Home / Romansa / FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang) / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of FORBIDDEN LOVE (Cinta Terlarang): Chapter 71 - Chapter 80

132 Chapters

71. Pilihan

Dengan langkah gontai, Nadya mendekati Pramono yang duduk di ruang tamu. Sementara dua tamunya berangsur mundur, memberi kesempatan pada pasangan itu untuk menyelesaikan masalahnya. Pramono tersenyum tenang ke arah Nadya seakan tak pernah terjadi apa-apa. Wanita itu menjatuhkan diri di sofa dengan pandangan kosong ke arah meja di mana map dengan bukti percakapan dan laptop itu berada. Kini Nadya tahu alasan di balik sikap Pramono yang begitu kasar semalam, adalah terbongkarnya semua kecurangan yang dia lakukan bersama Ali. “Pak Santosa datang untuk mengkonfirmasi apa yang dia lihat beberapa waktu lalu. Dan dia minta maaf karena sudah lancang melihat yang tidak seharusnya.” Pramono menatap laki-laki di seberang meja yang menunduk. Kepalanya bergerak naik turun, mengangguk-angguk. “Maaf, Bu. Punten sanget,*” ucap Santosa pada Nadya. Nadya hanya diam. Dia merasa riwayatnya akan tamat saat itu juga. “Tidak apa-apa, Pak. Memang saat kangen dengan istri, saya sering tidak ingat tempat,
last updateLast Updated : 2022-07-10
Read more

72. Penyesalan

Benar kata pepatah, penyesalan selalu datang di akhir. Menyeret manusia pada rasa bersalah tak berkesudahan yang entah bagaimana cara memperbaikinya. Di tepi jalan yang sunyi, Nadya tergugu menangisi hancurnya hidup akibat ulahnya sendiri. Hatinya semakin ngilu tatkala terlintas wajah Tasya yang menangis mencari sang ibu, lalu Asih susah payah mencari alasan untuk menjawab pertanyaan gadis kecil itu. Oh ... apa yang sudah kulakukan? Nadya kembali menanyakan pertanyaan yang sama untuk ke sekian kalinya. Nadya mengusap pipinya sekali lagi. dia bangkit setelah melihat sudut atas layar ponselnya. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, yang artinya hampir dua jam dia terduduk di tepi jalan meratapi kesalahan yang terlambat dia sadari. Andai dia lebih tegas ... Andai dia lebih berani, mungkin semua itu tidak harus terjadi. Lelah menangis, dan sebetulnya juga lapar, perempuan itu lalu menghampiri tukang ojek yang memarkir kendaraan mereka tepat di persimpangan jalan. Tujuannya malam ini
last updateLast Updated : 2022-07-12
Read more

73. Kecemasan

Pramono terbangun dari tidurnya di atas sajadah saat mendengar bising nada dering dari ponsel. Pandangannya sempat menangkap penunjuk waktu digital di meja saat ia melangkah mendekati benda bergetar di sampingnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi, dan diari kejauhan terdengar sayup suara azan subuh. “Ya, Suf? Pagi sekali kau menggangguku.” Pramono mengusap wajahnya. “Mumpung ingat. Karena seharusnya aku meneleponmu dua hari lalu. Ada calon karyawan yang akan interviu hari Senin, kapan kau akan ke sini?” Seketika Pramono ingat rencananya untuk membawa Nadya pindah ke Bandung. “Sementara tolong hendel dulu, Suf. Mungkin kantornya akan kupindah ke Boyolali saja. Toh, Tasya mengerti kesibukan ayahnya.” “Pindah? Bagaimana dengan rencana pindah ke Bandung? Dan rumahmu di sana?” “Mungkin akan kusewakan sampai menemukan pembeli. Entah lah, aku belum tahu.” “Terjadi sesuatu? Kenapa mendadak sekali?” Pramono mengedikkan bahu seakan Yusuf, laki-laki di ujung sana, bisa melihatnya. “Beg
last updateLast Updated : 2022-07-13
Read more

74. Musibah

Hampir dua hari sejak Nadya pergi dari rumah, dia tidak bisa makan dengan benar. Bukan cuma akibat hilangnya selera makan, tapi juga kram yang dia rasakan sejak keluar dari rumah Pramono malam itu. Setelah mengucapkan permintaan maaf, Nadya menyeret kopernya sepanjang perjalanan yang cukup jauh. Malamnya, setiba di motel dia merasakan kram di perut bawahnya. Berbeda dengan kehamilan pertama yang cukup lancar, kehamilannya kali ini batinnya dipenuhi tekanan. Merasa tak sanggup lagi, Nadya meraih ponsel lalu menggulirkan ibu jari pada daftar kontaknya, bermaksud menghubungi seseorang. Namun tangannya berhenti karena sadar, tak ada orang yang cukup dia kenal untuk dimintai bantuan. Terutama setelah dia mengakui kesalahannya, dunia seakan mengutuk. Nadya merasa terkucil dari lingkar keluarga sendiri, meski dia yakin Pramono bukan manusia pengecut yang akan menyebar aib keluarganya sendiri. Sembari menahan tekanan dari perutnya, Nadya melangkah keluar kamar. Sempoyongan dia berjalan samb
last updateLast Updated : 2022-07-14
Read more

75. Bantuan

“Ya, Sayang?”Nadya bisa mendengar samar suara anak di ujung sana. Dari suaranya yang kecil, Nadya memperkirakan usianya sepantar Tasya.“Iya, Papa masih ada urusan, sabar ya ...”....“Iya, Nayla, sebentar lagi papa pulang. Bisa minta tolong sama Mbok Yem dulu, oke?” Edwin menyahut dengan sabar di antara helaan napas berat seakan masalah besar sedang menimpanya.....“Bye, Sayang, doakan urusan papa cepat selesai ya ...”Edwin meletakkan ponsel ke atas nakas setelah menekan tombol merah. Dia mulai menyendok makanan di piring yang dipegangnya dengan tangan kiri, dan mendekatkannya ke mulut Nadya yang baru dia sadari telah menoleh ke arahnya.Nadya berpaling. “Tinggalkan aku. Aku bisa mengurus ini sendiri.”Edwin menurunkan piring makan itu ke pangkuan tanpa melepas kedua tangannya. “Jika itu benar, kau pasti tidak akan ada di sini.”Nadya kembali menoleh dan masih tetap diam. Edwin meletakkan piring itu ke meja.“Jadi Nadya, dengan penampilanmu, aku yakin kau bukan gelandangan, bukan?
last updateLast Updated : 2022-07-15
Read more

76. Titik Balik

Ada saat penyesalan menjadi begitu menyakitkan, bukan hanya oleh hasil akhir yang kita terima, tetapi jauh sebelum itu, yaitu kebodohan yang terlupa untuk dipikirkan bagaimana jadinya.Seperti terjerembap ke dalam lumpur hisap, Nadya merasa kian hanyut dan sesak, dan ... tidak tahu bagaimana harus keluar. Rindu yang menagih perjumpaan dengan sang putri terpaksa dia halau akibat rasa malu.Nadya tahu Pramono memaafkannya. Namun, dia cukup tahu diri untuk tidak tetap berada di sana. Berdusta seumur hidup, dan menyandang predikat penipu di hadapan Pramono.Maka di sanalah dia akhirnya. Motel yang dia sewa beberapa hari lalu kembali dia datangi setelah sebuah tragedi gugurnya calon buah hati.Nadya memandang laki-laki yang menatapnya dari kursi kemudi dengan tatapan yang sulit dia pahami. Antara kasihan dan ... perhatian? Nadya pernah melihat raut seperti itu dari laki-laki mengaku menyukainya.Wanita itu masih berdiri di depan gerbang sebagai bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih a
last updateLast Updated : 2022-07-17
Read more

77. Tergadai Rasa Rindu

Nadya meraih kartu nama di nakas, lalu menggenggamnya setelah mengetikan nomor telepon yang tertera di bawah nama Edwin Anggara pada keypad ponsel barunya. Nada sambung menyusul berbunyi berganti dengan sapaan salam seorang bocah di ujung sana. Nadya tersenyum karena tahu dialah orang yang dipanggil ‘sayang’ dua hari lalu. “Papa ada, Dek?” “Ini siapa?” tanya suara manis itu. “Ini ...” Belum sempat Nadya menyebutkan nama, terdengar suara berat bertanya di ujung sana. “Siapa, Nay?” “Cari Papa.” “Cari Papa?” Detik berikutnya suara itu berubah begitu berat. “Ya, ini aku. Dengan siapa?” “Ini ... aku.” Nadya ragu menyebutkan nama. Mendadak dia merasa gemetar ketika mengingat kembali ekspresi laki-laki itu beberapa hari lalu. “Siapa?” “Aku ... butuh nomor rekeningmu. Bisa kirimkan?” Ragu-ragu Nadya kembali bicara. “Oh, Nadya.” Setelah itu butuh waktu sampai Nadya mendengar sahutan lagi, seakan ada yang menahan ucapan laki-laki di ujung sana. Lalu samar terdengar deheman. “Aku su
last updateLast Updated : 2022-07-21
Read more

78. Pamit

“Terima kasih.” Nadya menyerahkan sisa uang sewa dan kunci kepada resepsionis. Wanita berkucir kuda itu mengangguk dan tersenyum ramah, dengan tangan terulur meraih kunci di meja. *** Apa yang lebih menyakitkan dari dilupakan? Melihat anak yang kau cintai menanyakan di mana ibunya yang bahkan kau tak tahu di mana dia berada. Lalu kau mulai menanyakan apa salahmu dan menyalahkan hal yang mungkin terluput untuk kau lakukan. Pramono tak pernah terpikir untuk berpisah dari Nadya kecuali kelak salah satu dari mereka akan meninggal terlebih dahulu. Itulah kenapa perpisahan menjadi begitu menyakitkan, karena kini dia harus menanggung kecewa oleh pengkhianatan. Tangisan Tasya menarik Pramono dari lamunannya. Laki-laki berkaus putih itu mendekati sang putri lalu menanyakan apa yang terjadi. Seperti biasa Tasya teringat Nadya dan kini dia ingin bertemu sang ibu. “Gimana kalau sore ini kita ke rumah Eyang?” usul Pramono yang akhirnya membuat Tasya mengangkat wajah, memandangnya. “Mama gima
last updateLast Updated : 2022-07-21
Read more

79. Di Rumah Ali

Waktu menunjukkan pukul delapan tiga puluh malam saat driver taksi yang mengantar Nadya sore tadi menanyakan kembali jam berapa akan dijemput. “Bapak tunggu di gang depan aja. Nanti saya ke sana,” balas Nadya lalu meletakkan kembali ponsel ke meja. Inilah saatnya. Nadya mengedar pandang ke penjuru rumah yang mulai lengang karena baik ibu atau sang ayah sudah masuk kamar mereka untuk beristirahat. Meski tak keras, beberapa gadis masih terdengar mengobrol di kamar mereka masing-masing. Setelah memasukkan ke dalam koper, beberapa pakaian yang awalnya memang sengaja dia tinggalkan di sana, Nadya melangkah menuju kamar salah satu penyewa kos di sana dan mengetuk pintunya. Detik berikutnya, pintu terbuka. Ratri dengan wajah sayu menatap heran pada wanita yang berdiri dengan senyum tipis di depan pintu. Kedua matanya mengerjap beberapa kali seolah menyingkirkan sesuatu yang menghalangi pandangannya. “Ada apa, Mbak?” tanya Ratri. Nadya mengulum senyum. “Titip buat ibu ya ...” Tangan kan
last updateLast Updated : 2022-07-23
Read more

80. Hadiah?

Nadya mengulum senyum. “Aku bercanda,” ucapnya menatap Annisa sekilas, “jadi apa aku boleh menginap di sini?” “Tentu. Masuklah.” Meski terpaksa, Annisa menarik bibirnya dan mengangguk. Ali meraih dan membawa koper milik Nadya masuk, menuntun wanita itu menuju kamar atas. Kamar Ali. Tiba di depan kamar, Ali memutar knop pintu, mempersilakan wanita dengan selarik senyum ayu di bibirnya untuk masuk. Nadya memandang Ali sesaat, lalu mengedar pandang ke penjuru ruangan yang dulu pernah begitu dia dambakan bisa masuk ke dalamnya dan menjadi bagian dari hidup laki-laki yang dicintainya. Ruangan itu tampak luas dan rapi, persis seperti pribadi pemiliknya. Beberapa desain ciptaan Ali tertempel di dinding depan meja kerja yang berada di sudut ruangan tepat di tepi jendela. Lurus dari pintu, Nadya melangkah ke arah balkon dan menatap kejauhan, lalu menoleh pada Ali di detik berikutnya dengan senyum mengembang seakan dia baru saja mendapatkan hadiah besar. “Kenapa?” tanya Ali penasaran. D
last updateLast Updated : 2022-07-23
Read more
PREV
1
...
678910
...
14
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status