“Makasih, Bu,”ucap Dinda.“Sama-sama, Nduk. Barusan Ibu telah pesan jamu buat kamu di penjual jamu keliling.”“Wah, seger ini. Aku juga mau minum jamu.”“Sudah pasti, kamu juga, Le. Kita semua harus minum jamu, biar segar kembali. Terutama Genduk.”Mustafa yang kesakitan masih bertahan di sekitar rumah. Sosok Timur Tengah ini bertengger di atas atap rumah. Sosoknya yang tinggi besar seketika membentuk sebuah bayangan sehingga mampu membuat redup lingkungan sekitar. Para tetangga Bu Teti buru-buru memasukkan jemuran karena menyangka hujan deras akan segera datang.“Jamila, itu anak kita. Calon putra mahkota. Kau tak akan bisa punya anak dari laki-laki pembunuh. Mustafa menginginkanmu.” Suara Mustafa bergetar diikuti isakan berkamuflase sebagai hujan dan petir, tetapi dalam gendang telinga Dinda adalah sebuah raungan yang bergema. Sesaat setelah Mustafa menghujat, Gito mengajak sang istri dan ibunya masuk ke rumah.“Ujan petir tiba-tiba gini? Padahal dalam perkiraan cuaca, hari ini cer
Terakhir Diperbarui : 2022-05-15 Baca selengkapnya