Semua Bab The Destinable Of Light (Bahasa Indonesia): Bab 41 - Bab 50

76 Bab

41. Diobati Lensana Hijau

“Dia akan baik-baik saja, Ariuz.”“Benar kata Guinuz, anak ini akan menjadi kuat dengan cakar-cakar itu.”Suara beberapa orang bercakap bagai sekawanan burung berbisik berhasil membuatku membuka mata. Saat mataku mulai terbuka, semua mata seperti memburuku, dan kamarku yang biasanya sepi telah diramaikan Ayah, Lensana Merah, Lensana Hijau dan putrinya, Alora. Aku menjadi pusat perhatian kali ini, raut wajah mereka seperti telah mendamba kabarku.Alora yang duduk di sebuah kursi di samping ranjangku menjadi orang yang pertama menyapaku, “Bagaimana keadaanmu?” Wajah gadis itu terlihat cemas, jemarinya seperti mengunci di sela-sela jemariku.“Aku merasa baik-baik saja.”Kemudian ayah yang duduk di kursi sebelah Alora berkata, “Apa kau tidak merasakan sakit?”“Sama sekali tidak, Ayah.” Wajah ayah seharusnya tetap lega, namun sayangnya wajah lelaki beruban itu terlihat berlipat. Aku tahu ia masih menghawatirkanku. Dan hal itu cukup membuatku senang karena telah diperhatikan olehnya, meskip
Baca selengkapnya

42. Firasat Alora Sepertinya Akan Terbukti

Setelah matahari tenggelam seutuhnya, kamarku masih sepi. Bahkan setelah bulan memberi sambutan pada malam sekalipun, suasa di kamarku tetap sunyi. Api dari obor-obor yang berderet di tepi jembatan pelan-pelan bergoyang dipandu angin, dan pintu kamarku yang bercorak manusia setengah hewan, warna kuning emasnya terlihat rusak karena balutan cahaya api ajaib yang bergelantungan di setiap sudut kamarku. Tiba-tiba suara tubrukan yang cukup dahsyat dan memekakkan melumat kesunyian seketika. "Suara apa itu," tanyaku pada Alora yang masih setia duduk di samping ranjangku. "Sepertinya sedang terjadi pertarungan besar di luar," ucap Alora. Aku yang penasaran dengan keadaan yang terjadi di luar istana menepi dari ranjang untuk menurunkan kakiku. Melihatku akan menuruni ranjang, Alora menegurku, "Apakah keadaanmu benar-benar sudah pulih?" "Aku tidak merasakan apapun, sepertinya aku sudah pulih." Aku bertanya pada Alora, "Kita perlu mengetahui apa yang terjadi di luar, bukan?" Alora menganggu
Baca selengkapnya

43. Pertarungan Di Udara

Lensana merah hampir saja berhasil menusukkan tangan pedang raksasanya ke tubuh Nero, namun ayahku berhasil mengempaskan serangan itu ke samping. Membuat pedang pipih yang tajam mengkilat dan tersambung di lengannya terpental bersama Lensana Merah."Bluss!"Nyawa Nero yang hampir melayang tertikam tangan pedang Lensana Merah bisa diselamatkan oleh ketangkasan ayahku. Telat sepersembilan detik saja, tak ada yang akan mampu menyelamatkan Nero dari maut. Namun perbuatan ayahku menyebabkan kemurkaan Lensana Merah semakin membara, bukan hanya murka kepada Nero saja, melainkan juga kepada ayahku. Serangan demi serangan yang membabi buta dilepaskannya kepada ayahku, dan ayahku selalu menghindari serangan itu dengan tangkasnya. Beberapa kali mereka bergumul, meninju, menendang dan saling menjatuhkan. Kedua manusia setengah rumbai-rumbai itu bertarung seperti awan penghasil petir dan halilintar, gerakan mereka menyebabkan angin berembusan begitu kencang, dan tubrukan bagian tubuh mereka mengha
Baca selengkapnya

44. Malam Yang Dingin Bersama Alora

Api dari obor berpendar redup di tepi jembatan yang rusak, angin seperti tak berhasrat meniup beberapa obor yang tersisa dari obor-obor yang telah hancur bersama puing-puing jembatan yang masih berjatuhan dengan lambat. Hatiku begitu getir menyaksikan itu. Aku yang berdiri di luar istana ayah menghela nafas dari udara malam yang begitu sunyi, terasa masih menyejukkan, meski tak sedamai malam-malam sebelumnya.Alora mendarat di hadapanku dengan perlahan, jubah hijaunya melambai-lambai tertiup angin, dan wajahnya seperti melipat karena kesedihan. Aku tahu, bahwa tidak ada yang menginginkan pertempuran ini. Namun semuanya terjadi begitu saja, dan penyebabnya adalah aku, tidak dapat kupungkiri hal itu, meskipun aku tak menginginkannya.“Penyebab semua ini adalah aku,” kataku dengan hati yang tergetar.“Semuanya berlalu begitu cepat. Tidak ada yang menginkan hal itu terjadi.” Alora mencoba menghiburku.“Ini bukan salahmu.”Tapi dilain sisi aku juga melihat kesedihan di matanya, ia takkan b
Baca selengkapnya

45. Dilatih Oleh Nero

Aku telah mengikuti semua intruksi mereka selama berhari-hari, namun yang kulakukan hanya mengeluarkan tenaga yang cukup dahsyat di tanganku, dan membentuk kepalan yang telah biasa kugunakan menghantam lawan-lawanku. Namun di jemariku, tak ada yag istimewa sama sekali. Kurasa aku tak benar-benar memiliki senjata yang istimewa itu. Nero telah melatihku dengan berbagai cara, bahkan menyerang semampunya untuk memancing cakarku keluar. “Rasakan ini!” Nero mencoba melepaskan beberapa pukulan dahsyatnya ke arahku. Seperti biasa, aku tak memiliki ketangkasan yang cukup untuk menghindari serangannya. Pukulannya membuatku terhempas beberapa puluh meter dan membentur lantai marmer biru yang berlapis kabut. "BRUGH! BUGH!" “Akh!” jeritku. “Kau memang harus terus bertahan untuk bisa hidup!” seru Nero ketika aku mencoba bangkit. Begitu kuda-kudaku telah terpasang, aku kembali diserangnya. "BUGH! BUGH!" Aku terus terpukul, terpelanting, dan bangkit dengan tertatih-tatih, kemudian diserang la
Baca selengkapnya

46. Alora Akan Menjadikanku Semakin Tangguh

Setelah berhasil meyakinkan ayahku tentang pendapatnya yang akan mampu melatihku, Alora membawaku menuju ke Istananya di sebelah barat Tumaya. Dua puluhan meter sebelum tiba di depan istana yang hampir mengambang di atas udara laut selatan Tumaya itu, Alora berhenti dan mengajakku berdiri di dekat langkan jembatan, menghadapkan wajah ke barat lautan. Gadis itu menghela napas, raut wajahnya menunjukkan ia sedang memusatkan konsentrasi yang begitu dalam. Sambil menjulurkan telapak tangannya lurus ke depan, ia berkata. “Aku sedang memusatkan konsentrasiku pada lautan.” Di hadapan kami, lautan yang mulanya berdebur tenang kini mulai bergelombang semakin besar. Pada detik yang sama, Alora melanjutkan ucapannya, “Aku hanya perlu merasakan kekuatan pikiranku mengalir menuju lautan itu, dan menggerakkan lautan itu seperti menggerakkan bagian dari tubuhku sendiri.” Setelah mengucapkan itu, Alora membanting tangannya seperti menanam sesuatu pada angin. Kemudian gelombang laut menusuk ke dala
Baca selengkapnya

47. Aku Semakin Tangguh

Ketika Alora melewati empat makhluk aneh itu, makhluk-makhluk itu berdiri lalu duduk setengah berlutut seraya memberi hormat dengan sebelah tangan dilipat ke dada.Aku masih menaiki undakan, sementara Alora yang telah menduduki singgasananya berkata, “Bisakah kalian turun dulu, aku tidak ingin diganggu.”Bagian pinggang ke bawah makhluk-makhluk aneh di hadapan Alora kemudian dilipati angin, lalu meleleh menjadi setengah manusia berkaki kabut, kemudian melesat melewatiku menuju ke lantai bawah.“Silahkan duduk,” Alora mempersilahkanku duduk di salah satu singgasana yang kosong itu. Beberpa menit kemudian, aku telah duduk di singgasana sebelah kanan yang paling dekat dengannya. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Alora melatihku mengeluarkan cakar di singgasana. “Alirkan semua energi yang terkumpul menuju ke ujung jarimu,” kata Alora.Sementara aku terus memusatkan pikiran. Sambil memperhatikan semua ucapan Alora, aku mencoba mengikuti apa yang diarahkannya.“Rasakan semua energi yang tela
Baca selengkapnya

48. Aku Akan Kembali

Pendar sinar mentari sore di dalam ruangan sedikit memerihkan mata ketika aku memicing. Terlihat langit-langit dengan sepuh rasi bintang. Aku bangkit dengan memijit pelipisku, menahan sedikit nyeri di kepalaku. Begitu aku melirik ke sekeliling, terdapat tembok bercorak selusin manusia berkepala srigala yang tengah bertarung dengan manusia kelelawar, bukan hanya itu, ada selusin manusia berkepala gajah yang memenuhi dinding itu, semuanya memegang trisula. Kasur yang menopang berat tubuhku terasa empuk. Aku bangkit dari pembaringanku, lalu melangkah menuju pintu emas yang bercorak naga hijau. Aku membukanya lalu keluar dari kamar itu. Sepertinya aku masih berada di dalam istana milik Alora, dapat kulihat dari lantai lautan yang kulewati. Ketika melangkah menelusuri istana bernuansa hijau itu, aku berpapasan dengan puluhan prajurit aneh yang memandangiku dengan tatapan aneh, tatapan yang sekan-akan menusuk jantungku. Itu dapat kusebut sebagai tatapan penuh kebencian. Aku baru merasa be
Baca selengkapnya

49. Menemui Lensana Merah

“Oh Nando! Selamat datang kembali di istana pamanmu!” Lelaki yang usianya lebih tua dari ayahku itu terlihat ramah, meski kutahu ia hanya mencoba bersikap baik padaku. Sebenarnya ia bisa saja mengusirku, dan akupun tidak akan membencinya jika ia bersikap seperti itu. Tapi syukurlah lelaki itu bisa bersikap lebih bijaksana ke padaku. “Hormat saya paman,” kataku seraya membungkut dengan melipat sebelah tangan ke dada untuk memberi hormat. "Silahkan duduk nak,” katanya seraya menunjukkan salah satu singgasana kosong yang posisinya lebih rendah dari singgasananya. Penataan singgasana itu persis seperti penataan singgasana di Istana Alora, jadi aku duduk menyudut dengannya. Sementara prajuritnya telah turun ketika aku datang, mereka berdiri berderet di lantai bawah seperti ajudan kepresidenan Rusia yang pernah kulihat di televisi. Setelah aku mendaratkan tubuhku di salah satu singgasana yang paling dekat dengannya, Lensana Merah berkata, “Aku senang kau mau berkunjung kembali ke istan
Baca selengkapnya

50. Burung Pelatuk Raksasa

Ketika burung pelatuk berekor naga itu telah benar-benar dekat, aku menyadari Alora tengah duduk dengan anggun di punggung burung itu. Aku turun dari langkan, dan seekor burung raksasa mendarat di hadapanku. Menyapu kabut tipis yang mengitariku, dan mengibas angin yang meniup kencang rambut dan jubahku.Burung itu merendah hingga sayapnya yang lebar menempel di marmer jembatan. Namun Alora tidak turun dari punggung burungnya, ia tersenyum memandangku yang masih setengah terpukau dengan suasana di hadapanku.“Mau terbang bersamaku?” Alora berhasil mengusir kekosongan di otakku.“Kemana?” tanyaku.“Mengitari Tumaya,” jawabnya dengan anggun. “Menikmati keindahan malam di atas punggung burung ini.”Sepertinya itu ide yang bagus. Aku melangkah mendekat, lalu merangkak naik ke punggung burung itu. Beberapa detik setelah aku duduk dengan mantap di punggungnya, burung itu bangkit dengan gagahnya, lalu melejit dari jembatan. Sayapnya terkepak indah di udara, dan ekor naganya melambai di tiap-t
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status