POV AntoSebelum berangkat ke kampung Marni, kubeli Paracetamol dan vitamin di toko obat terlebih dahulu. Kerena di sana akses untuk ke dokter dan puskesmas cukup jauh. Aku lebih memilih cara instan dari pada membawanya ke rumah sakit.Kadang heran dengan diriku yang ini, bukankah aku sudah bertekad tak usah saja pedulikan Marni, akan tetapi ada kecemasan saat mengetahui wanita pembuat kekacauan itu tak baik-baik saja.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, sebisa mungkin sebelum Maghrib aku sudah sampai di sana.Perhitungan waktu yang amat tepat, tepat saat azan Maghrib berkumandang dari Mushala yang dekat dengan rumah Marni, aku sampai di halaman rumah yang memiliki cat bewarna cokelat itu.Kulihat adik Marni yang laki-laki sedang bekerja membelah kelapa di pekarangan, airnya ditampung di sebuah wadah."Bang Anto," sapanya hormat, aku tak ingat siapa nama adik Marni yang ini, kalau tak salah dia adik ke empat Marni."Apa kabar?""Saya baik, ayo, masuk, Bang!" katanya ramah. Leni
Sebenarnya aku belum makan dari tadi siang, akan tetapi di rumah Marni, aku tak bisa makan sembarangan. Jika Marni yang memasak, baru bisa kupercaya, jika Leni dan yang lain, belum.Rumah ini masih dalam kategori berantakan walaupun tidak separah sewaktu aku berkunjung dulu. Bahkan di kamar mandi tadi, kulihat sampah bekas bungkus sampo dibiarkan tergeletak begitu saja di atas lantai. Bermalam di rumah Marni, juga menjadi trauma tersendiri.Mataku menangkap sekeranjang buah beraneka jenis dan masih utuh di atas meja. Timbul rasa ingin tau, siapa yang membawanya? Karena kutahu betul, bahwa kemasan seperti itu hanya ada di toko buah modren."Ada yang datang sebelum aku ke sini?" tanyaku pada Leni, adik Marni itu tengah duduk lesehan di samping adik laki-lakinya yang mengerjakan PR."Iya, ada.""Siapa?" Aku sangat penasaran. "Bang Ahmad, teman Kak Marni dulu."Kurasakan rasa tak nyaman di hatiku. Ahmad, aku ingat betul siapa dia. Walaupun sekali berjumpa, aku tak melupakan anak itu sedi
POV Anto"Terimakasih."Ucapan lembut itu menyadarkanku dari pemikiran yang berkelana. Aku merasa kehilangan saat Marni mengurai pelukan dan langsung memberi jarak di antara kami. Lantas, apa yang aku harapkan? Apakah sebuah kemesraan singkat dari Marni di pagi hari? Rasanya Marni tak semenarik itu, tapi kenapa aku malah kecewa?"Bagaimana keadaanmu?" Kurasakan suara agak tersendat di tenggorokan. Yang kulihat, dia terlihat sehat dan bersemangat, seolah tak melewati masa demam yang amat parah."Aku sudah merasa lebih baik. Oh ya, Mas sarapan dulu, Leni sudah buatkan nasi goreng."Aku terdiam, jangan tanya betapa laparnya perutku di pagi ini, tidak makan malam dan menahan diri untuk tak makan apa pun di rumah ini amat menyiksa."Siapa yang memasak?" Aku memastikan pendengaranku."Leni." Marni melipat selimut yang kami gunakan semalam. Ah, tidur dengan Marni yang bergelung di pelukanku ternyata sangat nyaman. Sebentar, apa yang aku pikirkan? Sial, semua gara-gara wangi lavender itu."Ak
"Pak Wirman?" sapa Marni. "Masuk, Pak."Pria itu mengangguk padaku, kubalas dengan senyum tipis."Apa kabar, Pak? Lama tak berjumpa.""Iya, bapak ke sini karena tau dari Leni bahwa kau pulang ke rumah. Bagaimana kabarmu? Kau sehat?""Alhamdulillah, saya sehat, Pak. Kemaren sempat demam, tapi sekarang sudah sembuh.""Alhamdulillah, kalau begitu. Bapak ke sini, mau bercerita sama kamu, sebagai anak yang paling tua, tentu kau harus memantau kondisi kebun yang Bapak jaga, tak enak kalau dipercayakan begitu saja.""Iya, Pak. Jadi bagaimana?""Kebun yang di bagian Jurong, harus dibang, masa usia pohonnya sudah lebih dua puluh lima tahun, jadi sudah tak bisa berbuah lagi. Jadi bagaimana bagusnya?""Kalau begitu, tebang saja, Pak.""Iya, tapi Bapak sarankan, pergilah ke kebun sesekali, supaya kau juga tau, mana kebun ayahmu. Bapak sudah tua, takutnya di kemudian hari kalian kebingunan. Karena tak tak mana kebun orang tuamu, mana kebun orang lain, kalian bisa ditipu."Marni mengangguk, sedangk
Pov Anto"Bagaimana keadaannya?" Ibu baru saja datang, wajah amat cemas juga terlihat di wajah wanita yang melahirkanku itu."Dia masih di ruang operasi." Aku tertunduk. Tak menunggu lama, Marni dipindahkan ke ruang operasi, aku bahkan tak sempat mengabari adik-adik Marni. "Apa yang terjadi?" Ibu menatapku serius, sangat sukar untuk menceritakan pengalaman buruk itu pada ibu, saat kutelpon tadi, aku tak menjelaskan apa-apa. Aku hanya mengatakan Marni kecelakaan dan masuk rumah sakit."Semua terjadi begitu saja, dia mendorongku agar selamat dari timpaan pohon itu, tapi malah mengenai dirinya sendiri." Masih terbayang olehku bagaimana tak berdayanya Marni saat tersungkur, belum lagi darah yang keluar amat banyak.Ibu menghela nafas berat."Dia terlalu ceroboh." Wajah ibu sendu, ibu adalah orang yang paling peduli pada Marni selama ini, walaupun di awal pernikahan ibu tak menyukai Marni, namun dia berusaha menerimanya. Berbeda denganku. Yang masih menganggap Marni bagaikan orang asing.
Selama ini, aku tak suka Marni berada terlalu dekat denganku di tempat umum. Aku merasa tak percaya diri jika membawanya, aku lebih suka melakukan semua kegiatan sendiri tanpa melibatkan Marni. Pergi ke kafe sendiri, malam mingguan sendiri, bahkan nonton ke bioskop sendiri. Aku bahkan tak tertarik mengenalkan Marni pada siapapun.Aku tersenyum miris, jika boleh memilih, sekarang aku lebih memilih diganggu olehnya, memilih untuk mendengar ocehannya yang sering tak nyambung, dari pada melihat dia menutup matanya seperti itu.Mulut berisiknya terkatup, matanya yang biasa menatap bodoh terpejam, dia bahkan tak bisa menggerakkan jarinya yang kecil untuk sekadar memberi harapan pada kami, bahwa dia akan kembali sadar seperti sedia kala.Sesampai di rumah, kubuka pintu. Hening, tak ada cengiran bodoh Marni yang biasa membukakan pintu dan setelah itu menawarkan kopi. Tak ada langkah tergesa-gesanya yang kadang sering menabrak benda yang dilewatinya.Rumah amat rapi, bersih, persis seperti yan
POV AntoJika sulit menghadapi Marni yang dulu, lebih sulit menghadapi Marni yang sekarang. Aku bahkan merasa kembali ke titik nol dan akan berjuang sekali lagi. Banyak hal yang tak terduga terjadi, bahkan Marni meminta guling kesayangannya untuk tidur. Saat kubertanya pada Leni, guling itu sudah dibuang oleh Marni sendiri beberapa waktu yang lalu, karena bau dan sangat kotor.Dengan sabar, aku selalu mengingatkannya, bahwa dia bukan lagi Marni yang dulu, akan tetapi dasarnya kerasa kepala, dia tetap saja tak percaya."Suami?" tanya dia lagi, bahkan pertanyaan itu diucapkan dengan nada geli, seakan-akan aku tengah melucu. Dia bahkan memindaiku dari atas sampai bawah, seakan tengah menilai. Tak apa, mudah-mudahan dia jatuh cinta sekali lagi."Ya, aku suamimu," sahutku meyakinkannya. Tak ada binar hangat di mata Marni. Dia menatapku seakan tak pernah memilki rasa apa-apa. Dia memberi jarak dan memperlakukanku bagaikan orang asing."Aku masih SMP," sahutnya kemudian.Aku melongo tak berd
"Jadi, bagaimana selanjutnya?" tanya Ibu padaku, Marni tengah tidur setelah makan dan minum obat. Ini hari ke tiga setelah dia sadar, kondisinya semakin membaik, kecuali ingatannya. Dokter mengatakan, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Tapi sekali dua Minggu, dia harus dibawa cek rutin ke rumah sakit."Kata dokter, dia tak boleh dipaksa untuk mengingat, biarkan semua terjadi secara alami.""Ya, bahkan dia lupa dengan Ayah, padahal waktu dia SMP, kami sempat beberapa kali bertemu."Waktu itu Ayah masih muda, masih gagah, sekarang sudah tua. Rambut putih dan kulit keriput, mana dia ingat?" sahut Ibu cepat, Ayahku hanya melirik Ibu sekilas kemudian kembali memandang ke arahku. Dia tak tertarik untuk berdebat."Setelah ini, kau akan mendapatkan kejutan yang sangat banyak, tak tertutup kemungkinan dia akan jorok kembali. Ibu tak menduga, ujian ini akan menimpa kita, padahal Ibu sudah sangat senang dengan perubahan yang ada pada Marni."Aku membenarkan ucapan Ibu, dia akan hidup dengan
POV MarniTepat setelah empat puluh hari, Ibu Mas Anto pamit ingin pulang. Dia tak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Padahal Mas Anto berharap, sang Ibu bisa tinggal bersama kami. Walaupun kami sering berseberangan pemikiran dengan Ibu, namun pada hakikatnya kami saling menyayangi."Ingat pesan-pesan Ibu, ya, Marni. Walaupun telah empat puluh hari, jangan sesekali meringan-ringankan badan. Jangan mengangkat beban berat.""Ya, Bu," sahutku. Travel yang akan mengantar Ibu ke bandara telah sampai di depan rumah kami.Ibu mencium Rayhan berkali-kali. Dia terlihat berat berpisah dengan Rayhan karena siang malam sering bersamanya."Ibu berangkat," kata Ibu setelah kami menyalami beliau."Hati-hati di jalan, Bu," sahut Mas Anto.Ibu mengangguk, mengusap kembali kepala botak Rayhan."Nenek ke kampung dulu, ya, Rayhan. Jadi anak yang baik ya, tidak boleh begadang malam."Rasanya ingin menangis melihat wajah Ibu yang tak rela berpisah dengan Rayhan.Kami menatap travel yang telah membawa I
POV Anto "Dia menangis terus," kataku pada Marni yang juga kehilangan akal mendiamkan Rayhan. Seperti biasa, Rayhan akan menghabiskan waktunya di siang hari untuk tidur, dan malamnya untuk begadang."Dia tidak mau menyusu," sahut Marni tak kalah panik.Keributan di kamar kami, memancing Ibu untuk bangun. Ibu masuk ke kamar yang memang sedikit terbuka."Ada apa?""Dia menangis terus," keluh Marni.Ibu mengambilnya, Rayhan terus saja menendang-nendang sehingga bedongnya terlepas."Kenapa tak dipakai kaus kakinya? AC kalian terlalu dingin, dia terbiasa di tempat hangat, jangan samakan bayi yang baru lahir dengan kita. Ini saja kalian tak faham."Ibu menggendong Rayhan, berjalan menuju box bayi yang terletak di samping ranjang. Marni belum pulih betul, ASI tersumbat sudah mulai keluar walaupun saat ini payudaranya masih bengkak."Popoknya juga basa," keluh Ibu. Dengan cekatan Ibu mengganti popok, memakaikan kaus kaki dan bedong baru. Tak lama setelah itu,bRayhan mulai tenang."Matikan AC
POV MarniTernyata, menjadi Ibu tidaklah mudah. Hamil yang melelahkan, melahirkan yang menyakitkan, ternyata tak hanya sampai di sana.Selain harus buang air dengan cara berdiri karena bekas jahitan yang masih basah, aku juga serasa mau menangis setiap menyusui Rayhan anak kami. Setiap dia menghisap, aku merasakan sakit yang luar biasa pada perutku, sakit yang hampir mirip dengan kontraksi melahirkan. Setelah itu, darah berbingkah akan keluar setiap kali sakit itu mereda. "Itu biasa, semakin sakit, semakin cepat rahimmu menyusut," kata Ibu dengan petuah seperti biasa. Aku hanya meringis, selain perut yang amat sakit, aku juga merasakan nyeri luar biasa di puting payudaraku. Belum lagi perih di bagian jalan lahir, setiap aku bergerak sedikit, rasanya luar biasa."Berarti kau pemalas membersihkannya saat hamil, harusnya saat hamil, puting itu dibersihkan setiap habis mandi dengan minyak zaitun, dipencet agar yang menyumbat pintu ASI-nya keluar."Aku diam saja, mungkin maksud ibu baik,
Pov AntoTak mudah ternyata menjadi Ayah. Di tengah rasa yang membuncah Karena kedatangan anggota baru, aku harus menguji nyaliku melawan rasa jijik.Setelah anak kami di mandikan dan diazankan, perawat berpesan padaku untuk membawa kain kotor bergelimang darah milik Marni. Belum lagi ari-ari yang harus dibersihkan sebelum di kubur. Aku berulang kali menelepon teman kantorku, menanyakan bagaimana cara memperlakukan benda yang sebelumnya ada di rahim Marni itu.Berulang kali juga aku menahan mual. Ya Tuhan, aku tak terbiasa dengan sesuatu yang aneh dan menjijikkan. Anggap saja aku norak, akan tetapi semua ini harus dilakukan, bukan? Hanya ada kami berdua di sini, siapa yang akan kuharapkan. Akhirnya, benda kenyal yang selebar piring dan berbentuk aneh itu, selesai kubersihkan.Bunyi HP-ku terdengar dari dalam kamar. Ari-ari itu sudah bersih dan sudah kubungkus dengan kain dan di masukkan ke dalam periuk yang terbuat dari tanah liat. Ya, perjuangan melelahkan itu berakhir juga, tinggal
Alangkah lucunya baju-baju kecil ini, aku tersenyum, membayangkan akan punya bayi sendiri itu, sangat membahagiakan.Sesaat kurasakan perutku agak mulas, hanya sebentar. Tak sampai dua menit. Setelah kurasa agak reda, aku kembali mengusap baju bayi yang dipilihkan Mas Anto. Kata Dokter, anak kami laki-laki, hal itu membuat Mas Anto amat senang. Kebanyakan warna pakaian yang dibelikan Mas Anto bewarna biru.Bagiku, laki-laki dan perempuan sama saja. Yang penting sehat jasmani dan rohani.Setelah puas memperhatikan baju-baju lucu itu, aku berencana ingin merapikan kembali rak-rak yang berisi pot bunga, menata mereka dengan cantik.Satu jam setelah itu, aku kembali merasakan perutku mulas, lebih lama dan lebih sakit dari sebelumnya. Kupegang tiang rumah untuk mencari kekuatan, apakah ini tanda akan melahirkan? Tapi kata dokter masih tiga Minggu lagi.Mungkin karena terlalu banyak bergerak, seperti pesan Mas Anto, aku tak boleh melakukan hal berat. Baiklah, mungkin dengan tidur siang akan
POV MarniSeiring berjalannya waktu, kandunganku sudah genap memasuki usia sembilan bulan. Tak ada kendala berarti selama kehamilan, bahkan Mas Anto memujiku cantik. Ah, sejak kami mengungkapkan perasaan saling mencintai, aku dan Mas Anto lebih terbuka dari sebelumnya. Kami tak lagi canggung untuk menunjukkan kemesraan kami. Seperti pujian Mas Anto yang membuat hatiku berbunga-bunga.Kami baru saja selesai jalan pagi. Sebuah kegiatan rutin yang kami lakukan setiap hari. Dimulai setelah salat subuh, kami mengitari area kompleks lalu kembali ke rumah."Kakiku pegal," kataku sambil menaikkan kedua kakiku berselonjor di atas sofa. Tanpa diminta, Mas Anto dengan cekatan memijitnya. Rasanya nyaman sekali. Kebiasaan memijit ini juga dilakukannya tiap hari setiap kami selesai jalan pagi."Semalam, aku mendengar suara gaduh di sebelah. Padahal sudah tengah malam. Lama-lama, terganggu juga punya tetangga yang selalu ribut dengan suaminya.""Iya, mereka dari dulu memang begitu. Tapi, orang di se
Aku tersentak. Di tengah kepalaku yang sakit, aku membuka mataku dan bertemu dengan tatapan Mas Anto yang kelihatan bingung. Kemudian, telingaku berdenging kembali, diikuti oleh semua bayangan yang diputar seperti kaset rusak, terakhir, jeritanku saat mendorong Mas Anto menjauhi pohon yang akan mengenainya."Marni, kau tak apa-apa?" Mas Anto menangkapku yang hampir merosot ke lantai."Mas?" tanyaku dengan suara serak. Dia menatapku bingung.Dengan semua rasa membuncah, kupeluk erat dirinya. Ingatan itu kembali utuh dalam waktu sekejap, begitu cintanya aku padanya dulu, sampai mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan nyawanya."Maaas!" Hampir seperti rengekan. Aku memeluknya makin erat, ternyata kami telah melewati banyak hal, Mas Anto telah memberikan begitu banyak waktu untukku mengingat bagaimana bergantungnya aku padanya dulu."Ada apa? Aku cemas, apa yang kau ingat?" Suara Mas Anto bergetar."Semuanya, aku sudah mengingat semuanya. Ya Tuhan, aku sudah mengingat semuanya." Keberi ja
POV MarniKami sampai di rumah adik-adikku jam enam sore. Aku dan Mas Anto sengaja ke rumah sebelum kembali ke Jawa Timur besok pagi. Setidaknya, malam ini bisa lepas kangen dengan adik-adikku. Kesempatan ini tak selalu ada, setelah sempat merasa asing dengan wujud mereka yang berubah, aku bertekad akan mendekatkan diri kembali pada mereka.Suasana rumah telah berbeda dari yang kuingat, lebih bersih dan catnya pun sudah ditukar, beberapa perabot lama sudah tak tampak lagi. Walaupun belum begitu akrab dengan wujud baru adik-adikku yang sudah besar, namun hati seorang Kakak tak bisa dibohongi, aku menyayangi mereka, sebagai seorang Kakak tertua yang dihormati dan pengganti Ibu bagi mereka."Kakak mau mandi atau makan dulu?" tanya Leni, sepertinya Leni habis berkutat di dapur, ada tiga menu sederhana yang sudah tersaji di meja makan, ikan asin digoreng dengan petai pakai cabe merah, gulai ayam dan sayur kates, menu yang sangat menggugah selera, mungkin sejak kutinggal menikah, Leni suda
POV Marni"Kakak!" Leni bergegas memelukku, diikuti oleh adik-adikku yang lain. "Ayo, duduk!" Kubimbing tangan Leni untuk duduk di karpet merah, kami duduk melingkar. Agak terpisah dengan pelayat lain."Maaf, Kak. Kami baru sampai, sulit mencari carteran mobil ke sini. Tapi untungnya, mobil bak punya Pak Tasman ada, sehingga kami sampai juga di sini.""Tak apa, bagaimana kabar kalian? Kalian sehat, kan?" "Kami sehat, Kak. Turut berduka cita, ya, Kak. Ayah Bang Anto orang yang sangat baik, bahkan saat kakak di Jawa pun, beliau sesekali datang ke rumah mengantar beras dan uang."Aku terenyuh mendengarnya. Ayah Mas Anto memang baik."Mas Anto pasti terpukul. Kita sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan Ayah ...." Leni mengambil napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Walaupun memoriku belum kembali secara utuh, tapi sepanjang ingatanku yang tersisa, Ayah kami adalah sosok yang baik."Kapan kita berziarah?" tanyaku pada Leni. Ada kerinduan yang menyesakkan di dalam dadaku."Kita tungg