Naren mengerutkan keningnya. Ia bingung dengan tingkah gadis di hadapannya.
“Maksudnya gue izin ke Sandra dulu mau nemuin lo,” ralat Rara.
“Iya kenapa?” tanya Naren.
“Gue tadi belum sempat izin ke lo. Sandra main narik gue aja,” ujar Rara menatap Naren.
Naren mengangguk, “Oh iya. Have fun.”
‘Kenapa lo gak cegah gue ikut? Gue takut.’ batin Rara.
“Jevan kayanya gak ikut deh,” kata Rara berusaha mengkode Naren agar mencegahnya pergi.
Naren terkekeh kecil, ia menatap Rara sekilas, “Itu juga gue tau. Tapi, Ra lo harus mulai terbiasa sama kehidupan lo yang sekarang. Lihat dulu aja, kalau lo gak nyaman gue bakal jemput lo.”
“Lo sadar ternyata?” tanya Rara cemberut.
“Gue sadar, Ra. Tapi, ini kehidupan. Lo harus coba oke?” bujuk Naren menyinggungkan senyumnya.
Rara terdiam beberapa saat, kalau dipikir – pikir sudah satu bulan kehidupannya berubah. Tetapi, dirinya belum bisa menyesuaikan diri dengan baik.
Terima kasih sudah membaca~ Mohon dukungannya~
Tak terasa, mereka sudah selesai bermain di wahana bermain sepuasnya. Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam, dan kini mereka makan malam untuk mengisi cacing perut yang sudah berteriak protes. “Gila bisa – bisanya lo mukul hantu bohongan,” tunjuk Kaira pada Farhan. Farhan hanya tertawa sebagai balasan. Ia ingat saat kejadian di rumah hantu, ia tanpa sengaja memukul pegawai yang bertugas karena sudah membuatnya terkejut. “Pasti nih anak kalau kesel bawaannya kekerasan,” Putri menopangkan dagunya. Joel mengambil posisi duduk di samping Putri, “Atau ke klub malam.” “UHUK UHUK!” Rara terkejut mendengar pembicaraan itu. Ia sedang meminum cola dan asik mendengarkan percakapan mereka. “Lo gak apa?” Sandra memberikan tisu ke Rara yang duduk di sebelahnya. Rara mengangguk, ia menerima tisu pemberian Sandra. Matanya menatap teman – temannya yang menatapnya dengan heran, kecuali Sandra dan Jevan. “Dari muka lo, kayanya lo gak
“Gue hapus ya fotonya,” ucap Jevan. Rara menggeleng, foto yang dikirimkan Bu Windia memang mengerikan. Foto tangan yang digores sehingga mengeluarkan darah, membuat gadis itu ketakutan. Entah apa maksudnya, Rara juga tak memahami pikiran ibu kandungnya. “Lo yakin?” tanya Jevan. “Gue rasa…gue bakal minta Naren selidikin dulu maksudnya,” kata Rara. Jevan menghela napas, “Janji sama gue. Jangan buka pesan dari nyokap lo.” Rara mengangguk yakin. “Nyokap lo kirim alamat rumah, apa ini alamat rumahnya?” tanya Jevan masih membaca pesan dari Bu Windia. “Lo mau kesana?” tanya Jevan lagi karena Rara tak menanggapi apapun. “Gue gak yakin, Jev,” jawab Rara takut. “Oke. Kita pulang aja ya. Hp lo matiin aja,” kata Jevan melayangkan senyumnya, berharap dapat menenangkan Rara. Jevan mengembalikan ponsel ke pemiliknya. +++ “Makasih udah mengantar, Nona,” kata Naren sopan sembari menatap Jevan. Jevan baru saja sel
Rara tersenyum kecut begitu masuk ke kelasnya. Rasanya tak nyaman saat ia menuju ke kelasnya, tatapan tak suka dan tatapan aneh menyerangnya. Raihan dengan seenaknya mengantar Rara ke kelas, meskipun gadis itu menolak. Ia jadi takut dianggap munafik oleh siswa lain. Raihan juga sempat meminta maaf kalau tadi perkataannya menyinggung Rara. “Kenapa lo?” tanya Sandra yang baru sampai di kelas. “Tadi lo sama Kak Raihan ya? Pas gue kesini anak lain pada ngomongin lo,” kata Sandra sembari mengambil posisi duduk di depan Rara. “Emang salah ya? Kok gue ngerasa makin gak disukai sama anak lain?” keluh Rara. “Biarin aja. Mereka tuh iri sama lo. Mereka gak bisa meraih Kak Raihan yang anak populer,” ujar Sandra sembari menepuk pundak Rara. “Tapi, gu-“ “Selamat pagi, Ra,” sapa Lia ceria. Rara menatap Lia yang berdiri di sampingnya, gadis itu tampak ramah. Sandra merasa Lia mengkodenya untuk pergi, akhirnya Sandra ke bangkunya, memberi ruang
Rara menatap Jevan bingung. Raihan langsung menatap Jevan tajam. Sandra melirik Raihan diam - diam, ia juga sadar kelakuan Raihan yang menahan tawanya. “Maksud lo?” tanya Raihan. “Kakak gak sadar diri ya? Jelas – jelas gue lihat lo tadi nahan ketawa pas Rara diejek sama temen gak guna Kakak,” jawab Jevan berani. “Jev…” Rara memanggil lelaki itu pelan. “Lo diam dulu, Ra,” bisik Sandra ke Rara. Sandra mendukung keberanian Jevan. Harus ada yang bertindak, sebelum Rara merasa tindakan Raihan bukan masalah. “Gu-gue enggak gitu,” elak Raihan, ia menatap Rara. “Gue gak nahan ketawa, Ra. Jelas – jelas gue kesel sama Nico.” Nico berkomentar, “Gue emang salah dan Raihan bela Rara. Lo gak usah sok tau anak baru.” “Lo gak suka kalau temen gue deket sama Rara? Emang lo siapa?” kali ini, Bagas, salah satu teman Raihan, mengeluarkan suaranya. “Kak, disini konteksnya Kak Raihan yang seneng waktu lihat Rara disudutkan sama Kak Nico,” ka
Rara mengangguk ragu,”Per-percaya.” Setelah Rara mengatakan jawabannya, ia segera mengalihkan pandangannya dari Naren. Naren menghela napas panjang, “Bahkan jawaban Nona ragu – ragu.” “Lo kasih tau dulu. Biar gue paham,” pinta Rara. “Raihan itu cuma mau harta lo, Ra. Dia hanya memanfaatkan lo. Setelah gue cari tau, keluarga Raihan adalah orang yang suka memanipulasi orang. Sayangnya, mereka bisa menutupi semua kejahatan,” tutur Naren. Masa bodoh dengan perkataan Naren pada Raihan tentang tidak akan memberitahu pada Rara. Lagipula, menurut Naren, Rara makin sulit diatur kalau terus dibiarkan. “Kak Raihan sama sekali gak minta uang atau apapun ke gue,” tanggap Rara. “Astaga Non…dia belum melakukan aksinya,” kata Naren kesal sendiri. “Masa sih?” tanya Rara. “Sifat Nona sekarang berubah ya. Dulu, meski Nona suka protes ujung – ujungnya tetap menurut. Sekarang, entah karena Raihan, tapi Nona tidak mudah diatur lagi,” komentar Naren
“Nyonya saya mohon berhenti. Anda bisa terluka,” kata Naren tenang, ia berdiri tegap. “Menyingkir!” bentak Ibu Windia kesal. “Saya menolak,” balas Naren tegas. “Beraninya kamu!” Ibu Windia menusuk dada Naren dengan pecahan kaca vas bunga yang sejak tadi masih dipegang olehnya. “Tolong antarkan Nyonya Besar ke kediamannya. Saya akan segera melaporkan kejadian ini pada Tuan Besar,” kata Naren pada tiga orang satpam yang baru saja datang bersama Bi Ica. Ketiga satpam itu mendekati Ibu Windia, salah satu satpam hendak mengatakan sesuatu setelah melihat darah di baju Naren. Tetapi, Naren menggeleng pada satpam tersebut. Ibu Windia ditarik paksa oleh ketiga satpam, wanita itu melontarkan kata ancaman dari mulutnya. Tetapi, para satpam tidak menggubris ancaman wanita itu. Bi Ica mengikuti langkah ketiga satpam dan Ibu Windia, ia akan memastikan semuanya aman. “Naren…” panggil Rara pelan. Naren berbalik ke belakang. Rara menatap baju s
Pengawal itu sedikit melirik spion tengah, ia bingung. Rara yang sadar ditatap lewat spion tengah berusaha bersikap biasa. Ia berdehem pelan. “Nama kamu siapa?” tanya Rara cepat. “Saya Fajar, Non,” jawab pengawal itu. Rara tersenyum ramah, “Kamu tau beberapa hal tentang ayah aku? Sosok ayah aku gimana di mata kamu?” Fajar menelan ludahnya kasar, ia tak tau harus menjawab apa. Lelaki itu hanya ditugaskan oleh Naren untuk mengantar. Meskipun, Naren memberi pesan padanya untuk tak banyak bicara. “Kok diem?” tanya Rara sembari menepuk pundak Fajar dari belakang. Fajar tersenyum sopan, “Tuan Besar adalah sosok yang baik dan tegas di saat yang bersamaan.” Rara menyilangkan tangannya, “Sayang sama anak ga?” tanya Rara. “Hah?” Fajar menatap Rara bingung. Rara mengalihkan pandangannya, ia memilih menatap ke luar jendela, “Lupain aja.” Rara sadar hanya jawaban aman yang keluar dari mulut Fajar. Naren tidak ceroboh
Rara menutup mulutnya dengan tangannya. Gadis itu memilih tak mendengarkan pembicaraan Raihan dengan si penelopon lebih jauh. Rara meninggalkan kafe, untungnya meja Raihan dan Rara berada di sudut kafe. ‘Bodoh banget gue.’ Batin Rara kesal pada dirinya. ‘Harusnya gue percaya sama Jevan dengan Naren. Manusia gak berubah secepat itu.’ Rara mengacak rambutnya. Gadis itu tak peduli saat pejalan kaki menatapnya heran. Rara menatap lampu lalu lintas yang hijau. Rara menunduk, sibuk menatap ujung sepatunya, ‘Gue emang keras kepala.’ Pejalan kaki yang lain sudah mulai menyebrang karena lampu merah menyala. Rara menggigit bibir bawahnya, teringat jawaban keras kepalanya saat Jevan, Naren, dan Sandra mengingatkannya. Dibanding sedih, dirinya lebih kecewa dengan dirinya sendiri karena mudah mempercayai orang. “Maaf…” gumam Rara pelan. “Permintaan maaf diterima,” sahut seorang lelaki yang berdiri di sampingnya. Rara menoleh ke sebelahnya,
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu