Benar kata pepatah, penyesalan selalu datang di akhir. Menyeret manusia pada rasa bersalah tak berkesudahan yang entah bagaimana cara memperbaikinya. Di tepi jalan yang sunyi, Nadya tergugu menangisi hancurnya hidup akibat ulahnya sendiri. Hatinya semakin ngilu tatkala terlintas wajah Tasya yang menangis mencari sang ibu, lalu Asih susah payah mencari alasan untuk menjawab pertanyaan gadis kecil itu. Oh ... apa yang sudah kulakukan? Nadya kembali menanyakan pertanyaan yang sama untuk ke sekian kalinya. Nadya mengusap pipinya sekali lagi. dia bangkit setelah melihat sudut atas layar ponselnya. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, yang artinya hampir dua jam dia terduduk di tepi jalan meratapi kesalahan yang terlambat dia sadari. Andai dia lebih tegas ... Andai dia lebih berani, mungkin semua itu tidak harus terjadi. Lelah menangis, dan sebetulnya juga lapar, perempuan itu lalu menghampiri tukang ojek yang memarkir kendaraan mereka tepat di persimpangan jalan. Tujuannya malam ini
Pramono terbangun dari tidurnya di atas sajadah saat mendengar bising nada dering dari ponsel. Pandangannya sempat menangkap penunjuk waktu digital di meja saat ia melangkah mendekati benda bergetar di sampingnya. Waktu menunjukkan pukul empat pagi, dan diari kejauhan terdengar sayup suara azan subuh. “Ya, Suf? Pagi sekali kau menggangguku.” Pramono mengusap wajahnya. “Mumpung ingat. Karena seharusnya aku meneleponmu dua hari lalu. Ada calon karyawan yang akan interviu hari Senin, kapan kau akan ke sini?” Seketika Pramono ingat rencananya untuk membawa Nadya pindah ke Bandung. “Sementara tolong hendel dulu, Suf. Mungkin kantornya akan kupindah ke Boyolali saja. Toh, Tasya mengerti kesibukan ayahnya.” “Pindah? Bagaimana dengan rencana pindah ke Bandung? Dan rumahmu di sana?” “Mungkin akan kusewakan sampai menemukan pembeli. Entah lah, aku belum tahu.” “Terjadi sesuatu? Kenapa mendadak sekali?” Pramono mengedikkan bahu seakan Yusuf, laki-laki di ujung sana, bisa melihatnya. “Beg
Hampir dua hari sejak Nadya pergi dari rumah, dia tidak bisa makan dengan benar. Bukan cuma akibat hilangnya selera makan, tapi juga kram yang dia rasakan sejak keluar dari rumah Pramono malam itu. Setelah mengucapkan permintaan maaf, Nadya menyeret kopernya sepanjang perjalanan yang cukup jauh. Malamnya, setiba di motel dia merasakan kram di perut bawahnya. Berbeda dengan kehamilan pertama yang cukup lancar, kehamilannya kali ini batinnya dipenuhi tekanan. Merasa tak sanggup lagi, Nadya meraih ponsel lalu menggulirkan ibu jari pada daftar kontaknya, bermaksud menghubungi seseorang. Namun tangannya berhenti karena sadar, tak ada orang yang cukup dia kenal untuk dimintai bantuan. Terutama setelah dia mengakui kesalahannya, dunia seakan mengutuk. Nadya merasa terkucil dari lingkar keluarga sendiri, meski dia yakin Pramono bukan manusia pengecut yang akan menyebar aib keluarganya sendiri. Sembari menahan tekanan dari perutnya, Nadya melangkah keluar kamar. Sempoyongan dia berjalan samb
“Ya, Sayang?”Nadya bisa mendengar samar suara anak di ujung sana. Dari suaranya yang kecil, Nadya memperkirakan usianya sepantar Tasya.“Iya, Papa masih ada urusan, sabar ya ...”....“Iya, Nayla, sebentar lagi papa pulang. Bisa minta tolong sama Mbok Yem dulu, oke?” Edwin menyahut dengan sabar di antara helaan napas berat seakan masalah besar sedang menimpanya.....“Bye, Sayang, doakan urusan papa cepat selesai ya ...”Edwin meletakkan ponsel ke atas nakas setelah menekan tombol merah. Dia mulai menyendok makanan di piring yang dipegangnya dengan tangan kiri, dan mendekatkannya ke mulut Nadya yang baru dia sadari telah menoleh ke arahnya.Nadya berpaling. “Tinggalkan aku. Aku bisa mengurus ini sendiri.”Edwin menurunkan piring makan itu ke pangkuan tanpa melepas kedua tangannya. “Jika itu benar, kau pasti tidak akan ada di sini.”Nadya kembali menoleh dan masih tetap diam. Edwin meletakkan piring itu ke meja.“Jadi Nadya, dengan penampilanmu, aku yakin kau bukan gelandangan, bukan?
Ada saat penyesalan menjadi begitu menyakitkan, bukan hanya oleh hasil akhir yang kita terima, tetapi jauh sebelum itu, yaitu kebodohan yang terlupa untuk dipikirkan bagaimana jadinya.Seperti terjerembap ke dalam lumpur hisap, Nadya merasa kian hanyut dan sesak, dan ... tidak tahu bagaimana harus keluar. Rindu yang menagih perjumpaan dengan sang putri terpaksa dia halau akibat rasa malu.Nadya tahu Pramono memaafkannya. Namun, dia cukup tahu diri untuk tidak tetap berada di sana. Berdusta seumur hidup, dan menyandang predikat penipu di hadapan Pramono.Maka di sanalah dia akhirnya. Motel yang dia sewa beberapa hari lalu kembali dia datangi setelah sebuah tragedi gugurnya calon buah hati.Nadya memandang laki-laki yang menatapnya dari kursi kemudi dengan tatapan yang sulit dia pahami. Antara kasihan dan ... perhatian? Nadya pernah melihat raut seperti itu dari laki-laki mengaku menyukainya.Wanita itu masih berdiri di depan gerbang sebagai bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih a
Nadya meraih kartu nama di nakas, lalu menggenggamnya setelah mengetikan nomor telepon yang tertera di bawah nama Edwin Anggara pada keypad ponsel barunya. Nada sambung menyusul berbunyi berganti dengan sapaan salam seorang bocah di ujung sana. Nadya tersenyum karena tahu dialah orang yang dipanggil ‘sayang’ dua hari lalu. “Papa ada, Dek?” “Ini siapa?” tanya suara manis itu. “Ini ...” Belum sempat Nadya menyebutkan nama, terdengar suara berat bertanya di ujung sana. “Siapa, Nay?” “Cari Papa.” “Cari Papa?” Detik berikutnya suara itu berubah begitu berat. “Ya, ini aku. Dengan siapa?” “Ini ... aku.” Nadya ragu menyebutkan nama. Mendadak dia merasa gemetar ketika mengingat kembali ekspresi laki-laki itu beberapa hari lalu. “Siapa?” “Aku ... butuh nomor rekeningmu. Bisa kirimkan?” Ragu-ragu Nadya kembali bicara. “Oh, Nadya.” Setelah itu butuh waktu sampai Nadya mendengar sahutan lagi, seakan ada yang menahan ucapan laki-laki di ujung sana. Lalu samar terdengar deheman. “Aku su
“Terima kasih.” Nadya menyerahkan sisa uang sewa dan kunci kepada resepsionis. Wanita berkucir kuda itu mengangguk dan tersenyum ramah, dengan tangan terulur meraih kunci di meja. *** Apa yang lebih menyakitkan dari dilupakan? Melihat anak yang kau cintai menanyakan di mana ibunya yang bahkan kau tak tahu di mana dia berada. Lalu kau mulai menanyakan apa salahmu dan menyalahkan hal yang mungkin terluput untuk kau lakukan. Pramono tak pernah terpikir untuk berpisah dari Nadya kecuali kelak salah satu dari mereka akan meninggal terlebih dahulu. Itulah kenapa perpisahan menjadi begitu menyakitkan, karena kini dia harus menanggung kecewa oleh pengkhianatan. Tangisan Tasya menarik Pramono dari lamunannya. Laki-laki berkaus putih itu mendekati sang putri lalu menanyakan apa yang terjadi. Seperti biasa Tasya teringat Nadya dan kini dia ingin bertemu sang ibu. “Gimana kalau sore ini kita ke rumah Eyang?” usul Pramono yang akhirnya membuat Tasya mengangkat wajah, memandangnya. “Mama gima
Waktu menunjukkan pukul delapan tiga puluh malam saat driver taksi yang mengantar Nadya sore tadi menanyakan kembali jam berapa akan dijemput. “Bapak tunggu di gang depan aja. Nanti saya ke sana,” balas Nadya lalu meletakkan kembali ponsel ke meja. Inilah saatnya. Nadya mengedar pandang ke penjuru rumah yang mulai lengang karena baik ibu atau sang ayah sudah masuk kamar mereka untuk beristirahat. Meski tak keras, beberapa gadis masih terdengar mengobrol di kamar mereka masing-masing. Setelah memasukkan ke dalam koper, beberapa pakaian yang awalnya memang sengaja dia tinggalkan di sana, Nadya melangkah menuju kamar salah satu penyewa kos di sana dan mengetuk pintunya. Detik berikutnya, pintu terbuka. Ratri dengan wajah sayu menatap heran pada wanita yang berdiri dengan senyum tipis di depan pintu. Kedua matanya mengerjap beberapa kali seolah menyingkirkan sesuatu yang menghalangi pandangannya. “Ada apa, Mbak?” tanya Ratri. Nadya mengulum senyum. “Titip buat ibu ya ...” Tangan kan
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
“Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem
“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru
Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan