Home / Romansa / PUTRI BUNIAN YANG TERNODA / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of PUTRI BUNIAN YANG TERNODA: Chapter 1 - Chapter 10

24 Chapters

PART SATU

KEMBANG DESA YANG TERNODA Suatu malam di tahun 1900 Awan hitam mulai menutupi semburat kemerahan di langit Lereng Gunung Marapi. Suasana kampung gelap gulita, kecuali di halaman rumah Nasir, sebagian warga berkumpul dengan amarah yang membuat gelap hati mereka. Mereka  sedang merencanakan pembunuhan terhadap Nurlaila, seorang wanita yang katanya adalah gundik Belanda. “Sudah jelaslah bagi Tuan-Tuan semua. Perempuan tu ada hubungan khusus dengan Belanda. Lihatlah anak yang dilahirkannya. Bermata biru khas Belanda.” Nasir, seorang laki-laki yang belakangan getol memprovokasi warga angkat bicara dengan gaya pongahnya. Warga yang sudah melihat sendiri bagaimana rupa Bayi Nurlaila, mengangguk-angguk di bawah penerangan obor dalam genggaman mereka. Di kampung itu, siapa saja yang keluar rumah pastilah membawa sebuah obor yang terbuat dari bambu sebagai penerang jalan. Nurlaila belakangan memang jarang keluar rumah. Terakhir kel
Read more

PART DUA

KEMBANG DESA YANG TERNODAPART 2 “Hmm, tak ada malu kau menampakkan muka di sini! Gund*k Penjajah!” bentak Nasir menunjuk Nurlaila dengan tangan kirinya. Antara rasa ragu dan keinginan ingin terlihat benar di hadapan warga.“Ambo ingin meluruskan semuanya.  Ambo ndak pernah bersekutu dengan Belanda. Semua tuduhan Tuan-tuan adalah fitnah.” Bergetar suara Nurlaila berbicara di antara kerumunan warga yang kebanyakan adalah laki-laki.“Jangan munafik, Nur! Semua orang tau kalau Belanda tu sering keluar masuk rumah kau. Kalau kau ndak bersekutu dengan mereka, lalu anak yang kau lahirkan tu anak siapo? Anak setan?” sahut Nasir sembari mengangkat dagunya. Kali ini ia merasa percaya diri karena meyakini sudah mendapatkan hampir seluruh kepercayaan warga.“Astaqfirullah. Berhentilah kau mengaji di surau tu! Percuma tiap hari suara kau sampai ke langit sana mengaji di sana
Read more

PART TIGA

KEMBANG DESA YANG TERNODAPART 3Sungguh kejam kalian memperlakukan anakku seperti binatang, batin Nek Kamsiah mengutuk, air matanya merebak di kedua pipi, membayangkan sakit yang ditanggung Nurlaila. Tak ia sangka putri semata wayangnya yang ia manja bak ratu itu meregang nyawa dengan cara sesadis itu.Ternyata amarah mereka belum juga tuntas. Tidak lama kemudian, terdengar sorak sorai warga berjalan menuju rumah panggung Nek Kamsiah. Warga yang tadinya berkumpul di halaman rumah Nasir, berpindah ke rumah Nek Kamsiah. Saat ini, wanita tua itu bisa melihat dengan jelas pemandangan di sana, karena ia berada di dataran yang lebih tinggi.“Musnahkan antek penjajah!” Bergemah suara Nasir menyulut emosi warga. Berkali-kali ia ucapkan kalimat provokasi itu.Jerigen minyak tanah yang ia ambil sebelumnya dari rumahnya serta merta ia lempar ke  rumah Nek Kamsiah yang dindingnya te
Read more

PART EMPAT

KEMBANG DESA YANG TERNODAPART 4“Da, apa ndak sebaiknya awak lanjutkan besok saja?” usuk Izan, salah satu pemuda yang ikut mencari Nek Kamsiah. Ia sebenarnya ragu masuk ke hutan itu, tapi paksaan dari Nasir membuatnya mau tak mau harus ikut juga.“Jika menunggu besok bisa-bisa kehilangan jejak awak, Zan. Kau laki-laki, tapi cepat menyerah,” ledek Nasir sambil memukul pundak Izan, hingga pemuda itu bergeser dari tempat berdirinya.“Bukannya menyerah, Da. Susah mencari orang di hutan seluas ni, apalagi dalam keadaan gelap serupa ni, bukan Inyiak Kamsiah nanti yang akan awak temukan, Da, tapi inyiak balang (harimau).” Ocehan Izan langsung disambut dengan gelak tawa oleh orang-orang yang berada di sana.“Sstt, jangan sebut-sebut nama tu, nanti dia ke sini.” Salah seorang warga mengingatkan sembari meletakkan jari telunjuk di bibirnya. Warga yang tadi tertawa
Read more

PART LIMA

KEMBANG DESA YANG TERNODAPART 5Saat sudah menginjakkan kaki di bagian dalam gua, tiba-tiba beterbanganlah segerombolan kelelawar menabrak muka mereka. Mungkin hewan itu kaget karena sarang mereka tiba-tiba diterpa cahaya obor. Siyon dan teman-temannya lari kocar kacir mencari jalan ke luar.Bagai ditalu-talu jantung Nek Kamsiah mendengar teriakan mereka, seperti sudah di balik telinganya. Apalagi cucunya sempat kaget dan menggeliat. Menyadari Siyon dan teman-temannya berteriak karena ketakutan, sedikit tenang hati Nek Kamsiah. Hal itulah yang membuatnya merasa yakin gua itu aman dijadikan tempat persembunyian. Karena butuh nyali besar untuk masuk ke dalam sana.Dalam ketenangan itu, tiba-tiba Nek Kamsiah tertegun. Ia merasakan ada sesuatu yang bergerak menjalar dan mendesis di kaki telanjangnya. Bercucuran keringat dinginnya menahan takut. Saat itu ia yakin,  bergerak sedikit saja bisa membahayakan nya
Read more

PART ENAM

Secepat kilat Nek Kamsiah membawa lagi bayi itu ke gendongannya. Ia tangkupkan bayi itu ke dadanya, lalu ditepuk-tepuknya bokong sang bayi. Bukannya diam, tangisannya malah semakin keras. Mengerti cucunya kehausan, Nek Kamsiah memasukkan ibu jari bayi itu ke mulutnya. Sejenak ia diam, menghisap ibu jari sendiri. Namun, tidak lama kemudian, tangisnya pecah lagi. Mungkin karena jari yang ia kira bisa melepas dahaganya tak juga kunjung mengeluarkan ASI.Bersiap Nek Kamsiah keluar dari pondok untuk mencari air, sebelum keberadaan mereka tercium oleh Nasir. Ia kuatkan lagi ikatan tingkuluaknya yang sudah mulai longgar di tubuh sang bayi. Ia takut cucunya akan masuk angin. Saat membuka pintu pondok, terkesiap Nek Kamsiah mendapati di depan sana berdiri Nasir dan teman-temannya, menatap dengan seringai miring. Rupanya tangisan sang bayi  menjadi petunjuk keberadaan Nek Kamsiah. “Serahkan sajalah bayi tu, Nyiak. Jang
Read more

PART TUJUH

“Apakah sudah kau bunuh Nurlaila dan keluarganya?” tanya Edrik pada Nasir  saat Nasir berkunjung ke benteng pertahanan Belanda di Batusangkar yang terletak di pusat kota. Pagi-pagi sekali, Nasir sudah berpakaian rapi demi mengunjungi Edrik.“Eeee Nurlaila dan Kamsiah sudah mati, Tuan. Anaknya untuk sementara dalam pengasuhan istri ambo. Mirip betul anak itu dengan Tuan, terlebih warna mata dan rambutnya. Sayang betul Istri ambo pada anak Tuan tu, benar-benar dirawatnya dengan baik,” jawab Nasir dengan mata berbinar-binar. Ia bermaksud menyenangkan hati tuannya. Kembang kempis hidungnya karena merasa bangga dengan pekerjaannya.“Kurang ajar,” hardik Edrik dalam Bahasa Belanda sambil menggebrak meja, hingga jatuh berserakanlah gelas yang ada di meja itu. Wajahnya merah padam menatap Nasir penuh amarah. Nasir yang duduk di depan orang Belanda itu terlonjak kaget melihat amukan Edrik. “Kenapa tak kau bunuh sekalian bayi itu?&r
Read more

PART DELAPAN

Keesokan harinya, dua orang suruhan Nasir menjemput bayi Nurlaila. “Kalian bunuh dengan ini, atau kubur saja hidup-hidup!” Nasir menyodorkan sebilah pisau yang sebelumnya sudah ia asah. Pastilah mampu memutus leher sang bayi dalam satu tebatas saja, saking berkilaunya mata pisau itu. Siyon dan Munir saling berpandangan. Siyon bergegas meraih pisau yang disodorkan Nasir. Ia mengangguk takzim terhadap tuannya itu. Baginya, melaksanakan perintah Nasir adalah sesuatu yang membanggakan. Layaknya prajurit menjalankan perintah panglimanya. Segala hajatnya akan ia tunda. Bahkan, tubuhnya yang masih penuh luka karena diseruduk induk babi tempo hari ia abaikan demi menerima amanah Nasir. Nasir pun tau kesetiaan Siyon. Itu sebabnya Siyonlah orang pertama yang ia panggil untuk melancarkan misinya. Sedangkan Munir tak yakin bisa tega membunuh bayi tak berdosa itu. Sungguh pun ia anak Belanda yang telah membunuh keluarga m
Read more

PART SEMBILAN

Pelan Nek Kamsiah membuka kedua kelopak matanyanya yang terasa berat. Tidak ada sedikit pun cahaya  yang tertangkap oleh korneanya, hingga membuat wanita tua itu memutuskan menutup netra kembali. Badannya terasa remuk redam, bagai diinjak berton-ton beban berat.  Namun, Ia masih mengingat dengan pasti insiden yang terakhir kali dialaminya. Bagaimana Nasir menyiksanya dengan arogan hingga ia tak sadarkan diri. Lebih getir dari itu, masih lekat di ingatannya bagaimana putri Nurlaila diregang paksa dari dekapannya. Lalu dibawa pergi entah ke mana. Apakah ini alam kubur? Ia membatin. Perlahan ia menggerakkan jemarinya yang lemah. Jari-jari yang sudah tersumbur urat-urat kasar. Ia lalu menggoyang-goyang pelan kedua kakinya, masih dalam kondisi mata terpejam.  Beratnya penyiksaan Nasir, membuatnya sangsi bahwa ia masih hidup. “Dewi … pencuri itu sudah bangun,” teriak seorang
Read more

PART SEPULUH

“Apa syaratnya?” tanya Nek Kamsiah penasaran. Sepasang matanya berpendar, seperti mendapat angin segar. “Jika inyiak memutuskan untuk tinggal selamanya di sini, maka Inyiak indak bisa lagi berinteraksi dengan manusia. Fisik inyiak akan berubah seperti kami. Inyiak akan menjadi kasat mata dan hanya bisa dilihat oleh sesama bangsa bunian. Namun, seandainya Inyiak memilih  kembali ke bangsa manusia, maka ambo akan menghilangkan ingatan tentang istana bangsa bunian dari kepala inyiak. Inyiak bisa melanjutkan kembali hidup sebagai manusia biasa.” Lama Nek Kamsiah tercenung. Pilihan itu membuatnya seperti makan buah simalakama. Jika memilih untuk tinggal di istana yang menjanjikan segala kenikmatan, ia tidak bisa membalaskan dendamnya kepada Nasir dan semua orang yang telah menyakitinya. Namun, jika kembali ke kehidupan manusia, ia pun tak yakin bisa melawan Nasir dengan kondisi tubuh yang kian rentah. 
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status