Rara memegang dadanya yang berdetak kencang. Hari ini adalah acara perayaan tujuh belas tahun berdirinya Perusahaan Kidan. Rara menatap Bibi Ica dan Bibi Nia yang berdiri di belakangnya.
“Bi, aku gak terlihat aneh kan?” tanya Rara memastikan.
Bibi Ica dan Bibi Nia bertatapan sebentar, keduanya kompak menggeleng dan menampilkan senyum.
“Nona cantik sekali,” puji Bibi Ica.
Bibi Nia mengangguk setuju, “Nona akan jadi pusat perhatian disana.”
“Terima kasih Bi,” ucap Rara tulus. Rara menatap Naren yang baru saja sampai di kediamannya. Naren memakai setelan jas hitam dengan celana hitam dan sepatu pantofel.
“Ren, lo tau bokap gue dimana?” tanya Rara menatap Naren yang berdiri tegak di belakangnya.
Naren menatap jam tangannya, “Sekitar lima belas menit lagi akan sampai.”
“Gue deg – degan,” gumam Rara pelan.
Naren melirik Rara sekilas kemudian berujar, “Tenang Non. Tuan Besar orang baik.”
“Lo ikut ke mobil
Terima kasih sudah membaca~ Mohon tinggalkan jejak ya~
“Hahaha. Maksud Ayah apa?” tanya Rara tertawa kencang. Ayah Zarhan mengerutkan keningnya melihat tingkah putrinya, “Sudahlah. Kita bahas nanti saja.” “Tuan, kita sudah sampai,” ujar sopir tersebut. “Baiklah bersiap,” sahut Ayah Zarhan. Rara meneguk ludahnya, ia gugup. Mobil sedan mewah sampai di depan lobi hotel. Naren turun dari mobil, ia segera membuka pintu untuk Rara dan Ayah Zarhan. Rara pikir, akan ada jepretan kamera yang menyambutnya. Nyatanya, hanya pegawai hotel yang bertugas untuk menyambut. “Silakan Tuan ke lantai paling atas,” sambut pegawai hotel itu. Ayah Zarhan mengangguk. Rara menyamakan langkahnya dengan Ayahnya. Naren mengikuti langkah keduanya di belakang. “Silakan,” ucap Naren sembari mempersilakan Rara dan Ayah Zarhan untuk masuk ke lift terlebih dahulu. Naren menekan tombol dua puluh. Beberapa menit kemudian, ketiganya sampai di lantai paling atas. Ayah Zarhan keluar terlebih dahulu. Rara ikut menyusul di belakangnya. Naren keluar paling akhir. “Nona, a
Rara menatap Naren yang berdiri di sebelahnya. “Naren, lo ngapain?” Rara meraih tangan Naren untuk melepaskan tangan Jevan. Rara menatap sekelilingnya, beberapa orang yang berdiri di dekatnya menatap mereka penasaran. “Jangan buat gosip. Ini akan berdampak pada Perusahaan Kidan,” ucap Naren menatap Jevan dingin. Jevan menghela napas, “Sorry, gue gak bermaksud.” Rara tertawa canggung, “Hahaha, kalian itu kan dekat. Kenapa bertingkah begini?” “Pengawal itu siapa?” “Eh pengawalnya cakep banget.” “Pergaulan Jevan dengan orang rendahan kaya gitu?” “Anaknya Om Zarhan gaul sama pengawal?” “Mainnya gak level sama kita.” Rara mengepalkan tangannya mendengar perkataan orang – orang di sekitarnya. Rara sepertinya salah bicara. Rara melirik Naren yang tampak tidak peduli akan perkataan orang – orang. Jevan menatap tajam orang – orang yang bergosip. Ia berdeham pelan, “Kita cari tempat ngobrol yang enak yuk. Gue gak tahan sama orang penjilat gini,” ajak Jevan menatap Rara dan Naren berga
“Ibu?” Rara menatap wanita yang turun dari mobil sedan. Jevan ikut menatap ke wanita itu dan Rara bergantian. Ia teringat perkataan sang ibu kalau Ibu Windia sempat mengalami keguguran. “Ra, lo se-“ “Rara, Jevan!” panggil Ibu Windia dengan senyumnya. Ibu Windia sampai di depan keduanya. “Kalian ngapain disini?” tanya Ibu Windia menatap toko kecil itu jijik. “Di tempat kumuh begini.” “Kita beli es krim,” jawab Rara pelan sembari menundukan kepalanya. Jevan menatap kedua orang itu dalam diam. “Ngapain beli di toko kecil begini?! Kamu tidak punya harga diri?!” bentak Ibu Windia emosi. Rara mengangkat wajahnya, ia tak memahami sang Ibu. “Maksud Ibu apa? Aku emang mau beli disini dan es krimnya cu-“ “Saya yang meminta Rara untuk menemani saya,” sela Jevan cepat. Rara menatap Jevan bingung, pasalnya yang meminta ditemani adalah dirinya. “Kamu mengajarkan anak saya untuk hidup miskin?” tanya Ibu Windia. “Ibu kenapa bertingkah begini? Aku hanya makan es krim. Kenapa Ibu sampai berlebi
Jevan menatap Ayah Haris yang membalas pertanyaannya dalam diam. Ayah Haris memilih menyesap tehnya yang sudah dingin. “Ayah…” Jevan menatap ayahnya sendu. “Apa Ayah tahu kalau Ibu punya pe-“ “Nak,” sela Ayah Haris. “Kamu bebas untuk menemui Ibumu. Ayah tidak akan membatasinya. Ayah hanya bingung, kenapa kamu tidak berbicara setiap berkunjung pada Ibumu.” Jevan menghela napas, “Aku takut, Ayah gak izinin aku,” jawabnya jujur. Ayah Haris menatap Jevan, “Ayah gak akan membatasi kamu, Nak. Kamu sudah paham harus bersikap bagaimana, itu sudah cukup.” “Apa Ayah pernah berkunjung ke Ibu untuk menanyakan keadaannya?” tanya Jevan penasaran. Ayah Haris tersenyum sendu, “Ayah sering datang kesana. Tetapi, tidak pernah disambut dengan baik.” Jevan menatap ayahnya. Dari mata tajam ayahnya, tampak terluka dan menyimpan kesedihan. Jevan jadi ingat saat dirinya pertama kali tahu kalau ibunya sakit. “Ayah, ayo datang sama aku ke rumah Ibu,” ajak Jevan semangat. Ayah Haris terkekeh pelan, “Kam
Rara menyinggungkan senyumnya, “Aku rasa itu masih bisa diobati,” ucap Rara berusaha memberikan semangat. “Tante masih bisa dioperasi.” Gelengan dari Ibu Flora membuat semangat Rara turun. “Kemungkinannya berapa persen?” “Tidak banyak, Nak,” lirih Ibu Flora. “Jangan beritahu Jevan ya, Nak.” Rara terdiam beberapa saat. Ia tidak bisa berjanji pada wanita itu. Jevan juga pasti berharap untuk mengetahui penyakit Ibunya. “Tante mohon,” pinta Ibu Flora sembari meraih tangan Rara untuk ia genggam. Rara mengigit bibir bawahnya, ia kebingungan. “Aku…” “Kamu tidak mau Jevan terluka kan?” tanya Ibu Flora. Rara menggeleng. Ibu Flora menyahuti, “Kalau begitu, tolong jangan kasih tahu dia.” “Tapi dengan Tante gak jujur. Itu pun ngebuat Jevan terluka,” sanggah Rara. Ibu Flora tersenyum sendu, “Tidak apa. Setidaknya, dia akan membenci Tante setelah itu.” “Kenapa Tante berharap begitu?” tanya Rara sedih. “Biar dia lebih cepat melupakan Tante,” jawab Ibu Flora. “Jangan begini, Tan. Jevan aka
Rara dan Naren sudah sampai di Panti Asuhan Bahagia. Keduanya disambut oleh anak kecil yang sibuk bermain di halaman belakang. Rupanya, Bu Unike sedang berbelanja sehingga panti asuhan dipenuhi suara anak – anak. “Kak Nalen, ayo main sama aku,” ucap Darel menarik tangan Naren. Lelaki itu sedikit panik, ia menatap Rara meminta bantuannya. Rara menyinggungkan senyumnya, kemudian ia sedikit mendorong Naren untuk menjauh darinya. “Lo temenin Darel ya. Gue mau ke dapur.” Rara berlalu meninggalkan Naren yang hanya tersenyum canggung pada Darel. Lelaki itu ikut duduk di samping Darel. “Kak Nalen, kenapa kalau kesini suka pake jas?” tanya Darel penasaran sembari memberikan pensil warna. “Um…soalnya itu pekerjaan saya,” sahut Naren. Darel menatap Naren sebentar kemudian ia mulai melanjutkan kegiatan mewarnainya. “Kak Nalen, kaya olang mau nikah aja,” komentar Darel dengan suara cadelnya. Naren nyaris saja tersedak ludahnya sendiri. Ia menatap Naren kemudian tersenyum canggung, “Belum wa
Pertanyaan Rara membuat Bu Unike dan Ayah Zarhan terdiam. Naren memperhatikan satu – satu ekspresi Bu Unike dan atasannya. Terlihat jelas, keduanya sedikit mundur dari posisinya, menciptakan jarak. Ayah Zarhan terkekeh, “Kenapa kamu bertanya begitu Nak?” “Bu Unike kelihatan kesal sama Ayah. Ayah ada salah apa ke Ibu?” tanya Rara sembari menunjuk Bu Unike. “Ibu gak kesal, Nak. Hanya saja, bukankah lebih baik kalau Ayahmu menjawab pertanyaan kamu. Mumpung kita lagi bertemu,” tutur Bu Unike tersenyum. Rara terdiam beberapa saat, ia menatap Ayah Zarhan dengan tatapan berharap. Rara tampak menunggu jawaban sang Ayah. Sayangnya, Ayah Zarhan mengkode Naren untuk membantunya. Naren yang ditatap oleh atasannya menggaruk tengkuknya. Ia hanya menampilkan senyumnya pada atasannya. Ayah Zarhan menatap tajam Naren karena tak memahami kodenya. “Ayah, kok malah lihat Naren,” Rara melambaikan tangannya di depan wajah Ayahnya. Rara menatap Naren kesal, “Lo ada urusan apa sama Ayah?” Naren memasan
“Nona kenapa panik begitu?” Naren sedikit bingung dengan Rara. “Gimana gak panik, kita lagi bahas bokap gue,” jawab Rara tampak berniat tidak menjawab panggilan telepon. “Jawab saja, Non,” saran Naren melihat layar ponsel Rara yang masih menyala. “Gak deh,” tolak Rara menyimpan ponselnya di atas meja. Ia menatap layar ponselnya hingga tidak ada panggilan lagi. Naren menggelengkan kepala melihat tingkah Rara. Ia memilih kembali mengetik laporan. Rara segera mengambil ponselnya begitu melihat ada notifikasi pesan dari Ayahnya. Ia membulatkan matanya saat membaca isi pesan. “Bokap gue ngajak ketemu akhir pekan nanti buat jelasin semuanya,” ucap Rara sembari menunjukkan layar ponselnya pada Naren. “Syukurlah. Setidaknya Nona menemukan titik terang,” tanggap Naren tenang. Rara mengangguk, “Gue gak sabar mau cerita ke Jevan besok!” “Oh iya, tentang Jevan…” Rara menutup mulutnya. “Gak jadi deh, lupain aja.” Gadis itu kemudian berdiri dan meninggalkan Naren. Naren mengangkat alisnya
Satu tahun kemudian.“Nona, sudah siap?” tanya Naren.Rara mengangguk. Ia meletakkan sendok dan garpunya di atas piring dan membalikkannya, tanda sudah selesai.“Bi, aku sudah selesai. Tolong bawa ini,” ucap Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu mengambil piring kotor Rara lalu meninggalkan ruang makan.“Lo duduk dulu. Kita ngobrol,” ujar Rara menatap Naren yang berdiri tak jauh.Naren mendekat pada Rara dan duduk di depan gadis itu.“Besok jam delapan ya?” tanya Rara.“Iya. Jangan sampai terlambat,” jawab Naren.“Lo yang ngantar gue kan?” tanya Rara.“Nona, sudah lebih dari tiga kali anda bertanya,” tanggap Naren terkekeh kecil.Rara mengulas senyum. Ia menghela napas panjang.“Gue cuman gak nyangka aja akan begini jadinya,” balas Rara.“Nona sendiri yang ingin pergi,” kata Naren lembut.“Yah..gue cuman…” Rara menjeda ucapannya. Ia memilih tidak melanjutkan ucapannya.Keheningan melanda keduanya. Rara dan Naren sama – sama bungkam. Naren melirik Rara yang sibuk memainkan jemari tanga
Hari yang dilalui Rara tampak biasa saja. Hubungannya dengan kedua orang tuanya berjalan normal. Rara pun sudah berusaha menerima keadaan, walaupun saat ia berdiam diri di kamar, ia memikirkan orang tuanya yang tidak bersama lagi.“Nona, ada panggilan masuk,” kata Bibi Ica seraya mengetuk pintu kamarnya.Rara bangkit dari duduknya. Ia membuka pintu untuk Bibi Ica.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Tuan besar menelopon lewat telepon rumah. Beliau kebingungan karena nona tidak menjawab panggilannya,” tutur Bibi Ica.“Baterai HP aku habis,” ucap Rara. “Bilang aja ke ayah, aku akan membalasnya setelah HP aku penuh.”Bibi Ica mengangguk kecil. Wanita itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu.“Kenapa Bi?” tanya Rara.“Nona, dibawah ada pengawal nona. Dia tetap datang hari ini,” ucap Bibi Ica.“Ngapain Naren kesini? Bukannya aku udah bilang kalau hari ini libur untuknya?” tanya Rara bingung.“Saya tidak tahu. Dia katanya hanya ingin melanjutkan kegiatan menjaga keselamatan nona saja,” sahut Bibi Ica.
“Apa mamah dan ayah masih bersama?” tanya Rara.Sempat terjadi keheningan saat Rara bertanya. Rara memperhatikan ekspresi kedua orang tuanya satu persatu. Gadis itu menundukan kepala.“Maaf, aku terkesan lancang ya,” ucap Rara.“Tidak Nak,” balas Ayah Zarhan.“Rara sayang, bukannya kamu sudah tahu tanpa harus bertanya?” tanya Mamah Windia lembut.Rara mengangkat kepalanya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.“Ayah dan mamah sudah bercerai setelah mamahmu keluar dari RSJ. Mamahmu kecewa karena kamu dipindahkan ke panti asuhan dan ayah juga merasa hubungan kami memang tidak satu tujuan lagi. Hubungan komunikasi kami memburuk dan saling menjaga jarak masing – masing,” kata Ayah Zarhan menjelaskan.“Sekarang kami akan berusaha untuk tetap berkomunikasi agar kamu juga nyaman, walaupun kami masih agak canggung,” tambah Mamah Windia.“Ah begitu…” Rara menyinggungkan senyum. “Jadi ayah dan mamah sudah cerai ya?”“Iya Nak,” jawab Ayah Zarhan.“Rara, ini
Keheningan melanda ruang tamu di kediaman Rara. Rara melirik Bibi Ica yang berdiri di sebelah kanan. Wanita paruh baya itu hanya diam mengawasi sosok yang duduk di depan majikannya.“Bi, aku kenal dia,” ucap Rara.“Iya Nona. Nona mau mengobrol berdua dengannya?” tanya Bibi Ica.“Iya Bi, tolong ya,” balas Rara.Bibi Ica mengangguk. Wanita itu segera meninggalkan ruang tamu.“Lo sendiri gak akan pergi?” tanya Rara menatap Naren.Naren terdiam sejenak. Lelaki itu masih was – was kalau harus membiarkan Rara berdua dengan orang yang tidak bisa ia cari tahu.“Gue gak akan melakukan hal jahat ke Rara,” kata sosok itu sadar Naren menatapnya datar.“Saya gak bisa percaya, mengingat Nona Rara meminta saya untuk tidak mencaritahu tentang anda lebih jauh,” balas Naren.“Ren, lo kan udah tahu kalau Leo itu yang kasih tahu gue,” timpal Rara.“Saya tahu itu Nona, tapi saya ingin mendengar ucapannya langsung,” balas Naren.“Gue yang kasih nomor sopir truk ke Bu Unike. Itu salah gue,” terang Leo.“Sa
Sandra seketika merasa bersalah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal.“Maaf gue gak bermaksud untuk bertingkah kaya gitu,” ujar Sandra.“Kenapa lo ngikutin gue dan Rara waktu itu?” tanya Naren.“Gue penasaran. Gue nyangkanya lo adalah pembantu Rara, gue gak mau kalau lo merasa rendah diri,” terang Sandra.“San, gue gak merasa rendah diri,” tanggap Naren.“Terus apa yang lo rasain?”Pertanyaan Sandra membuat Naren terdiam. Naren menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya perlahan.“Gue cuman merasa perlu ada batas antara gue dan Rara. Dia adalah atasan gue dan gue bawahan dia,” sahut Naren tersenyum.“Lo merasa kaya gitu gak sama Jevan?” tanya Sandra.Naren menggeleng kecil, “Gue anggap dia teman yang baik. Walaupun Jevan juga tahu tentang gue.”“Jevan juga tahu?” tanya Sandra terkejut.“Iya dia tahu. Makanya gue kadang juga kaku sama dia,” jawab Naren.“Kalau gue gimana? Lo ngerasa kaku?” tanya Sandra seraya menunjuk dirinya sendiri.“Kalau sama lo, gue biasa aja. Lo itu orang
Hari minggu.Rara menatap nasi goreng di depannya. Gadis cantik itu tidak berniat menyentuh makanan favoritnya. Ia masih tenggelam dalam lamunannya tentang“Nona Rara,” panggil Bibi Ica seraya menepuk bahu Rara.Rara tersadar dari lamunannya. Ia menatap Bibi Ica dengan tanya.“Iya Bi?”“Nasi goreng Nona nanti dingin,” kata Bibi Ica lembut.Rara terdiam beberapa detik. “Bi, kalau Naren kesini -”Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, suara langkah kaki mengalihkan fokus. Rara menatap Naren yang baru saja datang.“Nona ingin berbicara berdua dengan Naren?” tanya Bibi Nia.Rara mengangguk. Ia melihat Bibi Nia dan Bibi Ica yang menjauh dari ruang makan.“Ren, duduk dulu,” ucap Rara.Naren mengangguk.“Gue belum bisa ambil keputusan tentang rekaman suara itu,” terang Rara menghela napas. “Gue gak setega itu ngebuat Bu Unike sampai dipenjara.”“Nona, saya akan mengikuti keputusan Nona. Untuk saat ini, jangan bertemu dulu dengan Bu Unike ya,” pinta Naren.“Kenapa?”“Menurut laporan, Bu Uni
Rara meletakan sendok di sebelah piringnya. Gadis itu sudah selesai makan. Ia menatap Bu Unike yang bersiap untuk kue kering yang biasa wanita itu buat.“Bu, ada yang mau aku bahas sekarang,” kata Rara.“Ada apa Nak?” tanya Bu Unike kembali duduk di kursinya.“Bu, apa ibu menyembunyikan sesuatu dari aku?” tanya Rara hati – hati.“Apa maksudmu Nak?” tanya Bu Unike bingung.“Bu, aku tahu tentang dalang kecelakaan aku,” terang Rara.Wajah Bu Unike berubah panik dan tak nyaman. Wanita paruh baya itu menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk bertanya lebih jauh.“Ibu gak mau tahu?” tanya Rara seraya menatap Bu Unike yang hanya diam.“Rara, sebaiknya kamu pulang sekarang saja ya,” ucap Bu Unike menatap Rara dengan tatapan merasa bersalah.“Bu, jangan menghindar. Jelasin ke aku penjelasan yang dikatakan Leo,” pinta Rara memelas.“Bukan Ibu yang melakukannya, Nak,” sanggah Bu Unike cepat.“Bu, hari ini aku baru aja ketemu Leo. Dia jelasin dari sisi dia, kalau ibu yang menyewa sopir truk it
Rara menatap bangunan yang menjadi saksi tumbuh besar dirinya. Gadis itu menarik napas kemudian menghembuskan perlahan. Rara menenangkan dirinya terlebih dahulu, ia tidak mau pertemuannya dengan Bu Unike menjadi kacau akibat omongan Leo.Setelah cukup tenang, Rara mengetuk pintu panti asuhan.“Aku pulang!” seru Rara cukup keras.Rara mencoba memegang kenop pintu panti asuhan. Gadis itu mengerutkan kening karena pintu panti tidak dikunci. Ia melangkah masuk ke dalam panti asuhan.“Halo? Rara pulang,” ucap Rara.Rara melangkah ke halaman belakang panti asuhan, “Bu Unike, aku pulang.”Rara menghentikan langkahnya saat melihat punggung yang ia rindukan. Wanita itu terdiam, tampak tenggelam dalam lamunannya. Di depan Bu Unike ada secangkir teh dan beberapa kue kering.“Bu Unike?” tanya Rara ragu.Wanita cantik itu mengangkat kepalanya. Matanya melotot melihat sosok di depannya.“Rara? Ini kamu Nak?” tanya Bu Unike langsung berdiri.Rara tersenyum hangat, gadis itu mengangguk kecil.“Kamu p
Rara masuk ke dalam kelasnya. Ia duduk di bangkunya.“Lo kemana tadi?”Rara menatap Jevan dengan rasa bersalah. “Maaf, gue tadi ke toilet. Terus gue jalan – jalan,” balas Rara berbohong.“Gue khawatir banget sama lo sampai nelepon lo berkali – kali,” kata Jevan.“Gue juga gak bawa HP,” balas Rara.“Yang penting lo udah balik, gue gak masalah,” ucap Jevan.Jevan hendak duduk di sebelah Rara untuk kembali mengobrol, tetapi guru selanjutnya sudah datang ke kelas. Jevan bergegas kembali ke bangku.“Oke anak – anak, siapkan kertas selembar,” kata Pak Dono.Seketika kelas langsung ribut. Mereka langsung memprotes dan panik karena belum belajar sama sekali.“Tidak ada yang protes. Saya sudah menyiapkan soalnya, segera tulis,” ucap Pak Dono tegas.Rara mulai fokus mendengar perkataan dari Pak Dono. Ia yakin dirinya akan mendapatkan nilai bagus karena gadis itu selalu membaca ulang materi minggu kemarin sebelum kelas dimulai.“Tidak boleh ada yang menyontek atau bertanya. Kalau ada yang begitu