? Entahlah. Tapi aku tak ingin membangunkannya. Namun tiba-tiba kepalaku pening dan membuatku spontan mengeluarkan suara kesakitan dari mulut. Tentu hal itu membuat Ben terbangun."Milly? Sudah siuman? Kamu baik-baik saja?" tanya Ben.Aku meringis kesakitan menahan pening di kepala, "Masih sedikit pusing. Tapi nggak pa-pa, ko
Read more

Pertemuan (2)

Pagi-pagi sekali, Ben izin meninggalkanku untuk pergi bekerja. Ia juga berjanji kalau ia akan langsung kembali ke sini setelah pekerjaannya selesai. Aku katakan padanya agar santai saja dan tidak perlu terburu-buru. Dan benar saja. Ben datang kembali dengan setelan kemeja lengkap dengan sepatu pantofelnya. Ia membawakanku kue red velvet kesukaanku. Kurasa ia belum sempat pulang."Kamu masih suka kue red velvet kan? Aku bawain buat kamu. Biar kamu nggak bosen karena makan makanan rumah sakit," ucapnya. Wajahnya terlihat kelelahan.Jujur, itu sangat menyentuh hatiku dan juga membuatku merasa tidak enak. Aku senang Ben masih ingat tentang kue kesukaanku meski beberapa tahun ke belakang kami terpisah jauh. Tapi di sisi lain, aku merasa tidak enak karena sudah merepotkannya.Aku tunjuk meja di sebelah ranjangku sebagai tanda agar Ben meletakan kue itu di sana, "Terima kasih, Ben. Sepulang dari kantor, kamu langsung ke sini?""Iya. Apa aku ganggu?""Justru aku yang seharusnya tanya begitu."
Read more

Pertemuan (3)

Aku berdiri menatap langit senja dari balik jendela ruanganku. Musim panas kali ini terasa indah. Ini sudah hari ke empat sejak pertama kali aku dirawat di sini. Ben masih selalu mendatangiku dengan alasan sekalian menjenguk karena ada urusan di sekitar rumah sakit. Ia mengunjungiku setiap hari dan membawakanku bermacam-macam makanan yang tentunya di bawah pengawasan Dokter.Jam di dinding menunjukkan pukul 8.15 PM. Artinya lima belas menit lagi, Ben akan datang menjumpaiku. Aku sampai hafal jam besuk yang ia lakukan.Aku merasa bosan. Sebetulnya aku sudah merasa sembuh. Bahkan aku sudah bisa berjalan mondar mandir tanpa pening di kepala.Ketika aku mencoba melakukan gerakan pemanasan karena aku merasa ototku kaku, seseorang masuk ke dalam ruanganku dan memanggilku."Milly."Ternyata itu adalah Ben. Tangan kirinya membawa paper bag. Dan tangan kanannya menggenggam sebuah buket bunga mawar berwarna putih."Eh, Ben. Tumben kamu datang lebih awal," sambutku."Begitu ya?""Iya.""Kamu nga
Read more

Pertemuan (4)

Keesokan paginya, aku dijemput Ben. Kebetulan saat itu adalah weekend sehingga ia bisa menyempatkan waktunya untuk menjemputku.Sesampainya di rumah, Tante Annette menyambut kami, "Hai, Milly. Sudah membaik?"Baru saja sembuh, sudah harus berhadapan dengan wanita ini."Sudah, Ma," jawabku ragu."Terima kasih ya, Ben karena kamu selalu meluangkan waktu untuk menjaga Milly," ucapnya kepada Ben."Iya, Tante. Sama-sama. Aku mau izin bantuin Milly buat beresin barang-barangnya ya, Tan. Boleh?""Silahkan. Dengan senang hati."Tante Annette mempersilahkan kami untuk masuk."Tante panggil pelayan dapur dulu, ya. Untuk nyiapin camilan buat kalian," lanjutnya.Sementara Tante Annette berlalu meninggalkan aku dan Ben, kami naik ke lantai atas menuju kamarku."Kamar kamu masih sama kaya yang dulu?" tanya Ben."Iya."Aku mempersilahkan Ben untuk masuk ke kamarku."Ternyata nggak berubah, ya ...." Ben mengelilingi kamarku yang berbentuk kubus berukuran 8x8 meter."Iya. Tapi ada beberapa hal yang be
Read more

Pra-wedding

Pagi ini, aku menghirup udara sejuk. Suara debur ombak meriuhkan suasana meski tidak terlalu banyak orang di sini bersama aku, Ben, Fotografer, dan Make-up Artist yang akan merias sesi pemotretan pra-wedding pernikahanku. Aku dan ben memutuskan untuk melakukannya dengan tema pantai di pulau yang berada di sebelah kota kami. Lokasinya memang tidak dikunjungi oleh banyak orang karena sebagian besar yang datang ke sini adalah orang-orang yang akan berselancar. Setelah kepulanganku dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mempercepat seluruh persiapan pernikahan. Awalnya Ben bertanya padaku apa tak mengapa jika aku melakukan semua ini segera. Karena menurutnya, aku baru saja sembuh dari masa pemulihanku setelah kecelakaan yang menimpa. Namun aku berkata tak apa. Aku merasa harus cepat menyelesaikan seluruhnya oleh diriku sendiri daripada harus mendengar ocehan Tante Annette. Ben berkata tidak keberatan lalu mengosongkan beberapa jadwal untuk persiapan pernikahan kami dan menyewa vila yang
Read more

Pra-wedding (2)

"Milly, kenapa kamu kaku begitu? Ayo kita ulang. Kalian kan sepasang kekasih. Kenapa begini?" ucap Lewis kesal karena berulang kali mengambil jepretan foto, namun hasilnya sangat buruk karena sikapku. Aku bisa melihat wajahnya yang letih. Aku merasa tidak enak, namun juga aku tidak bisa merasa nyaman karena ini pertamakalinya seseorang mengecupku. Terlebih itu adalah Ben. "Hanya berpose, tersenyum, lalu aku tekan tombol ini. Tidak begitu sulit, kan?" sambung Lewis. Aku menggerutu di dalam hati. Semudah itu katanya? Jika bukan karena aku harus memaklumi kalau Lewis tidak tahu fakta sebenarnya, mungkin kamera seharga C$4000 yang ada di tangannya itu sudah terombang-ambing di lautan sana. "Maaf ... aku akan benar-benar melakukannya kali ini," ujarku. Ben menghela nafasnya, "Lewis, sorry to say, but would you give us a minute?" "With pleasure," Lewis melangkah menjauh dari kami. Ben menyentuh bahuku dengan kedua telapak tangannya, "Mil, aku minta maaf, ya." "Maaf? Untuk apa?" "M
Read more

Bintang Berharga

Aku terjaga dan menyadari tubuhku terbalut selimut tebal. Aku terheran karena aku tidak merasa beranjak dari mobil dan melangkah menuju kamar ini. Kuperiksa ponselku dan jam menunjukkan pukul 10 malam. Ternyata aku tidur berjam-jam lamanya. Aku bolak-balik membenarkan posisi tidurku untuk mencoba terlelap lagi. Namun tidak bisa. Kuputuskan untuk pergi keluar kamar untuk minum dan membasuh wajahku. Kudapati Ben tengah duduk membelakangiku di mini bar. Aku hanya bisa melihat punggungnya yang lebar dan gagah itu. Ia sudah mengganti bajunya menjadi kaos biasa berwarna putih dan celana pendek selutut. "Kamu belum tidur, Ben?" aku menyapanya. Ben menoleh padaku, "Eh, Milly ...." sahutnya sembari membereskan beberapa helai kertas di laptopnya. "Kok aku nggak sadar ya, Ben, pas pindah dari mobil ke kamar?" tanyaku sembari menarik kursi yang ada di hadapan Ben lalu duduk di sana. "Aku yang pindahin kamu," jawabnya. "Kamu? Gimana caranya?" "Aku gendong." "EH?!" Ben menoleh terkejut ka
Read more

Malam Pertama

“Mill .. kita sudah sampai,” ucap Ben sambil mengguncang pelan tubuhku.Aku terbangun dan melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah malam. Ben telah memarikirkan mobilnya di garasi sebuah rumah yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah yang nantinya akan kutinggali bersama Ben.“Masih ngantuk, ya? Beresin barangnya mau nanti dulu?” ucapnya yang melihatku masih menguap .Aku menggeleng, “Nggak, kok. Nanti kan bisa istirahat di dalam,” jawabku.Ben mengangguk dan keluar dari dalam mobil, lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku untuk keluar. Ben selalu memperlakukanku seperti ini. “Thanks,” ujarku.“Kamu bukain pintu rumah. Biar aku yang bawain koper. Kodenya 090422,” Ben berlalu mennggalkanku dan berjalan menuju bagasi mobil.Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju pintu. Setelah yakin kalau password tersebut benar, aku mendorong pintu dan melangkah ke dalam.Aku memas
Read more

Uninvited

Aku berdiam di kamar sementara Rose kubiarkan sendirian di ruang tamu. Kudengar suara mobil Ben dari luar sana. Aku tidak berniat keluar kamar saat Ben membuka password rumah karena Ben pasti akan berpapasan dengan Rose. Beberapa waktu kemudian, Ben mengetuk pintu, “Milly?” panggilnya. Aku tak menggubris. Ben masih terus-terusan mengetuk, “Milly, aku bawa makanannya. Tolong buka dulu,” ucapnya lagi. “Kamu ngobrol sama Rose saja dulu. Nanti aku menyusul,” balasku. Ben tidak menjawab. Sepertinya ia langsung bergegas menemui Rose. Saat kukira itu adalah kedatangan Ben, aku mematung dan terkejut karena ternyata itu adalah Rose. Begitu melihatnya, aku langsung masuk ke kamar dan menutup pintu dengan keras. Rose memanggilku. Kukatakan padanya kalau Ben tengah keluar sebentar dan ia akan kembali beberapa menit lagi. Aku tidak tahu pasti di mana Rose menunggu. Sepertinya di ruang tamu karena aku mendengar langkah sepatunya menjauh dar
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status