Keesokan harinya, dua orang suruhan Nasir menjemput bayi Nurlaila.
“Kalian bunuh dengan ini, atau kubur saja hidup-hidup!” Nasir menyodorkan sebilah pisau yang sebelumnya sudah ia asah. Pastilah mampu memutus leher sang bayi dalam satu tebatas saja, saking berkilaunya mata pisau itu.
Siyon dan Munir saling berpandangan. Siyon bergegas meraih pisau yang disodorkan Nasir. Ia mengangguk takzim terhadap tuannya itu. Baginya, melaksanakan perintah Nasir adalah sesuatu yang membanggakan. Layaknya prajurit menjalankan perintah panglimanya. Segala hajatnya akan ia tunda. Bahkan, tubuhnya yang masih penuh luka karena diseruduk induk babi tempo hari ia abaikan demi menerima amanah Nasir. Nasir pun tau kesetiaan Siyon. Itu sebabnya Siyonlah orang pertama yang ia panggil untuk melancarkan misinya.
Sedangkan Munir tak yakin bisa tega membunuh bayi tak berdosa itu. Sungguh pun ia anak Belanda yang telah membunuh keluarga mereka tempo hari, tetapi bayi itu tetaplah suci. Tak ada hubungannya dengan dosa yang telah dilakukan orang tuanya.
“Bawa anak haram tu dari sini, ndak sudi lagi Imus menjaganya!” ketus Imus sembari memberikan bayi itu kepada Munir dengan kasar. Jemarinya ia tepuk-tepuk setelah melepas sang bayi ke tangan Munir, mengekspresikan rasa jijiknya. Ia melengos, lalu berlalu ke dalam kamarnya. Dari tadi malam, perempuan judes itu enggan menjaga bayi Nurlaila karena ia tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari Belanda.
Bergetar tangan Munir menerimanya. Selain tak tega, ia baru pertama kali menggendong bayi sekecil itu. Terlebih dalam kondisi seperti ini.
“T-tapi, Da, apa ndak terlalu kejam kalau awak membunuh bayi tak berdosa ni?” protes Munir.
“Alah, Belanda tu membunuh saudara awak ndak pernah memikirkan dosa. Mengapa pula awak harus bicara dosa terhadap keturunannya? Sudahlah Nir, jangan banyak protes, ini demi keamanan awak dan seluruh warga di nagari ni. Malah awak akan dianggap sebagai pahlawan karena membunuh musuh. Surga nanti menanti awak,” kilah Nasir, seenaknya menjanjikan surga, seperti surga itu punya bapaknya.
“Kenapa ndak Uda saja yang melakukannya?” tanya Munir masih diselimuti perasaan ragu. Pemuda berkulit hitam dan bertubuh pendek itu ingin menolaknya, tetapi ia takut jika Nasir murka.
“Ambo ingin berkunjung ke Nagari lain, ingin membicarakan dengan tetua-tetua Nagari lain bagaimana awak bisa lepas dari penjajahan ni. Ndak sanggup lagi Ambo melihat hasil panen orang-orang di nagari awak di ambil paksa Belanda. Nyawa saudara-saudara awak seakan ndak berharga di tangan Belanda tu. Ndak inginkah kalian awak cepat merdeka?” jawab Nasir berbohong. Ia malah sebenarnya akan pergi menemui tuannya, Edrik. Untuk melaporkan kejadian-kejadian baru di nagarinya yang membahayakan kedudukan Belanda di sana.
Dalih Nasir membuat Munir dan Siyon mau tak mau mengikuti perintahnya. Segera mereka melangkahkan kaki menuju hutan. Rencananya mereka akan mengeksekusi bayi itu di hutan, jauh dari keramaian.
“Apak, kenapa adik tu dibawa pergi?” Berkaca-kaca mata Usmar—anaknya Nasir—sembari menarik-narik celana bapaknya. “Biarkan saja adik kecil tu di sini, Pak. Biar bisa main dengan Uus,” lanjutnya lagi mendesak agar Nasir mengambil bayi itu kembali. Ia belum mengerti apa pun.
Memang semenjak ada anak Nurlaila di sana, Usmar begitu gembira. Ia selalu berada di samping sang bayi, melihat bagaimana Imus merawatnya. Kadang ia menyuapinya dengan pisang yang dikerik, meniru apa yang dilakukan Imus—ibunya. Usmar juga jadi betah di rumah. Padahal, biasanya dari pagi ia selalu bermain di halaman surau atau pun berlari-larian keliling kampung bersama teman-teman sebayanya.
“Eh, besok kita minta adik baru pada amak, ya. Ayo masuk … ayo masuk!”
***
“Da, apa Uda tega melakukannya?” tanya Munir kepada Siyon saat mereka sudah memasuki hutan. Munir tak henti-hentinya menatap wajah bayi itu. Bayi dengan iris mata berwarna biru itu dari tadi menatapnya seolah meminta perlindungan. Tangan mungilnya keluar dari bedong. Lalu menggapai-gapai lengan baju Munir, membuatnya semakin tak tega.
“Yaaa, mau bagaimana lagi, Nir. Ada benarnya juga perkataan Uda Nasir tu. Membesarkan anak ni sama saja dengan membesarkan anak ular. Dia besar, awak dimakannya tu. Lebih baik dibunuh dari sekarang,” ucapnya enteng.
“Ambo ndak berani, Da. Uda lakukan sajalah sendiri. Ndak tega ambo melakukannya. Terbayang di mata ambo jika anak ni adalah anak ambo sendiri,” ucap Munir. Berkaca matanya sambil mencium kening bayi dalam gendongannya. Mengerjap bayi itu saat dicium oleh Munir. Wajahnya yang menggemaskan membuat hati pemuda itu semakin terenyuh.
“Percuma kumis tebal tu kau pelihara sampai menutup bibir, jika punya hati macam kerupuk, mana pulalah bisa kau membayangkan rasanya punya anak sedangkan kau sendiri belum mencicipi bagaimana nikmatnya ‘yang setumpuk’ tu,” seringai Siyon mengejek Munir yang memang belum menikah.
“Terserah penilaian Udalah. Awak benar-benar ndak sanggup, Da.” Ia menyerahkan Bayi itu ke tangan Siyon. Jikalau bukan karena takut dengan Nasir dan warga lainnya, ia akan membawa pulang lagi bayi itu.
“Janganlah penakut seperti itu! kalau kau ndak mau membunuhnya, biar Uda yang lakukan, tapi antarkan Uda sampai ke bukit dekat gua tu. Di situ awak kerjakan, bangkainya bisa dimakan binatang buas, biar ndak bertambah kerja awak menggali-gali tanah,” bujuk Siyon, ia enggan menggendong bayi Nurlaila.
“Atau kalau anak ni kita letakkan saja di sana bagaimana, Da? Tidak perlulah uda sampai menebas lehernya,” tawar Munir lagi. Tersentuh hatinya mendengar tangis sang bayi. Berulang kali ia gerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri untuk menghentikan tangisan bayi itu, tapi tetap saja ia menangis, seakan tau bahaya sudah di depannya.
Munir merapikan bedong yang tadi menutupi seluruh tubuh sang bayi yang sudah acak-acakan, karena ia terus saja merengek dan menggeliat, gelisah.
“Bisa marah Nasir pada Awak, Nir. Sudahlah Nir, ikuti saja Uda, ndak perlu bercakap banyak,” jawab Siyon, memberi kode pada Munir untuk melanjutkan perjalanan.
Munir, perawakannya memang sangar, berkulit hitam dan berkumis tebal, tetapi untuk urusan bunuh membunuh, apalagi membunuh bayi, ia tidak setega itu. Sungguh salah Nasir memerintahkannya melakukan pekerjaan ini.
“Uda curiga, Nir. Masuk pulak ndak ‘bibit’ kau pada Nurlaila sampai begitu sayangnya kau pada anak tu? Jangan-jangan ini bukan anak Belanda, tapi anak kau.” Siyon tertawa terbahak-bahak, hingga membuat lari burung-burung yang bertengger di dahan pohon karena keras suaranya. Sedangkan Munir yang masih diliputi ketakutan dan kesedihan, hanya diam saja mendengar dirinya diolok-olok.
Mereka lalu berjalan menuju tempat yang dimaksud. Sepanjang perjalanan, sang bayi sering menangis. Bagaimana tidak, sejak Imus─istri Nasir─tau kalau Edrik tidak menginginkan anak itu, Imus tidak mau lagi repot-repot menampung air tajin untuk diberikan kepada sang bayi. Ia hanya akan memberi air putih jika benar-benar sudah terganggu dengan tangisan bayi.
Sesampainya di atas bukit, Siyon meletakkan bayi itu pada sebuah batu besar pipih yang cukup tinggi. Tak tersentuh sedikit pun hatinya mendengar tangis sang bayi. Ia benar-benar akan melaksanakan perintah Nasir. Mata pisau di tangannya sudah berkilau diterpa sinar matahari sore.
Sedangkan Munir, memilih lebih dulu bergerak meninggalkan gua. Ia tidak tega jika harus melihat bayi yang menggemaskan itu mati di tangan Siyon. Ia sudah terlanjur sayang pada bayi bermata biru itu.
Bergegas ia menuruni jalan yang landai. Berharap tidak mendengar lagi tangisan sang bayi, agar hilang rasa bersalahnya. Wajah menggemaskan bayi Nurlaila selalu bermain dalam memori otaknya. Namun, Sekitar seratus meter perjalanan, tiba-tiba ia mendengar teriakan Siyon.
“Tolooongg, Niiir, Tolong Udaaa!” Bergidik Munir mendengar teriakan Siyon. Ia mencoba menerka berbagai macam kemungkinan, yang membuatnya semakin takut. Apalagi saat ini ia hanya seorang diri.
“Niiirr, To … Tooo ….” Setelah teriakan itu, suara Siyon lalu lenyap begitu saja.
Dengan kaki yang gemetar, ia mencoba balik lagi ke atas bukit. Sepanjang perjalanan, kedua bola matanya bergerak pelan memindai sekeliling, memastikan tidak ada apa-apa di sekitarnya. Silih berganti bayangan-bayangan buruk menyelinap di pikirannya, membuatnya ingin segera melarikan diri dari hutan itu. Namun, rasa setia kawan menuntutnya harus segera memastikan apa yang terjadi di atas sana.
Sesampainya di atas, betapa kagetnya Munir menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Tubuh kekar Siyon tergeletak di atas batu pipih tempat di mana tadi ia meletakkan bayi Nurlaila. Tangan dan kakinya telah terpisah-pisah. Darah segar mengalir dari potongan-potongan tubuhnya.
Bergetar seluruh tubuh Munir. Saking ketakutannya Ia nyaris tak dapat merasakan dirinya sendiri. seluruh tubuhnya terasa kebas seketika. Pontang panting ia berlari mencari jalan pulang, meninggalkan jasad Siyon yang sudah terpotong-potong, dan bayi Nurlaila yang hilang entah ke mana.
Pelan Nek Kamsiah membuka kedua kelopak matanyanya yang terasa berat. Tidak ada sedikit pun cahaya yang tertangkap oleh korneanya, hingga membuat wanita tua itu memutuskan menutup netra kembali. Badannya terasa remuk redam, bagai diinjak berton-ton beban berat.Namun, Ia masih mengingat dengan pasti insiden yang terakhir kali dialaminya. Bagaimana Nasir menyiksanya dengan arogan hingga ia tak sadarkan diri. Lebih getir dari itu, masih lekat di ingatannya bagaimana putri Nurlaila diregang paksa dari dekapannya. Lalu dibawa pergi entah ke mana.Apakah ini alam kubur? Ia membatin. Perlahan ia menggerakkan jemarinya yang lemah. Jari-jari yang sudah tersumbur urat-urat kasar. Ia lalu menggoyang-goyang pelan kedua kakinya, masih dalam kondisi mata terpejam. Beratnya penyiksaan Nasir, membuatnya sangsi bahwa ia masih hidup.“Dewi … pencuri itu sudah bangun,” teriak seorang
“Apa syaratnya?” tanya Nek Kamsiah penasaran. Sepasang matanya berpendar, seperti mendapat angin segar.“Jika inyiak memutuskan untuk tinggal selamanya di sini, maka Inyiak indak bisa lagi berinteraksi dengan manusia. Fisik inyiak akan berubah seperti kami. Inyiak akan menjadi kasat mata dan hanya bisa dilihat oleh sesama bangsa bunian. Namun, seandainya Inyiak memilih kembali ke bangsa manusia, maka ambo akan menghilangkan ingatan tentang istana bangsa bunian dari kepala inyiak. Inyiak bisa melanjutkan kembali hidup sebagai manusia biasa.”Lama Nek Kamsiah tercenung. Pilihan itu membuatnya seperti makan buah simalakama. Jika memilih untuk tinggal di istana yang menjanjikan segala kenikmatan, ia tidak bisa membalaskan dendamnya kepada Nasir dan semua orang yang telah menyakitinya. Namun, jika kembali ke kehidupan manusia, ia pun tak yakin bisa melawan Nasir dengan kondisi tubuh yang kian rentah.
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
Delapan jam sebelumnya.Suara burung hantu dan jangkrik saling bersahut-sahutan menyambut datangnya malam. Langit sudah semakin gelap. Dinginnya udara pegunungan bagai menusuk-nusuk kulit Edrik dan dua pengawalnya. Mereka kebingungan mencari jalan pulang. Memang, jalan-jalan di hutan itu belum mereka kuasai, apalagi terlalu banyak persimpangan.“Tidak becus kalian bekerja. Pastilah kalian lupa membuat tanda-tanda itu,” hardik Edrik sembari menendang bokong dua pengawal yang menyertainya.“Ampun, Tuann,” ucapnya meminta maaf, ketakutan. Mereka tidak berani beralasan. Mereka tahu betul, Edrik tidak akan menerima alasan apa pun. Semakin keras hukuman yang akan diterima seandainya berani beralasan. Mereka pun heran, bagaimana bisa tanda-tanda yang sudah dibuat di pohon setiap persimpangan jalan bisa hilang begitu saja. Padahal, tak setetes pun hujan yang turun, jikalau tanda itu terhapus hujan.Dari tadi, setiap jalan persi
Merasa bujukannya diabaikan, Nek Kamsiah mendobrak pintu dengan kasar, hingga bergetarlah seisi gubuk. Tak butuh kekuatan lebih, terlepaslah daun pintu yang telah lapuk itu dari tiang penyanggahnya, dan hampir saja mengenai Imus dan anaknya. Nek Kamsiah mengulum senyum menyaksikan Imus yang begitu ketakutan.Tak ada pilihan lain, posisi Wanita itu sudah terdesak, tak ada celah untuk melarikan diri. Dengan sudut matanya, Imus terpaksa menilik Nek Kamsiah yang terus saja meyakinkannya jika dia belum meninggal. Dengan hati-hati, ditatapnya Nek Kamsiah dari kepala sempai kaki berulang kali, sambil komat kamit membaca surah Al-Ikhlas.“K-Kau benar Inyiak Kamsiah?” tanyanya dengan rasa takut kian memudar melihat bagaimana rupa Nek Kamsiah saat ini.“Benar, Indak usah takut. Aku manusia. Sampai berbusa pun mulut kau tu membaca Kul Huwolloh indak akan berpengaruh padaku,” tekan Nek Kamsiah menahan amarah di dadanya yang hendak meledak ba
“Kau ingin emas yang banyak, ‘kan?” Nek Kamsiah dan seorang pelayan istana membuka sebuah ruangan khusus yang dipenuhi emas dan berlian. Berbagai ukuran dan model perhiasan ada di sana. Di pajang di dalam sebuah kaca jumbo yang mengelilingi ruangan itu. Penduduk negeri Bunian bebas memakainya. Imus melongoh takjub. Tanpa basa-basi, ia membuka kaca penutup perhiasan dan mengambil cincin-cincin berukuran besar, lalu memasangkan ke semua jemarinya. Begitu pun gelang dan kalung, tak luput dari incaran wanita berkulit coklat itu. Ia lentikkan jemarinya, rambut sebahunya yang menutupi leher, ia kibaskan ke belakang, agar terlihat kilauan-kilauan berlian yang terpancar dari kalungnya.Ia berhayal sedang berlenggak lenggok di tengah orang-orang kampung. Memamerkan pakaian dan perhiasan-perhiasan baru yang tidak dimiliki siapa pun. Pastilah mereka akan iri melihat kecantikan d
Di pinggir telaga Kubangan, duduklah sesosok bunian wanita menggendong seorang bayi. Beberapa kali ia menciumi dan mendekap erat bayi tersebut, melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu. Bunian itu amatlah cantik dibanding bunian lainnya. Rambutnya panjang dan hitam legam, menjuntai hingga ke betis. Kulitnya halus bak porselen. Dan wajahnya cerah layaknya bulan purnama. Belakangan, kecantikannya menjadi buah bibir di kalangan laki-laki bunian. Wanita itu adalah primadona baru di bangsa tersebut. Dialah Nek Kamsiah, yang telah menjelma menjadi wanita cantik usia tiga puluh tahun. Setelah menuntaskan urusannya dengan manusia dan berhasil menggagalkan pembunuhan cucunya, Nek Kamsiah melakukan ritual berendam di Telaga Kubangan selama tiga hari berturut-turut. Mereka menyebutnya “ritual ngapuang”, yang dipimpin oleh ratunya kaum bunian, Dewi. Selain berubah menjadi belia, ritual itu ber
“Itu adalah Surah yang sering Inyiak lafazkan dulu.” Zahara terguguh, ikut bersimpuh di belakang Nurlian. Ia sengaja mengikuti Nurlian karena melihat gelagat aneh cucunya itu dari kemarin. Tadinya ia berniat menghukum Nurlian karena telah berani menemui Aswir secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi keindahan suara Aswir membacakan Surah At-tin beserta terjemahan malah membuat jiwanya bergetar. Zahara ingat, Surah itu adalah surah yang ia baca saat menghatamkan Al-quran pertama kali. Angannya berputar ke masa lalu. Puluhan tahun silam, derap langkah sejumlah anak-anak terlihat mantap melangkah menuju surau untuk mengikuti Khatam Al-quran. Satu di antaranya adalah Kamsiah kecil. Bagi masyarakat sana, prosesi khatam Alquran dihelat dengan cukup meriah. Anak-anak yang telah tamat mengaji 30 juz akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana, sebagai wujud dari rasa syukur. Laki-laki mengenakkan pakaian kebesaran berupa gamis ditambah sorban. Sedangkan perempuan memakai gaun dipa
“Apa tujuanmu datang ke sini?” tanya Zahara dengan tatapan sinis. Dilihatnya Aswir sedang duduk di pojok ruang penjara yang sempit. Seketika laki-laki itu berdiri melihat Zahara datang.“U-uni …,” lirih Aswir. Ia terkesiap mendapati Nurlian ada di belakang wanita dengan tumit menghadap ke depan itu.Kemarin, Ia melihat Nurlian masuk ke dalam gua, lalu diam-diam mengikutinya. Sementara Basri memilih untuk lebih dulu meninggalkan hutan. Ia tak berani mengikuti Aswir masuk ke dalam gua yang nyata-nyata banyak menyimpan cerita misteri.Sesampainya di dalam gua, Aswir tak menemukan lagi gadis itu. Padahal tak ada jalan lain masuk ke sana selain mulut gua bagian depan. Dari situ, mengertilah Aswir ada sesuatu yang aneh dengan orang yang sedang diikutinya.Rumor masyarakat tentang orang bunian penghuni gua langsung terlintas di benaknya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Nurlian bukanlah orang bunian. Nurlian manu
“Sudah berapa lama kau mengenal manusia?” Zahara menekan suaranya. Takut masalah itu di dengar Dewi atau pelayan istana.Tentulah pimpinan Orang Bunian itu akan murka jika mengetahui warganya berhubungan dengan manusia di luar sana.” Oh, pantaslah kau sering ke hutan tu belakangan ni, ya. Ada sesuatu rupanya di sana,” tuduhnya tak memberi kesempatan Nurlian bicara. Sementara gadis itu hanya menunduk, takut membela diri. Ia mendengar saja ocehan neneknya.“Kau mau dicelakai? Kau mau diperkosa? Atau dibakar seperti ibumu?” Wanita itu terus melontarkan pertanyaan, tapi tak memberi kesempatan Nurlian untuk menjawab.“Indak Nyiak, orang tu ndak berbuat jahat pada Nur. Bahkan mereka telah menyelamatkan nyawa Nur,” balas Nurlian gemetaran saat punya celah untuk menjawab.“Belum taukah kau manusia punya banyak muka? Mereka banyak menyimpan kebusukan di balik topeng kebaikannya. Hari ini mereka baik, esok atau lusa mer
“Jangan keluar dulu, Nur. Kau belum benar-benar pulih.” Zahara mencegat saat Nurlian hendak keluar dari kamarnya. Ia ingin gadis itu istirahat hingga benar-benar segar.“Nur sudah mulai pulih, Nyiak. Di kamar terus malah akan membuat semakin sakit. Nur butuh udara bebas,” jawabnya.“Dengarkanlah inyiak! Minumlah obat ni. Inyiak merasa indak enak dengan Dewi jika ritualmu terus diundur!” Wanita bermata bulat itu menarik lengan Nurlian, dan menuntunnya ke bibir ranjang. Segelas ramuan herbal diulurkannya ke mulut Nurlian. Aromanya yang menyengat membuat Mual gadis belia itu. Tetapi Zahara terus memaksa menghabiskannya.“Nyiak, bolehkah Nur bermain di hutan lagi?” tanyanya setelah menyesap hingga tandas segelas ramuan pahit itu.“Kau indak boleh ke mana-mana lagi hingga ritual dilaksanakan!” Cepat Zahara menjawab. “Inyiak taku
“Nyiak, apakah ndak ada seorang pun manusia yang baik?” selidik Nurlian tiba-tiba saat Kamsiah hendak beranjak meninggalkannya. Bayangan Aswir selalu membuntuti ke mana ia pergi. Terlebih aroma khas laki-laki itu masih melekat di tubuhnya. Membuatnya menjadi semakin penasaran dengan manusia.“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Kamsiah balik bertanya, mengerti ke mana arah pertanyaan Nurlian. Berkerut kening wanita itu menunggu jawaban dari cucunya. Ia tampak tak senang. Kamsiah memang tak pernah bercerita tentang kebaikan manusia.“Apakah kau meragukan ceritaku selama ini?” lanjutnya, balik menodong Nurlian dengan pertanyaan.“B-bukan begitu, Nyiak. Nur hanya ingin meyakinkan diri, bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Hingga di kemudian hari ndak ada lagi penyesalan terkait asal usul Nur. Bagaimanapun ini adalah keputusan yang besar.” Nurlian memegang kedua tangan
Dalam posisi demikian genting, Aswir menatap wajah Nurlian yang saat ini tepat berada di bawah wajahnya. Jantungnya berdegup tak karuan. Ini adalah kali pertamanya ia berada dalam posisi yang begitu dekat dengan wanita, hingga menimbulkan debaran-debaran aneh di hatinya. Walaupun perempuan dengan hidung mancung dan bibir merah muda itu terus saja memejamkan mata.Ia lalu memalingkan wajahnya dan berulang kali beristigfar, memohon ampunan Allah karena harus bersentuhan seperti itu dengan wanita yang tak seharusnya ia sentuh.Aswir terus berusaha naik dan mengerahkan segenap tenaga, bulir-bulir keringat yang membasahi wajahnya jatuh di pelupuk mata Nurlian, memberikan dorongan pada Nurlian untuk membuka kelopak matanya yang terbingkai bulu mata panjang nan lentik. Merona pipinya menyadari saat ini wajahnya saling bersitatap dengan wajah Aswir. Laki-laki yang ia takuti, pun tak ia pungkiri ketampanannya.Kali ini Aswir fokus kepada tebin
“T-Tenanglah Uni, kami bukan orang jahat,” bujuk Aswir sembari bergerak menjaga jarak, ia tau wanita itu takut dengan mereka. Setelahnya, mulut Aswir tampak komat kamit melafalkan sesuatu.Dengan masih terbatuk, Nurlian tak lepas memandang ketiga laki-laki itu secara bergantian, dari ujung kaki sampai kepala. Ini adalah kali pertama ia melihat fisik seseorang yang sama dengannya. Biasanya, sepanjang hari ia hanya melihat orang-orang dengan kaki terbalik. Bahkan kaum laki-lakinya mempunyai dua tanduk kecil di kepala.Ketakutan begitu menyelimuti hatinya. Teringat cerita-cerita neneknya tentang bagaimana jahatnya manusia. Ia takut akan diperlakukan oleh mereka sebagaimana dulu neneknya diperlakukan.“As, jangan terlalu banyak bicara, awak ndak tau dia manusia atau bukan,” bisik Rizal di balik telinga Aswir. Ia masih belum sepenuhnya yakin jika wanita cantik yang ketakutan di hadapannya adalah seorang manusia. Model pakaian yang dikena
Nurlian menajamkan pendengarannya. Memastikan suara yang samar-samar ia dengar. Namun, teriakan itu ditelan oleh bisingnya dentaman air yang jatuh ke batu. Mungkin hanya perasaanku saja,” batinnya.Seperti biasa, Nurlian berenang di kolam terjun beraliran jernih itu. Sesekali ia duduk persis di bawah jatuhnya air, menikmati setiap dentaman-dentaman air yang jatuh di kepalanya. Membuat kepala gadis itu bagai di pijit-pijit. Keasyikan menikmati dinginnya air pegunungan, Nurlian abai terhadap arak-arakan awan hitam. Ia masih asyik mengejar ikan-ikan yang bersembunyi di balik batu, teman bermainnya setiap kali datang ke sana.Akhirnya, awan hitam yang sedari tadi sudah memberi peringatan, kini benar-benar memuntahkan isi perutnya. Bukannya segera keluar, Nurlian malah bertambah senang berenang di tengah hujan yang turun semakin deras. Ia memang sangat menyukai hujan, karena di Negri Bunian tidak pernah terjadi hujan. Selain itu, ia
Di pinggir telaga Kubangan, duduklah sesosok bunian wanita menggendong seorang bayi. Beberapa kali ia menciumi dan mendekap erat bayi tersebut, melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu. Bunian itu amatlah cantik dibanding bunian lainnya. Rambutnya panjang dan hitam legam, menjuntai hingga ke betis. Kulitnya halus bak porselen. Dan wajahnya cerah layaknya bulan purnama. Belakangan, kecantikannya menjadi buah bibir di kalangan laki-laki bunian. Wanita itu adalah primadona baru di bangsa tersebut. Dialah Nek Kamsiah, yang telah menjelma menjadi wanita cantik usia tiga puluh tahun. Setelah menuntaskan urusannya dengan manusia dan berhasil menggagalkan pembunuhan cucunya, Nek Kamsiah melakukan ritual berendam di Telaga Kubangan selama tiga hari berturut-turut. Mereka menyebutnya “ritual ngapuang”, yang dipimpin oleh ratunya kaum bunian, Dewi. Selain berubah menjadi belia, ritual itu ber