Home / Romansa / Istri Nakal Mas Petani / Chapter 231 - Chapter 240

All Chapters of Istri Nakal Mas Petani: Chapter 231 - Chapter 240

281 Chapters

231. Titik Balik

“Mas pulang sekarang, Gus.” Sutrisno bangkit dari kursi dan melangkah gontai menuju pintu. Menoleh sejenak ke bagian dalam rumah untuk melihat kilasan Ajeng. Siapa tahu wanita itu akan menghampiri dan menanyakan apa ia sudah makan malam atau belum. Begitu harapannya. Ternyata tidak ada. Hanya ada Wira yang berdiri dengan wajah tak sabar hendak menutup pintu. “Mas pulang sekarang, Gus,” ulang Sutrisno.“Aku sudah bilang iya tiga kali, Mas,” sahut Wira datar-datar saja. Isi pikirannya di sisa malam itu hanya soal berbaring dan bergumulan bersama Sully. Mengingat perlakuan Sutrisno pada kakak perempuannya, membuat empati Wira menyurut.“Kalau anak-anak di sini bagaimana sekolahnya, Gus? Saras masih sekolah ….” Sutrisno memang sengaja berlama-lama di ambang pintu.“Sekolahnya Saras baik-baik aja, Mas. Seperti biasa berangkat pagi pulang siang. Kita masih tinggal di desa yang sama. Tadi Saras sudah bawa seragam. Untuk sementara Mas enggak usah khawatir.” Wira menjawab malas-malasan. “Mmm …
last updateLast Updated : 2023-03-02
Read more

232. Harusnya Berbahagia

“Tujuan kamu disekolahin sampai diploma begitu untuk apa? Untuk jadi petani? Ibu enggak mau pikiran kamu jadi ikut picik karena nikah sama anak si Gagah!”"Kamu harusnya merasa beruntung. Dari sekian banyak anak Ibu, kamu salah satu dari dua yang ibu sekolahkan di kota. Kamu kira tujuannya buat apa? Ya buat bantu-bantu keluarga.""Cari istri juga enggak pintar. Harusnya cari istri minimal kerja punya penghasilan bulanan. Bukan taunya di rumah aja nunggu penghasilan dari suami. Giliran suami enggak kerja didesak terus diminta cari kerja. Kalau kepengin duit ya harus pintar cari juga. Pintar bantu-bantu.""Pokoknya Ibu enggak mau tahu bagaimana cara kamu dapat uang tapi bukan jadi petani yang bawa pacul ke mana-mana. Atau kamu minta pekerjaan ke adiknya Ajeng. Masa, sih, adiknya enggak mau bantu ipar? Penghasilan kamu juga bakal buat ngasih makan kakak kandung dan keponakannya."Sutrisno duduk di sudut ruangan dengan sebuah kursi kayu yang sudah reot. Suasana sekelilingnya remang denga
last updateLast Updated : 2023-03-09
Read more

233. Sebuah Kesamaan

Sully tidak begitu suka kalau harus sering-sering mengunjungi dokter. Ia suka melihat bayinya di dalam sana, tapi sekaligus tidak suka memakan begitu banyak vitamin yang diresepkan. Dan juga … ada satu hal yang ia takutkan ketika dokter mengatakan sebuah kemungkinan padanya. “Setidaknya sebulan sekali ke dokter, Lis. Mas khawatir kalau kita enggak bisa lihat perkembangan bayinya. Ingat kata Dokter Masayu kemarin, kan? Kita harus memastikannya. Kalau benar, Mas bakal bikin pesta besar-besaran kalau bayi kita lahir.”Kalau menuruti Wira, setiap hari pergi ke dokter pun pria itu pasti mau. Apalagi setelah dokter menduga dalam rahim Sully terdapat dua janin. Walau baru dugaan harusnya kabar itu membawa kebahagiaan bagi mereka berdua. Nyatanya, Sully tak bisa seantusias Wira yang terus mendesak untuk rutin ke dokter.“Memangnya kamu kenapa? Sudah dengar apa kata Dokter Masayu, kan? Kok, kamu sepertinya kurang bersemangat gitu.”Di hampir bulan ketiga kehamilan Sully, Wira akhirnya bisa be
last updateLast Updated : 2023-03-11
Read more

234. Kekhawatiran Dari Masa Lalu

“Mbak Ajeng dulu begini? Maksudnya … Mbak Ajeng pernah hamil anak kembar?” Sully tak mau melepaskan tatapan dari Dokter Masayu. Ia harus mengamati perubahan wajah wanita itu. Usai merapikan pakaiannya dibantu Wira, Sully turun dari ranjang periksa dan kembali duduk di depan Dokter Masayu. “Dok, maksudnya tadi gimana ya? Saya kurang paham.”Dokter Masayu berlama-lama mencuci tangannya di wastafel, lalu melepaskan stetoskop dari lehernya sambil berjalan ke mejanya.“Mas, tanyain Dokter Masayu maksudnya apa.” Sully meraih tangan Wira dan menggenggamnya.“Untuk itu tanya ke Ajeng aja. Lebih enak karena Ajeng yang bersangkutan. Barusan saya yang salah karena ngomong gitu. Tapi ….”—Dokter Masayu menutup buku resep tanpa menuliskannya—“yang paling penting bahwa bayi kembar kalian sehat-sehat aja. Berat badan ibu normal, ukuran bayinya normal, semuanya sehat.”Sudah sempat senang di awal, lalu ikut resah karena melihat Sully resah, lalu kembali bersemangat sebegitu dikabarkan bayi mereka mema
last updateLast Updated : 2023-03-12
Read more

235. Sebagaimana Seharusnya

Sebenarnya sudah lama sekali Ajeng tidak pernah bicara dari hati ke hati dengan Sutrisno. Jauh sebelum Sutrisno emosi membabi buta dan memukulnya.Belakangan itu Sutrisno memang lebih jarang bicara. Terutama setelah membelikan Kartika sepeda motor. Saat itu Sutrisno langsung yang membawa motor itu ke rumah dan meletakkannya di teras. Kartika memekik kesenangan akan penampakan motor baru berwarna merah jambu yang mengilap memikat mata.“Makasih, Pak. Ternyata benar dibelikan. Bapak beli kredit?” tanya Kartika. Pertanyaan anak perempuan yang sederhana karena merasa kredit pasti memberatkan orang tuanya.“Bukan kredit,” jawab Sutrisno singkat. "Tapi jangan terlalu banyak cerita-cerita ke Mbah. Nanti Mbah ngomel-ngomel."Hanya percakapan pendek begitu saja. Selebihnya seorang bapak dan dua anak perempuannya mengagumi sepeda motor baru yang menjadi penghuni rumah mereka. Ajeng kemudian ikut bergabung sepulang mengantar tiga paket rantang catering ke rumah tetangga. Ia ikut tersenyum senang
last updateLast Updated : 2023-03-13
Read more

236. Luka Masa Lalu

Sutrisno sudah merasakan meriang sejak kemarin malam. Tiupan angin sedikit saja membuatnya merinding. Tubuhnya pegal-pegal dengan dada sedikit sesak. Sakit di dada itu mungkin karena lemparan tongkat Pak Effendi minggu lalu, atau bisa juga karena demam yang sedang menyambangi. Kalau biasanya ia pulang menagih cicilan hutang petani pada Pak Effendi lewat tengah hari, hari itu ia kembali lebih cepat. Ia mulai tak peduli dengan caci maki Pak Effendi dari kursi rodanya. Sejak terserang stroke dan tak berdaya di kursi roda, ketajaman lidah Pak Effendi semakin menjadi-jadi. “Harusnya kamu merasa beruntung. Kurang dibantu apa lagi coba? Mau hutang dikasih. Pekerjaan dikasih. Gaji mau tepat waktu tapi jam kerja enggak pernah ada loyalnya.” Pak Effendi terus memaki-maki saat Sutrisno meletakkan uang dan catatan hasil penagihan hari itu. “Saya enggak enak badan, Pak. Mau pulang lebih cepat hari ini.” Sutrisno melepas topinya sebelum bicara. “Alasan aja. Padahal kerjamu duduk dari warung ke wa
last updateLast Updated : 2023-03-13
Read more

237. Mertua-Menantu Beda Versi

Sebegitu sampai di rumahnya, Ajeng memarkirkan motor di depan teras lalu berjalan ke pintu samping. Mereka memang jarang mempergunakan pintu depan untuk keluar masuk sehari-hari. Dan keberadaan sepeda motor Misri di dekat motor Sutrisno membuat langkah kaki Ajeng spontan melambat.Ada rasa penasaran soal tujuan adik iparnya datang ke rumah. Apa selama ini Misri ikut mengurusi Sutrisno? Membantu mengirimkan makanan untuk Sutrisno? Apa Misri selama ini terlihat cuek pada Sutrisno hanya saat berada di depannya? Banyak pikiran baru bermunculan di benak Ajeng. Dan kemudian langkahnya yang perlahan-lahan itu menguak beberapa hal baru yang selama ini tidak ia ketahui.Ibu mertuanya sedang berada di Desa Girilayang. Wanita yang melahirkan suaminya itu memang kurang menyukainya sejak awal. Bukan ketidaksukaan yang diucapkan dengan gamblang. Kata-kata yang halus tapi selalu menusuk tepat ke sasaran.Ajeng belum melupakan ketika baru sehari tiba di rumahnya usai melahirkan Kartika. Ibu mertuanya
last updateLast Updated : 2023-03-16
Read more

238. Tak Harus Ribut-ribut

“Tapi harusnya Mbak Ajeng enggak perlu pergi dari rumah. Semua masalah ada jalan keluarnya,” kata Misri ikut menimpali.“Kali ini mungkin begini jalan keluarnya. Mbak mau tenang sebentar, Mis.” Nada bicara Ajeng sangat rendah. Berharap kalau ibu mertua dan adik iparnya akan bicara serendah itu juga.Rupanya Ibu Sutrisno menjadi lebih kesal karena jawaban Ajeng. “Kalau memang pergi dari rumah kamu anggap penyelesaian, ngapain pakai acara mampir-mampir ke sini? Kenapa enggak pisah sekalian? Suami itu harusnya dihargai keberadaannya.”Senyum Ajeng hilang sedetik, tapi kemudian kembali terkulum. Sedikit geli mendengar ocehan ibu mertua yang selama ini tidak pernah dibalasnya macam-macam. “Saya mampir ke sini karena ini rumah Bapak saya, Bu. Andai rumah ini atas nama saya, mungkin nasibnya bakal sama seperti kebun aren.”Dapur itu adalah dapurnya, pikir Ajeng. Dapur yang berada di rumah pemberian orang tuanya. Yang sampai detik itu nama kepemilikan rumah itu masih atas nama bapaknya. Bukan
last updateLast Updated : 2023-03-16
Read more

239. Antara Ipar

“Sebentar … pake jaket yang ini aja.” Wira ke belakang pintu dan mengambil jaket hitam miliknya. Jaket itu berupa training olahraga berwarna hitam dengan tiga garis di kedua sisi lengannya.Sully merentangkan tangan ketika Wira mengibaskan jaket di belakang tubuhnya. Tangannya bergantian keluar masuk mengenakan jaket hitam panjang milik suaminya itu. Dengan tangan cekatan Wira menyatukan resleting dan menaikannya sampai ke bawah dagu. Sully terbungkus sempurna dengan jaket yang hanya menyisakan sedikit bagian dasternya.“Aku begini, Mas?” Sully mengibaskan tangannya yang tenggelam di lengan jaket.Wira memegang bahu Sully dan mengamati wanita itu dari atas ke bawah. Setelah kembali merapikan letak resleting, Wira mengangguk puas. “Sudah. Kita berangkat sekarang.”“Ini panas, Mas. Gerah. Kan, ke sana pakai mobil, enggak panas-panasan. Enggak ada ketemu siapa-siapa juga. Kenapa harus dibungkus begini?” Meski protes, Sully tetap mengikuti Wira keluar rumah.Wira menenteng sepasang flat s
last updateLast Updated : 2023-03-23
Read more

240. Sama-sama Enak

“Ini bukan perkara jumlah uangnya. Karena uang jumlah segitu aku masih bisa dapat dengan mudah dari hasil kerjaku. Enggak mesti minta suami. Masalahnya kamu itu benar-benar adik dan ipar yang enggak punya perasaan. Mmm … kamu juga Bulik yang sadis. Kamu ada mikir gimana perasaan keponakanmu? Tika? Saras? Ada mikirin enggak?” Sully benar-benar meresleting dompetnya dan menyembunyikan benda itu dalam dekapannya.“Sudah, Lis. Kasih aja,” pinta Wira yang berusaha menyela omongan Sully.“Tunggu, Mas. Ini memang bukan masalah uangnya. Tapi sepuluh juta itu harusnya enggak dibebankan ke Mas Sutrisno kalau memang keinginan mendaftar caleg itu dari ibunya. Mana nagihnya untuk kebutuhan yang enggak penting-penting banget. Tega banget, sih, jadi orang?” Sully masih mengomel.Ajeng tadinya menelepon Sully karena khawatir kalau ia menelepon Wira, adiknya itu akan datang sendirian ke sana. Kalau Wira datang sendirian, adiknya bisa saja kembali bertengkar dengan Sutrisno dan menghajarnya. Dengan keh
last updateLast Updated : 2023-03-27
Read more
PREV
1
...
2223242526
...
29
DMCA.com Protection Status