"Pak Wirman?" sapa Marni. "Masuk, Pak."Pria itu mengangguk padaku, kubalas dengan senyum tipis."Apa kabar, Pak? Lama tak berjumpa.""Iya, bapak ke sini karena tau dari Leni bahwa kau pulang ke rumah. Bagaimana kabarmu? Kau sehat?""Alhamdulillah, saya sehat, Pak. Kemaren sempat demam, tapi sekarang sudah sembuh.""Alhamdulillah, kalau begitu. Bapak ke sini, mau bercerita sama kamu, sebagai anak yang paling tua, tentu kau harus memantau kondisi kebun yang Bapak jaga, tak enak kalau dipercayakan begitu saja.""Iya, Pak. Jadi bagaimana?""Kebun yang di bagian Jurong, harus dibang, masa usia pohonnya sudah lebih dua puluh lima tahun, jadi sudah tak bisa berbuah lagi. Jadi bagaimana bagusnya?""Kalau begitu, tebang saja, Pak.""Iya, tapi Bapak sarankan, pergilah ke kebun sesekali, supaya kau juga tau, mana kebun ayahmu. Bapak sudah tua, takutnya di kemudian hari kalian kebingunan. Karena tak tak mana kebun orang tuamu, mana kebun orang lain, kalian bisa ditipu."Marni mengangguk, sedangk
Read more