Semua Bab Akhir Yang Bahagia: Bab 21 - Bab 30

115 Bab

Dibuangnya Orang Dalam

Rara mengacungkan jempolnya ke Chef Dino. “Ini enak banget, aku jatuh cinta sama masakan Chef.” “Suatu kehormatan, Nona,” Chef Dino menunduk sopan. Chef Dino kembali sibuk di dapur. Rara menatap Bi Nia, Bi Ica, dan Bi Santi yang berdiri tak jauh darinya. Rara sedikit heran, biasanya Bi Santi akan memberi perintah pada pelayan lain, ditambah Bi Nia dan Bi Ica yang terlihat tak nyaman dengan kehadiran  Bi Santi. “Selamat pagi, Nona,” Naren datang dengan membawa amplop putih. Naren melangkahkan kakinya ke samping Rara, berdiri tegak. Rara menatap Naren bingung. “Ngapain lo?” tanya Rara sembari berbisik. Naren memberikan amplop putih ke Rara, “Buka ini dan bacakan. Ini perintah Tuan Besar.” “Emang isinya apa?” tanya Rara sembari membuka amplop putih. Naren tak menjawab apapun, matanya menatap Bi Santi yang sudah tampak gelisah. Bi Ica dan Bi Nia ikut tegang karena keduanya sedikit terlibat. Rara membaca isi surat itu,
Baca selengkapnya

Peringatan

Rara tampak melamun di meja kelasnya. Ia menghela napas perlahan, masih terbayang di benaknya ucapan Bi Santi. Rara bertanya pada Naren mengenai maksud dari ucapan Bi Santi, tetapi si lawan bicara hanya mengangkat bahunya. “Ra,” panggil Amel dari depan pintu kelas. Rara mendekati Amel dan menatapnya dengan tanya. “Kak Rai mau ngomong sama lo nih,” Amel mendorong Rara agar keluar dari kelas. Amel tanpa peduli kembali masuk ke kelas. Raihan menyimpan ponselnya di jas sekolah. Ia menatap Rara yang menatapnya dengan pandangan tidak suka. “Mau apa?” tanya Rara. Raihan mengulurkan tangannya. Rara hanya menatap uluran tangan Raihan tanpa berniat menyambut uluran tangan. “Niat gue baik,” ujar Raihan menarik kembali tangannya. Rara tak menanggapi apapun, ia sibuk menatap sekitarnya yang lebih menarik dipandang. Raihan menghela napas, “Gue mau minta maaf atas omongan gue kemarin.” “Tenang aja Kak, gue udah nerima
Baca selengkapnya

Belum Menerima

“Bener kok, kata Naren. Gue disana sama nenek,” tanggap Rara tersenyum. “Kalau lo yang ngomong gini, gue baru percaya,” sahut Sandra sembari menatap Rara. Naren tak menanggapi perkataan Sandra. Kalau ditanya, ia pun tidak percaya dengan Sandra sepenuhnya. Naren masih menyimpan rasa curiga, meskipun saat ia mencari tau tentang Sandra hanya pujian yang ia terima mengenai sosok gadis itu. “Oh iya, gue denger dari bokap, entar lagi perayaan tujuh belas tahun berdirinya perusahaan bokap lo,” ucap Sandra menatap ponselnya. “Lo datang gak?” tanya Sandra menyimpan ponselnya di atas meja. “Um…” Rara melirik Naren sekilas, khawatir salah menjawab. Naren balas menatap Rara dengan wajah tak pedulinya. “Gue datang kok,” ucap Rara. “Gak sabar deh. Soalnya perusahaannya Kidan kalau ngadain perayaan itu gak main – main. Om Zarhan pernah nyewa dua hotel yang berbeda dan orang yang hadir dibolehin nginep,” ujar Sandra semangat. “Wah kere
Baca selengkapnya

Sebelum Mulai

Rara terkekeh kecil, “Bercanda lo gak lucu.” “Tapi, Ra gue itu peka,” kata Sandra menunjuk dirinya sendiri dengan bangga. “Pas ngobrol sama gue aja matanya lirik lo terus.” Rara mengerutkan keningnya, ia menggeleng pelan. Kemudian ia membawa nampannya ke tempat sampah, berniat membuang sisa makanan. Sandra mengikuti langkah Rara sembari meyenggol lengan Rara. “Gue serius, Ra,” ucap Sandra menoleh ke Rara sekilas. “Kita lihat entar aja,” tanggap Rara, ia kembali mengingat kejadian saat dijadikan bahan taruhan. Sandra mengangguk kecil, ia melambaikan tangannya pada Naren dan Jevan yang mencari keduanya. Sandra menarik lengan Rara, begitu Naren dan Jevan berdiri di belakangnya. Rara melirik Jevan sekilas, entah perasaannya saja wajah Jevan tampak canggung dan kaku. “Gue canggung banget sama dia,” ucap Jevan pelan. Naren yang mendengarnya, menanggapi, “Padahal dibawa santai aja.” “Lo gak akan ngerti, Ren,” Jevan menatap Naren dengan tatapan m
Baca selengkapnya

Aksi

Naren mengerutkan keningnya. Ia bingung dengan tingkah gadis di hadapannya. “Maksudnya gue izin ke Sandra dulu mau nemuin lo,” ralat Rara. “Iya kenapa?” tanya Naren. “Gue tadi belum sempat izin ke lo. Sandra main narik gue aja,” ujar Rara menatap Naren. Naren mengangguk, “Oh iya. Have fun.” ‘Kenapa lo gak cegah gue ikut? Gue takut.’ batin Rara. “Jevan kayanya gak ikut deh,” kata Rara berusaha mengkode Naren agar mencegahnya pergi. Naren terkekeh kecil, ia menatap Rara sekilas, “Itu juga gue tau. Tapi, Ra lo harus mulai terbiasa sama kehidupan lo yang sekarang. Lihat dulu aja, kalau lo gak nyaman gue bakal jemput lo.” “Lo sadar ternyata?” tanya Rara cemberut. “Gue sadar, Ra. Tapi, ini kehidupan. Lo harus coba oke?” bujuk Naren menyinggungkan senyumnya. Rara terdiam beberapa saat, kalau dipikir – pikir sudah satu bulan kehidupannya berubah. Tetapi, dirinya belum bisa menyesuaikan diri dengan baik.
Baca selengkapnya

Perjalanan Pulang

Tak terasa, mereka sudah selesai bermain di wahana bermain sepuasnya. Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, dan kini mereka makan malam untuk mengisi cacing perut yang sudah berteriak protes. “Gila bisa – bisanya lo mukul hantu bohongan,” tunjuk Kaira pada Farhan. Farhan hanya tertawa sebagai balasan. Ia ingat saat kejadian di rumah hantu, ia tanpa sengaja memukul pegawai yang bertugas karena sudah membuatnya terkejut. “Pasti nih anak kalau kesel bawaannya kekerasan,” Putri menopangkan dagunya. Joel mengambil posisi duduk di samping Putri, “Atau ke klub malam.” “UHUK UHUK!” Rara terkejut mendengar pembicaraan itu. Ia sedang meminum cola dan asik mendengarkan percakapan mereka. “Lo gak apa?” Sandra memberikan tisu ke Rara yang duduk di sebelahnya. Rara mengangguk, ia menerima tisu pemberian Sandra. Matanya menatap teman – temannya yang menatapnya dengan heran, kecuali Sandra dan Jevan. “Dari muka lo, kayanya lo gak
Baca selengkapnya

Mencari

“Gue hapus ya fotonya,” ucap Jevan. Rara menggeleng, foto yang dikirimkan Bu Windia memang mengerikan. Foto tangan yang digores sehingga mengeluarkan darah, membuat gadis itu ketakutan. Entah apa maksudnya, Rara juga tak memahami pikiran ibu kandungnya. “Lo yakin?” tanya Jevan. “Gue rasa…gue bakal minta Naren selidikin dulu maksudnya,” kata Rara. Jevan menghela napas, “Janji sama gue. Jangan buka pesan dari nyokap lo.” Rara mengangguk yakin. “Nyokap lo kirim alamat rumah, apa ini alamat rumahnya?” tanya Jevan masih membaca pesan dari Bu Windia. “Lo mau kesana?” tanya Jevan lagi karena Rara tak menanggapi apapun. “Gue gak yakin, Jev,” jawab Rara takut. “Oke. Kita pulang aja ya. Hp lo matiin aja,” kata Jevan melayangkan senyumnya, berharap dapat menenangkan Rara. Jevan mengembalikan ponsel ke pemiliknya. +++ “Makasih udah mengantar, Nona,” kata Naren sopan sembari menatap Jevan. Jevan baru saja sel
Baca selengkapnya

Tulus

Rara tersenyum kecut begitu masuk ke kelasnya. Rasanya tak nyaman saat ia menuju ke kelasnya, tatapan tak suka dan tatapan aneh menyerangnya. Raihan dengan seenaknya mengantar Rara ke kelas, meskipun gadis itu menolak. Ia jadi takut dianggap munafik oleh siswa lain. Raihan juga sempat meminta maaf kalau tadi perkataannya menyinggung Rara. “Kenapa lo?” tanya Sandra yang baru sampai di kelas. “Tadi lo sama Kak Raihan ya? Pas gue kesini anak lain pada ngomongin lo,” kata Sandra sembari mengambil posisi duduk di depan Rara. “Emang salah ya? Kok gue ngerasa makin gak disukai sama anak lain?” keluh Rara. “Biarin aja. Mereka tuh iri sama lo. Mereka gak bisa meraih Kak Raihan yang anak populer,” ujar Sandra sembari menepuk pundak Rara. “Tapi, gu-“ “Selamat pagi, Ra,” sapa Lia ceria. Rara menatap Lia yang berdiri di sampingnya, gadis itu tampak ramah. Sandra merasa Lia mengkodenya untuk pergi, akhirnya Sandra ke bangkunya, memberi ruang
Baca selengkapnya

Keadaan Yang Disengaja

Rara menatap Jevan bingung. Raihan langsung menatap Jevan tajam. Sandra melirik Raihan diam - diam, ia juga sadar kelakuan Raihan yang menahan tawanya. “Maksud lo?” tanya Raihan. “Kakak gak sadar diri ya? Jelas – jelas gue lihat lo tadi nahan ketawa pas Rara diejek sama temen gak guna Kakak,” jawab Jevan berani. “Jev…” Rara memanggil lelaki itu pelan. “Lo diam dulu, Ra,” bisik Sandra ke Rara. Sandra mendukung keberanian Jevan. Harus ada yang bertindak, sebelum Rara merasa tindakan Raihan bukan masalah. “Gu-gue enggak gitu,” elak Raihan, ia menatap Rara. “Gue gak nahan ketawa, Ra. Jelas – jelas gue kesel sama Nico.” Nico berkomentar, “Gue emang salah dan Raihan bela Rara. Lo gak usah sok tau anak baru.” “Lo gak suka kalau temen gue deket sama Rara? Emang lo siapa?” kali ini, Bagas, salah satu teman Raihan, mengeluarkan suaranya. “Kak, disini konteksnya Kak Raihan yang seneng waktu lihat Rara disudutkan sama Kak Nico,” ka
Baca selengkapnya

Keras Kepala

Rara mengangguk ragu,”Per-percaya.” Setelah Rara mengatakan jawabannya, ia segera mengalihkan pandangannya dari Naren. Naren menghela napas panjang, “Bahkan jawaban Nona ragu – ragu.” “Lo kasih tau dulu. Biar gue paham,” pinta Rara. “Raihan itu cuma mau harta lo, Ra. Dia hanya memanfaatkan lo. Setelah gue cari tau, keluarga Raihan adalah orang yang suka memanipulasi orang. Sayangnya, mereka bisa menutupi semua kejahatan,” tutur Naren. Masa bodoh dengan perkataan Naren pada Raihan tentang tidak akan memberitahu pada Rara. Lagipula, menurut Naren, Rara makin sulit diatur kalau terus dibiarkan. “Kak Raihan sama sekali gak minta uang atau apapun ke gue,” tanggap Rara. “Astaga Non…dia belum melakukan aksinya,” kata Naren kesal sendiri. “Masa sih?” tanya Rara. “Sifat Nona sekarang berubah ya. Dulu, meski Nona suka protes ujung – ujungnya tetap menurut. Sekarang, entah karena Raihan, tapi Nona tidak mudah diatur lagi,” komentar Naren
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
12
DMCA.com Protection Status