“Nyonya saya mohon berhenti. Anda bisa terluka,” kata Naren tenang, ia berdiri tegap.
“Menyingkir!” bentak Ibu Windia kesal.
“Saya menolak,” balas Naren tegas.
“Beraninya kamu!” Ibu Windia menusuk dada Naren dengan pecahan kaca vas bunga yang sejak tadi masih dipegang olehnya.
“Tolong antarkan Nyonya Besar ke kediamannya. Saya akan segera melaporkan kejadian ini pada Tuan Besar,” kata Naren pada tiga orang satpam yang baru saja datang bersama Bi Ica. Ketiga satpam itu mendekati Ibu Windia, salah satu satpam hendak mengatakan sesuatu setelah melihat darah di baju Naren. Tetapi, Naren menggeleng pada satpam tersebut.
Ibu Windia ditarik paksa oleh ketiga satpam, wanita itu melontarkan kata ancaman dari mulutnya. Tetapi, para satpam tidak menggubris ancaman wanita itu. Bi Ica mengikuti langkah ketiga satpam dan Ibu Windia, ia akan memastikan semuanya aman.
“Naren…” panggil Rara pelan.
Naren berbalik ke belakang. Rara menatap baju s
Terima kasih sudah membaca~ Mohon dukungannya~
Pengawal itu sedikit melirik spion tengah, ia bingung. Rara yang sadar ditatap lewat spion tengah berusaha bersikap biasa. Ia berdehem pelan. “Nama kamu siapa?” tanya Rara cepat. “Saya Fajar, Non,” jawab pengawal itu. Rara tersenyum ramah, “Kamu tau beberapa hal tentang ayah aku? Sosok ayah aku gimana di mata kamu?” Fajar menelan ludahnya kasar, ia tak tau harus menjawab apa. Lelaki itu hanya ditugaskan oleh Naren untuk mengantar. Meskipun, Naren memberi pesan padanya untuk tak banyak bicara. “Kok diem?” tanya Rara sembari menepuk pundak Fajar dari belakang. Fajar tersenyum sopan, “Tuan Besar adalah sosok yang baik dan tegas di saat yang bersamaan.” Rara menyilangkan tangannya, “Sayang sama anak ga?” tanya Rara. “Hah?” Fajar menatap Rara bingung. Rara mengalihkan pandangannya, ia memilih menatap ke luar jendela, “Lupain aja.” Rara sadar hanya jawaban aman yang keluar dari mulut Fajar. Naren tidak ceroboh
Rara menutup mulutnya dengan tangannya. Gadis itu memilih tak mendengarkan pembicaraan Raihan dengan si penelopon lebih jauh. Rara meninggalkan kafe, untungnya meja Raihan dan Rara berada di sudut kafe. ‘Bodoh banget gue.’ Batin Rara kesal pada dirinya. ‘Harusnya gue percaya sama Jevan dengan Naren. Manusia gak berubah secepat itu.’ Rara mengacak rambutnya. Gadis itu tak peduli saat pejalan kaki menatapnya heran. Rara menatap lampu lalu lintas yang hijau. Rara menunduk, sibuk menatap ujung sepatunya, ‘Gue emang keras kepala.’ Pejalan kaki yang lain sudah mulai menyebrang karena lampu merah menyala. Rara menggigit bibir bawahnya, teringat jawaban keras kepalanya saat Jevan, Naren, dan Sandra mengingatkannya. Dibanding sedih, dirinya lebih kecewa dengan dirinya sendiri karena mudah mempercayai orang. “Maaf…” gumam Rara pelan. “Permintaan maaf diterima,” sahut seorang lelaki yang berdiri di sampingnya. Rara menoleh ke sebelahnya,
“Loh siapa nihh?” tanya Pak Haris, ayah Jarvis. Pak Haris memberikan jas kerja dan tasnya pada pelayan. Rara buru – buru berdiri kemudian menyalami pria di hadapannya itu. “Halo Om. Saya Rara.” Pak Haris menatap Jarvis sembari menaikan satu alisnya, “Saya Ayahnya Jarvis, panggil saja Om Haris.” “Dia temen aku, Yah,” kata Jarvis cepat saat sang ayah tersenyum licik. “Kirain…” balas Pak Haris kemudian ia menatap Rara, tampak berpikir. “Wajahnya gak asing.” “Anaknya Om Zarhan, Yah,” info Jarvis. “OH! Kamu anaknya Zarhan! Kamu baru pulang dari panti asuhan ya?” kata Pak Haris semangat. “Hehe iya,” Rara tersenyum canggung. Padahal, sejak kecil ia sudah tinggal di panti asuhan. Ternyata, Ayahnya pun menyembunyikan kebenaran dari pria di hadapannya. “Kamu cantik sekali. Pantas saja Jevan membawamu ke rumah,” puji Pak Haris. “Apa sih Yah! Ngarang ngomongnya!” kata Jevan kesal. “Diam dulu, Nak. Ayo duduk,” kata P
Rara memberikan cokelat pada Sandra. Sandra yang baru saja duduk di kursinya menatap Rara bingung. “Dalam rangka apa nih?” tanya Sandra sembari membuka cokelat itu. Rara duduk di kursi depan Sandra, kemudian tersenyum, “Tanda permintaan maaf atas sikap keras kepala gue.” Sandra tediam beberapa saat. Ia kemudian menampilkan senyumnya, “Santai aja, Ra. Gue anaknya mudah memaafkan. Makasih cokelatnya.” Rara membuka mulutnya karena Sandra memberikan sepotong cokelat, “Lo ikut ke perayaan Perusahaan Kidan?” Sandra mengunyah cokelatnya, “Itu dia! Gue hari ini mau nanya ke lo. Lo ikut gak?” “Waktu itu gue udah jawab ikut. Rencananya, gue berangkat sama bokap gue,” tanggap Rara. Bahu Sanda merosot, “Tadinya gue mau ajak lo bareng gue. Soalnya, bokap nyokap gue lagi di luar kota dan gak bisa datang. Jadi, gue perwakilan mereka.” “Gue minta maaf, San,” kata Rara merasa bersalah. Kalau tahu Sandra berangkat sendiri, ia ikut saja d
“Kok lo disini?” tanya Rara memperhatikan sekitarnya. Ia menjadi pusat perhatian karena dijemput dengan mobil mewah di halte bus. Naren turun dari kursi pengemudi untuk membukakan pintu untuk Rara. Tak kunjung mendapat jawaban, Rara akhirnya melangkah masuk ke kursi penumpang. Mobil mulai dilajukan, Rara hanya terdiam sembari menopang dagunya dan menatap keluar jendela. Rara kembali berpikir mengenai keterlibatan Naren. “Nona, anda kenapa? Sepertinya ada yang mengganggu pikiran anda,” kata Naren sembari melirik dari spion tengah. “Gue kepikiran sesuatu,” balas Rara tanpa mengalihkan pandangannya dari lalu lalang jalan. “Tentang apa?” tanya Naren penasaran. Rara segera mengalihkan pandangannya ke depan, pada kaca spion tengah. Matanya bertemu dengan mata tajam Naren. “Tentang lo,” jawab Rara jujur. Naren mengangkat alisnya, “Hm?” “Kira – kira lo tau gak kelakuan bokap gue tanpa bantuan lo?” tanya Rara mulai
Jevan menghentikan langkahnya, ia tersenyum pada Bu Flora, “Maksud Ibu?” Bu Flora tertawa kecil, “Ibu kenal dengan Ibunya Rara. Bu Windia kan?” Jevan berlutut di hadapan sang ibu. Tertera di wajahnya rasa penasaran yang tinggi. “Ibu gimana bisa kenal?” “Kita hanya teman semasa kuliah. Bu Windia sempat bercerita dia mengalami keguguran,” tutur Bu Flora. “Keguguran? Maksud Ibu Rara anak angkat atau gimana?” tanya Jevan penasaran. Bu Flora tersenyum hangat, ia mengusap rambut Jevan lembut, “Kamu mulai perhatian sama seseorang ya.” “Ibuu~ jangan goda aku,” ucap Jevan cepat. “Jawab pertanyaan aku dulu.” “Ya ampun, anak ini. Tumben memaksa,” komentar Bu Flora. “Bu…” “Hahaha, baiklah. Ibu sudah tidak saling menyapa lagi semenjak dia mengalami keguguran dari seorang anak,” tutur Bu Flora. Bahu Jevan merosot, ia cemberut. Pikirannya tertuju ke Naren, lelaki yang tau tentang Bu Windia. Apa Naren mengetahui tentang
Rara memegang dadanya yang berdetak kencang. Hari ini adalah acara perayaan tujuh belas tahun berdirinya Perusahaan Kidan. Rara menatap Bibi Ica dan Bibi Nia yang berdiri di belakangnya. “Bi, aku gak terlihat aneh kan?” tanya Rara memastikan. Bibi Ica dan Bibi Nia bertatapan sebentar, keduanya kompak menggeleng dan menampilkan senyum. “Nona cantik sekali,” puji Bibi Ica. Bibi Nia mengangguk setuju, “Nona akan jadi pusat perhatian disana.” “Terima kasih Bi,” ucap Rara tulus. Rara menatap Naren yang baru saja sampai di kediamannya. Naren memakai setelan jas hitam dengan celana hitam dan sepatu pantofel. “Ren, lo tau bokap gue dimana?” tanya Rara menatap Naren yang berdiri tegak di belakangnya. Naren menatap jam tangannya, “Sekitar lima belas menit lagi akan sampai.” “Gue deg – degan,” gumam Rara pelan. Naren melirik Rara sekilas kemudian berujar, “Tenang Non. Tuan Besar orang baik.” “Lo ikut ke mobil
“Hahaha. Maksud Ayah apa?” tanya Rara tertawa kencang. Ayah Zarhan mengerutkan keningnya melihat tingkah putrinya, “Sudahlah. Kita bahas nanti saja.” “Tuan, kita sudah sampai,” ujar sopir tersebut. “Baiklah bersiap,” sahut Ayah Zarhan. Rara meneguk ludahnya, ia gugup. Mobil sedan mewah sampai di depan lobi hotel. Naren turun dari mobil, ia segera membuka pintu untuk Rara dan Ayah Zarhan. Rara pikir, akan ada jepretan kamera yang menyambutnya. Nyatanya, hanya pegawai hotel yang bertugas untuk menyambut. “Silakan Tuan ke lantai paling atas,” sambut pegawai hotel itu. Ayah Zarhan mengangguk. Rara menyamakan langkahnya dengan Ayahnya. Naren mengikuti langkah keduanya di belakang. “Silakan,” ucap Naren sembari mempersilakan Rara dan Ayah Zarhan untuk masuk ke lift terlebih dahulu. Naren menekan tombol dua puluh. Beberapa menit kemudian, ketiganya sampai di lantai paling atas. Ayah Zarhan keluar terlebih dahulu. Rara ikut menyusul di belakangnya. Naren keluar paling akhir. “Nona, a
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu