“Suaranya seperti Ibu kenal,” ucap Bu Teti sambil agak mendekat untuk mengamati ular tersebut.Pak Kiai hanya tersenyum lalu membawa ular ini masuk toilet dan kemudian menenggelamkan binatang melata ini ke dalam bak kamar mandi. Sekali lagi terdengar suara lengkingan menyayat hati, saat Pak Kiai meneteskan suatu cairan dari botolkecil. Asap putih kekuningan memenuhi permukaan air di bak.“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”Pak Kiai terus meneteskan cairan tersebut sampai habis. Suara lengkingan yang semakin melemah dan hilang. Asap di permukaan air perlahan mulai menipis dan tinggal berwarna putih susu.“Maaf, Kiai! Ular siluman?” tanya Gito masih di ambang pintu toilet.Pak Kiai hanya tersenyum penuh arti lalu keluar dari toilet. Mereka yang di luar heran sekaligus penasaran dengan ular yang dimasukan bak toilet barusan.“Kita tunggu barang tiga puluh menit, biar kulit ularnya mengelupas dulu,” ucap Pak Kiai menjawab rasa penasaran yang lain.Akhirnya mereka berkumpul di ruan
Jasad tersebut memakai pakaian yang telah menjadi ciri khasnya semasa hidup. Dinda dan Bu Teti yang telah bermasker terpaksa menutup dengan telapak tangan karena saking busuk aroma di dalam toilet. Kedua wanita ini gegas keluar lalu berlari ke arah WC yang berada di belakang rumah. “I-itu ... baju Pak Wo. Kok bisa? Semua akik yang di jari, punya dia,” ucap Bu Teti sesaat setelah duduk bersama di ruang tengah masih dengan napas ngos-ngosan.Tak lama kemudian, Dinda datang dengan muka pucat pasi. Wanita muda ini tak mengenal Pak Wo, tapi ia jadi syok melihat jasad yang mengerikan barusan. Ia merasakan aroma mistis menyelimuti sang jasad.Gito segera menuju ruang tamu dan kembali dengan nampan berisi gelas minuman mereka. Ia meletakkan gelas ke depan masing-masing pemilik.“Silakan diminum, Kiai”“Terima kasih, Mas Gito.”Pria berambut cepak ini menyodorkan minuman kepada sang istri. Dinda segera menerima lalu meneguk isinya sampai tandas. Kemudian wanita muda ini menarik napas panjang
Dinda melihat penampakan sosok gagah yang sangat familiar di antara rombongan tersebut. Sosok tersebut berpakaian koko dan bersarung serta memakai kopiah. Mata Dinda semakin terbelalak, saat sosok ini maju ke depan memimpin rombongan untuk berzikir dan berselawat. “Aku tak salah liat?” tanya Dinda mirip bergumam sambil mengucek-ngucek mata dengan kedua tangan.“Apa kamu bilang, Nduk?” tanya Bu Teti heran.“Bu, tolong perhatikan yang mimpin zikir dan selawat.”Bu Teti segera mengamati sosok yang dimaksud, tapi tak ada yang aneh di matanya.“Itu Ustaz Hamdan putra dari Pak Kiai. Oh ya? Kamu pasti belum kenal. Mungkin dia pas liburan pulang ke sini.”“Emang selama ini di mana, Bu?”“Dia jadi guru di Turki.”Dinda mendengar penjelasan sang mertua sambil matanya mengikuti gerak-gerik Ustaz Hamdan. Hati kecilnya ingin memanggil Mustafa, hanya ingin memastikan bahwa yang dilihat benar-benar putra Pak Kiai. Namun, wanita ini sadar betul jika memanggil sosok Timur Tengah sama dengan mendatan
“Assalammu'alaikum,” ucap salam Dinda sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.Ustaz Hamdan menoleh dan seketika keduanya yang sama-sama belum pernah bertemu sebelumnya jadi syok.“Kamu Jamila?”tanya Ustad Hamdan yang tampak terperanjat begitu melihat sosok istri sang sahabat.“Mustafa?”Dinda pun tak kalah terkejutnya saat melihat Ustad Hamdan.Gito otomatis jadi bengong melihat keduanya saling menyapa dengan nama yang tak terdengar asing baginya.“Subhanallah! Ternyata kamu ada di dunia nyata,” ucap Ustaz Hamdan seketika mengusap wajah dengan telapak tangan.“Mas! Ini Mustafa jin!” teriak Dinda sembari berlari ke dalam. Wanita muda ini tampak syok, wajahnya seketika pucat pasi dan tubuh gemetar ketakutan. Ia pun langsung terisak-isak berlari masuk kamar lalu mengunci pintu. Hatinya benar-benar bingung dan takut. Bu Teti segera mengejar sang menantu. Sedangkan Gito masih perlu minta penjelasan kepada Ustaz Hamdan.“Ustaz, udah pernah bertemu istriku? Namanya Dinda bu
Akhirnya, semua bisa teratasi dengan baik dan masih meninggalkan sisa pertanyaan bagi Gito sekeluarga. Apa yang terjadi antara Ustaz dan Dinda dalam mimpi dan hal tersebut datang hingga berkali-kali? Namun, Pak Kiai dan Ustaz Hamdan tak mau berterus terang sampai Allah yang punya kuasa memberikan kenyataan.“Ngger! Perbanyak istighfar. Moga jalan Allah yang kau tempuh,” ucap Pak Kiai lirih di telinga sang putra saat ia mengetahui Ustaz Hamdan sempat mencuri pandang ke arah Dinda.Akhirnya bapak dan anak menikmati perbincangan hangat bersama keluarga Gito. Semua hal dibahas mereka, termasuk dengan perisitiwa kematian Mbok Wo di dalam rumah kosong.“Ngapain Mbok Wo ada di sana?”tanya Ustaz Hamdan yang semakin penasaran dengan kisah rumah kosong.“Dia penganut aliran sesat,” jawab Pak Kiai.Bu Teti yang merasa pernah jadi pengikut ritual lalu menceritakan apa saja yang harus ia lakukan setiap malam-malam tertentu.Meski ia tak pernah mengikuti ritual di rumah kosong, tapi ia tahu pasti
"Maksud Abah? Jawaban mimpiku? Benarkah?”Pak Kiai mengangguk bersamaan dengan suara dering ponsel di dalam saku.“Assalammu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,” ucap salam pria bersorban ini kapada seseorang di seberang telepon.Beberapa saat Pak Kiai mendengarkan secara seksama lalu menetes guliran bening dari kedua sudut mata.“Innalillaihi wa innalillaihirajiun. Tunggu di sana! Kami akan menyusul.”Ustaz Hamdan memandang heran kepada sang abah dan hanya dibalas gelengan. Pria bersorban yang selalu dengan tatapan teduh ini menunduk. Tampak jelas pikirannya sedang kacau. Ia telah tahu dari awal, tapi tak menyangka akan seperti ini hal tersebut bisa terjadi.“Astagfirullah hal adzim ... astaghfirullahhal adzim ... astaghfirullah hal adzim!”Pria berjenggot putih ini meraih tisu lalu mengusap lelehan bening dari kedua sudut mata. Ia tak biasa sesendu ini, kali ini rasa kehilangan sangat membuat rapuh hatinya. Ia masih belum mampu berkata-kata, meski sang putra datang lalu jongkok di
Dalam pandangan mata hanya tampak bayangan Dinda. Hal tersebut ia alami sejak bermimpi dua bulan lalu dan sampai hari ini.“Astaghfirullah hal adzim. Ya Allah, ampuni hamba,” ucap Ustaz Hamdan sembari mengusap wajah.Motor yang ia kendarai telah sampai di halaman ponpes. Pria berwajah bersinar ini segera turun dari motor lalu melangkah menuju ruangan pengasuh ponpes khusus asrama putri.Ia ucapkan salam, begitu dibalas salam langsung masuk ruangan.Dalam ruangan terdapat beberapa wanita pengasuh ponpes, Ustaz Hamdan segera menyampaikan pesan dari abahnya. Setelah itu, ia segera pamit kepada semua yang ada di ruangan.Lega sudah hatinya, pesan telah dilaksanakan. Ia ingin segera taziah sekaligus menemui ‘Jamila’ untuk memberi semangat wanita yang dikabarkan sangat syok dengan kematian suaminya.Ustaz muda ini memberi pengarahan untuk para santri yang sedang mempersiapkan acara penyambutan jenazah dari rumah sakit. Mereka akan merawat jenazah dari memandikan sampai dengan prosesi pemak
“Dengan cara licik? Bertopeng muka saya? Tipu muslihatmu tak akan mempan kali ini. Saya tak akan tinggal diam, jika wanita itu kamu ganggu lagi.”“Ha ha ha! Pede sekali kamu!”Suara Mustafa seketika menghilang bersama desiran angin beraroma kasturi yang masih tertinggal di ujung hidung Ustaz Hamdan.Pria tampan beraut muka TimurTengah berzikir dan berselawat demi menenangkan diri. Baru kali ini dirinya bertemu dengan jenis jin bandel macam Mustafa. Pria ini menggeleng lalu segera mengendarai motor ke arah pulang.Sepanjang perjalanan, Ustaz Hamdan memikirkan suatu cara agar tetap bisa menjaga Dinda dan Bu Teti. Bagaimana pun, keduanya adalah orang yang disayang oleh almarhum Gito—sang sahabat dan ia akan menggantikan posisinya untuk menjaga mereka.Ponsel di dalam jaket ustaz bergetar sehingga ia perlu menepikan kendaraan sebentar. Tertera di layar ponsel nomor kontak tak dikenal mengirim sebuah pesan. Ustaz Hamdan segera membaca isi pesan dan ternyata dari Dinda.[Assalammu'alaikum,
“Apaan ini? Panas sekali. Kurang ajar! Kamu mau mengusirku?” tanya Mustafa dengan amarah. Jin tersebut merasakan sekujur tubuh bagai dibakar api dan tak terima. Kemudian sebelum pergi karena rasa panas bara api semakin tak tertahan melayangkan pukulan ke arah Gito.“Aduh ... apa ini? Kepala Mas kayak ada yang mukul,” ucap Gito sambil mengelus bagian di atas telinga yang terasa linu dan perih.“Aneh! Sini aku liat!” Dinda segera mendekat lalu mengamati bagian kepala Gito. Dengan jemarinya wanita muda ini menyibak helaian rambut pelan-pelan.“Aduh, jangan pegang itu!” seru Gito saat Dinda meraba bagian atas telinga bagian kanan, tampak ada luka dan benjol.“Aku ambilin obat tawon dulu, Mas,”ucap Dinda langsung bangkit lalu mengambil obat tersebut di kotak obat.Dinda segera mengobati benjolan dan luka di kepala sang suami. Mereka tak menyadari bahwa hal-hal ganjil yang selalu terjadi adalah hasil perbuatan Mustafa. Tentu saja tak mengurangi romantisme di antara keduanya. Sementara itu,
“Liat aja! Kalo kamu sepelekan ucapanku. Menantumu itu bukan wanita biasa. Perlu dibikinkan ritual khusus. Biar suaminya gak mati. Kamu paham?”“Sampe segitunya, Mbok. Kok mengerikan,” ucap Bu Teti dengan kedua mata tak berkedip.“Maka dari itu, Tuan Mustafa ingin menjaganya.”“Aku benar-benar gak nyangka, Mbok. Secepatnya, aku ajak Dinda ke sini. Terus sekarang gimana?” tanya Bu Teti sembari melongok keluar melihat arah rumah.Tampak pintu rumah dan jendela sudah terbuka. Hati Bu Teti lega, rupanya Gito dan Dinda dalam keadaan baik-baik saja.“Udah diatasi Tuan. Buruan pulang! Bisa diambil menantumu oleh Tuan Mustafa,” ucap Mbok Wo sembari tertawa terkekeh-kekeh.Wanita tua ini baru saja mendapat bisikan dari Mustafa, cara membangunkan pasangan pengantin tersebut. Bu Teti memandang heran ke arah wanita renta di hadapannya yang terus menerus tertawa. Padahal tak ada pembicaran lucu di antara mereka.Sesaat sebelum Mustafa datang berbisik kepada Mbok Wo. Jin tersenyum baru mendapat seb
Suasana berubah mencekam. Angin berembus kencang membawa butiran salju. Pengantin baru ini segera beranjak meninggalkan tempat. Motor dipacu Gito dengan kencang untuk menghindari hujan angin yang seakan-akan mengejar mereka.Dinda menggigil ketakutan, langsung mendekap erat suaminya. Segala doa terlantun dari bibir mereka. Gito merasa keadaan yang tiba-tiba berubah bukan sesuatu yang normal. Apalagi dia dan juga Dinda merasakan bulu kuduk berdiri sejak awal kejadian.“Alhamdulillah, moga gak sampe sini. Aneh gitu, ya. Hujan angin tiba-tiba,” ucap Dinda setelah mereka hampir sampai rumah, tinggal beberapa meter lagi.“Iya, Dek. Baca doa aja.”Dinda memeluk pinggang Gito semakin kencang. Beberapa menit kemudian, mereka pun telah sampai rumah. Acara kenduri telah dimulai dengan Pak Kiai sebagai pemimpin doa. Gito menaruh motor di luar gerbang karena halaman sudah dipenuhi kendaraan para undangan.Pengantin baru ini lalu melangkah ke arah samping. Mereka masuk rumah lewat pintu belakang“
“Enggak. Cuma mau bilang, nanti sore ajak menantumu ke rumah,” jawab Mbok Wo sembari melihat keluar lewat kaca jendela yang dibuka tirainya oleh Bu Teti.“Wah, gimana, ya. Nanti sore sampe malam ada acara syukuran di sini, Mbok,” ucap Bu Teti kebingungan.“Terserah kamu. Mau menantumu sembuh, gak?” tanya Mbok Wo sambil memandang sinis ke arah Bu Teti.Wanita separuh umur ini jadi bingung karenanya. Suatu situasi yang sulit, dia dan Dinda harus ada di saat acara karena pihak yang punya hajat, alasan apa yang akan dipakai pada Gito?“Kalo besok saja gimana, Mbok? Sekalian belanja ke pasar,” ucap Bu Teti dengan takut-takut.Dia khawatir wanita renta di hadapannya murka karena telah dibantah perkataannya. Mbok Wo berpikir sejenak, mengerti dengan situasi yang harus dihadapi Bu Teti. Apalagi mereka hidup bertetangga, kalau pun kedua wanita jadi ke rumahnya di saat hajat, biar dicurigai warga, terutama anak Bu Teti.“Yodah, Kamu ambil baju mantumu, biar aku kasih Tuan Mustafa. Baru besok ka
Dinda yang sedang mempersiapkan makanan untuk Gito, ikut merenung, menyangkutpautkan hal yang terjadi dengannya. Dia merasa ada ‘sesuatu’ antara mandi ramuan yang disuruh padanya dengan pemilik kontrakan. Semua bersumber dengan orang yang sama, yaitu Mbok Wo.“Mbok Wo masih bersodara dengan pemilik rumah?” tanya Gito sambil melihat ke arah ibunya dan ditanggapi gelengan kepala oleh Bu Teti.“Kok bisa tau, kalo rumah itu akan dikontrakkan?” tanya Gito yang belum puas dengan tanggapan sang ibu.“Mungkin nih. Mbok Wo tau kalo rumah itu udah lama gak dihuni. Sejak pemiliknya punya rumah sekaligus toko di pinggir jalan,” jawab Bu Teti dengan santai.“Aku yang malu, Bu. Rumah gak disewakan dan tiba-tiba aku datang tanya soal harga. Kata Ibu, ditunggu pemilik di rumah kontrakan. Kok bisa?” ucap Gito dengan menggelengkan kepala.“Terus gimana, Mas? Gak jadi dapat kontrakan dong,” sahut Dinda sambil meletakkan piring di hadapan sang suami.Gito yang mendapat pertanyaan dari Dinda, hanya tersen
“Semoga keinginan Tuan segera tercapai,” ucap Bu Teti sambil menghampiri Mbok Wo yang sedang duduk di kursi ruang tengah.“Pantas aja, Tuan Mustafa percaya padamu,” balas Mbok Wok tersenyum memperlihatkan deretan gigi-gigi bernoda getah kinang.Bu Teti tersenyum lebar mendapat pujian dari Mbok Wo. Kedua wanita ini berbicara akrab dengan diselingi tawa sambil menunggu Dinda keluar dari kamar mandi. Tak berapa lama, wanita muda yang ditunggu telah keluar dengan tubuh lebih segar. Mbok Wo terkekeh-kekeh menghidu bau khas yang menguar dari tubuh Dinda.Dari bau ini, Tuan Mustafa bisa gampang mengenalinya, batin wanita tua dengan bibir dan deretan gigi dipenuhi noda merah kinang. Mbok Wo mencari-cari paidon [tempat ludah] yang terbuat dari kuningan. Namun, tak dijumpainya. Bu Teti yang memperhatikan perilaku wanita tua ini segera bertanya,”Mencari apa Mbok?”“Paidonku,”jawab Mbok Wok masih sibuk memadai seisi ruangan lalu bangkit perlahan dengan bantuan tongkat ke arah ruang tamu.“Saya g
Tanpa disangka dari arah depan datang santri baru yang seketika mendatangi Mustafa yang duduk di atas atap toilet. Keduanya pun menghilang di depan kedua mata Pak Kiai. Yang lain tak melihat kejadian barusan.Oh, ternyata, jin juga, ucap Pak Kiai dalam hati.Pria tua ini, diam-diam berniat ngobrol empat mata dengan santri baru tersebut. Setahu pria bersorban tersebut, jika ada jin yang berniat belajar di ponpes, biasanya akan pergi jika ilmunya sudah tuntas. Pak Kiai merasa ada harapan untuk bertemu dan melaksanakan niatnya.Tak terasa pria berjenggot putih tersebut tersenyum. Ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan kepada santri baru yang sepertinya cukup disegani oleh jin bandel itu. Pak Kiai hanya berharap bisa segera bertemu dengan sosok tersebut. Tak terasa, ufuk timur telah merekah. Aktivitas penghuni ponpes semakin sibuk, terutama bagi kaum wanita karena Dinda diurus oleh ponpes dan tentu saja dibantu pihak panti. Pak Kiai segera menuju rumah utama untuk bersiap-siap.Tep
Hati Pak Kiai mengisyaratkan bahwa Pak Brahim telah ‘pergi' dan tak mungkin kembali. Namun, hal tersebut hanya disimpan dalam hati saja. Oleh karena hanya sekadar firasat dan perlu pembuktian secara nyata.Persiapan pernikahan telah dimulai, meski hanya acara kalangan keluarga saja. Namun, tentu saja mengikutsertakan para santri dan santriwati ponpes. Semua pelaksanaan proses pernikahan diadakan di ponpes karena memang ijab kabul diadakan di sana juga.•••°•••°•••Hari H PernikahanDari semalam, Dinda dan Gito mengadakan pengajian di tempat berbeda. Dinda mengadakan pengajian di panti asuhan, sedangkan Gito mengadakan acara tersebut di rumahnya. Pengajian pihak calon mempelai wanita sengaja dilakukan di panti asuhan, dengan maksud untuk membersihkan tempat tersebut dari aura negatif. Itu pun atas saran Pak Kiai karena mengingat Dinda sering kesurupan di sana.Pagi ini, dari selepas Subuh, calon mempelai wanita telah dirias dan selalu didampingi seseorang dalam setiap geraknya. Mes
“Alhamdulillah, sudah sadar. Ayo buruan wudu, persiapan salat Magrib,” imbau Pak Kiai tetap dengan senyum tipis lalu berucap,”Assalammu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”“Wa’alaikumussalam.”Selepas kepergian Pak Kiai, Bu Ketua segera masuk kamar menghampiri kedua wanita asuhannya. Dinda yang baru saja siuman, untuk sesaat seperti orang linglung. Sang teman segera memberi air mineral kepadanya. Sementara itu, Bu Ketua mengusap air mata karena haru.Wanita separuh baya ini benar-benar dibuat kalang kabut saat Dinda pingsan setelah dirukiah. Wanita muda ini pingsan lama. Hingga membuat Bu Ketua kepikiran ada hal buruk yang menimpa Dinda dan dia bisa jadi tertuduh jika kemungkinan terburuk terjadi.“Alhamdulillah. Ya, Allah. Ibu sempat cemas barusan. Bahkan berniat panggil ambulans segala,” ucap wanita pengasuh asrama putri ini segera memeluk Dinda.“Terima kasih. Jadi bingung, kenapa sering begini,” ucap Dinda selepas Bu Ketua mengurai pelukan.Wanita muda ini mencium tangan Bu Ketu