Terima kasih buat kesabarannya menunggu. Maklumi karya ini yang tersendat-sendat. Kesehatan saya sedang naik turun. Sayang Boeboo semuanya. Jangan lupa kunjungi Instaaagram @juskelapa_
Sebegitu sampai di rumahnya, Ajeng memarkirkan motor di depan teras lalu berjalan ke pintu samping. Mereka memang jarang mempergunakan pintu depan untuk keluar masuk sehari-hari. Dan keberadaan sepeda motor Misri di dekat motor Sutrisno membuat langkah kaki Ajeng spontan melambat.Ada rasa penasaran soal tujuan adik iparnya datang ke rumah. Apa selama ini Misri ikut mengurusi Sutrisno? Membantu mengirimkan makanan untuk Sutrisno? Apa Misri selama ini terlihat cuek pada Sutrisno hanya saat berada di depannya? Banyak pikiran baru bermunculan di benak Ajeng. Dan kemudian langkahnya yang perlahan-lahan itu menguak beberapa hal baru yang selama ini tidak ia ketahui.Ibu mertuanya sedang berada di Desa Girilayang. Wanita yang melahirkan suaminya itu memang kurang menyukainya sejak awal. Bukan ketidaksukaan yang diucapkan dengan gamblang. Kata-kata yang halus tapi selalu menusuk tepat ke sasaran.Ajeng belum melupakan ketika baru sehari tiba di rumahnya usai melahirkan Kartika. Ibu mertuanya
“Tapi harusnya Mbak Ajeng enggak perlu pergi dari rumah. Semua masalah ada jalan keluarnya,” kata Misri ikut menimpali.“Kali ini mungkin begini jalan keluarnya. Mbak mau tenang sebentar, Mis.” Nada bicara Ajeng sangat rendah. Berharap kalau ibu mertua dan adik iparnya akan bicara serendah itu juga.Rupanya Ibu Sutrisno menjadi lebih kesal karena jawaban Ajeng. “Kalau memang pergi dari rumah kamu anggap penyelesaian, ngapain pakai acara mampir-mampir ke sini? Kenapa enggak pisah sekalian? Suami itu harusnya dihargai keberadaannya.”Senyum Ajeng hilang sedetik, tapi kemudian kembali terkulum. Sedikit geli mendengar ocehan ibu mertua yang selama ini tidak pernah dibalasnya macam-macam. “Saya mampir ke sini karena ini rumah Bapak saya, Bu. Andai rumah ini atas nama saya, mungkin nasibnya bakal sama seperti kebun aren.”Dapur itu adalah dapurnya, pikir Ajeng. Dapur yang berada di rumah pemberian orang tuanya. Yang sampai detik itu nama kepemilikan rumah itu masih atas nama bapaknya. Bukan
“Sebentar … pake jaket yang ini aja.” Wira ke belakang pintu dan mengambil jaket hitam miliknya. Jaket itu berupa training olahraga berwarna hitam dengan tiga garis di kedua sisi lengannya.Sully merentangkan tangan ketika Wira mengibaskan jaket di belakang tubuhnya. Tangannya bergantian keluar masuk mengenakan jaket hitam panjang milik suaminya itu. Dengan tangan cekatan Wira menyatukan resleting dan menaikannya sampai ke bawah dagu. Sully terbungkus sempurna dengan jaket yang hanya menyisakan sedikit bagian dasternya.“Aku begini, Mas?” Sully mengibaskan tangannya yang tenggelam di lengan jaket.Wira memegang bahu Sully dan mengamati wanita itu dari atas ke bawah. Setelah kembali merapikan letak resleting, Wira mengangguk puas. “Sudah. Kita berangkat sekarang.”“Ini panas, Mas. Gerah. Kan, ke sana pakai mobil, enggak panas-panasan. Enggak ada ketemu siapa-siapa juga. Kenapa harus dibungkus begini?” Meski protes, Sully tetap mengikuti Wira keluar rumah.Wira menenteng sepasang flat s
“Ini bukan perkara jumlah uangnya. Karena uang jumlah segitu aku masih bisa dapat dengan mudah dari hasil kerjaku. Enggak mesti minta suami. Masalahnya kamu itu benar-benar adik dan ipar yang enggak punya perasaan. Mmm … kamu juga Bulik yang sadis. Kamu ada mikir gimana perasaan keponakanmu? Tika? Saras? Ada mikirin enggak?” Sully benar-benar meresleting dompetnya dan menyembunyikan benda itu dalam dekapannya.“Sudah, Lis. Kasih aja,” pinta Wira yang berusaha menyela omongan Sully.“Tunggu, Mas. Ini memang bukan masalah uangnya. Tapi sepuluh juta itu harusnya enggak dibebankan ke Mas Sutrisno kalau memang keinginan mendaftar caleg itu dari ibunya. Mana nagihnya untuk kebutuhan yang enggak penting-penting banget. Tega banget, sih, jadi orang?” Sully masih mengomel.Ajeng tadinya menelepon Sully karena khawatir kalau ia menelepon Wira, adiknya itu akan datang sendirian ke sana. Kalau Wira datang sendirian, adiknya bisa saja kembali bertengkar dengan Sutrisno dan menghajarnya. Dengan keh
Sebenarnya kegaduhan yang terjadi di depan warung pecel ayam Yu Min belum ada apa-apanya dibanding masalah yang sudah dilalui Wira sepanjang kepulangannya ke Desa Girilayang. Intervensi tengkulak paling berkuasa dan kaya, hampir dijodohkan dengan anak tengkulak, menikah dengan wanita yang baru beberapa jam dikenalnya, kebun arennya yang disabotase, berangkat ke Riau untuk melepaskan jabatan, menjual saham, menyadari perasaan yang tumbuh pada wanita yang menjadi istrinya, malam pertama di perumahan perkebunan, sampai akhirnya ia kembali ke Desa Girilayang membangun pabrik dan kembali mendapat serangan dari pesaing. Bagi Wira, tak ada hidup yang mudah. Semua kebahagiaan harus diperjuangkan. Semua kenikmatan harus diusahakan. Tak yang didapat hanya dengan berpangku tangan. Meski semua kesulitan dalam hidupnya. Dan detik itu ia harus mengusahakan sebuah ketenangan hidup lagi buatnya. Nasib Wira sebagai seorang calon ayah sedang dipertaruhkan. Statusnya sebagai seorang suami siaga sedang
“Yu Min tadi mana?” tanya Sully saat tiba di dapur. Ia baru menyadari dapur yang tadi riuh ramai mendadak sepi.“Yu Min baru pulang. Semua resep sambal dan ayam goreng sudah diberikan langsung oleh si empunya. Sulis bisa makan sekarang.” Ajeng yang kembali muncul di dapur langsung menuju meja makan dan membuka tudung saji. “Bapak ikut makan, ya.”Pak Gagah memang muncul di pintu belakang hampir bersamaan dengan Wira menggeser kursi.“Makan sama-sama, Pak,” ajak Wira.“Tika dan Saras ke mana? Enggak ikut makan?” Bagi Pak Gagah kehadiran dua cucu perempuannya sudah melengkapi sekeliling meja makan meski tanpa menantu laki-laki yang sedang ia berikan waktu merenung. Pak Gagah sedang tak ingin tahu apa yang terjadi di rumah anak perempuannya beberapa saat yang lalu.Ajeng meringis tanpa terlihat siapa pun. Tangannya sibuk memindahkan nasi dari penanak ke sebuah bakul kecil terbuat dari bambu. “Tika dan Saras di rumah, Pak. Waktu ditinggal tadi mereka lagi ngobrol sama bapaknya. Kalau yang
Kemarin-kemarin untuk memulai sebuah percintaan yang biasa mereka lakukan memang sedikit sulit buat Sully. Ia kerap mengulur-ulur waktu yang biasanya berakhir dengan dirinya atau Wira yang jatuh tertidur lebih dulu. Atau ketika percintaan itu terjadi malah seringnya ketika Sully yang menginginkannya lebih dulu. Itu pun ia tidak benar-benar melakukannya. Biasanya Sully hanya bercumbu dengan saling menyentuh dan mencium, lalu diakhiri dengan ia sendiri yang memanjakan Wira dengan hal yang ia pelajari dari koleksi video cabul dulunya. Wira tetap bisa mengerang dan mencapai puncak kenikmatan melalui kelihaian tangan dan kecupannya. Namun, tetap saja Wira adalah seorang lelaki menikah yang menginginkan sesi percintaan utuh dan sempurna. Wira paham bahwa keresahan dan kondisi tubuh yang sering dikatakan Sully semakin membengkak turut mengendurkan kepercayaan diri wanita itu. Ditambah dengan kekhawatiran soal kesehatan bayi kembar yang dikandungnya, menjadikan Sully benar-benar protektif te
Wira dan Sully melepaskan kerinduan itu dengan sama besarnya. Desahan yang bersahutan, erangan yang bergantian, napas kasar yang diembuskan ke leher satu sama lain ketika berdekapan, membuat penyatuan pertama malam itu terasa semakin sempurna.“Aduh, Mas. Aku enggak tahan,” erang Sully. Telapak tangan Wira yang pelan-pelan membantunya menggerakkan pinggul malah membuatnya tak sabar. Ritme itu terlalu lambat untuk membawanya ke puncak kenikmatan yang sesungguhnya. “Sedikit lagi.” Sully mengangkat pinggul untuk mendekap Wira lebih erat. Ia juga sadar bahwa Wira pasti tak sabar. Tentu saja seperti biasa. Wira tetap harus menunggunya selesai dengan semua kenikmatan yang ingin ia dapatkan barulah pria itu boleh berbuat sesuka hati untuk mencapai klimaksnya.Gaya bercinta itu sangat jarang mereka gunakan belakangan ini. Sully sering tidak tahan menerima dorongan yang terasa amat memenuhi dirinya. Namun berbeda dengan malam itu. Entah kenapa ia merasa hasratnya bergejolak lebih hebat dari bi
Halo ....Selamat pagi Boeboo tersayang pembaca juskelapa. Semoga semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.Di sini saya mau menginformasikan bahwa novel ISTRI NAKAL MAS PETANI sudah tamat di Bab 280. Apabila kemarin ada penulisan TO BE CONTINUED di akhir bab 280 itu adalah kesalahan penulisan dan error revisi yang terlalu lama. Jangan lupa aplikasinya di-update agar mendapat tampilan terbaru dari GOODNOVEL yang semakin kece ya. Nantinya ISTRI NAKAL MAS PETANI akan diberi bonus chapter di saat kita semua sudah rindu.Kabar gembira giveaway-nya adalah MAS WIRA & SULIS akan memberikan merchandise sederhana untuk 50 orang pertama di peringkat GEMS 1-50. Bagi yang namanya tertera di peringkat tersebut bisa mengirimkan alamat ke :ADMIN JUSKELAPA melalui pesan singkat dengan nomor 0 8 2 2 -5 7 8 5-1 2 3 8 dengan menyertakan tangkapan layar peringkat GEMS (vote).AtauBisa kirim pesan melalui sosial media inssstagram ketik : juskelapa_ di pencarian. Buat yang belum beruntung bisa men
Pak Gagah ikut mengangkat gelas teh dan meneguk isinya hampir setengah. Baru menyadari nikmat bertukar cerita yang selama ini diamatinya pada kaum perempuan ternyata juga bisa ia rasakan. Sungguh Pak Gagah ataupun Pak Mangun tidak pernah menyangka bahwa hal yang mereka anggap sebagai tindakan tercela bisa mereka ubah menjadi sesuatu yang membawa masa depan baik untuk desa. “Kamu memang tidak berniat menjodohkan Bagus dan Ratna, kan, Gah?” Pak Mangun meletakkan cangklong di sudut bibirnya. Pak Gagah menggeleng-geleng. “Tidak…tidak. Aku tahu maksud Effendi menekan Ajeng soal hutang dan sertifikat kebun pasti berkaitan dengan Bagus. Ratna itu mondar-mandir terus di dekat rumah sini. Setiap berpapasan jalan yang ditanya Bagus. Tapi Bagus, kan, di Riau.” Pak Mangun tergelak. “Oh, sekarang aku ingat. Karena Ratna sering ke sini kamu jadi kepikiran ide buat ngomong kalau Bagus dijodohkan dengan Ratna.” “Alasan perjodohan itu ditambah dengan banyaknya petani yang terjerat hutang di Effend
Desa Girilayang itu terletak di kaki Merapi. Awalnya desa itu hanya berisi 12 kepala keluarga dengan 34 jiwa. Kakek buyut Pak Mangun dan Pak Gagah disebut-sebut sebagai orang pertama yang tinggal di desa itu untuk pertama kalinya. Secara geografis Desa Girilayang merupakan sebuah punggung bukit yang diisolasi oleh dua jurang di sisi sebelah barat dan timur. Itu sebabnya sebelum pembangunan jembatan seluruh warga desa harus berjalan memutari bukit dan cukup lama berada di jalan untuk bisa sampai ke kota.Pada sebuah peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia Wira pernah menyampaikan pidatonya yang mengatakan bahwa Desa Girilayang adalah tempat di mana semua warganya menjaga adat istiadat yang merupakan warisan leluhur. Juga melestarikan tempat-tempat wisata sejarah berikut pemandangan alam cantiknya untuk mendongkrak kemajuan desa dalam bidang pariwisata.Semua orang setuju dengan apa yang disampaikan Wira dan setuju dengan apa yang dilakukan Kepala Desa Girilayang terpilih itu u
Morning sickness yang dialami Sully berlangsung sampai kehamilannya menginjak usia delapan bulan. Sully mulai kuat terhadap bau-bauan dan bisa makan dalam porsi yang lebih banyak. Jika sebelumnya ia sulit menelan air dingin, masuk bulan kedelapan Sully sudah bisa memanjakan lidahnya dengan es teh manis. Seluruh keluarga besar Pak Gagah ikut senang dengan perubahan baik itu. Sully yang ceria sudah kembali. Pagi hari Sully ikut mendampingi anak-anaknya mandi dan makan. Kerjanya tak hanya bergulung di ranjang saja. Sully sudah mulai rajin seperti biasa. Ia juga mulai menggoda Wira dengan meremas bokongnya atau menggaruk perut pria itu. Wira menyambut bahagia godaan-godaan Sully. Sudah cukup lama pemenuhan kebutuhan batinnya berdasar mood istrinya itu. Menunggu belas kasihan Sully yang mau memberikan dengan sukarela tanpa mulut mengerucut. Memasuki bulan kedelapan mereka sudah kembali bercinta dengan hangat. Kehamilan yang terbebas dari morning sickness, tiga anak laki-lakinya sehat, pa
Kedatangan keluarga Pak Gagah yang hanya berjarak seminggu sebelum pesta pernikahan Oky membuat Pak Anwar menyusun agenda sepadat mungkin untuk mengajak besan berkeliling kampunghalamannya.Hal pertama yang dilakukan Pak Anwar adalah mengajak Pak Gagah melihat kebun kelapa Sully yang dibelikan Wira. Dalam perjalanan menuju kebun itu tak lupa Pak Anwar menunjukkan jalan hasil pengaspalan yang didanai oleh Wira.“Lihat seberapa panjangnya jalan menuju ke kebun kelapa ini, kan? Nah, ini semua Bagus yang mengaspal. Warga yang sudah lama mengharapkan perbaikan jalan bisa ikut menikmati yang dilakukan Bagus. Apa yang dilakukannya ini membawa banyak kebaikan. Bahkan warga yang tidak kenal Bagus secara pribadi malah mengenal namanya. Pernah sekali waktu saya ke kebun kelapa, ada seorang pria yang baru pulang merantau menanyakan soal jalan yang bagus. Orang tuanya langsung mengatakan jalan ini diaspal menantunya Pak Anwar. Namanya Bagus.” Pak Anwar terkekeh-kekeh senang saat menceritakan kisah
Rombongan itu benar-benar ramai. Tiga generasi melalui perjalanan panjang berpindah-pindah moda transportasi. Pak Gagah yang sudah lama tidak melancong jauh bangun paling pagi dibanding yang lain. Pria tua itu mengecek semua bawaan mereka untuk kesekian kalinya.Perjalanan hari itu dimulai dengan Asmari dan seorang supir dari pabrik yang diminta mengantar ke bandara.“Asmari ikut juga, kan, Gus? Masa Hendro resepsi Asmari enggak ikut?” Belum apa-apa Pak Gagah sudah protes karena Asmari yang belakangan dekat dengan Hendro tidak terlihat memiliki tentengan.“Asmari ikut, Pak. Nanti setelah mengantar kita ke terminal keberangkatan dia titip mobil di parkir inap bandara. Asmari berangkatnya satu pesawat bersama Pretty dan ibunya.” Wira baru saja melepas Asmari untuk meletakkan mobil di parkir inap. Pak Gagah yang sedang menggendong Bima pun sepertinya masih punya banyak waktu untuk memperhatikan orang sekitar.“Bapak capek? Bima bisa diletak dulu di stroller. Gantian sama Tika. Dari tadi
Dan bukan Sully namanya kalau segala yang ia lakukan tidak menimbulkan kehebohan orang sekeliling. Malam itu setelah mengutarakan keinginannya dengan cara merajuk, Wira menyanggupi semua hal yang akan dilakukan oleh istrinya itu agar mereka mendapatkan seorang bayi perempuan.Pertama-tama mereka berdua mendatangi praktek Dokter Masayu untuk berkonsultasi. Sully santai saja saat mengutarakan keinginannya. Raut dan gesture-nya sangat percaya diri seperti biasa. Terutama saat Dokter Masayu bertanya, “Sulis sudah mau program bayi perempuan? Awang belum dua bulan.” Dokter Masayu mengingatkan.Wira yang masih mengenakan seragam cokelat mengangguk yakin. “Katanya mau sekarang aja, Dok. Biar sekalian aja.”“Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti gitu, Dok. Kemarin hamilnya Awang juga bisa secepat itu. Saya mau tahu tips-tips khusus buat hamil anak perempuan.” Sully bicara dengan kedua tangannya yang melingkari lengan Wira. Ia sudah tidak peduli lagi dengan komentar ketiga kakaknya. Karena jik
Bisa dibilang Sully memasuki masa sedang repot-repotnya. Ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi Wira hadir sendirian. Ulang tahun pabrik yang harusnya bersamaan dengan ulang tahun si kembar ternyata perayaannya harus dilewatkan karena Sully baru melahirkan putra ketiganya.Putra ketiga Sully dan Wira lahir di bulan yang sama dengan kelahiran Bima dan Sakti. Dan keluarga Sully kembali datang dengan formasi yang sama. Sari; kakak Sully adalah orang yang pertama kali tertawa terbahak-bahak setelah mengetahui kehamilan adiknya.Dan hari itu, satu bulan setelah Sully melahirkan Sari kembali datang dengan anak bungsunya yang mulai belajar jalan. Dari ketiga kakak Sully, Sari pulalah yang menggendong putra ketiga adiknya itu sambil mengatakan, “Selamat datang putra ketiga adikku yang dulunya setiap hari ngomong jangan banyak anak.”Karena itu Sully mengerucutkan bibir memandang kakaknya.Keramaian ulang tahun pertama pabrik pengolahan aren PT. Putra Pertiwi memang senga
Sully sudah melupakan tentang percintaan sore yang dilakukannya dengan penuh semangat dan keringat. Fokusnya sementara hanya tertuju merawat putra kembarnya dan mengerjakan dua tawaran endorsement yang sudah ia sanggupi. Ada dua iklan yang videonya sedang mereka garap. Pil pelancar ASI dan produk korset pelangsing perut. Kedua endorsement itu diterima Sully dengan penuh suka cita. Terlebih tenaga ‘babysitter’ si kembar masih melimpah ruah.Semua orang di rumah sedang berlomba-lomba menjadi sosok yang paling bisa menaklukkan hati si kembar. Semua ingin mendapat sebutan orang yang paling bisa membuat si kembar langsung tenang saat menangis. Termasuk Pak Anwar dan Bu Dahlia yang biasanya sering berdebat kecil. Suami istri itu kini terlihat kompak menjaga cucu laki-laki dari anak bungsu mereka.“Kita harus sering-sering bikin konsep video begini. Biaya produksinya kecil, mengedukasi, juga anti ribet-ribet klub.” Sully sedang membereskan kotak make-upnya.“Konsepnya emang bagus, tapi nggak