“Apa syaratnya?” tanya Nek Kamsiah penasaran. Sepasang matanya berpendar, seperti mendapat angin segar.
“Jika inyiak memutuskan untuk tinggal selamanya di sini, maka Inyiak indak bisa lagi berinteraksi dengan manusia. Fisik inyiak akan berubah seperti kami. Inyiak akan menjadi kasat mata dan hanya bisa dilihat oleh sesama bangsa bunian. Namun, seandainya Inyiak memilih kembali ke bangsa manusia, maka ambo akan menghilangkan ingatan tentang istana bangsa bunian dari kepala inyiak. Inyiak bisa melanjutkan kembali hidup sebagai manusia biasa.”
Lama Nek Kamsiah tercenung. Pilihan itu membuatnya seperti makan buah simalakama. Jika memilih untuk tinggal di istana yang menjanjikan segala kenikmatan, ia tidak bisa membalaskan dendamnya kepada Nasir dan semua orang yang telah menyakitinya. Namun, jika kembali ke kehidupan manusia, ia pun tak yakin bisa melawan Nasir dengan kondisi tubuh yang kian rentah.
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
“Awak indak mau lagi terlibat hal yang berhubungan dengan keluarga Nurlaila,” ringis Munir kepada Nasir dan teman-temannya. Ia mengelus goresan-goresan di tubuhnya karena beberapa kali terjatuh akibat peristiwa tempo hari.“Siyon tu diterkam harimau, Nir. Bukan karena hal lain. ‘Kan kalian lihat sendiri jasadnya, banyak bekas cakaran harimau,” ujar Nasir mengedarkan pandangannya kepada beberapa laki-laki yang hadir. Disambut anggukan pembenaran dari mereka.“Tapi, Da, manalah mungkin harimau bisa menidurkan Siyon begitu rapih di atas batu tinggi tu. Padahal sebelumnya putri Nurlailalah yang ditidurkan Siyon di sana. Pastilah ada sesuatu yang terjadi,” jawab Munir begitu yakin. Ia menirukan bagaimana posisi terakhir Siyon sore itu menggenaskan di atas batu.“Lalu, kau pikir Siyon digendong oleh bayi Nurlaila ke atas batu yang tinggi tu?” Nasir terkekeh, mengejek, pun t
Delapan jam sebelumnya.Suara burung hantu dan jangkrik saling bersahut-sahutan menyambut datangnya malam. Langit sudah semakin gelap. Dinginnya udara pegunungan bagai menusuk-nusuk kulit Edrik dan dua pengawalnya. Mereka kebingungan mencari jalan pulang. Memang, jalan-jalan di hutan itu belum mereka kuasai, apalagi terlalu banyak persimpangan.“Tidak becus kalian bekerja. Pastilah kalian lupa membuat tanda-tanda itu,” hardik Edrik sembari menendang bokong dua pengawal yang menyertainya.“Ampun, Tuann,” ucapnya meminta maaf, ketakutan. Mereka tidak berani beralasan. Mereka tahu betul, Edrik tidak akan menerima alasan apa pun. Semakin keras hukuman yang akan diterima seandainya berani beralasan. Mereka pun heran, bagaimana bisa tanda-tanda yang sudah dibuat di pohon setiap persimpangan jalan bisa hilang begitu saja. Padahal, tak setetes pun hujan yang turun, jikalau tanda itu terhapus hujan.Dari tadi, setiap jalan persi
Merasa bujukannya diabaikan, Nek Kamsiah mendobrak pintu dengan kasar, hingga bergetarlah seisi gubuk. Tak butuh kekuatan lebih, terlepaslah daun pintu yang telah lapuk itu dari tiang penyanggahnya, dan hampir saja mengenai Imus dan anaknya. Nek Kamsiah mengulum senyum menyaksikan Imus yang begitu ketakutan.Tak ada pilihan lain, posisi Wanita itu sudah terdesak, tak ada celah untuk melarikan diri. Dengan sudut matanya, Imus terpaksa menilik Nek Kamsiah yang terus saja meyakinkannya jika dia belum meninggal. Dengan hati-hati, ditatapnya Nek Kamsiah dari kepala sempai kaki berulang kali, sambil komat kamit membaca surah Al-Ikhlas.“K-Kau benar Inyiak Kamsiah?” tanyanya dengan rasa takut kian memudar melihat bagaimana rupa Nek Kamsiah saat ini.“Benar, Indak usah takut. Aku manusia. Sampai berbusa pun mulut kau tu membaca Kul Huwolloh indak akan berpengaruh padaku,” tekan Nek Kamsiah menahan amarah di dadanya yang hendak meledak ba
“Kau ingin emas yang banyak, ‘kan?” Nek Kamsiah dan seorang pelayan istana membuka sebuah ruangan khusus yang dipenuhi emas dan berlian. Berbagai ukuran dan model perhiasan ada di sana. Di pajang di dalam sebuah kaca jumbo yang mengelilingi ruangan itu. Penduduk negeri Bunian bebas memakainya. Imus melongoh takjub. Tanpa basa-basi, ia membuka kaca penutup perhiasan dan mengambil cincin-cincin berukuran besar, lalu memasangkan ke semua jemarinya. Begitu pun gelang dan kalung, tak luput dari incaran wanita berkulit coklat itu. Ia lentikkan jemarinya, rambut sebahunya yang menutupi leher, ia kibaskan ke belakang, agar terlihat kilauan-kilauan berlian yang terpancar dari kalungnya.Ia berhayal sedang berlenggak lenggok di tengah orang-orang kampung. Memamerkan pakaian dan perhiasan-perhiasan baru yang tidak dimiliki siapa pun. Pastilah mereka akan iri melihat kecantikan d
Di pinggir telaga Kubangan, duduklah sesosok bunian wanita menggendong seorang bayi. Beberapa kali ia menciumi dan mendekap erat bayi tersebut, melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu. Bunian itu amatlah cantik dibanding bunian lainnya. Rambutnya panjang dan hitam legam, menjuntai hingga ke betis. Kulitnya halus bak porselen. Dan wajahnya cerah layaknya bulan purnama. Belakangan, kecantikannya menjadi buah bibir di kalangan laki-laki bunian. Wanita itu adalah primadona baru di bangsa tersebut. Dialah Nek Kamsiah, yang telah menjelma menjadi wanita cantik usia tiga puluh tahun. Setelah menuntaskan urusannya dengan manusia dan berhasil menggagalkan pembunuhan cucunya, Nek Kamsiah melakukan ritual berendam di Telaga Kubangan selama tiga hari berturut-turut. Mereka menyebutnya “ritual ngapuang”, yang dipimpin oleh ratunya kaum bunian, Dewi. Selain berubah menjadi belia, ritual itu ber
Nurlian menajamkan pendengarannya. Memastikan suara yang samar-samar ia dengar. Namun, teriakan itu ditelan oleh bisingnya dentaman air yang jatuh ke batu. Mungkin hanya perasaanku saja,” batinnya.Seperti biasa, Nurlian berenang di kolam terjun beraliran jernih itu. Sesekali ia duduk persis di bawah jatuhnya air, menikmati setiap dentaman-dentaman air yang jatuh di kepalanya. Membuat kepala gadis itu bagai di pijit-pijit. Keasyikan menikmati dinginnya air pegunungan, Nurlian abai terhadap arak-arakan awan hitam. Ia masih asyik mengejar ikan-ikan yang bersembunyi di balik batu, teman bermainnya setiap kali datang ke sana.Akhirnya, awan hitam yang sedari tadi sudah memberi peringatan, kini benar-benar memuntahkan isi perutnya. Bukannya segera keluar, Nurlian malah bertambah senang berenang di tengah hujan yang turun semakin deras. Ia memang sangat menyukai hujan, karena di Negri Bunian tidak pernah terjadi hujan. Selain itu, ia
“T-Tenanglah Uni, kami bukan orang jahat,” bujuk Aswir sembari bergerak menjaga jarak, ia tau wanita itu takut dengan mereka. Setelahnya, mulut Aswir tampak komat kamit melafalkan sesuatu.Dengan masih terbatuk, Nurlian tak lepas memandang ketiga laki-laki itu secara bergantian, dari ujung kaki sampai kepala. Ini adalah kali pertama ia melihat fisik seseorang yang sama dengannya. Biasanya, sepanjang hari ia hanya melihat orang-orang dengan kaki terbalik. Bahkan kaum laki-lakinya mempunyai dua tanduk kecil di kepala.Ketakutan begitu menyelimuti hatinya. Teringat cerita-cerita neneknya tentang bagaimana jahatnya manusia. Ia takut akan diperlakukan oleh mereka sebagaimana dulu neneknya diperlakukan.“As, jangan terlalu banyak bicara, awak ndak tau dia manusia atau bukan,” bisik Rizal di balik telinga Aswir. Ia masih belum sepenuhnya yakin jika wanita cantik yang ketakutan di hadapannya adalah seorang manusia. Model pakaian yang dikena
“Itu adalah Surah yang sering Inyiak lafazkan dulu.” Zahara terguguh, ikut bersimpuh di belakang Nurlian. Ia sengaja mengikuti Nurlian karena melihat gelagat aneh cucunya itu dari kemarin. Tadinya ia berniat menghukum Nurlian karena telah berani menemui Aswir secara sembunyi-sembunyi seperti ini. Tapi keindahan suara Aswir membacakan Surah At-tin beserta terjemahan malah membuat jiwanya bergetar. Zahara ingat, Surah itu adalah surah yang ia baca saat menghatamkan Al-quran pertama kali. Angannya berputar ke masa lalu. Puluhan tahun silam, derap langkah sejumlah anak-anak terlihat mantap melangkah menuju surau untuk mengikuti Khatam Al-quran. Satu di antaranya adalah Kamsiah kecil. Bagi masyarakat sana, prosesi khatam Alquran dihelat dengan cukup meriah. Anak-anak yang telah tamat mengaji 30 juz akan diarak keliling kampung diiringi tabuhan rebana, sebagai wujud dari rasa syukur. Laki-laki mengenakkan pakaian kebesaran berupa gamis ditambah sorban. Sedangkan perempuan memakai gaun dipa
“Apa tujuanmu datang ke sini?” tanya Zahara dengan tatapan sinis. Dilihatnya Aswir sedang duduk di pojok ruang penjara yang sempit. Seketika laki-laki itu berdiri melihat Zahara datang.“U-uni …,” lirih Aswir. Ia terkesiap mendapati Nurlian ada di belakang wanita dengan tumit menghadap ke depan itu.Kemarin, Ia melihat Nurlian masuk ke dalam gua, lalu diam-diam mengikutinya. Sementara Basri memilih untuk lebih dulu meninggalkan hutan. Ia tak berani mengikuti Aswir masuk ke dalam gua yang nyata-nyata banyak menyimpan cerita misteri.Sesampainya di dalam gua, Aswir tak menemukan lagi gadis itu. Padahal tak ada jalan lain masuk ke sana selain mulut gua bagian depan. Dari situ, mengertilah Aswir ada sesuatu yang aneh dengan orang yang sedang diikutinya.Rumor masyarakat tentang orang bunian penghuni gua langsung terlintas di benaknya. Namun, nalurinya mengatakan bahwa Nurlian bukanlah orang bunian. Nurlian manu
“Sudah berapa lama kau mengenal manusia?” Zahara menekan suaranya. Takut masalah itu di dengar Dewi atau pelayan istana.Tentulah pimpinan Orang Bunian itu akan murka jika mengetahui warganya berhubungan dengan manusia di luar sana.” Oh, pantaslah kau sering ke hutan tu belakangan ni, ya. Ada sesuatu rupanya di sana,” tuduhnya tak memberi kesempatan Nurlian bicara. Sementara gadis itu hanya menunduk, takut membela diri. Ia mendengar saja ocehan neneknya.“Kau mau dicelakai? Kau mau diperkosa? Atau dibakar seperti ibumu?” Wanita itu terus melontarkan pertanyaan, tapi tak memberi kesempatan Nurlian untuk menjawab.“Indak Nyiak, orang tu ndak berbuat jahat pada Nur. Bahkan mereka telah menyelamatkan nyawa Nur,” balas Nurlian gemetaran saat punya celah untuk menjawab.“Belum taukah kau manusia punya banyak muka? Mereka banyak menyimpan kebusukan di balik topeng kebaikannya. Hari ini mereka baik, esok atau lusa mer
“Jangan keluar dulu, Nur. Kau belum benar-benar pulih.” Zahara mencegat saat Nurlian hendak keluar dari kamarnya. Ia ingin gadis itu istirahat hingga benar-benar segar.“Nur sudah mulai pulih, Nyiak. Di kamar terus malah akan membuat semakin sakit. Nur butuh udara bebas,” jawabnya.“Dengarkanlah inyiak! Minumlah obat ni. Inyiak merasa indak enak dengan Dewi jika ritualmu terus diundur!” Wanita bermata bulat itu menarik lengan Nurlian, dan menuntunnya ke bibir ranjang. Segelas ramuan herbal diulurkannya ke mulut Nurlian. Aromanya yang menyengat membuat Mual gadis belia itu. Tetapi Zahara terus memaksa menghabiskannya.“Nyiak, bolehkah Nur bermain di hutan lagi?” tanyanya setelah menyesap hingga tandas segelas ramuan pahit itu.“Kau indak boleh ke mana-mana lagi hingga ritual dilaksanakan!” Cepat Zahara menjawab. “Inyiak taku
“Nyiak, apakah ndak ada seorang pun manusia yang baik?” selidik Nurlian tiba-tiba saat Kamsiah hendak beranjak meninggalkannya. Bayangan Aswir selalu membuntuti ke mana ia pergi. Terlebih aroma khas laki-laki itu masih melekat di tubuhnya. Membuatnya menjadi semakin penasaran dengan manusia.“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?” Kamsiah balik bertanya, mengerti ke mana arah pertanyaan Nurlian. Berkerut kening wanita itu menunggu jawaban dari cucunya. Ia tampak tak senang. Kamsiah memang tak pernah bercerita tentang kebaikan manusia.“Apakah kau meragukan ceritaku selama ini?” lanjutnya, balik menodong Nurlian dengan pertanyaan.“B-bukan begitu, Nyiak. Nur hanya ingin meyakinkan diri, bahwa ini adalah pilihan yang tepat. Hingga di kemudian hari ndak ada lagi penyesalan terkait asal usul Nur. Bagaimanapun ini adalah keputusan yang besar.” Nurlian memegang kedua tangan
Dalam posisi demikian genting, Aswir menatap wajah Nurlian yang saat ini tepat berada di bawah wajahnya. Jantungnya berdegup tak karuan. Ini adalah kali pertamanya ia berada dalam posisi yang begitu dekat dengan wanita, hingga menimbulkan debaran-debaran aneh di hatinya. Walaupun perempuan dengan hidung mancung dan bibir merah muda itu terus saja memejamkan mata.Ia lalu memalingkan wajahnya dan berulang kali beristigfar, memohon ampunan Allah karena harus bersentuhan seperti itu dengan wanita yang tak seharusnya ia sentuh.Aswir terus berusaha naik dan mengerahkan segenap tenaga, bulir-bulir keringat yang membasahi wajahnya jatuh di pelupuk mata Nurlian, memberikan dorongan pada Nurlian untuk membuka kelopak matanya yang terbingkai bulu mata panjang nan lentik. Merona pipinya menyadari saat ini wajahnya saling bersitatap dengan wajah Aswir. Laki-laki yang ia takuti, pun tak ia pungkiri ketampanannya.Kali ini Aswir fokus kepada tebin
“T-Tenanglah Uni, kami bukan orang jahat,” bujuk Aswir sembari bergerak menjaga jarak, ia tau wanita itu takut dengan mereka. Setelahnya, mulut Aswir tampak komat kamit melafalkan sesuatu.Dengan masih terbatuk, Nurlian tak lepas memandang ketiga laki-laki itu secara bergantian, dari ujung kaki sampai kepala. Ini adalah kali pertama ia melihat fisik seseorang yang sama dengannya. Biasanya, sepanjang hari ia hanya melihat orang-orang dengan kaki terbalik. Bahkan kaum laki-lakinya mempunyai dua tanduk kecil di kepala.Ketakutan begitu menyelimuti hatinya. Teringat cerita-cerita neneknya tentang bagaimana jahatnya manusia. Ia takut akan diperlakukan oleh mereka sebagaimana dulu neneknya diperlakukan.“As, jangan terlalu banyak bicara, awak ndak tau dia manusia atau bukan,” bisik Rizal di balik telinga Aswir. Ia masih belum sepenuhnya yakin jika wanita cantik yang ketakutan di hadapannya adalah seorang manusia. Model pakaian yang dikena
Nurlian menajamkan pendengarannya. Memastikan suara yang samar-samar ia dengar. Namun, teriakan itu ditelan oleh bisingnya dentaman air yang jatuh ke batu. Mungkin hanya perasaanku saja,” batinnya.Seperti biasa, Nurlian berenang di kolam terjun beraliran jernih itu. Sesekali ia duduk persis di bawah jatuhnya air, menikmati setiap dentaman-dentaman air yang jatuh di kepalanya. Membuat kepala gadis itu bagai di pijit-pijit. Keasyikan menikmati dinginnya air pegunungan, Nurlian abai terhadap arak-arakan awan hitam. Ia masih asyik mengejar ikan-ikan yang bersembunyi di balik batu, teman bermainnya setiap kali datang ke sana.Akhirnya, awan hitam yang sedari tadi sudah memberi peringatan, kini benar-benar memuntahkan isi perutnya. Bukannya segera keluar, Nurlian malah bertambah senang berenang di tengah hujan yang turun semakin deras. Ia memang sangat menyukai hujan, karena di Negri Bunian tidak pernah terjadi hujan. Selain itu, ia
Di pinggir telaga Kubangan, duduklah sesosok bunian wanita menggendong seorang bayi. Beberapa kali ia menciumi dan mendekap erat bayi tersebut, melepas rindu setelah sekian lama tak bertemu. Bunian itu amatlah cantik dibanding bunian lainnya. Rambutnya panjang dan hitam legam, menjuntai hingga ke betis. Kulitnya halus bak porselen. Dan wajahnya cerah layaknya bulan purnama. Belakangan, kecantikannya menjadi buah bibir di kalangan laki-laki bunian. Wanita itu adalah primadona baru di bangsa tersebut. Dialah Nek Kamsiah, yang telah menjelma menjadi wanita cantik usia tiga puluh tahun. Setelah menuntaskan urusannya dengan manusia dan berhasil menggagalkan pembunuhan cucunya, Nek Kamsiah melakukan ritual berendam di Telaga Kubangan selama tiga hari berturut-turut. Mereka menyebutnya “ritual ngapuang”, yang dipimpin oleh ratunya kaum bunian, Dewi. Selain berubah menjadi belia, ritual itu ber